Rabu, 12 Desember 2012

kanvas

Sembilan puluh sembilan tahun yang lalu, di kota Arles yang sunyi, ia memotong kupingnya untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dua tahun kemudian, ia menombak perutnya sendiri, di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di kota Auvers. Tiga puluh enam jam setelah itu Vincent van Gogh mati.

Ia mati tak punya apa-apa dalam usia 37, tapi di tahun 1987 ini, hampir seabad kemudian, sebuah lukisannya dilelang dan dibeli oleh perusahaan asuransi Yasuda di Tokyo dengan Rp 65 milyar. Itu kurang lebih sama seperti harga 500 buah mobil Mercedez Benz. Majalah Eksekutif pun menyebut lelang lukisan Bunga Matahari karya Van Gogh di London sebagai ”lelang terbesar abad ini”. Riwayat Van Gogh memang penuh kejadian yang layak untuk sebuah biografi hebat, dan tak aneh bila 30 tahun yang lalu Kirk Douglas memainkannya (dengan sejumlah bumbu Holywood) dalam Lust for Life. Tapi apa yang luar biasa? Orang telah terbiasa dengan cerita anekdotis tentang seniman yang hidup gila-gilaan dan aneh dan berantakan: kita sudah menonton Amadeus atau mendengar tentang Chairil Anwar yang makan sate mentah dan mati muda.

Seniman, agaknya, telah menjadi semacam keistimewaan – punya semacam privilese untuk tak dinilai dengan ukuran orang biasa. Saya tak tahu persis darimana dan sejak kapan semua itu berasal. Kakek nenek kita di kampung dulu rasanya tak pernah mengenal seniman sebagai kategori tersendiri. Buku Umar Khayam yang menarik, Semangat Indonesia, satu rekaman selintas tentang kehidupan kesenian rakyta di Indonesia, menunjukan bagaimana orang membuat seni (di Nias, di Bali, di pedalaman Irian) bukan hanya untuk ”keindahan” melainkan bagian dari alat kerja dan upacara – tanpa tepuk tangan.

Tapi mengapa Bunga Matahari Van Gogh ternyata dibeli orang dengan Rp 65 milyar? Kenapa orang tak datang saja ke museum Van Gogh di Amsterdam, yang necis dan penuh cahaya di musim panas, atau membeli reproduksinya – cukup bagus – dengan harga tak sampai Rp 10 ribu?

Jawabnya, mungkin: ada manusia yang memang tak cuma kepengin benda-benda yang akhirnya bisa diraih oleh banyak orang, betapapun mahalnya. Ia juga menginginkan sesuatu yang oleh seorang ahli ekonomi disebut sebagai ”kekayaan olirgakis”, yakni hal-hal yang, saking langkanya akhirnya hanya bisa dimiliki oleh satu dua pribadi, walaupun orang lain mampu membelinya. Ironi Van Gogh ialah bahwa ia, yang bermula denga melukis petani miskin di Borinage, kemudian menjadi unsur dalam kekayaan olirgakis itu.

Tapi untunglah: keindahan tak cuma hadir dalam sebuah lukisan seharga sekian puluh milyar. Kita toh bisa melihat ada yang indah pada etalase toko Esprit di Singapura, stempel karet di kaki lima Malioboro, sampul kaset musik jazz Chandra Darusman – pada segala sesuatu yang sehari-hari, yang sementara, yang sepele. Bukankah di Bali juga keindahan didapat pada patung keramik yang besok mungkin pecah?

Memang – dan sejumlah seniman, dengan semangat besar, mengukuhkan itu, ketika mereka mengumumkan diri sebagai Gerakan Seni Rupa Baru, dan dalam sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki yang menarik, memaparkan iklan dan stiker dan kalender dan kaus oblong dari sembarang pojok. Tak berarti ada sesuatu yang baru dalam pendirian mereka. Penulis kritik seni Bambang Budjono, misalnya, bisa menyebutkan bahwa di tahun 1938 sebuah pameran para ”ahli gambar” Indonesia, diikuti juga oleh pelukis poster bioskop – suatu bukti, agaknya bahwa, di Indonesia, sejak dulu, orang memang bisa berkesenian tanpa merasakannya sebagai suatu privilese. Orang bisa berkesenian dengan cara yang sangat ringan: sebagian dari hidup yang biasa dan tidak menakjubkan.

Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli elite –terutama elite sosial, yang di Indonesia kini nampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi ”orang sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkisnya sendiri, apapun kriterianya: lukisan ”Gerilya” S. Soedjojono bagi saya lebih menggetarkan ketimbang lukisan ”Jaka Tarub” Basuki Abdullah. Iklan dalam majalah Interview Andy Warhol lebih memukau ketimbang iklan ribut pabrik kaset ”JK Records” dalam Tempo. Singkat kata, yang satu punya tingkat yang berbeda dibanding yang lain. Di sini, tak ada perlakuan yang sama. Di sini, apa yang disebut ahli sosiologi Daniel Bell sepuluh tahun yang lalu sebagai ”The democratization of genius” – lahir dari semangat ”kerakyatan” dalam kesenian barat yang meledak di tahun 1960-an – menjadi hal yang mustahil.

Sebab ”demokratisasi kejeniusan” berarti peniadaan kejeniusan itu sendiri. Sementara itu, kejeniusan adalah bagian yang tak bisa ditolak dalam proses ketika manusia menciptakan kebudayaan. Kejeniusan mendorong kita ke pintu yang lebih luas. Kejeniusan itu bernama Van Gogh, yang ingin melukis terus, intens, sampai gila, seraya bertanya, ”Buat apa?”

Mungkin ia tak tahu apa jawabnya. Tapi kita tahu apa yang diberikannya kepada kita, lewat kepedihannya. Dan itu bukan sebuah kanvas seharga Rp 65 milyar.

Goenawan Mohammad # 27 Juni 1987

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons