Tahun ini (2009) ada 17 daerah kota/kabupaten di Jateng yang mengagendakan pilkada langsung. Empat belas daerah sudah melaksanakan agenda itu dengan segala plus-minusnya. Terdapat perkembangan menarik yang terkait dengan peran, posisi dan tanggung jawab birokrasi dalam politik pilkada, yang nyaris luput dari perhatian banyak pihak, termasuk kalangan pers.
YANG dimaksud dengan perkembangan menarik adalah muncul kecenderungan yang kuat bahwa ketika kesempatan terbuka lebar, para birokrat memiliki kemauan untuk ikut memperebutkan jabatan politik. Mereka mengajukan diri sebagai kandidat pasangan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Mereka umumnya top manager atau middle manager di daerah, khususnya yang duduk pada eselon II seperti sekretaris daerah (sekda), kepala dinas, kepala badan, dan sebagainya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapkah para birokrat menerima berbagai implikasi yang timbul pascapilkada? Apakah mereka sebenarnya benar-benar siap kalah? Pertanyaan tentang apakah mereka siap menang sengaja tidak diungkap, karena banyak bukti menunjukan mereka sebenarnya lebih merasa dan mempersiapkan diri untuk menang. Soal kalah, umumnya mereka berpikir ''bagaimana nanti sajalah''.
Secara teoritik, debat soal netralitas birokrasi dalam politik (baik politik nasional maupun lokal) merupakan tema lama, yang selalu aktual untuk dibicarakan, karena menyangkut dinamika realitas pemerintahan yang hampir setiap saat terjadi dalam praktik politik.
Ada dua aliran besar dalam ilmu politik menyangkut netralitas birokrasi dalam politik. Pertama, aliran yang dimotori para ahli administrasi klasik seperti W Wilson dan kawan-kawan. Menurut Wilson, birokrasi harus netral dan steril dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok ini, birokrasi merupakan sesuatu yang bersifat administratif-mekanistik. Berarti birokrasi tidak lebih dari sekadar pelaksana kebijakan. Ia tidak boleh masuk dalam kontekstualitas pengambilan kebijakan politik, apalagi bertarung memperebutkan jabatan politik.
Paradigma aliran pertama ini sangat kuat menegaskan, jika birokrasi terlibat dalam politik, maka sejak itulah birokrasi akan rusak dan makin tidak dipercaya masyarakat. Artinya, birokrasi kemudian mengalami krisis kepercayaan yang bisa berakibat fatal bagi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahannya.
Kedua, aliran yang dimotori para ahli dan praktisi administrasi publik yang lebih progresif menolak pemikiran aliran pertama. Aliran ini antara lain dipelopori oleh James Svara dan George Edward II. Menurut kelompok pemikir ini, pertanyaan yang seharusnya dikedepankan bukan soal netralitas birokrasi, melainkan apakah birokrasi harus netral ketika napas kehidupan dan lingkungan yang digelutinya adalah politik?
George Edward II bahkan mengibaratkan lebih mendalam, bahwa birokrat dan politik bak ikan dan air, yang keduanya tidak bisa dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam pemikiran ini, alternatif yang ditawarkan adalah birokrasi tidak bisa tidak harus engage (terlibat) dalam politik, karena ikut menentukan masa depan organisasi dan kehidupan politiknya.
Pertarungan dua aliran besar itu hingga kini belum benar-benar berakhir atau belum memperoleh titik temu. Dalam politik lokal Indonesia, terbukti cukup banyak birokrat yang berpikir untuk tidak berpolitik sama sekali. Pada sisi lain ada pula birokrat yang berpikir, kalau ada peluang kenapa tidak berpolitik?
Tren ke Depan?
Kecenderungan birokrat mencalonkan diri sebagai peserta pilkada menunjukan hal yang sering terjadi dan sangat mungkin menjadi tren politik ke depan. Mereka yang menempati eselon II mempunyai lebih banyak kemauan untuk maju dalam pilkada ketimbang eselon-eselon di bawahnya. Ada beberapa alasan mengapa para birokrat menentukan pilihan dengan memilih bertarung dalam pilkada langsung.
Pertama, mereka memiliki hak asasi politik untuk mengajukan diri dalam kompetisi politik memperebutkan jabatan puncak di daerah. Kedua, mereka mengaku dilamar partai politik atau koalisi partai politik, sehingga melihatnya sebagai amanah untuk maju dalam arena pilkada.
Ketiga, mereka menempati top managers atau high managers dalam birokrasi pemerintahan, sehinga wajar kalau kemudian memutuskan maju dalam pilkada. Keempat, perhitungan rasionalitas bahwa dalam waktu dekat mereka akan memasuki masa pensiun. Sehingga tak ada pilihan lain, kecuali mesti ikut kompetisi politik dalam pilkada.
Dalam konteks Jawa Tengah, kecenderungan ini memang menggejala di beberapa daerah seperti di Blora, Kendal, Rembang, Kabupaten Semarang, Purbalingga, dan Wonosobo. Bagi birokrat atau mantan birokrat yang maju ke arena pilkada dan memenanginya, barangkali tidak menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan soliditas dan profesionalisme birokrasi pemerintahan daerah.
Yang menarik dalam konteks ini adalah apa yang terjadi di Purbalingga, di mana sekda Kabupaten Kudus mencalonkan diri sebagai wakil bupati dan berhasil memenangi pilkada. Secara politik, hal ini tidak banyak memengaruhi soliditas birokrasi di Kudus karena sekda bertarung dalam kompetisi politik di wilayah lain. Ini justru menimbulkan regenerasi kepemimpinan di birokrasi Pemkab Kudus, karena jabatan sekda kemudian diperebutkan oleh mereka yang memenuhi syarat. Artinya, gerbong regenerasi malah berjalan dengan baik.
Kondisi itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi di Kendal. Kekalahan tipis mantan sekda dari bupati lama (yang dulu mengusulkan orang itu sebagai sekda) menempatkan konstelasi politik yang tak manis. Bahkan banyak pegawai daerah di Kendal yang berdemonstrasi menuntut bupati lama yang terpilih lagi. Tuntutan-tuntutan para pegawai agar bupati terpilih diperiksa --karena menduga melakukan berbagai penyimpangan-- merupakan gejala baru dalam politik lokal di Indonesia.
Demonstrasi anak buah terhadap pimpinannya, sebagaimana terjadi di Kendal, barangkali juga belajar dari pengalaman Pemkab Temanggung, Demak, dan Wonogiri. Demonstrasi yang dulu hanya dikenal sebagai alat perjuangan mahasiswa dan kelas menengah politik untuk melawan rezime yang tak kondusif, ternyata digunakan pula oleh para pegawai publik untuk menggugat pimpinannya. Tidak bisa dimungkiri, apa yang terjadi di Temanggung merupakan fenomena menarik yang mengilhami berbagai demonstrasi pegawai publik di lain daerah.
Soliditas dan netralitas birokrasi kemudian jadi pertanyaan besar. Budaya politik Indonesia yang cenderung mengajarkan pimpinan baru untuk menggunakan staf atau pejabat baru, sehingga menyingkirkan pejabat lama (yang dipandang tak loyal), menjadi sesuatu yang sulit untuk tidak dilakukan.
Yang nampaknya aneh, hal ini kadang-kadang tidak dipikirkan oleh birokrat yang maju dalam pilkada. Risiko politik tidak pernah dikalkulasi. Yang dikalkulasi hanya risiko menang. Dengan kata lain, post power syndrome atau post pilkada syndrome tidak pernah dibayangkan sebelumnya, jika risiko kalah itu yang terjadi.
Birokrasi Terbelah
Implikasi pascapilkada yang diikuti birokrat sebagai salah satu calonnya maupun incumbent leaders (kepala daerah/wakil kepala daerah) adalah birokrasi terbelah atau minimal retak. Dalam UU Pilkada, serta ditegaskan lagi oleh otoritas pemerintah pusat, terdapat larangan birokrat atau PNS berpolitik. Tetapi dalam wacana informalitas politik, para birokrat jelas tak bisa menghindari permainan politik dalam pilkada. Apalagi jika ada birokrat yang mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat.
Akibat lebih jauh, birokrasi (di bawah permukaan) terpola dalam berbagai faksi yang berafiliasi ke pasangan tertentu. Secara formal, kondisi ini akan berakhir setelah pelantikan pejabat politik terpilih. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperbaiki soliditas birokrasi sebagai imbas dari politisasi selama berlangsung pilkada.
Apa yang terjadi di beberapa daerah yang telah melaksanakan pilkada, seperti Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Purworejo, Blora, Wonosobo, dan sebagainya, menunjukkan persoalan soliditas bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Formalitas politik yang ditunjukan melalui demonstrasi di Kendal, dan mundurnya Sekda Kota Semarang Saman Kadarisman yang juga mantan penjabat wali kota, sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Artinya persoalan internal yang dihadapi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terpilih sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.
Banyak ahli menyatakan, hal ini sebagai ''luka politik'' pascapilkada. Ada kecenderungan potensi birokrat ke depan akan terus terlibat dalam proses politik pilkada. Karena itu, dibutuhkan political therapy yang memungkinkan profesionalisme birokrasi lokal tetap terjaga. Hal ini berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih harus mempunyai keterampilan politik dalam mengelola persoalan soliditas dan komitmen birokrasi.
Bukan rahasia lagi, bahwa menyelesaikan persoalan internal birokrasi tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan kekuasaan. Lebih dari itu, diperlukan berbagai upaya dan pendekatan multidimensional yang memungkinkan pengembalian peran birokrasi ke tugas pokok fungsinya sebagai pelayanan publik.
Dalam konteks seperti ini, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah semestinya banyak menggunakan rasionalitas dan profesionalisme dalam menata kembali fungsi dan peran birokrasi. Itu berarti mereka harus mampu mengatur irama dalam mengelola pemerintahan.
Salah satu saran paling penting dalam hal ini adalah agar kepala daerah/wakil kepala daerah tidak tergesa-gesa mengganti pejabat-pejabat yang ada di dalam lingkungan kekuasaannya. Keuntungan yang diperoleh cara ini antara lain adanya image publik bahwa pemimpin terpilih tidak mendasarkan diri pada aspek dendam dalam mengelola pemerintahan.
Kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih juga memiliki cukup waktu untuk melakukan proses perenungan dan mempertimbangkan berbagai hal mengenai apa, siapa, dan bagaimana seorang pejabat di bawahnya mesti diganti. Proses ini juga memungkinkan kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat masukan dari berbagai pihak, sekaligus menguji secara langsung kapasitas pejabat publik yang hendak dipromosikan.
Pada sisi lain, birokrasi dengan semua jajarannya akan merasa welcome apabila pemimpinnya mau mendengar masukan dan saran dari anak buahnya, bertindak dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa (grusa-grusu), dan berbagai tindakan lainnya yang memungkinkan proses organizational learning (pembelajaran organisasi) bisa berjalan dalam suatu daerah.
Dengan demikian, aspek kepemimpinan yang berlandaskan profesionalisme, kedewasaan (maturity) dan kesungguhan merupakan salah satu modal dasar yang harus dimiliki setiap kepala daerah serta wakil kepala daerah. Kasus kepemimpinan Bupati Temanggung barangkali merupakan salah satu cermin yang menarik, yang bisa digunakan sebagai pelajaran untuk memperbaiki kualitas dan profesionalisme birokrasi kini dan mendatang. (32)
YANG dimaksud dengan perkembangan menarik adalah muncul kecenderungan yang kuat bahwa ketika kesempatan terbuka lebar, para birokrat memiliki kemauan untuk ikut memperebutkan jabatan politik. Mereka mengajukan diri sebagai kandidat pasangan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Mereka umumnya top manager atau middle manager di daerah, khususnya yang duduk pada eselon II seperti sekretaris daerah (sekda), kepala dinas, kepala badan, dan sebagainya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapkah para birokrat menerima berbagai implikasi yang timbul pascapilkada? Apakah mereka sebenarnya benar-benar siap kalah? Pertanyaan tentang apakah mereka siap menang sengaja tidak diungkap, karena banyak bukti menunjukan mereka sebenarnya lebih merasa dan mempersiapkan diri untuk menang. Soal kalah, umumnya mereka berpikir ''bagaimana nanti sajalah''.
Secara teoritik, debat soal netralitas birokrasi dalam politik (baik politik nasional maupun lokal) merupakan tema lama, yang selalu aktual untuk dibicarakan, karena menyangkut dinamika realitas pemerintahan yang hampir setiap saat terjadi dalam praktik politik.
Ada dua aliran besar dalam ilmu politik menyangkut netralitas birokrasi dalam politik. Pertama, aliran yang dimotori para ahli administrasi klasik seperti W Wilson dan kawan-kawan. Menurut Wilson, birokrasi harus netral dan steril dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok ini, birokrasi merupakan sesuatu yang bersifat administratif-mekanistik. Berarti birokrasi tidak lebih dari sekadar pelaksana kebijakan. Ia tidak boleh masuk dalam kontekstualitas pengambilan kebijakan politik, apalagi bertarung memperebutkan jabatan politik.
Paradigma aliran pertama ini sangat kuat menegaskan, jika birokrasi terlibat dalam politik, maka sejak itulah birokrasi akan rusak dan makin tidak dipercaya masyarakat. Artinya, birokrasi kemudian mengalami krisis kepercayaan yang bisa berakibat fatal bagi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahannya.
Kedua, aliran yang dimotori para ahli dan praktisi administrasi publik yang lebih progresif menolak pemikiran aliran pertama. Aliran ini antara lain dipelopori oleh James Svara dan George Edward II. Menurut kelompok pemikir ini, pertanyaan yang seharusnya dikedepankan bukan soal netralitas birokrasi, melainkan apakah birokrasi harus netral ketika napas kehidupan dan lingkungan yang digelutinya adalah politik?
George Edward II bahkan mengibaratkan lebih mendalam, bahwa birokrat dan politik bak ikan dan air, yang keduanya tidak bisa dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam pemikiran ini, alternatif yang ditawarkan adalah birokrasi tidak bisa tidak harus engage (terlibat) dalam politik, karena ikut menentukan masa depan organisasi dan kehidupan politiknya.
Pertarungan dua aliran besar itu hingga kini belum benar-benar berakhir atau belum memperoleh titik temu. Dalam politik lokal Indonesia, terbukti cukup banyak birokrat yang berpikir untuk tidak berpolitik sama sekali. Pada sisi lain ada pula birokrat yang berpikir, kalau ada peluang kenapa tidak berpolitik?
Tren ke Depan?
Kecenderungan birokrat mencalonkan diri sebagai peserta pilkada menunjukan hal yang sering terjadi dan sangat mungkin menjadi tren politik ke depan. Mereka yang menempati eselon II mempunyai lebih banyak kemauan untuk maju dalam pilkada ketimbang eselon-eselon di bawahnya. Ada beberapa alasan mengapa para birokrat menentukan pilihan dengan memilih bertarung dalam pilkada langsung.
Pertama, mereka memiliki hak asasi politik untuk mengajukan diri dalam kompetisi politik memperebutkan jabatan puncak di daerah. Kedua, mereka mengaku dilamar partai politik atau koalisi partai politik, sehingga melihatnya sebagai amanah untuk maju dalam arena pilkada.
Ketiga, mereka menempati top managers atau high managers dalam birokrasi pemerintahan, sehinga wajar kalau kemudian memutuskan maju dalam pilkada. Keempat, perhitungan rasionalitas bahwa dalam waktu dekat mereka akan memasuki masa pensiun. Sehingga tak ada pilihan lain, kecuali mesti ikut kompetisi politik dalam pilkada.
Dalam konteks Jawa Tengah, kecenderungan ini memang menggejala di beberapa daerah seperti di Blora, Kendal, Rembang, Kabupaten Semarang, Purbalingga, dan Wonosobo. Bagi birokrat atau mantan birokrat yang maju ke arena pilkada dan memenanginya, barangkali tidak menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan soliditas dan profesionalisme birokrasi pemerintahan daerah.
Yang menarik dalam konteks ini adalah apa yang terjadi di Purbalingga, di mana sekda Kabupaten Kudus mencalonkan diri sebagai wakil bupati dan berhasil memenangi pilkada. Secara politik, hal ini tidak banyak memengaruhi soliditas birokrasi di Kudus karena sekda bertarung dalam kompetisi politik di wilayah lain. Ini justru menimbulkan regenerasi kepemimpinan di birokrasi Pemkab Kudus, karena jabatan sekda kemudian diperebutkan oleh mereka yang memenuhi syarat. Artinya, gerbong regenerasi malah berjalan dengan baik.
Kondisi itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi di Kendal. Kekalahan tipis mantan sekda dari bupati lama (yang dulu mengusulkan orang itu sebagai sekda) menempatkan konstelasi politik yang tak manis. Bahkan banyak pegawai daerah di Kendal yang berdemonstrasi menuntut bupati lama yang terpilih lagi. Tuntutan-tuntutan para pegawai agar bupati terpilih diperiksa --karena menduga melakukan berbagai penyimpangan-- merupakan gejala baru dalam politik lokal di Indonesia.
Demonstrasi anak buah terhadap pimpinannya, sebagaimana terjadi di Kendal, barangkali juga belajar dari pengalaman Pemkab Temanggung, Demak, dan Wonogiri. Demonstrasi yang dulu hanya dikenal sebagai alat perjuangan mahasiswa dan kelas menengah politik untuk melawan rezime yang tak kondusif, ternyata digunakan pula oleh para pegawai publik untuk menggugat pimpinannya. Tidak bisa dimungkiri, apa yang terjadi di Temanggung merupakan fenomena menarik yang mengilhami berbagai demonstrasi pegawai publik di lain daerah.
Soliditas dan netralitas birokrasi kemudian jadi pertanyaan besar. Budaya politik Indonesia yang cenderung mengajarkan pimpinan baru untuk menggunakan staf atau pejabat baru, sehingga menyingkirkan pejabat lama (yang dipandang tak loyal), menjadi sesuatu yang sulit untuk tidak dilakukan.
Yang nampaknya aneh, hal ini kadang-kadang tidak dipikirkan oleh birokrat yang maju dalam pilkada. Risiko politik tidak pernah dikalkulasi. Yang dikalkulasi hanya risiko menang. Dengan kata lain, post power syndrome atau post pilkada syndrome tidak pernah dibayangkan sebelumnya, jika risiko kalah itu yang terjadi.
Birokrasi Terbelah
Implikasi pascapilkada yang diikuti birokrat sebagai salah satu calonnya maupun incumbent leaders (kepala daerah/wakil kepala daerah) adalah birokrasi terbelah atau minimal retak. Dalam UU Pilkada, serta ditegaskan lagi oleh otoritas pemerintah pusat, terdapat larangan birokrat atau PNS berpolitik. Tetapi dalam wacana informalitas politik, para birokrat jelas tak bisa menghindari permainan politik dalam pilkada. Apalagi jika ada birokrat yang mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat.
Akibat lebih jauh, birokrasi (di bawah permukaan) terpola dalam berbagai faksi yang berafiliasi ke pasangan tertentu. Secara formal, kondisi ini akan berakhir setelah pelantikan pejabat politik terpilih. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperbaiki soliditas birokrasi sebagai imbas dari politisasi selama berlangsung pilkada.
Apa yang terjadi di beberapa daerah yang telah melaksanakan pilkada, seperti Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Purworejo, Blora, Wonosobo, dan sebagainya, menunjukkan persoalan soliditas bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Formalitas politik yang ditunjukan melalui demonstrasi di Kendal, dan mundurnya Sekda Kota Semarang Saman Kadarisman yang juga mantan penjabat wali kota, sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Artinya persoalan internal yang dihadapi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terpilih sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.
Banyak ahli menyatakan, hal ini sebagai ''luka politik'' pascapilkada. Ada kecenderungan potensi birokrat ke depan akan terus terlibat dalam proses politik pilkada. Karena itu, dibutuhkan political therapy yang memungkinkan profesionalisme birokrasi lokal tetap terjaga. Hal ini berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih harus mempunyai keterampilan politik dalam mengelola persoalan soliditas dan komitmen birokrasi.
Bukan rahasia lagi, bahwa menyelesaikan persoalan internal birokrasi tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan kekuasaan. Lebih dari itu, diperlukan berbagai upaya dan pendekatan multidimensional yang memungkinkan pengembalian peran birokrasi ke tugas pokok fungsinya sebagai pelayanan publik.
Dalam konteks seperti ini, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah semestinya banyak menggunakan rasionalitas dan profesionalisme dalam menata kembali fungsi dan peran birokrasi. Itu berarti mereka harus mampu mengatur irama dalam mengelola pemerintahan.
Salah satu saran paling penting dalam hal ini adalah agar kepala daerah/wakil kepala daerah tidak tergesa-gesa mengganti pejabat-pejabat yang ada di dalam lingkungan kekuasaannya. Keuntungan yang diperoleh cara ini antara lain adanya image publik bahwa pemimpin terpilih tidak mendasarkan diri pada aspek dendam dalam mengelola pemerintahan.
Kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih juga memiliki cukup waktu untuk melakukan proses perenungan dan mempertimbangkan berbagai hal mengenai apa, siapa, dan bagaimana seorang pejabat di bawahnya mesti diganti. Proses ini juga memungkinkan kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat masukan dari berbagai pihak, sekaligus menguji secara langsung kapasitas pejabat publik yang hendak dipromosikan.
Pada sisi lain, birokrasi dengan semua jajarannya akan merasa welcome apabila pemimpinnya mau mendengar masukan dan saran dari anak buahnya, bertindak dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa (grusa-grusu), dan berbagai tindakan lainnya yang memungkinkan proses organizational learning (pembelajaran organisasi) bisa berjalan dalam suatu daerah.
Dengan demikian, aspek kepemimpinan yang berlandaskan profesionalisme, kedewasaan (maturity) dan kesungguhan merupakan salah satu modal dasar yang harus dimiliki setiap kepala daerah serta wakil kepala daerah. Kasus kepemimpinan Bupati Temanggung barangkali merupakan salah satu cermin yang menarik, yang bisa digunakan sebagai pelajaran untuk memperbaiki kualitas dan profesionalisme birokrasi kini dan mendatang. (32)
--Drs Teguh Yuwono MPol Admin, analis kebijakan dan manajemen publik, dosen FISIP Undip Semarang.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/11/nas12.htm5:31
0 comments:
Posting Komentar