Minggu, 30 Oktober 2011

Bunyoro

Beberapa hari saja sehabis Mao mangkat. Negeri Cina diguncang gempa. Beberapa saat sehabis Nehru wafat, sungai Gangga konon meluap.

Takhayul memang membisikkan, ada hubungan antara hilangnya seorang besar dan resahnya alam. Tuhan lebih tahu kaitan-kaitan kosmis. Tapi di dalam banyak masyarakat manusia, seorang pemimpin besar memang tak jauh dari citranya yang “memangku bumi”, “memaku alam”, “memelihara buana” – citra yang terungkap misalnya dalam pelbagai gelar kerajaan Jawa.

Seorang pemimpin yang sebesar itu kuasanya, akhirnya, menjadi andalan tunggal bagi stabilnya kehidupan bersama: kata “memangku” dan “memaku” menunjukkan itu. Ia serba bisa, serba kuasa. Pelbagai keputusan penting maupun kurang penting berasal hanya berasal dari jari telunjuk atau ujung lidahnya. Tapi dengan itu pula tampak, bagaimana masyarakat yang andalannya Cuma itu sebenarnya bukanlah masyrakat yang stabil: tak banyak, di dalam sejarah, orang yang sanggup menjadi paku jagat, jadi seorang Mao atau seorang Nehru. Pada saat seorang besar mati, sendi-sendi pun goyah.

Tapi kematian adalah hal yang tak terelakkan. Soalnya kemudian adalah: apa yang harus dilakukan.

Ada sebuah catatan ahli antropologi tentang sebeuah negeri yang terletak di wilayah Danau Victoria, di Afrika. Negeri yang disebut Bunyoro itu bukan negeri primitif. Eli Sagan, dalam At The Dawn of Tyranny, menyebutnya “masyarakat yang kompleks” : di sana, pertautan sosial tak lagi didasarkan kepada persamaan keluarga. Kesetian dan ketakutan kepada raja merupakan bentuk yang telah melewati ikatan sedarah-daging.

Pada tahap itu, umumnya semacam rasa cemas umumnya merundung kesatuan itu, karena ketenraman lama, yang dulu dirasakan orang dalam pertalian keluarga, kini tak ada lagi. Dari suasana kejiwaan itu lahirlah satu bentuk kekuasaan yang agresif, dan sekaligus defensif:tirani. Di pucuknya berperan seorang yang diharapkan hampir maha kuasa, mahamenentramkan, memaku dan memangku bumi.

Maka, ketika seorang raja Bunyoro meninggal, kesatuan itu pun seperti lepas pegangan. Orang mengharapkan munculnya seorang mahakuasa baru. Suatu cara yang penuh darah pun dilangsungkan. Para putra raja dibiarkan berperang, bunuh membunuh, hingga satu yang tak terkalahkan. Dialah yang dinobatkan.

Namun, upacara tak Cuma berakhir disitu. Pada tahap terakhir, sang perdana menteri, bamurago, mendatangi seorang pangeran muda yang tak ikut berperang. Kepadanya sang bamurago mengumumkan bahwa rakyat telah memilihnya untuk naik takhta. Si pangeran muda terpaksa mau. Sementara itu, raja yang sebenarnya datang menghadap, disertai para pembesar. Tapi ia tampak menyajikan upeti. Maka, sang bamurago pun pura-pura menyuruhnya agar mengambil persembahannya. Ketika raja yang sebenarnya pergi, perdana menteri itu pun berkata kepada si pangeran muda, “Mari lari, saudaramu itu pergi menjemput pasukan.” Lalu sang bamurago pun sang pangeran ke sebuah kamar. Bocah itu dicekik sampai mati.

Untuk apa ritus seganas itu? Dalam analisa Sagan, baik perang saudara maupun pembunuhan atas raja-rajaan itu adalah ekspresi, yang mengemukakan bahwa raja sebenarnya sesuatu yang rapuh. Ia tampil sebagai elemen mahakuasa, tapi sebenarnya diakui pula bahwa dalam prakteknya, ia tak bisa demikian. Pengakuan seperti itu, pada saat yang sama, sangat merisaukan. Maka, si bocah yang pura-pura dijadikan raja itu harus dibunuh. Bukan saja karena ia sebuah unsur palsu, tapi juga karena ia – yang memang lemah – hadir sebagai cemooh terhadap pretensi besar itu: pretensi kemahakuasaan.

Kemahakuasaan raja memang yang jadi ideal, tetapi sebenarnya keyakinan akan kemahakuasaan itu tipis betul. Suatu saat, setiap saat, keyakinan itu bisa punah. Dan ketika rasa ragu dan cemas itu begitu menyelubungi jiwa, orang pun menjadi kian ganas. Mereka ingin meniadakan kebimbangannya sendiri. Mereka membunuh segala lambang kelemahan, tiap tanda ketidakkuasaan. Di Bunyoro, sekali setahun orang melakukan upacara pencekikan seorang pangeran kecil.

Tapi tak seorang pun akhirnya bisa mengelak dari keterbatasan – biarpun ia seorang raja yang bebas berbuat apa pun. Para pemimpin yang penuh karisma, dengan kekuasaan penuh di tangan mereka, pada saatnya harus pergi, dengan atau sonder gempa bumi.

Namun, jika masyaraktnya beruntung, dari sana akan tumbuh suatu “tubuh politik” yang lain: sebuah kebersamaan yang punya pemimpin-pemimpin rutin, sebuah masyarakat yang mengakui kemungkinan sang raja untuk khilaf dan, suatu saat, tak akan di sana lagi.

17 Oktober 1987

Rabu, 26 Oktober 2011

Catatan Pinggir : Aswatama

Tiga pengendara kuda bergegas menjauh dari danau besar yang muram itu, tiga laki-laki yang tak lagi ingin bicara. Mereka tak menyaksikan sesuatu yang tak akan dengan mudah ditanggung siapapun, kecuali oleh Waktu. Perang selesai, sanak saudara punah terbunuh, tentara kalah, kekuasaan hilang.

Dan pada klimaksnya, di tepi danau Dwipayana yang tak dihuni, mereka melihat raja mereka, dengan tubuh setengah hancur, tergolek, sendiri. Duryudhana. Kesatria yang sulit dikalahkan, berkalang tanah, dibalut debu, bersimbah darah. Bhima telah menghancurkan pahanya dengan bengis, melumpuhkannya – dan para pandawa telah meninggalkannya terlantar . . .

Hanya tinggal satu perasaan yang membuat ketiga pengendara kuda itu bergerak; rasa pedih. Berpacu, mereka melintasi sisi utara Kurusetra, menembus hutan, menggunakan kembali jalan bekas yang ditempuh pasukan, dan akhirnya berhenti di sebuah bukit lebat. Dari sana, mereka bisa melihat ke bawah – ke perkemahan pasukan Pandawa dan sekutunya, orang-orang Pancala.

Aswatama yang mulai bicara. “Aku akan mengumpulkan sisa-sisa pasukan inti yang bersembunyi di jalan menuju Dwaraka – dan malam ini kita akan menyerbu masuk. Membinasakan mereka waktu tidur.

Kripa dan Kartamarma hanya diam.

“Tuan-tuan setuju?” Aswatama bertanya.

“Sebaiknya kita tidur dulu”, jawab Kripa. “Kemarahan menguasai kita kini. Besok pagi aku akan menyertaimu berperang.” Suaranya suara seorang yang lebih tua: hati-hati, bijaksana, capek.

Aswatama memandangi mereka sebentar dengan matanya yang tajam dan merah – ia dari tadi seperti menahan tangis – lalu, serasa menyadari sesuatu, ia pun mengusap rambutnya yang panjang sebahu. Pandangannya kini ke kaki bukit, suaranya seperti bergumam,”Aku tahu, Tuan-tuan tak akan menyetujui rencanaku. Tapi katakanlah bila ada rencana lain.”

“Aswatama, menjelang ajalnya, Duryudhana telah meminta kendi dan air untuk menasbihkanmu menjadi panglima perang Kurawa – dan kaulah panglima kami. Tapi kesatria tak patut membunuh kesatria lain dalam keadaan tidur, tak bersenjata.”

Antara kaget, tak percaya dan kecewa, Aswatama terbeliak mendengar kata-kata Kripa. Keletihankah yang membuat ia bicara demikian? Bermimpi semuakah mereka – dan tak bangun dari pengalaman yang begitu dahsyat? Kripa, Kripa yang bijaksana. Kripa yang fasih bicara di tengah percakapan balairung. Tak tahukah apa yang dihadapinya kini, setelah kehancuran dan kematian? “Aku mengerti kau heran mendengar jawabanku, Aswatama. Tapi kau, putra Guru Durna, tentu tahu apa yang diajarkan . . .”

Tiba-tiba Aswatama meloncat. Ia berkacak pinggang, menatap kedua kesatria itu, dan mukanya yang berkeringat makin mirip tembaga, dan suaranya gemetar: “Kau . . .” Ia tak menyelesaikan kata-kata itu. Dengan cepat ia berbalik , berjalan ke celah yang menyebabkan sinar matahari senja menyusup seperti cahaya pada kelambu. Langkahnya gugup – seakan menghindarkan suatu benturan emosi dengan malam yang mendekat.

Hanya suaranya kini yang terdengar menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari benturan itu, “Tuan-tuan, para kesatria, hendak mengingatkan aku, seorang anak pendeta tentang mana yang baik mana yang keji. Tapi musuh telah menipu ayahku, mengabarkan bahwa aku, anaknya, harapanya, telah terbunuh. Ayah putus asa, melepaskan senjata – dan Drestajumena menebas batang lehernya. Siapakah yang terbunuh oleh pengecut itu, selain seorang yang tak ingin lagi berperang? Tuan katakan seorang kesatria tak boleh membinasakan kesatria lain yang tak siap. Tak berlakukah aturan itu buat Durna, hanya lantara ia seorang brahmana?”

“Bukan demikian, Aswatama. Tapi haruskah kita – haruskah kau – juga merendahkan budi dan meniru perbuatan pengecut?”

“Seandainya aku hidup besok, seandainya ada kesempatanku, aku ingin bertanya seperti itu pada Kreshna. Ia akan memberiku dalih. Ia konon bisa menyatakan suci apa semula dianggap tak suci, ia bisa membebaskan kita dari sesal justa dan pembunuhan. Hanya dia melakukan semua itu bagi para Pandawa. Kita tak punya Kreshna, Kripa, ah, kita tak punya apa-apa kini. Agama dan petuah telah mengajariku banyak hal, tapi kematian di Kurusetra mengajariku, agama bukanlah segalanya. Aku mencium bau hutan menjelang malam. Aku tak tahu apa saja yang dikandungnya . . . “

Kripa diam, sadar: Aswatama telah memutuskan. Juga Kartamarma, yang dari tadi membisu dan bersandar di dekat kudanya. Laki-laki pucat tampan dari Istana Kuru itu juga tak punya pilihan. Memang banyak hal, Kripa, telah hancur di Kurusetra, lebih murung dari kematian Bhisma. Tiga generasi mati – juga harapan tentang kemulian dan keluhuran budi, juga sekadar kejelasan tentang apa yang benar dan tak benar.

“Bayang-bayang,” Kripa berbisik.

GM - 14 Februari 1987

Senin, 24 Oktober 2011

Aku Mahasiswa Masa Kini

Aku mahasiswa masa kini. Kaum terpelajar yang memiliki posisi tinggi di masyarakat. Tak sembarang orang bisa jadi mahasiswa dan lulus sebagai sarjana. Selalu cerdas memecahkan permasalahan dan bukan orang bodoh yang terlunta-lunta. Ilmu kami tinggi dan menjadi pertanda tingginya posisi dan jabatan kami kelak.

Aku mahasiswa masa kini. Bergaul dengan buku dan perpustakaan. Masa depan cerah adalah kepastian bagi ku. Setiap pekerjaan yang prestisius, bergaji tinggi dan membanggakan tengah menunggu kami. Maka, membaca dan mengerjakan tugas adalah keseharian kami. Kami tak mau diganggu untuk berdiskusi dan demo di jalanan. Buat apa turun ke jalan kalau hari depan tak pasti. Buat apa berteriak di depan gedung parlemen, buat apa orasi di depan polisi, buat apa berdebat dengan pejabat kampus, buat memobilisasi masa, buat apa pusing berdiskusi hingga larut malammembicarakan negara dan pemerintah? Buat apa semua itu dilakukan ? Karena besok kami harus kuliah, besok kami harus mencari kerja lalu mencari suami atau istri dan mempertahankan kebahagian keluarga. Itulah realita hidup yang akan kami songsong. Ya, kebahagian keluarga. Kebahagian keluarga yang cukup uang, rumah mapan dan mobil yang mewah lah cita-cita kami dan masa depan kami.

Aku mahasiswa masa kini. Aku rajin belajar, tapi aku juga gaul. Senin sampai Sabtu aku belajar, tapi aku punya baju model masa kini, aku hafal lagu-lagu boyband dan girlband yang sedang ngetop. Meski aku kaum terpelajar, aku juga bersosialisasi. Dan tentu saja sosialisasi yang bergaya mahasiwa. Facebook dan Twitter adalah pergaulan kami. Bahasa kami berbeda dengan pedagang asongan. Update status kami menunjukkan ke-enceran otak kami. Update status kami menunjukkan level pergaulan kami dan level uang yang kami miliki. Update status kami adalah pemberitahuan pada dunia apa yang sedang kami lakukan, sekaligus menunjukkan kami bukan warga negara kelas dua dan manusia bodoh yang hanya bisa bergelimang lumpur di pasar-pasar bau sampah.

Aku mahasiswa masa kini. Kami punya planning yang sudah dihitung target dan strateginya : kapan lulus ? kapan nikah? Kapan punya anak ? Kerja di bidang apa dan dimana? Kapan punya rumah? Bagaimana modelnya ? Berapa harganya ? Bagaimana bayarnya? Kapan punya mobil ? Apa merknya ? Apa warnanya ? Kapan ganti ponsel baru? Kapan belanja baju ? Kapan makan di tempat terfavorit di kota ini ? Kapan mencoba makan di kafe yang baru buka ? Pokoknya semua sudah secara modern, intelektual, efektif dan efesien dirancang. Itulah hidup kami yang – pastinya – terprogram dengan baik dan berkelas. Karena itu, kamilah para bunga-bunga bangsa. Para pendiri bangsa –disurga sana- pasti bangga melihat kesuksesan kami, kecerdasan kami dan bagaimana kami menjadi warga sukses di tengah masyarakat. Bila ada survey yang menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, maka itu semua adalah kontribusi kami – para kaum terpelajar. Kamilah yang menjadi penyumbang terbesar kesejahteraan bangsa. Siapa lagi kalau bukan kami ? Tidak mungkin para tukang becak? Apalagi pemulung-pemulung yang dengan bodohnya memilih memulung daripada sekolah ?

Kami mahasiswa masa kini. Jangan tanyakan soal moral kepada kami ! Kami adalah penjaga moral bangsa yang selalu berdiri paling depan bicara tentang hati nurani dan kebenaran. Kami bukan orang bodoh yang rela menukar idealisme dengan uang atau makan di tempat eksklusif. Kami bukan pelacur yang memandang keperawanan dan seksualitas adalah sesuatu yang bisa diperjual-belikan. Kami bukan orang-orang seperti itu. Kami kaum yang terpelajar sekaligus mulia, sehingga tak mungkin kami mengorbankan moral dan idealisme. Kami selalu menjunjung tinggi Tuhan dan aturan di atas kepala kami. Buktinya nilai agama kami A. Kalau ada nilai yang lebih tinggi dari “A”, kami pun amat layak mendapatkannya. Bahkan lebih dari itu, obrolan kami setiap hari adalah tentang solusi permasalahan bangsa dan isu-isu politik serta kenegaraan terkini. Kami bukan komunitas murahan yang hanya membicarakan fashion, film, sinetron atau sekadar cowok/cewek mana yang paling keren di kampus. Kami selalu menjunjung tinggi budaya dan kesopanan di mana kami tinggal. Kami selalu hormat pada tetangga-tetangga kos. Tak pernah kami membunyikan musik keras-keras di kamar-kamar kos kami. Selalu kami membantu warga sekitar membersihkan lingkungan, berpartisipasi di acara 17-an, takziyah ketika ada yang meninggal dan terlibat dalam setiap kegiatan RT, RW apalagi Kelurahan.

Indonesia pasti berterima-kasih atas apa yang kami lakukan. Jangan tanyakan masa depan Indonesia pada penjual tempe ! Jangan tanyakan masa depan negara kepada tukang becak ! Jangan tanyakan masa depan ekonomi Indonesia pada pemulung kardus bekas yang mandi dua hari sekali ! Tanyakanlah kepada kami yang wangi-wangi ini ! Tanyakanlah kepada kami yang setiap hari mulus kulit kami tak pernah lupa diolesi lotion pemutih ! Tanyakanlah pada kami yang setiap hari ke kampus, yang setiap datang memakai baju, sepatu, tas dan parfum yang berbeda-beda !

Tanyakanlah pada kami !

Karena di tangan kamilah kunci kejayaan bangsa. Bukan pada kroco-kroco yang cuma pinter orasi dan tak pernah mandi.

Merdeka !

October 17, 2011

Kamis, 20 Oktober 2011

Adiluhung

Tuan Adigang hidup di sebuah rumah ber-AC sentral yang sejuk, naik Mercy Tiger dan mengenakan arloji Rolex Oyster. Tapi ia, yang nama lengkapnya Drs. Adigang Adigung Adiguna, juga mengagumi Ronggowarsito.

Baginya, pujangga Jawa abad ke-19 itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya di tahun 1987 yang baru berakhir ini. Ronggowarsito, katanya suatu ketika, adalah puncak kebudayaan. Dia menunjukkan sesuatu yang adilihung.

Anda tahu apa arti adiluhung? Bila orang yang diajaknya bicara tak tahu, Tuan Adigang akan dengan cepat mengutip kamus Jawa-Inggris susunan Elinor Clark Horne, terbitan Yale University Press tahun 1977. Kata itu berarti of outstanding quality, atau highly esteemed. Suatu sifat yang menunjukkan ketinggian mutu, keindahan dan kehalusan, juga keluhuran.

Itulah proses terakhir suatu seni dan budaya, kata Tuan Adigang suatu ketika. Sesuatu yang klasik. Sesuatu yang harus dijaga, karena ia dapat melindungi pribadi kita dari segala hal yang dekaden, kampungan, kasar, yang hanya memenuhi nafsu-nafsu rendah, seperti nampak pada kebudayaan modern, yang sensual murah dan hiruk pikuk.

Anda mungkin akan bertanya: apa yang adiluhung pada Ronggowarsito ? Apa yang klasik? Jika itu berarti karya Ronggowarsito adalah karya lama yang tetap menggugah, bukankah Ronggowarsito hidup dan menulis tiga abad setelah Shakespeare, dalam zaman ketika manusia sudah mengenal kapal api dan terusan besar dan gerakan sosialisme internasional? Dengan kata lain, tidakkah sang penyair Kalatida juga termasuk kurun modern”?

Tapi, tentu saja, Tuan Adigang bisa menjelaskan; kemodernan bukanlah sekadar soal catatan tahun. Kemodernan (yang bagi Tuan Adigang hampir sama dengan kemerosotan mutu, jika itu, “menyangkut dunia rohani”, katanya) adalah masalah pandangan. Dalam hal ini, Ronggowarsito bukan sembarangan. “Coba saja baca tulisan-tulisannya,” kata Tuan Adigang. “Tidak sembarang orang bisa menafsirkan isinya, isyarat dan ajarannya.”

Tulisan Ronggowarsito, seperti banyak karya sastra Jawa abad lalu, memang tak mudah dipahami. Bentuknya, yang berupa tembang, tersusun dalam serangkaian kata yang sulit. Jadi, Tuan Adigang benar. Dan rupanya orang mudah menganggap ketidakmudahan itu sebagai sesuatu yang mengandung misteri, dan misteri berarti kegaiban, dan kegaiban berarti kesaktian. Ronggowarsito pun menjadi legenda.

Maka, sebagai legenda, ia pantang ditelaah dengan analisa yang kritis. Ia bahkan tak lagi dianggap orang normal. Pernah sebuah harian memuat diskusi cukup panjang, setengah meragukan bahwa Ronggowarsito, suatu ketika dalam hidup, pernah berhutang.

Tak bisakah kita menyalahkan itu semua, juga Tuan Adigang? Ia bukan Purbatjaraka. Guru besar ini, yang begitu intim dengan kesusastraan tradisional, mungkin satu-satunya orang Jawa yang berani mengecam, dengan keras tapi dingin, karya Ronggowarsito. Baca, misalnya, Kasustraan Djawi, telaah Purbatjaraka yang terbit sekitar 30 tahun yang lalu. Purbatjaraka memandang Ronggowarsito cukup sebagai seorang pengarang – dan itu saja.

Kemudian adalah seorang wanita bernama Nancy K. Florida. Ia seorang peneliti Amerika yang beberapa tahun lalu menelaah karya-karya sastra Jawa. Baru-baru ini ia menulis sebuah esei yang menarik tentang sikap umum di masa kini terhadap kesusastraan Jawa tradisional. Florida, dalam Majalah Indonesia terbitan Cornell University nomor Oktober yang lalu, menunjukkan bagaimana sebuah kesusastraan akhirnya hanya jadi sebuah “jimat yang berdebu”, a dusty fetish : dianggap begitu luhur hingga tak hendak dibaca.

Akibatnya ialah sebuah kekeliruan yang bisa lucu. Florida suatu ketika menunjukkan satu contoh karya Ronggowarsito kepada seorang mahasiswa Solo, yang ingin menyanyikan suatu tembang tradisional dengan diiringi gitar – mungkin mengikuti kreasi Gombloh. Tembang itu diambil Florida dari Serat Jayengbaya. Si mahasiswa tak selesai membacanya karena tergelak-gelak. Isi tembang itu adalah sebuah cemooh yang ganas dan terang-terangan, tentang guru yang berlagak pintar dan tentara yang berlagak berani. Sang pujangga adiluhung ternyata juga seorang yang bisa kocak, dan cukup kasar. . . .

Tapi memang buat apa sebenarnya mengangkat kesusastraan jadi bagian dari sesuatu yang adiluhung, ketika itu berarti seperti mutiara pada tajuk: elok tapi beku? Bagi Tuan Adigang, jawabannya mungkin khas untuk orang seperti dia masa kini : Ronggowarsito juga seperti arloji Rolex Oyster dan sedan Mercy Tiger. Ia sesuatu yang tak mudah diraih orang lain, sesuatu yang menjaga statusnya, dan sebab itu harus dijaga pula. Kalau perlu dengan legenda.

2 Jan 1988

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons