Sabtu, 12 Mei 2012

hwang

”Saya tak tertarik jadi pahlawan,” kata dokter itu.

Mungkin tidak. Tapi pada suatu malam Korea yang dingin di bulan Januari 1987, dokter itu, Hwang Juck-Joon, menyaksikan sesuatu yang harus disaksikan dan menemukan sesuatu yang kemudian akan mencelakakannya. Polisi memanggilnya. Ia diminta memeriksa jasad seorang mahasiswa berumur 21 tahun. Anak muda itu mati ketika sedang dalam pemeriksaan polisi.

Hwang Juck-Joon – ia salah satu dari sedikit ahli patologi di Korea Selatan – memang waktu itu bekerja di Lembaga Nasional Penyelidikan Ilmiah, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam posisinya di situ, ia secara rutin diminta oleh pihak kepolisian untuk membantu mereka dalam menjejaki kejahatan.

Ketika malam itu ia harus memeriksa tubuh mahasiswa yang mati itu, ia menemukan adanya pendarahan di dalam. Kesimpulannya: anak muda itu, Park Jong-Chul, seorang aktivis yang terlibat dalam pelbagai demonstrasi, mati karena siksaan.
Park, yang oleh interogator polisi sedang diusut ”hubungan-hubungan politiknya”, dengan jelas tewas tercekik. Yang rupanya mengherankan dr. Hwang ialah apa yang diumumkan oleh pihak berwewenang mengenai kematian Park Jong-Chul ternyata tidak sama dengan hasil penemuannya. Menurut pengumuman resmi, si mahasiswa ”mati karena syok.”.

Tapi ada yang tidak bisa ditidurkan dalam diri Hwang. Mungkin itu yang disebut nurani. Dokter yang berumur 40 tahun itu, yang umumnya bukan orang suka merecoki lembaganya, kemudian berbisik kepada seorang temannya, seorang wartawan, tentang apa sebenarnya yang ditemukannya di malam dingin Januari itu.

Dr. Hwang – menurut pengakuannya kemudian – tak menduga bahwa temannya, sang wartawan, akan memuat kesaksiannya. Ia mengira bahwa semua hal yang diungkapkannya tentang kematian Park Jong-Chul hanya akan dicatat sebagai rekaman historis.

Tetapi temannya rupanya berpendapat lain: sebab-musabab kematian Park yang sebenarnya harus dibongkar. Bagaimana pun pembunuhan telah terjadi. Kesewenang-wenangan yang penuh kekerasan telah dilakukan terhadap seorang yang tak berdaya. Apa yang menimpa dengan ngeri hari ini pada Park – jika dibiarkan begitu saja – pada suatu hari nanti akan bisa terjadi pada siapa saja, dan akan didiamkan juga seperti biasa.

Lalu tulisan itu pun terbit. Dan ketika hasil kesimpulan yang sebenarnya dari hasil otopsi akhirnya tersiar luas, masyarakat pun tahu: pihak yang berwewenang bukan saja telah membunuh warga negara. Mereka juga telah berdusta kepada khalayak ramai. Tak ayal – demikianlah tulisan Clyde Haberman dalam International Herald Tribune – suatu lingkungan protes pun terciptalah. Terutama dari kalangan menengah. Dari sini gelombang demonstrasi berkecamuk, melingkar-lingkar, tak putus-putusnya.

Untung, pemerintah Korea Selatan, di bawah Presiden Chun Doo-Hwan, bukanlah pemerintah batu. Suatu penyelidikan dilakukan untuk mengusut sebenarnya apa yang terjadi pada Park Jong-Chul. Di sini barangkali dr. Hwang juga dimintai keterangan. Akhirnya pemerintah pun mengakui: Park mati karena disiksa polisi. Selama anak muda ini diperiksa, kepalanya dimasukkan ke dalam bak air berkali-kali. Suatu ketika tenggorokannya terjepit ke tepi bak itu. Park tercekik, dan bagian dalam leher retak. Ia tewas.

Para pembunuhnya kemudian dihukum. Lima polisi yang menjalankan interogasi terhadap Park dipenjarakan antara 5 dan 15 tahun. Direktur jenderal yang memimpin markas besar kepolisian, Kang Min Chang, dijatuhi hukuman dengan masa percobaan karena menyuruh bawahannya menutupi-nutupi kasus ini.

Itu semua tak menyebabkan dr. Hwang dimaklumkan sebagai pemenang. ”Saya harus mengundurkan diri,” katanya. Ia telah menyebabkan para atasannya kehilangan muka, dan, menurut etik masyarakatnya, ia tak bisa terus bekerja di kantor itu. Juga ia takut. Tiap hari toh ia harus berhubungan dengan polisi, karena tugasnya. Dan Hwang merasa terancam. Ia sering menerima telepon yang menggertaknya, hingga ia harus berganti nomor telepon – dan berhenti bekerja. Ia kini menganggur.

”Saya tak tertarik jadi pahlawan,” katanya. ”Terus terang, mungkin saya ini orang yang dungu.”
Barangkali ia seorang yang dungu, dalam arti orang yang tak memikirkan akibtanya bagi nasib sendiri ketika ia harus mendengarkan hati nurani yang berdegup keras-keras. Tapi bersalahkah Hwang, jika ia jadi contoh yang rendah hati bahwa masih ada jiwa yang begitu mulya ditengah ketakutan ?

Dia mungkin bukan pahlawan. Pemerintah Chun yang mengoreksi dirinya sendiri dengan cepat juga bukan pahlawan. Tapi baik sang dokter maupun sang presiden – sengaja tak sengaja – telah mengangkat bangsa itu ke suatu taraf yang lebih tinggi. Hwang jadi penganggur dan pemerintah Chun akhirnya jatuh. Tapi kini siapa bisa mengatakan bangsa Korea bukan bangsa yang tangguh di hadapan kebenaran?

Goenawan Mohammad # 25 juni 1988

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons