Jumat, 16 Maret 2012

Hukum VS Hukum

kpk,gedung kpk,ketua kpk,logo kpk
Judul yang aneh memang. Namun, akan saya awali tulisan ini dengan mengingat lagi tayangan ILC (Indonesian Lawyer Club) minggu ini. Tayang Selasa 13 Maret 2012. Acara ini diawali dengan tanya jawab Karni Ilyas (sang host) dengan Anwar Fuady (artis) yang pernah menyatakan diri siap jadi Presiden. Konon sang artis baru menyelesaikan pendidikan S2 hukum. Jadi, (iseng-iseng) Karni Ilyas ngetes keilmuan sang artis. Pendek kata saya langsung ganti channel lain karena sang artis gelagapan di tanya soal tingkatan hukum pidana di Indonesia (kalau ngga salah itu pertanyaannya). Ngga tahu kenapa saya yang jadi merasa malu, padahal rumah saya dan Jakarta terpisah ratusan km.


Saya ingin bertanya; mengapa harus ada hukum? Mengapa harus ada sekian ribu halaman UU dan aturan yang dapat mengakibatkan seseorang dipenjara karena melanggarnya?

Silahkan anda jawab. Tapi, tolong jangan jawab; karena ada banyak orang jahat. Atau untuk menjaga ketertiban. Sebab, tidak ada orang jahat kecuali setelah dituntut di muka pengadilan.

Pagi ini ada diskusi di TVOne tentang KPK yang konon sedang terpecah belah. Bony Hargen (seorang pengamat politik muda) dengan semangat mempertanyakan kesolidan KPK karena lima ketua KPK saling bertentangan dan bahkan sampai ada yang banting gelas. Inilah yang dipertanyakan Bony. Karena - menurut Bony - ini menunjukkan adanya ketidaksepakatan terhadap kebenaran. Artinya, ada komisioner KPK yang membela 'bandit-bandit' politik (istilah ini juga saya pinjam dari Bony).

Namun, menurut M. Yasin (mantan Ket. KPK) dan Nasrullah (pakar hukum) itu hal biasa. Pertentangan itu adalah hal biasa. Secara hukum pertentangan antar Ketua KPK tidak bernilai. Maksudnya, tidak ada kejahatan yang dilakukan kelima Ketua KPK. Karena menurut UU begitulah cara KPK mengambil keputusan. Meskipun dari masing-masing ketua punya pandangan terhadap suatu masalah, maka setelah satu keputusan diambil itulah yang benar. Benar dari sisi cara pengambilan keputusan dan dari sisi isi keputusan itu sendiri.

Itulah yang dipertanyakan Bony dan dipertahankan oleh M Yasin dan Nasrullah. Bony bertanya dan mengkritik secara sosial dan moral, sementara M Yasin dan Nasrullah mempertahankan membela secara hukum dan norma aturan yang ada, sebab hukum adalah untuk hukum.

Benarkan kalau membahas hukum harus selalu berdasarkan hukum? Dan haram dianalisis secara sosial, moral, budaya, psikologis atau sosiologis ?

Menurut saya, tidak bisa hukum dianalisis melulu pakai pisau analisis hukum. Johan Budi (jubir KPK) yang ikut dalam diskusi itu pun membela KPK dengan analisis sosial dan sosiologis. Ia mengatakan "tidak mungkin KPK tidak ada yang harus diperbaiki". Artinya, setiap lembaga pasti ada kesalahan satu atau dua. Ini 100% adalah komentar beradasarkan analisis sosial dann sosiologis. Secara hukum, pernyataan ini tidak ada artinya karena kesalahan harus setelah dibuktikan di pengadilan atau dengan jelas melanggar suatu aturan tertulis. Sehingga bila tidak ada yang ketahuan atau diproses hukum sama saja tidak ada pelanggaran hukum.

Inilah ke-tidak-konsistenan yang saya amati. Ketika mempertanyakan kritikan Bony, M Yasin, Nasrullah dan Johan Budi menyerang dasar analisis yang bersifat sosiologis, namun ketika berargumentasi ia tidak bisa murni 100% hukum positif semata.

Benang Merah
Manusia tidak memerlukan hukum. Karena manusia diciptakan bukan sebagai penjahat. Hukum muncul ketika kejahatan menjadi terorganisir. Ketika penjahat 1 atau 2 orang keputusan pemimpin itulah hukum. Darimana asal 'hukum' yang diputuskan sang pemimpin. Bisa dari nilai kelompok, pikiran pribadi pemimpin, adat dst. Dasarnya bisa banyak sekali. Artinya, hukum itu berasal dari kebijaksanaan manusia itu sendiri. Bila ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lain, keputusan hukum tersebut diragukan kebenarannya.

Keputusan Kolegial
Sistem kolegial dibuat untuk mengawasi keputusan Ketua KPK. Padahal, pengawasan dan membuat keputusan adalah dua hal yang berbeda. Keputusan kolegial tidak lebih efektif dan efesien daripada keputusan oleh pemimpin tunggal. Logikanya sama dengan analogi bahwa "Tuhan tidak mungkin lebih dari Satu".

Senin, 12 Maret 2012

Khotbah

Khotbahnya keras. Dicercanya para wanita, yang mempertontokan kecantikan tubuh dan wajah. Dikecamnya para bankir, yang memungut ”riba” dari utang. Dihantamnya penguasa, yang ia sebut ”para tiran”. Mereka ini ”mencintai ”puji-pujian”, katanya, dan ”tak mendengarkan kaum yang melarat”.

Kota Firenze, menjelang akhir abad ke-15, bergetar oleh suara padri dominikan itu, Girolamo Savanarola.

Kota itu sendiri sebuah negeri yang paling sibuk dan berseri di Italia. Dari sinilah, kata ahli sejarah, zaman Renaissance bermula. Penduduk yang 100.000 jiwa itu memang dalam taraf ”maju”: seperempat dari jumlah itu bekerja sebagai buruh industri. Ada 200 pabrik tekstil di sana, dan seorang penulis sejarah mengatakan bahwa memasuki tahun 1300, Firenze sudah suatu contoh kapitalisme dengan investasi yang besar.

Untuk meluaskan pasar, misalnya, Firenze membuka perwakilan sampai ke Persia dan Tiongkok. Untuk membiayai usahanya seluas itu, sudah ada 80 bank. Pendapat pemerintahnya, di tahun 1400, lebih besar ketimbang pendapatan Inggris di masa gemilang Ratu Elizabeth I.
Tapi di Firenze itu, seperti halnya di mana pun, kekayaan itu mengandung cacatnya sendiri: tak semua berkesempatan menikmatinya. Di bawah lapisan bankir, pemilik pabrik, pedagang dan kaum profesional, yang bergabung di dalam 21 gilda, hidup mendekam kaum popolo minuto, orang-orang kecil. Mereka buruh yang bersatu dalam serikat kerja, tapi tak punya hak pilih, atau pekerja yang dilarang berserikat, dan sebab itu hidup dalam kemelaratan yang bisu.

Apa boleh buat. Kekuasaan, akhirnya, hanya jadi urusan yang kaya dan, karena itu, berpengaruh. Toh Firenze bernasib baik, ketika dari kalangan ini muncul sebuah dinasti: keluarga Medici.

Keluarga ini, sejak mereka memegang tampuk jabatan eksekutif, punya pandangan yang lebih luas ketimbang sekadar kepentingan sesaat. Kekuasaan medici berani mengenakan pajak yang lebih berat bagi si kaya, biarpun mereka sendiri terkena beban. Di bawah kepemimpinan Cosimo de’ Medici dan cucunya, Lorenzo, Kota Firenze mendapatkan satu hal lain: pengetahuan dan kesenian, yang dipupuk dengan dana yang dermawan.
Dari situlah pikiran bebas dan kegembiraan hidup menyeruak. Zaman Renaissance pun lahir, menggerakkan Firenze, menggerakan Italia, kemudian Eropa, ke seluruh jagat. Di Firenze kaum humanis tampil: para terpelajar yang mengagumi filsafat dan seni Yunani serta Latin sebelum Kristen – dan memandang ajaran agama dengan hati yang ringan. Sebab, bagi kaum humanis (dari kata umanisti), adanya filsafat dan sastra Yunani yang sedemikian tinggi adalah bukti: ternyata manusia bisa hidup dengan ikhtiar spiritual yang mengagumkan di luar Injil.

Toleransi tumbuh. Kitab suci bukan satu-satunya alternatif. Zaman itu adalah zaman bagi tokoh seperti Pico: seorang aristokrat tampan, juga seorang pemikir yang cerah, yang menelaah puisi dan arsitektur, menyukai pemikiran Yahudi dan Arab, yang mencoba mendekatkan Yudaisme, agama Kristen, dan Islam, dan menulis tentang Tuhan yang menciptakan Adam sebagai makhluk untuk menjalankan pilihan bebas.

Pembebasan itu, pada saat yang sama, juga pengenduran di sisi lain. Ketika doktrin agama tak lagi mencekam, ikatan akhlak yang ada juga tidak lagi mutlak. Moralitas melonggar – terutama ketika Firenze menikmati kemakmuran ekonomi di bawah kekuasaan Lorenzo de’ Medici. Negeri itu hidup dengan parade dan festival, dengan sajak yang satiris dan puisi yang erotis. Lorenzo sendiri, seorang penyair ulung, menulis nyanyian yang berseru: ”Panjang umur Dewa Anggur, hiduplah hasrat hati!”
Menghadapi semua itu hiduplah Savanarola dengan khotbahnya. Ia memang tokoh yang agak aneh buat zaman yang riang itu. Namun, zaman Renaissance, betapapun juga, sebuah masa peralihan : orang baru ”merdeka” dengan rasa bersalah dan ketidakpastian dalam hati. Savanarola memberikan kepastian. Ia juga membebaskan orang dari ketakutan berdosa. Ia menyerukan pertobatan: kembali ke kitab suci.

Orang pun mendengar. Dan ketika kekuasaan Medici suatu saat mengalami krisis, orang ramai bahkan mengangkat Savanarola ke pucuk kekuasaan. 500 tahun sebelum Iran, di Firenze, seorang rohaniawan memimpin sebuah republik yang angker: di sana bukan Cuma judi yang dilarang, tapi juga lagu-lagu tertentu. Di sana sejumlah pemuda jadi polisi susila, yang bisa merobek pakaian wanita yang mereka anggap tak sopan. Di sana seorang yang dituduh menghujat Tuhan bisa ditusuk lidahnya dan di sana Yesus Kristus dianggap sebagai Kepala Negara.

Sejarah kemudian mencatat bahwa republik yang alim itu hanya berlangsung sejak 1495 sampai 1498. Banyak faktor menyebabkan Savanarola – yang menentang Paus – akhirnya jatuh. Tapi satu hal jelas: setelah ia meninggal di api pembakaran, Firenze kembali melanjutkan eksperimennya dengan kebebasan. Hingga kini.

24 Oktober 1987

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons