Jumat, 19 November 2010

Coffee Lover

Tak ada cerita istimewa di balik kisah ‘cofee lover’-ku. Aku bukan kreator campuran kopi yang istimewa. Aku juga bukan penulis artikel makanan dan minuman terkenal di tabloid atau majalah kuliner di ibu kota. Aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan lebih suka politik. Aku orang biasa.

Cerita di balik ‘cofee lover’ku adalah ketegangan otak dan kebosanan atas hiburan-hiburan yang ada di televisi. Bagiku kopi itu adalah keindahan, sementara ‘stress reducer’ berupa pacaran, nge-game, tidur berlebihan dst adalah ‘stress reducer’ yang sama sekali tidak indah. Apalagi kalau dibandingkan dengan drugs, sex, alcohol, gambling, beting dll.

Cerita di balik ‘cofee lover’ ku adalah tentang buruh kopi, petani kopi, modal petani kopi, pengepul kopi, buruh pabrik kopi, karyawan pabrik kopi dan daya saing kopi Indonesia di dunia internasional. Setiap yang ada di depanku tidak boleh hanya kulit. Aku harus paham juga kulit ari, otot-otonya, urat-urat yang mengalirkan darah, tulang-tulang rawan yang menjaga persendian sampai ke tulang-tulang dan zat-zat di dalam sum-sum tulangnya. Intinya setiap hal kupahami bukan sekedar lahiriah-nya saja tetapi yang tidak terlihat (padahal keberadaaannya pasti) pun aku kenali juga. Ini bisa dan tidak mustahil diterapkan di setiap segi kehidupan. Bukan hanya soal kopi. Permasalahan orang tua marah, suporter bentrok, remaja-remaja banyak yang hamil di luar nikah, Gayus liburan ke Bali sampai ke hal-hal kecil seperti mahalnya tempe, tahu dan gorengan.

Bagi saya ini bukan kecerdasan emosional semata. Bagi saya ini bukan gaya khas politisi dan dosen-dosen ilmu sosial. Bagi saya ini bukan hanya sekadar pengamatan sosial dan cara pandang komprehensif. Ini cara pandang agama !

Anda pasti kaget ? Minimal anda bingung.

Di dalam Al Qur’an ayat 3-4 surat 2, orang-orang yang yakin (beriman) memiliki beberapa indikator. Salah satu indikator adalah yakin pada yang ghaib. Dalam terminologi agama, ghaib yang utama diduduki oleh iman pada Tuhan, hari akhir dll. Semua ‘pihak’ itu ghaib bukan karena mereka tidak bisa dijangkau indra manusia tetapi karena belum diizinkan oleh Tuhan untuk terjangkau oleh indra manusia. Posisi mereka hampir mirip kata ‘orang ketiga’ dalam khasanah bahasa Indonesia. Sebagai intermezo, bahasa Arab untuk orang ketiga dalam ilmu nahwu adalah ‘ghaib’.

Artinya, kalau aku ingin jadi manusia yang baik di hadapan Tuhan, dalam hal keyakinan (agama) aku harus yakin esksistensi (iman) ‘pihak-pihak’ yang ghaib itu.

Artinya, kalau aku ingin jadi manusia yang baik di hadapan Tuhan, dalam urusan dunia aku juga harus paham dan mampu menelusuri keberadaan setiap hal ‘ghaib’ dalam urusan dunia. Karena dunia adalah tempat untuk ‘bercocok tanam’ kebaikan dan kemakmuran bagi manusia, maka aku juga harus paham ke ‘ghaib’an dunia. Aku harus paham bahwa setiap perbuatan ada unsur-unsur lain yang pengaruh-mempengruhi. Ketika aku beli satu sachet kopi instan, aku sadar aku sedang membeli keringat petani kopi, lelah badan buruh pertanian kopi, pengorbanan pengepul kopi, kepatuhan karyawan pabrik kopi, manajer pabrik kopi, pemilik saham pabrik kopi, pajak pertambahan nilai kemasan kopi dll. Dari demikian panjang pihak-pihak ‘ghaib’ yang terlibat, berapa rupiah kira-kira yang masuk ke kantong petani atau buruh kopi ? Ingat, buruh dan petani adalah pihak yang paling lemah sekaligus paling banyak jumlahnya di negeri ini. Kira-kira dari rupiah itu masyoritas masuk kemana ? Dari situ saja kita bisa paham kondisi petani dan buruh kita.

Anda mungkin bertanya buat apa aku mengetahui hal-hal seperti itu. Aku hanya belajar dari itu semua. Goal dari pembelajaran itu aku akan belajar ramah, simpati, mau menghibur dan menjadi tetangga yang baik bagi tetangga-tetanggaku yang kebanyakan petani. Itulah wilayahku. Jangan tanyakan regulasi, kebijakan pemerintah, anggaran Kementerian Pertanian dll. Itu semua akan kujawab kalau aku jadi Presiden atau Menteri.
Tapi, rasanya mustahil aku jadi salah satu dari dua itu.

____
Sore ini ada dua gelas di meja komputerku. Selain buku-buku, sebuah kamus, sebuah pensil berwarna oranye, satu set speaker aktif tua, 3 buah flash disk rusak dan sebuah flashdisk yang masih berfungsi; dua gelas itu menambah keramaian mejaku. Meja kompuerku memang tidak terlalu rapi. Aku juga jarang membersihkannya. Aku merapikan mejaku bukan dalam rangka kebersihan. Aku merapikannya sekadar membuktikan bahwa aku mau dan pernah membersihkannya.
Mungkin orang bilang aku pemalas. Aku memang pemalas sampai aku mau berbuat sesuatu. Pemalas hanya keadaan sementara. Bahkan kata ‘pemalas’ pun tidak berlaku tetap. ‘Pemalas’-ku bukan seperti ‘petinju’ dalam kata “Chris John menjadi petinju terbaik di Indonesia saat ini”. “Pemalas”ku seperti kata ‘pemukul’ dalam kata “Seorang pemukul artis diamankan polisi setelah artis yang bersangkutan melaporkan kawan satu band-nya itu ke Polres Jakarta Pusat”.

Stop soal malas.

Hari ini aku sudah menghabiskan 2 gelas kopi. Aku memang penikmat kopi. Kebetulan dua kopi yang hari ini kunikmati adalah kopi instan buatan pabrik. Artinya, dalam satu sachet kopi itu sudah ada krim dan gulanya.
Pkc# November 17, 2010

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons