Rabu, 12 Desember 2012

kanvas

Sembilan puluh sembilan tahun yang lalu, di kota Arles yang sunyi, ia memotong kupingnya untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dua tahun kemudian, ia menombak perutnya sendiri, di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di kota Auvers. Tiga puluh enam jam setelah itu Vincent van Gogh mati.

Ia mati tak punya apa-apa dalam usia 37, tapi di tahun 1987 ini, hampir seabad kemudian, sebuah lukisannya dilelang dan dibeli oleh perusahaan asuransi Yasuda di Tokyo dengan Rp 65 milyar. Itu kurang lebih sama seperti harga 500 buah mobil Mercedez Benz. Majalah Eksekutif pun menyebut lelang lukisan Bunga Matahari karya Van Gogh di London sebagai ”lelang terbesar abad ini”. Riwayat Van Gogh memang penuh kejadian yang layak untuk sebuah biografi hebat, dan tak aneh bila 30 tahun yang lalu Kirk Douglas memainkannya (dengan sejumlah bumbu Holywood) dalam Lust for Life. Tapi apa yang luar biasa? Orang telah terbiasa dengan cerita anekdotis tentang seniman yang hidup gila-gilaan dan aneh dan berantakan: kita sudah menonton Amadeus atau mendengar tentang Chairil Anwar yang makan sate mentah dan mati muda.

Seniman, agaknya, telah menjadi semacam keistimewaan – punya semacam privilese untuk tak dinilai dengan ukuran orang biasa. Saya tak tahu persis darimana dan sejak kapan semua itu berasal. Kakek nenek kita di kampung dulu rasanya tak pernah mengenal seniman sebagai kategori tersendiri. Buku Umar Khayam yang menarik, Semangat Indonesia, satu rekaman selintas tentang kehidupan kesenian rakyta di Indonesia, menunjukan bagaimana orang membuat seni (di Nias, di Bali, di pedalaman Irian) bukan hanya untuk ”keindahan” melainkan bagian dari alat kerja dan upacara – tanpa tepuk tangan.

Tapi mengapa Bunga Matahari Van Gogh ternyata dibeli orang dengan Rp 65 milyar? Kenapa orang tak datang saja ke museum Van Gogh di Amsterdam, yang necis dan penuh cahaya di musim panas, atau membeli reproduksinya – cukup bagus – dengan harga tak sampai Rp 10 ribu?

Jawabnya, mungkin: ada manusia yang memang tak cuma kepengin benda-benda yang akhirnya bisa diraih oleh banyak orang, betapapun mahalnya. Ia juga menginginkan sesuatu yang oleh seorang ahli ekonomi disebut sebagai ”kekayaan olirgakis”, yakni hal-hal yang, saking langkanya akhirnya hanya bisa dimiliki oleh satu dua pribadi, walaupun orang lain mampu membelinya. Ironi Van Gogh ialah bahwa ia, yang bermula denga melukis petani miskin di Borinage, kemudian menjadi unsur dalam kekayaan olirgakis itu.

Tapi untunglah: keindahan tak cuma hadir dalam sebuah lukisan seharga sekian puluh milyar. Kita toh bisa melihat ada yang indah pada etalase toko Esprit di Singapura, stempel karet di kaki lima Malioboro, sampul kaset musik jazz Chandra Darusman – pada segala sesuatu yang sehari-hari, yang sementara, yang sepele. Bukankah di Bali juga keindahan didapat pada patung keramik yang besok mungkin pecah?

Memang – dan sejumlah seniman, dengan semangat besar, mengukuhkan itu, ketika mereka mengumumkan diri sebagai Gerakan Seni Rupa Baru, dan dalam sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki yang menarik, memaparkan iklan dan stiker dan kalender dan kaus oblong dari sembarang pojok. Tak berarti ada sesuatu yang baru dalam pendirian mereka. Penulis kritik seni Bambang Budjono, misalnya, bisa menyebutkan bahwa di tahun 1938 sebuah pameran para ”ahli gambar” Indonesia, diikuti juga oleh pelukis poster bioskop – suatu bukti, agaknya bahwa, di Indonesia, sejak dulu, orang memang bisa berkesenian tanpa merasakannya sebagai suatu privilese. Orang bisa berkesenian dengan cara yang sangat ringan: sebagian dari hidup yang biasa dan tidak menakjubkan.

Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli elite –terutama elite sosial, yang di Indonesia kini nampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi ”orang sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkisnya sendiri, apapun kriterianya: lukisan ”Gerilya” S. Soedjojono bagi saya lebih menggetarkan ketimbang lukisan ”Jaka Tarub” Basuki Abdullah. Iklan dalam majalah Interview Andy Warhol lebih memukau ketimbang iklan ribut pabrik kaset ”JK Records” dalam Tempo. Singkat kata, yang satu punya tingkat yang berbeda dibanding yang lain. Di sini, tak ada perlakuan yang sama. Di sini, apa yang disebut ahli sosiologi Daniel Bell sepuluh tahun yang lalu sebagai ”The democratization of genius” – lahir dari semangat ”kerakyatan” dalam kesenian barat yang meledak di tahun 1960-an – menjadi hal yang mustahil.

Sebab ”demokratisasi kejeniusan” berarti peniadaan kejeniusan itu sendiri. Sementara itu, kejeniusan adalah bagian yang tak bisa ditolak dalam proses ketika manusia menciptakan kebudayaan. Kejeniusan mendorong kita ke pintu yang lebih luas. Kejeniusan itu bernama Van Gogh, yang ingin melukis terus, intens, sampai gila, seraya bertanya, ”Buat apa?”

Mungkin ia tak tahu apa jawabnya. Tapi kita tahu apa yang diberikannya kepada kita, lewat kepedihannya. Dan itu bukan sebuah kanvas seharga Rp 65 milyar.

Goenawan Mohammad # 27 Juni 1987

Senin, 12 November 2012

bhargawa

Resi Bhargawa meletekkan tubuhnya yang kukuh di bawah pohon-pohon hutan yang memberat. Tidur.

Di dekatnya, dengan setia, Radheya menyediakan diri jadi bantal bagi gurunya. Ia memangku kepala yang besar dan perkasa dengan rambut panjang yang terjalin keras itu. Ia merasakan kebahagian yang dalam – bahagia seorang yang ingin mengabdi, ingin menghormati – karena tahu; yang ia jaga adalah ketentraman seorang yang selama ini membagikan kepadanya ilmu dan kepiawaian.

Dan Resi Bhargawa pun tertidur berjam-jam, dan Radheya duduk menyangganya berjam-jam, tak bergerak, membisu. Hanya hatinya tidak membisu. Hari itu menjelang hari terakhirnya berlatih dengan bagawan yang termasyhur itu.

”Terima kasih, guru, kau telah terima penghormatanku – telah kau terima diriku. Aku tak pernah melupakan hari itu, tujuh tahun yang lalu, ketika aku berbuat pertama kalinya mengetuk pintu asramamu dan kau bertanya, ”Siapakah engkau, anak muda?”

”Aku tahu, guru, tuan tak hanya menginginkan sebuah nama. Tuan menanyakan sebuah niat, dan sebuah riwayat – jalan panjang yang menyebabkan aku, seorang dari keluarga tak ternama, datang dan menyatakan akan belajar kepadamu. Aku bergetar, guru, engkau begitu dahsyat. Dan aku tahu aku tak akan pernah bisa menjawab.

”Sebab, aku hanya tahu cerita ini: Seorang remaja telah datang dari pedalaman. Ia dibesarkan oleh seorang sais kereta yang konon bukan ayahnya sendiri – sebab anak itu tumbuh dengan keingan lain yang tak pernah dikhayalkan orang tuanya. ”Engkau memang cuma anak pungut kami, buyung”, kata wanita yang selam ini menjadi ibunya dengan terisak-isak, ”mimpimu bukan mimpi kami.”

”Jadi, siapakah dia, guru? Yang ia tahu pasti ia diberi nama Radheya, dengan hasrat yang ganjil dan tinggi: menjadi seorang pemanah ulung, seperti yang didengarnya dari cerita Ibu, tentang perang dan para bangsawan. Lalu pada suatu hari ia datang ke guru termasyhur itu, Resi Durna. Tapi ditolak. Ia cuma anak seorang suta – bukan kelas yang berhak dengan ilmu peperangan.
”Maka, ia pun berdiri, Resi, di depan gerbang asramamu, dengan lutut menggeletar. Dan ia harus memberikan keterangan. Hari itu kurasakan, dalam pertanyaan pertamamu, ujung pisau yang meraba sarafku. Tapi akhirnya engkau menerimaku. Tak ada riwayat yang lebih bersinar-sinar dalam diriku, selain menjadi muridmu, menerima ilmumu, menerima kepercayaanmu . . . .

”Meskipun aku telah menjustaimu. Hari itu kukatakan kepadamu, ”Hamba anak seorang brahmana jauh di pedalaman Hastina’, dan kau percaya. Kau berikan ilmu kepadaku dengan kepercayaan itu. Kau jadikan aku murid utamamu sampai tuntas, tanpa kau tahu kebohonganku.

”Maafkan, aku, guru. Aku bukan anak Brahamana. Aku tak tahu aku anak siapa – jika benar aku hanya anak pungut seorang suta. Toh aku tak bisa mengaku berasal dari kalangan ksatria yang kau benci itu – orang-orang yang kau anggap sesat, orang-orang yang membakari hutan pertapaan lalu membangun kerajaan di atas mayat dan ketakutan. Aku bukan anak musuhmu, guru, meskipun aku tak datang dari kaummu. Aku adalah aku, Radheya, muridmu. . . . ”
Dan berjam-jam sang guru tertidur, dan berjam-jam sang murid mengabdi. Sampai menjelang senja, sesuatu terjadi. Seekor serangga ganas memagut paha anak muda itu. Darah menetes. Rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya. Ia tak ingin menyebabkan gurunya – yang dikasihinya itu – terbangun. Kesakitan itu, baginya, adalah bagian dari tugasnya, dari baktinya.

Tapi darah menetes ke muka Bhargawa. Sang resi terbangun. Dilihatnya apa yang terjadi: muridnya, dengan wajah pucat menahan sakit, dan tubuhnya demam, tetap duduk seperti berjam-jam yang lalu, tak bergeming. Bhargawa pun meloncat bangun dan memegang bahu Radheya yang menggigil. ”Kau sakit, kau terkena racun. Apa yang terjadi?”

Radheya menceritakan apa yang terjadi. Dan Bhargawa mendengarnya dengan takjub – dan sesuatu tba-tiba tersirat dalam wajah anak ini, yang teguh, yang angkuh menahan kepedihan, yang seakan-akan mencemooh penderitaan yang bagi orang lain tak akan tertahankan. ”Wajah itu”, Bhargawa tiba-tiba menyimpulkan, seakan-akan sebuah mimpi buruk baru saja mengilhaminya. ”Sikap itu – keangkuhan itu – ”. Ia kenal. Anak muda yang dihadapinya ini mengingatkannya kepada wajah para ksatria, musuhnya, yang pernah roboh ia kalahkan, tapi tak menyerah.

Tanpa berkata-kata, ia pun meninggalkan Radheya di bawah pohon itu. Murid itu pun pelan-pelan berjalan ke arah asrama, tanpa ia merasa sesuatu telah hilang dari gurunya. Malam itu Bhargawa memang yakin: kecurigaannya selama ini tentang Radheya memang terbukti. Anak itu, yang telah diberinya pelbagai ilmu oerang yang tinggi, berasal dari kalangan musuh. Mungkin ia mata-mata . . . .

Ketika pagi datang, sang guru mengusir sang murid. Ia kecewa dan ia mengutuk ketika anak itu mengaku selama ini ia menjustainya. Baginya justa adalah justa. Juga dari seorang yang belum bisa menjawab siapa dirinya.

Goenawan Mohammad # 11 April 1987

Jumat, 12 Oktober 2012

fan

Seorang wanita, dalam sebuah pertemuan, pernah diketahui mengeluarkan bau yang ganjil di antara parfumnya. Seperti bau tembakau apak. Kemudian wanita bangsawan dalam istana Weimar itu mati.

Ternyata, di lehernya terpasang sebuah kalung, dengan kotak kecil sebagai medalion. Orang pun membukanya. Isinya: betul, tembakau apak. Persisnya sekerat puntung.

Adapun puntung itu berasal dari cerutu yang pernah diisap oleh Komponis Franz Liszt di sebuah jamuan makan 30 tahun sebelumnya. Si wanita bangsawan rupanya kepingin mendapatkan satu tanda mata dari musikus romantis yang termasyhur itu, yang agaknya diimpikan setiap hari, sampai mati, Mein Liebestraum . . . .

Kita boleh percaya boleh tidak kepada cerita dalam kenang-kenangan Ford Madox Ford itu, tapi satu hal memang masuk akal: pelbagi tingkah aneh, lucu, mengharukan, mengganggu, atau berbahaya bisa dilakukan sejumlah manusia yang begitu getol memuja satu tokoh atau sesuatu yang bukan tokoh dalam hidup mereka. Fan,menurut The New Oxford Illustrated Dictionary, merupakan singkatan dari kata ”fanatik”. Dan Napoleon (yang punya sejumlah besar fan) rupanya tahu benar perkara itu ketika mengatakan, ”Tak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat”.

Sehat? Tidak Sehat?

Seorang pengagum, seorang pemuja, di dalam dirinya menyimpan sesuatu yangbisa disebut sebagai kesedian ”berkorban”. Dan pengorbanan diri tak selamanya dianggap sakit”.
Pemuja Liszt itu berkorban dengan bersedia menerima bau tembakau apak. Seorang gadis Inggris di Benfleet, di tengah kegandrungan Piala Dunia 1986, menunjukkan kesedian yang tak kalah intens: ia membayar tiga poundsterling kepada seorang ahli hukum untuk mengubah nama. Semula: Janiece Harris. Kini: Jandiego Janiece Jennifer Dorothy Arsenal Maradona. Nama ”Arsenal” ia ambil dari klub favoritnya. Nama yang lain kita tahun darimana datangnya.

Pengorbanan seperti itu (kita bisa bayangkan bagaimana repotnya kini Janiece mengisi KTP) memang bukan bandingan kisah-kisah tindakan besar dalam skala Siti Masyitoh atau Santo Sebastian: orang-orang yang bersedia mati, dengan rasa sakit, untuk sesuatu yang lebih agung – atau lebih penting – ketimbang seorang musikus atau seorang jagoan bola. Tapi kasus serupa, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda, selalu terdapat satu hal: hati yang bergelora. Dari sana ada passion.

Tak begitu pasti kenapa ada hal-hal yang tertentu dalam hidup ini bisa menyalakan gelora hati, terutama bila hal tertentu itu adalah sepak bola. ”Tak ada penjelasan yang tunggal kenapa 22 orang laki-laki bercelana pendek yang sibuk mengejar-ngejar sebuah bola bisa menyebabkan jutaan orang terkesima, sejak dari Patagonia sampai dengan Praha”, tulis wartawan Reuter tentang Piala Dunia di Meksiko itu, yang diikuti dimana-mana dan berhari-hari, bahkan, seperti halnya di Indonesia, pada pukul 01.00 pagi. Seorang makhluk E.T. yang dari pesawatnya di ruang angkasa meneropong ke bumi 30 Juni yang lalu, ketika pertandingan final berlangsung, mungkin akan menyangka makhluk numi sedang kena sihir primitif yang mahakuat – yang memancar dari sebuah benda bulat kecil nun jauh di tengah lapangan di sebuah kota di benua Amerika.

Memang ada semacam sihir dalam tiap passion. Mungkin karena itulah di tahun 1970 orang-orang El Salvador dan Honduras saling panas, setelah sebuah pertandingan besar, dan perang meletus antara kedua negara itu. Mungkin itu pula sebabnya di Belgia, di Stadion Heysel di tahun 1985, 40 orang mati karena bentrokan.

Apa pun sebabnya, passion seperti itu – yang merundung jutaan manusia dengan bermacam-macam tingkat IQ – bisa disimpulkan sebagai ciri sebuah masa yang telah menjebol aristokrasi. Kini para fan tidak terbatas hany pada satu dua wanita bangsawan yang ingin menyimpan momento seorang musikus kelas atas. Bob Geldof maupun musuhnya, para pembajak kaset rekaman, tahu benar hal itu. Kini orang banyak – yang dengan tepat disebut ”orang kebanyakan” – telah memperdengarkan selera mereka, atau dengan kata lain, diri mereka. Dari situlah kata ”laris” menjadi memikat.

Bahkan perang juga perlu laris: perang tak lagi semata-mata hanya sport para raja dan tentara profesional. Kekalahan Austria yang sangat cepat di tahun 1866 adalah, setidaknya menurut sebagian ahli sejarah, karena wangsa Hapsburg tak bisa melihat bahwa kekuatan bisa datang dari gelora hati orang banyak – yang telah melahirkan nasionalisme (dan juga demokrasi). Dengan kata lain: keterlibatan massal. Lawannya, Prusia, sebaliknya: Bismarck bukan Cuma berhasil menyatukan Jerman, tapi ia juga berhasil membuat negara dan masyarakat sipil jadi satu keterpaduan yang bergelora. Maka, ia pun menang, dan wangsa Hapsburg runtuh.

Beberapa tahun sebelumnya, ketika berbicara tentang sejarah, Hegel memang sudah menulis: ”Tak ada hal besar di dunia telah tercapai tanpa passion.” Teknik, perencanaan, ketertiban memang menjanjikan hasil yang diperhitungkan, tapi jika ada pelajaran yang bisa ditarik dari pertandingan besar sepak bola, maka itu adalah satu hal: tanpa orang banyak, tanpa fan, yang gandrung dan tergila-gila, permainan di sana itu akan segera kehilangan makna.

Goenawan Mohammad # 5 Juli 1986

Rabu, 12 September 2012

hello, darkness

Anda mungkin masih ingat The Graduate. Di layar putih itu, Dustin Hoffman pulang setelah lulus dari perguruan tinggi. Tapi ia merasa segalanya kosong, seperti gelembung, ruang-ruang rumahnya yang besar, rasa bangga dan ambisi bapak-ibunya, juga omongan para tamu. Kehidupan yang tampak tentram itu, yang dilingkungi jalan bersih dan aman, hanya seperti lukisan kalender. Si anak pulang, tapi ia hanya melayang-layang.

”Hello, darkness . . .”. Kita dengar di latar belakang Simon and Grafunkel menyanyi, lirih seperti melamun. Dan ketika si anak muda berzina dengan ibu pacarnya, tetangga papi-maminya, kita tahu juga lanjutan kekosongan sebuah lingkungan kelas menengah yang seperti sedang kena anastesi.

Lalu si anak pun memberontak. Selamat tinggal hidup borjuis.

Tapi itu Amerika pada tahun 60-an, Amerika yang sedang muak dengan segala yang materialistis dan kelas menengah. Amerika dalam dasawarsa 80-an kini adalah Amerika lain: Amerika-nya Tom Cruise yang terkesima mendengar bahwa “Rakus itu bagus” dalam Wall Street. Atau Amerika dalam film Risky Business, ketiko konon Tom Cruise jadi seorang murid sekolah menengah yang membiarkan seorang pelajar membuka bordil di rumah orang tuanya. Perempuan itu pun dengan bersemangat tanpa rasa bersalah, tanpa ragu – bekerja. “What a capitalis,” kata Tom Cruise setengah bingung setengah kagum.

Maka kata seorang penulis pada masa The Graduate bisnis dianggap sama dengan prostitusi, pada masa Tom Cruise tak perlu dibedakan mana bisnis dan mana prosititusi.

Zaman memang berubah – dan tak Cuma di Amerika Serikat. Jika seorang wartawan New York bernama John Taylor bercerita tentang “kultur kekayaan dan kekuasaan pada tahun 1980-an (dalam Cirsus of Ambition), jika ia bicara tentang mahajutawan Donald Trump yang menghancurkan ukiran bersejarah di sebuah gedung tua yang dibelinya, jika ia bercerita tentang para yuppies dan “pangeran Wall Street” yang hidup gemerlap dengan uang yang bukan miliknya, kita juga – di Jakarta – merasa cerita seperti ini adalah rekaman tentang sebuah gaya yang menular.

Pemeo di Jakarta yang ering kita dengar, “uang punya kuasa” kini seakan digaris-bawahi tebal-tebal kekayaan sudah jadi ukuran tunggah yang sah. Dulu orang bisa merasa tetap utuh harga dirinya tanpa punya benda-benda besar. Seorang guru bisa tetap merasa seperti seorang ksatria: gajinya kecil tapi ia merasa terhormat karena mengabdi kepada sesuatu yang lebih agung. Kini siapa lagi yang demikian?

Ya, zaman memang berubah. Ada masanya para nabi dan para demonstran mengecam kekayaan. Kecaman itu tak selamanya berarti mengandung niat hendak mensakralkan kemiskinan. Tapi kini nampaknya orang bukan saja hendak menyatakan sikap kaya yang tanpa rasa berdosa. Orang bahkan ingin mensakralkan: kekayaan yang berlimpah setidaknya bisa saja dikaitkan dengan ibadah.

Di Amerika, Bakker, penginjil televisi itu, sempat mengumpulkan uang begitu rupa, dan punya rumah begitu rupa, dan kandang anjing begitu rupa, bersar dan ber-AC. Ia akhirnya dijatuhi hukuman sebagai penipu, namun para pengikutnya tetap (juga setelah ia dibuktikan bersalah) melihat si bapa penginjil ada di jalan Tuhan.

Dan Bakker tak sendiri. Hal yang serupa bisa terjadi di Indonesia, dengan sedikit variasi. Bukankah orang Islam juga pernah dianjurkan untuk “bekerja buat dunia seperti hendak hidup selama-lamanya dan bekerja untu akhirat seperti hendak mati besok”, sering dengan kesimpulan bahwa tak ada salahnya dapat dua jenis surga sekaligus, dalam arti punya dua Baby Benz dan dua gelar haji?

Saya tak tahu adakah ini hanya satu “mode” yang melintas, sebuah demam zaman, ataukah ini tanda akhir yang menampakkan bahwa manusia memang “cuma begitu” : makhluk yang menginginkan surga sebanyak-banyaknya, kini dan nanti.

Yang pasti, keperluan setiap individu untuk harta, benda, waktu, kesempatan, apalagi kekuasaan, akhirnya akan terbentur pada satu batas: jutaan individu lain juga lambat atau cepat menghendaki hal-hal yang sama. Dengan kata lain, kehidupan sosial dan ekonomi dan politik akan selalu terdiri dari pergulatan untuk “peroleh bagian”. Ada yang akan menang dan ada yang akan kalah.

Bahaya terbesar akan tiba bila tanda kemenangan jadi hanya satu, dan ukuran kemenangan jadi hanya tunggal, ketika kekayaan materi tak bisa dipisahkan lagi dari kekuasaan atau dari kehormatan sosial, bahkan dari standar perilaku dan harga diri. Sebab dalam keadaan seperti itu, siapa yang kalah di satu hal akan kalah di segala, dan tamat.

Goenawan Mohammad # 4 November 1989

Minggu, 12 Agustus 2012

revolusi, kata john lennon

Para diktator suka punya mimpi yang mustahil. Napoleon, misalnya: ia tidak saja ingin membereskan masa kini dan mengatur masa datang; ia juga ingin mengarahkan masa lalu.

Ia sudah memberangus pers dan kini ia coba berangus kenang-kenangan. Ia nyatakan bahwa Revolusi Prancis, yang meletus tahun 1789, berakhir pada tahun 1799. lalu ia dirikan sebuah patung gajah. Diharapkan agar Revolusi Prancis, yang tiap tahun diperingati pada hari dihancurkannya Penjara Bastille itu, berangsur-angsur dilupakan orang. Dengan satu monumen gajah besar, yang dibangun dalam posisi menginjak tempat penjara Bastille dulu diruntuhkan, ia seperti mau menghapus bekas: jejak sebuah episode.

Tapi ternyata semua gagal. Bangunan yang mulai didirikan pada tahun 1814 itu akhirnya rontok pada tahun 1846. napoleon sendiri akhirnya kalah perang, dan kita ingat ia mati di pembuangan.
Sebaliknya, Revolusi Prancis tetap diperingati. Pada tahun 1989 ini sejarawan Simon Schama menulis dalam Citizens, sebuah cerita panjang yang memukau tentang Revolusi Prancis: ”The elephant of Deliberate Forgetfullness was . . . no match for the Persistence of Revolutionary Memory”. Si Gajah Sengaja-Lupa rupanya kalah bertanding dengan Kenangan-Alot-Revolusi.
Kenapa ? Kenapa kenangan tentang revolusi tak pernah bisa jadi nasi basi?

Karena revolusi adalah sebuah Kurusetra: di sana ada begitu banyak wajah manusia dalam ekspresi yang paling intens. Baca saja sketsa Idrus tentang Surabaya di tahun 1945. Tindakan heroik untuk satu ide yang tak tanggung-tanggung. Kebuasan yang dahsyat atas nama keadilan. Pengkhiatan yang menyakitkan atas nama kearifan. Darah dan doa, api dan cita-cita, kecutnya keringat dan frustasi, teriak dan juga harapan terakhir.

Segalanya dihimpun dan dipertaruhkan, segalanya dicurahkan dan diikhlaskan. Mungkin sebab itu revolusi adalah sesuatu yang mengandung antitesisnya sendiri. ”Revolusi adalah sesuatu yang mencapekkan”, kata Jacques Sole mahaguru sejarah dari Grenoble yang pekan lalu berbicara di Yogya dalam satu seminar memperingati 200 tahun Revolusi Prancis.

Sole mengatakan ketika ia menjawab sebuah pertanyaan yang bagus dari hadirin: kenapa cita-cita Revolusi Prancis – untuk kebebasan, persamaan dan persaudaraan – begitu cepat mandek di tengah jalan. Revolusi begitu melelahkan, hingga di ujungnya, rakyat menyerah saja kepada orang kuat dengan lengan dan ambisi yang lebih kuat. Akhirnya, kebebasan hilang, persamaan punah, persaudaraan raib.

Napoleon adalah salah satu pertandanya: prajurit dari revolusi yang begitu diangkat untuk berkuasa menobatkan diri sendiri sebagai raja diraja dan menginjak segala bentuk kebebasan seperti patung gajahnya yang ingin menginjak kenang-kenangan.

Tapi barangkali antitesis revolusi bukan lahir semata-mata karena sang revolusi mencapekkan. Revolusi berangkat selalu dengan sikap ”kita-yang-paling-benar”, untuk bisa memobilisasi jiwa dan raga dan impian dan kemarahan. Maka ia niscaya cenderung mendirikan satu lemabaga yang kukuh tapi tidak ramah. Revolusi Prancis, akhirnya mendirikan sebuah republik perkasa – yang kalau perlu menindas segala niat untuk liberte, egalite, fraternite. Teror pun ditegakkan. Tokohnya, Saint-Just (nama yang terlampau sempurna untuk bisa toleran), meraung seram: ”Republik terdiri atas pembasmian apa saja yang menentangnya.”

Berapa kepala dipotong dan berapa wilayah diluluhlantakan? Pada akhirnya Revolusi Prancis melahirkan paradoks – mungkin kontradiksi – yang kemudian juga nampak dalam revolusi-revolusi besar sesudahnya. Kejadian revolusioner, seperti halnya konon penciptaan alam semesta, bagaimanapun adalah sesuatu yang sublim dan sekaligus mengerikan. Niat revolusi sendiri di satu pihak mendorong ke arah berkibarnya hak dan kebebasan manusia, tapi di lain pihak terdorong ke arah konsolidasi persatuan yang justru melindas kebebasan manusia itu, dengan darah.

”Memang perlu darah untuk menyemen revolusi,” kata seorang wanita revolusioner Prancis dengan antusias – dan ia sendiri kemudian dipancung. ”Kalau mau membuat omelet, telur harus dipecah,” kata tokoh revolusi Trotsky dengan dingin, ia sendiri, persisnya kepalanya, kemudian juga jadi telur yang pecah, dikapak seorang agen Stalin.

Maka, siapa yang ingin mengubah dunia tanpa itu semua, dengarkan saja John Lennon menyanyi. ”Yah, kita semua ingin mengubah dunia, kau tahu,” katanya. ”Tapi bila kau omong tentang penghancuran, jangan sertakan aku.” Don’t you know that it’s going to be allright, allright, allright?

Siapa tahu, John, siapa tahu.

Goenawan Mohammad # 17 Juni 1989

Kamis, 12 Juli 2012

ya

Hitler berusia 100 tahun, seandainya ia hidup terus. Tapi ia tidak hidup terus. Ia menembakkan pistol ke dalam mulutnya sendiri di hari Senin sore 30 April 1945. ia mati dalam umur 56 tahun lebih 10 hari, ketika kota Berlin dirajam peluru dan pasukan Rusia sudah diambang pintu.

Dan Jerman pun kalah, setelah perang dahsyat itu. Lalu orang seperti terjaga. Bukan dari mimpi ngeri, tapi dari sihir Hitler, barangkali. Seorang penulis pernah menyebut mata Hitler yang biru itu tajam bagaikan mata Medusa, tokoh dongeng yang dengan sorot pandangnya menjadikan siapa saja arca batu.

Di bawah Nazi, Jerman memang tak jadi patung, tapi jadi pentas gila, teater dengan wiracarita yang berteriak. Hitler tahu hebatnya pengaruh kata-kata yang dilontarkan ke tengah massa. Dan di Nurnberg di tahun 1934 ia menunjuk ini: rapat akbar Partai Nazi yang menggelegar.
Ribuan bendera swastika berkibar, di langit September, dan ketika malam musim gugur tiba, parade obor pun bergerak dibawa 15 ribu orang, berlarik bagaikan pitra cahaya di jalan-jalan kuno kota Nuremberg. Musik bergema melagukan lagu perang zaman dulu, dan suara ribuan lelaki berpadu menyanyikan lagu baris. Opera Wagner pun tak akan bisa mengalahkan efek pertunjukan seperti itu.

Dan rakyat Jerman tergetar. Yang jadi pertanyaan ialah : bagaimana Hitler bisa tahu bahwa rakyat Jerman akan menyukai teater macam itu?

Jawabnya mungkin: karena Hitler datang dari kalangan mereka. Ia bukan intelektual bukan aristokrat. Ia berasal dari kelas menengah bawah. Ia punya rasa dan punya cara berpikir lapisan ini.

Thomas Mann, pengarang besar Jerman yang membenci kaum Nazi, menulis dalam catatan hariannya tanggal 8 September 1933, ketika ia dengan Hitler berpidato tentang kebudayaan: ”Ide-ide yang ia sajikan . . . . dengan gaya yang benar-benar menyedihkan . . . . adalah gagasan seorang murid sekolah dasar yang kerja keras tapi bakatnya terbatas.”

Tapi rakyat Jerman bukanlah Thomas Mann. Bangsa yang melahirkan Kant dan Goethe itu pada dasarnya toh punya insting seperti bangsa lain juga. Insting itu tak jauh jaraknya dari suatu rasa amarah yang terpendam, mungkin juga iri dan sakit hati. Terhadap luar negeri, mereka marah karena baru kalam dalam perang 10 tahun yang lalu, dan dihukum secara merendahkan oleh lawannya. Terhadap keadaan di dalam negeri, mereka marah karena ketimpangan sosial yang tak teratasi.

Khususnya, ini terjadi di kalangan petani kecil. Telaah terkenal yang ditulis Barrington Moore Jr. – tentang asal-usul sosial-ekonomi dari totaliterianisme dan demokrasi – menunjukkan bahwa pendukung utama nazi datang dari pedalaman. Siapa yang melukiskan Hitler hanya sebagai seorang diktator yang didukung bisnis besar tak akan bisa memahami totaliterianisme, atau setidaknya tak akan tahu betapa kuat sebenarnya fasisme Hitler berakar dalam latar masyarakat Jerman pada masanya.

Pada masa itu petani kecil terancam oleh masuknya kapitalisme. Mereka memandang makelar serta bankir sebagai musuh – yang kebanyakan memang orang Yahudi. Pada saat seperti itulah Partai nazi (yang ”nasionalis” dan ”sosialis”) menawarkan alternatif, dengan kemarahannya, kebenciannya dan impiannya.

Kamu Nazi melukiskan tanah bukan Cuma sebagai sarana pencari nafkah petani, tetapi juga sesuatu yang lebih intim, malah mungkin suci, ketimbang itu. Dalam buku Mein Kampf, Hitler menunjukkan bagaimana ia menganggap barisan petani kecil dan menengah sebagai ”benteng terbaik terhadap kejahatan sosial yang kita miliki kini”. Dalam angan-anganya, industri dan perdagangan akhirnya harus mundur dari posisinya yang di depan, dan bertaut dengan kerangka ekonomi nasional ”yang berdasarkan kebutuhan dan persamaan”.

Romantis, memang, tapi juga – seperti halnya banyak ilusi – bisa menyesatkan. Hitler sendiri akhirnya harus bertopang pada kaum industrialis, untuk menjalankan ekonomi dan mesin perangnya. Tapi pada saat yang sama, ia tak hendak memberi hak-hak politik kepada lapisan masyarakat ini. Bahkan juga tidak kepada siapa saja.

Sebab berbareng dengan kemenangan Nazi, totaliterianisme telah lahir: satu wujud kehidupan politik ketika massa resah dan merasa hampa. Mereka mengharapkan pemimpin, mengharapkan gerakan, mengharapkan bimbingan. Kepada gelora itulah Hitler datang, menyerukan ide ”satu pemimpin, satu bangsa, satu ya ”. Ein Fuhrer, Ein Volk, Ein Ja. Hak untuk berbeda alias kemerdekaan? Tak perlu. Warna harus satu. Yang Yahudi, yang merah, yang hitam, yang berpikiran aneh, semua khianat: bunuh.

Kita tahu Hitler terus mengaum, sejak itu.

Goenawan Mohammad # 22 April 1989

Selasa, 12 Juni 2012

. . . topeng

Anak, yang melempar batu di Tepi Barat Kali Yordan, apakah yang kalian lakukan? ”Kami sekadar sedang berteriak ’tidaaak’ ”.

Intifadah adalah cuma sebuah teriakan. Intifadah adalah perlawanan dari mereka yang bersembunyi di balik selembar kain yang ditutupkan ke wajah. Intifadah adalah perlawanan dengan topeng, kefayeh atau bukan.

Anak-anak Palestina itu, yang melemparkan batu ke tentara yang memegang bedil semiotomatis, mengenakannya rapat-rapat. Bapak dan Ibu mereka tak mengenakannya. Mereka pakai topeng yang lain: topeng sebagai warga kota yang tak berbahaya, tapi sebenarnya tak mau tunduk.

Seorang wartawan Israel yang lama menulis tentang Tepi Barat, dan menentang pendudukan Israel di sana, pernah saya dengar berkata: ”Sebagian besar dari proses intifadah justru bersifat tanpa kekerasan, malah tanpa batu: penduduk yang menolak membayar pajak dan tak mau buka toko. Mereka melawan tapi tak bisa jadi headline”.

Bukan headline, memang. Sebab perlawanan seperti itu berjalan tiap hari, terus menerus, seperti sesuatu yang rutin. Lama. Tanpa granat dan gerilya.

Mungkin karena abad ke-20 adalah abad kekerasan, tapi juga abad tanpa kekerasan. Yang kekerasan kita sudah tahu: dua perang dunia, dua bom atom, sekian kali pembantaian, beratus ribu penyiksaan di ruang interogasi. *Yang tanpa kekerasan nampak lebih jarang, tapi inilah yang istimewa dari abad ini: perlawanan sonder bedil ternyata bisa jadi perlawanan yang efektif. Gandhi menang di India (ketika menghadapi penjajahan Inggris), Martin Luther menang di AS (ketika menghadapi penindasan terhadap orang hitam). Bahkan selama setengah abad usaha pembebasan Palestina, gerakan dengan topeng dan batu ini kini ternyata lebih mengguncang lawan ketimbang teror Abu Nidal yang bunuh sana bunuh sini.

Kenapa? Barangkali karena ide heroisme tengah berubah. Heroisme bukan lagi seorang Archiles ataupun Arjuna – yang kata dalang ”ara tedhas tapak paluning pandhe”, itu – adalah contoh keperkasaan manusia, ketika senjata-senjata masih merupakan kelanjutan tangan dan juga bagian dari pilihan hidup seseorang.

Kini teknologi sudah lain: di satu pihak daya destruktif sebuah senjata kian besar, di lain pihak persenjataan sudah kian ”ke luar” dari pribadi seseorang. Pedang samurai sudah diganti bedil, pistol Colt sudah diganti Uzi. Tak perlu lagi seorang Arjuna bertapa, tak perlu seorang Musashi yang berlatih terus, juga tak perlu seorang *Wyatt Earp yang mahir, buat menguasai senjata. Siapa saja bisa pegang bedil semiotomatis dan membasmi puluhan orang dalam 5 menit. Pada dasarnya juga siapa saja bisa menekan tombol dan sebuah peluru kendali bermuatan nuklir akan menyerbu . . .

Rasa takut, ketidakpastian yang hitam itu, jadi sah, dan kontras antara yang kuat dan lemah kian mencolok. Maka kita tergetar melihat foto dari Beijing di musim panas itu: ketika seorang anak muda, sendirian, tanpa granat di tangan, berdiri mencoba menyetop puluhan tank yang mau menghajar para mahasiswa yang berdemonstrasi di Tiananmen. Memang, kemudian kita tak dengar lagi nasib si pemuda yang kurus dan sendirian menghadang kekuasaan besar itu. Yang kita dengar suara bedil. Tentara Pembebasan Rakyat menembak, dan ratusan anak muda gugur dan Tiananmen sepi kembali. Si lemah berani, tapi tak berhasil.

Ada yang mungkin mengatakan, bahwa Cina menolak sisi abad ke-20 yang memenangkan gerakan tanpa kekerasan itu. Di Cina orang hidup dengan kenangan tentang raja-raja yang saling gempur, jago silat dari Shaolin, dan ucapan Mao tentang kekuasaan yang lahir dari ujung bedil. Di sana orang tak atau belum memakai patokan kesadaran yang selama ini berlaku di negara-negara yang bersentuhan dengan Barat: patokan yang bermula ketika orang percaya bahwa Yesus disalib tanpa melawan, tapi dia tidak kalah ataupun bersalah.

Entahlah. Saya juga tak tahu akan menangkah nati anak-anak muda yang bertopeng kefayeh di Tepi Barat Kali Yordan itu – seperti anak-anak muda di Jerman Timur dan di Cekoslowakia pada musin dingin 1989 ini, yang cukup berteriak ke udara bersalju, dan rezim-rezim gugur secara enteng seperti daun-daun tua. Mungkin orang-orang bertopeng tak harus selalu cepat menang. Tapi tak berarti mereka menyerah.

Apa senjata mereka ? Weapons of the Weak, ”Senjata Kaum Lemah”. Judul buku James C. Scott yang cemerlang. Ia melukiskan bagaimana orang-orang miskin di sebuah dusun Malaysia menjalankan perlawanannya terhadap si kaya, sehari-hari, terus-menerus. Bukan dengan revolusi, bahkan bukan dengan batu. Tapi dengan cara mereka bersikap, bertutur, bertindak, mereka menampik hegemoni yang mau membisukan mereka.

Dan semesta sejarah sebenarnya penuh dengan ”senjata kaum lemah” itu. Mereka seperti patuh tapi sebenarnya tidak, bilang inggih tapi menolak untuk kepanggih. Nah, jika Tuan bilang orang desa itu suka kehidupan yang selaras, mungkin Tuan tak tahu permusuhan dan kepedihan apa yang sembunyi di balik topeng ”selaras” itu.

Goenawan Mohammad#16 Desember 1989

Minggu, 10 Juni 2012

Preman

Akhir-akhir ini sosok preman populer lagi. Mengapa? Bukan karena prestasi mereka. Bukan juga karena kebaikan mereka. Tak mungkin juga preman berbuat baik. Tidak lain dan tidak bukan karena aksi brutal mereka yang telah menelan 3 nyawa. Dan yang lebih menyedihkan terjadi secara kasat mata dan di depan hidung institusi penjaga keamanan. Peristiwa pertama adalah ketika mantan bos sanexsteel ditemukan tewas di sebuah hotel di Jakarta. Beberapa saat sebelum ditemukan tewas, CCTV hotel dengan jelas memperlihatkan tindak-tanduk sekelompok orang yang sangat mencurigakan dan kuat dugaan melakukan kejahatan. Sedangkan peristiwa kedua adalah penyerangan sekelompok orang di sebuah rumah jenazah milik RSPAD Gatot Subroto. Sebenarnya beberapa tahun lalu juga ada peristiwa bentrok antar kelompok di depan pengadilan negeri di Jakarta. 

Bahkan pada saat itu media sempat melaporkan bagaimana para pelaku bentrok menggunakan senjata api. Rupanya, aksi bentrokan ala film holywood bisa juga ditemukan di kehidupan nyata. Tepat di depan hidung kita. Jakarta sekarang mendapat predikat baru, yaitu kota preman. Kalau kita urutkan dan telusuri ibu kota ternyata telah memiliki 3 julukan. Sayangnya julukan itu negatif. Yang pertama adalah kota kemacetan. Julukan ini jarang muncul. Namun, siapakah yang akan membantah? Julukan kedua adalah ibu kota yang kejam dan tak ramah. Saya masih ingat betul sebuah ungkapan di zaman saya mahasiswa yang mengatakan; sekejam-kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibu kota. 

Dan julukan yang ke-3 adalah kota preman. Siapa yang tidak setuju? Persoalan preman adalah persoalan purba umat manusia. Keberadaannya setua kepentingan manusia itu sendiri. Begitu manusia punya kepentingan, pada saat itulah rawan muncul aksi premanisme. Apa lagi kalau kepentingan itu dianggap harga mati bagi pihak tertentu. Maka apa pun dipandang murah untuk dibayar, meski harus melanggar hukum. Dalam sejarah manusia, kita bisa mengamati pada kasus-kasus pembunuh bayaran. Atau pembunuhan di area kerajaan untuk memperebutkan posisi raja. Itu semua adalah kisah-kisah klasik yang menghiasi cerita pewayangan dan naik-turunya kerajaan di tanah Jawa. Kalau kita melihat agak lebih jauh, kita bisa mengamati kisah klasik mafia di Cicilia Italia (dan menyebar ke seluruh dunia), Yakuza di Jepang atau Triad di Hongkong. 

Premanisme adalah sikap-sikap yang mendasarkan setiap tingkah laku bahwa manusia adalah bebas. Bebas memperjuangkan kepentingan tanpa dasar ideologi yang rumit dan detil, namun berdasarkan bahwa setiap orang bebas melakukan atas dasar kemauan dan backing power yang kuat. Itu saja. Sementara, pada kasus Indonesia, preman sebagai individu lebih merujuk pada seseorang yang tak punya pekerjaan dan mencari-cari uang pada lapangan-lapangan pekerjaan yang masih kosong atau belum diatur. Oleh karena itu, mereka masuk pada wilayah itu dan membuat aturannya sendiri. Pada lapisan yang paling rendah, mereka antara lain : tukang parkir tanpa seragam, calo, pengamen dll 

Akar preman kelas coro adalah pengangguran dan sarana layanan umum yang belum mapan. Sementara preman kelas wahid adalah mereka yang merasa kepentingan mereka lebih berharga daripada hukum dan kepentingan umum, hingga mereka tak ragu memanipulasi informasi, fakta, aturan, undang-undang bahkan nyawa manusia.
 Februari, 2012-02-26

Sabtu, 12 Mei 2012

hwang

”Saya tak tertarik jadi pahlawan,” kata dokter itu.

Mungkin tidak. Tapi pada suatu malam Korea yang dingin di bulan Januari 1987, dokter itu, Hwang Juck-Joon, menyaksikan sesuatu yang harus disaksikan dan menemukan sesuatu yang kemudian akan mencelakakannya. Polisi memanggilnya. Ia diminta memeriksa jasad seorang mahasiswa berumur 21 tahun. Anak muda itu mati ketika sedang dalam pemeriksaan polisi.

Hwang Juck-Joon – ia salah satu dari sedikit ahli patologi di Korea Selatan – memang waktu itu bekerja di Lembaga Nasional Penyelidikan Ilmiah, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam posisinya di situ, ia secara rutin diminta oleh pihak kepolisian untuk membantu mereka dalam menjejaki kejahatan.

Ketika malam itu ia harus memeriksa tubuh mahasiswa yang mati itu, ia menemukan adanya pendarahan di dalam. Kesimpulannya: anak muda itu, Park Jong-Chul, seorang aktivis yang terlibat dalam pelbagai demonstrasi, mati karena siksaan.
Park, yang oleh interogator polisi sedang diusut ”hubungan-hubungan politiknya”, dengan jelas tewas tercekik. Yang rupanya mengherankan dr. Hwang ialah apa yang diumumkan oleh pihak berwewenang mengenai kematian Park Jong-Chul ternyata tidak sama dengan hasil penemuannya. Menurut pengumuman resmi, si mahasiswa ”mati karena syok.”.

Tapi ada yang tidak bisa ditidurkan dalam diri Hwang. Mungkin itu yang disebut nurani. Dokter yang berumur 40 tahun itu, yang umumnya bukan orang suka merecoki lembaganya, kemudian berbisik kepada seorang temannya, seorang wartawan, tentang apa sebenarnya yang ditemukannya di malam dingin Januari itu.

Dr. Hwang – menurut pengakuannya kemudian – tak menduga bahwa temannya, sang wartawan, akan memuat kesaksiannya. Ia mengira bahwa semua hal yang diungkapkannya tentang kematian Park Jong-Chul hanya akan dicatat sebagai rekaman historis.

Tetapi temannya rupanya berpendapat lain: sebab-musabab kematian Park yang sebenarnya harus dibongkar. Bagaimana pun pembunuhan telah terjadi. Kesewenang-wenangan yang penuh kekerasan telah dilakukan terhadap seorang yang tak berdaya. Apa yang menimpa dengan ngeri hari ini pada Park – jika dibiarkan begitu saja – pada suatu hari nanti akan bisa terjadi pada siapa saja, dan akan didiamkan juga seperti biasa.

Lalu tulisan itu pun terbit. Dan ketika hasil kesimpulan yang sebenarnya dari hasil otopsi akhirnya tersiar luas, masyarakat pun tahu: pihak yang berwewenang bukan saja telah membunuh warga negara. Mereka juga telah berdusta kepada khalayak ramai. Tak ayal – demikianlah tulisan Clyde Haberman dalam International Herald Tribune – suatu lingkungan protes pun terciptalah. Terutama dari kalangan menengah. Dari sini gelombang demonstrasi berkecamuk, melingkar-lingkar, tak putus-putusnya.

Untung, pemerintah Korea Selatan, di bawah Presiden Chun Doo-Hwan, bukanlah pemerintah batu. Suatu penyelidikan dilakukan untuk mengusut sebenarnya apa yang terjadi pada Park Jong-Chul. Di sini barangkali dr. Hwang juga dimintai keterangan. Akhirnya pemerintah pun mengakui: Park mati karena disiksa polisi. Selama anak muda ini diperiksa, kepalanya dimasukkan ke dalam bak air berkali-kali. Suatu ketika tenggorokannya terjepit ke tepi bak itu. Park tercekik, dan bagian dalam leher retak. Ia tewas.

Para pembunuhnya kemudian dihukum. Lima polisi yang menjalankan interogasi terhadap Park dipenjarakan antara 5 dan 15 tahun. Direktur jenderal yang memimpin markas besar kepolisian, Kang Min Chang, dijatuhi hukuman dengan masa percobaan karena menyuruh bawahannya menutupi-nutupi kasus ini.

Itu semua tak menyebabkan dr. Hwang dimaklumkan sebagai pemenang. ”Saya harus mengundurkan diri,” katanya. Ia telah menyebabkan para atasannya kehilangan muka, dan, menurut etik masyarakatnya, ia tak bisa terus bekerja di kantor itu. Juga ia takut. Tiap hari toh ia harus berhubungan dengan polisi, karena tugasnya. Dan Hwang merasa terancam. Ia sering menerima telepon yang menggertaknya, hingga ia harus berganti nomor telepon – dan berhenti bekerja. Ia kini menganggur.

”Saya tak tertarik jadi pahlawan,” katanya. ”Terus terang, mungkin saya ini orang yang dungu.”
Barangkali ia seorang yang dungu, dalam arti orang yang tak memikirkan akibtanya bagi nasib sendiri ketika ia harus mendengarkan hati nurani yang berdegup keras-keras. Tapi bersalahkah Hwang, jika ia jadi contoh yang rendah hati bahwa masih ada jiwa yang begitu mulya ditengah ketakutan ?

Dia mungkin bukan pahlawan. Pemerintah Chun yang mengoreksi dirinya sendiri dengan cepat juga bukan pahlawan. Tapi baik sang dokter maupun sang presiden – sengaja tak sengaja – telah mengangkat bangsa itu ke suatu taraf yang lebih tinggi. Hwang jadi penganggur dan pemerintah Chun akhirnya jatuh. Tapi kini siapa bisa mengatakan bangsa Korea bukan bangsa yang tangguh di hadapan kebenaran?

Goenawan Mohammad # 25 juni 1988

Senin, 23 April 2012

jassin

Kadang-kadang sebuah peruntungan ditentukan oleh sebuah kitab kecil. Setidak ada sebuah risalah yang pernah ikut berpengaruh dalam satu tahapan hidup saya.

Ketika saya berumur 18 tahun, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Fakultas Psikologi, sebuah cabang baru dari Universitas Indonesia. Bukan saya bercita-cita menjadi seorang psikolog; waktu itu saya bahkan tak tahu jelas apa gerangan ”psikologi” itu. Saya memilih pendidikan tinggi itu karena di sana, saya dengar, diajarkan tiga hal: psikologi, filsafat dan sosiologi. Di fakultas lain tidak.

Dan itu semua gara-gara saya membaca, dengan agak terlampau tekun, sebuah buku tipis yang bernama Tifa Penyair dan Daerahnya, ditulis oleh H.B. Jassin lebih dari 30 tahun yang lalu. Koleksi tulisan itu, yang judulnya memang agak aneh, berisi pengantar hal-hal yang perlu diketahui jika anda ingin memasuki lapangan kesusasteraan. Salah satu ajaran H.B. Jassin di situ, kurang lebih, ialah: seorang sastrawan harus menguasai psikologi, filsafat dan sosiologi. Dan saya punya satu cita-cita rahasia: kepengin jadi sastrawan.

Mungkin masih merupakan perdebatan, benarkah seorang sastrawan harus sesiap itu untuk memulai kariernya. Tapi coba kita ikuti tulisan-tulisan H.B. Jassin. Dan kita saksikan bagaimana ia menjalani riwayat hidupnya. Pekan lalu, orang merayakan usia Jassin yang ke-70, dari banyak penjuru. Dikelilingi teman dan pengagum dan lawan-lawan pikirannya, berada di pusat dokumentasinya yang terkenal di Taman Ismail Marzuki itu, kita mendengar ia bicara, di kita pun jadi tahu: kesustraan adalah urusan yang serius, sangat serius.

Sejak hampir 50 tahun yang lalu sosok ini, yang pemalu dan sopan tapi sebenarnya penuh api, menulis tinjauan tentang karya-karya sastra, memperkenalkannya ke khalayak ramai, memberi tempat bagi novelis dan penyair baru, mengajar, menghimpun tiap carik tulisan atau dokumen yang dianggap penting tentang sastra dan sastrawan, mendengarkan pujian dan makian – bahkan ancaman – terhadap dirinya, semuanya untuk kesusastraan Indonesia modern. Penyair Taufik Ismail dengan tepat menyebut bahwa dalam usia ke 70 tahun itu, hidup H.B. Jassin bukan hidup yang panjang, tapi padat. Buat apa? Karena apa? Jawabnya: kesusastraan. Satu urusan yang serius.

Di dalam keseriusan itulah, seorang sastrawan menjadi sastrawan, bukan sekadar bekerja sebagai sastrawan. Awal Juni 1943, penyair Chairil Anwar berpidato di Angkatan Baru Pusat Kebudayaan di Jakarta. Ia menyebut seni cipta adalah ”soal hidup mati”. Berlebih-lebihan mungkin, tapi Chairil (sangat dikagumi Jassin) agak telah memulai suatu semangat, yang menegaskan bahwa kesusastraan – biarpun sepotong sajak – bukanlah sekadar ”wahyu” atau ”ilham”, dorongan mencipta yang datang tiba-tiba. Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis, menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita, adalah proses yang meminta pengerahan batin.

Dalam pengetahuan batin itu seorang seakan-akan menghadapi dirinya sendiri, seakan bercermin. Seorang penyair mungkin tak akan tahu apakah yang nanti ditulisnya jelek, tapi ia akan tahu apakah yang ditulisnya palsu. Ia tak bisa berbohong. Ia harus otentik.

Mungkin itu sebabnya Jassin menganggap bahwa kesusastraan adalah sebuah dunia, yang harus dipelihara dalam kemurniannya. Terkadang orang memang mencemooh, bahwa di luar bidang itu, ia tak tahu apa-apa. Mungkin. Tapi konsentrasinya di dalam urusan ini – yang serius ini – sebenarnya memberi isyarat bahwa di tengah kancah yang riuh rendah oleh banyak hal ini, harus ada sebuah tempat yang teduh, terjaga, leluasa. Kesusastraan adalah salah satu tempat itu.

Maka, ia pun menolak usaha memperpolitikkan penilaian sastra, seperti dilakukannya di tengah desakan PKI di tahun 1960-an, sehingga ia harus berhenti dari jabatan mengajar di Universitas Indonesia. Ia akan mengatakan – dengan tanpa banyak lika-liku – bahwa novel Mochtar Lubis tak bisa dinilai sebagai usaha subversif, begitu pula novel Pramoedya Ananta Toer. Ia akan mempertahankan bahwa keindahan, imajinasi, dan hasil pengarahan rohani seorang manusia (dan itu adalah sastra) tak akan bisa diberi cap secara gampangan. Itulah sebabnya, dengan penuh keberanian, ia menghadap meja hakim, dan dihukum, ketika sebuah cerita pendek di tahun 1969 dianggap ”menghina Tuhan”.

”H.B. Jassin. Di mana berakhirnya mata seorang penyair?” – kata sebaris sajak penyair Toto Sudarto Bachtiar di tahun 1955. Saya tak bagaimana jawaban Jassin. Saya duga ia akan senyum, membaca sebuah sajak atau cerita, memberi catatan, dan berjalan terus. Terus.

Goenawan Mohammad # 8 Agustus 1987

Kamis, 12 April 2012

babilon

Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Ada sebuah nujum kuno, terekam dalam sebuah tulisan berbentuk baji. Para arkeolog menemukannya di sebidang sabak tanah liat, konon berasal dari Babilon. Isinya meramal dengan nada yang amat muram, ”Hari kiamat tengah mendekat.”

Kita tak tahu kapan hari akhir itu akan terjadi, tapi tanda-tandanya sudah tampak waktu itu juga, ”Anak-anak tak lagi mematuhi orang tua mereka, dan tiap-tiap orang ingin menulis buku . . .”

Mengapa begitu muram tampaknya prospek kehidupan bila anak-anak memberontak dan bila tiap orang ingin menyatakan pikirannya ke dalam tulisan? Kita tak tahu. Kita Cuma bisa menduga: si pembuat nubuat kuno itu mungkin seorang pendeta agung yang bertugas menjaga ketertiban iman dan kehidupan. Dalam posisi itu, ia menduga dewa akan murka bila manusia resah. Pada saat manusia ingin mengembangkan ide sendiri-sendiri, pada saat jiwanya bangkit, dunia pun akan ambruk, dan seluruh tata akan tergulung.

Kini kita tahu bahwa nujum Babilon itu tak terbukti. Kiamat tak terjadi meskipun anak-anak mengembangkan pikiran-pikiran yang tak dapat restu orang-tur mereka. Kehidupan tak berakhir dalam ledakan besar meskipun orang-orang ramai menulis buku. Ketidakpatuhan memang menjengkelkan. Tapi seandainya hanya kepatuhan yang berjalan di dalam sejarah manusia, kita tahu: tak akan ada negeri yang merdeka dan tak akan ada pemikiran baru yang menghasilkan hal-hal besar.

Namun, itulah mungkin yang tak bisa dimengerti oleh sang pendeta agung penjaga ketertiban dari Babilon. Baginya kebenaran telah diperoleh dan direkamnya di tangannya yang padu. Baginya garis sudah diletakkan dan itu jangan diungkit-ungkit.
Tapi ”manusia berpikir, Tuhan ketawa”, kata sebuah pepatah Yahudi. Novelis Milan Kundera, dalam sebuah pidato yang dibacakannya di musim semi di tahun 1985, yakin bahwa pepatah itu mengandung makna yang penting, karena baginya novel – buah kreativitas manusia – adalah sesuatu yang ditulis sebagai ”gema dari suara tawa Tuhan”.

Sebab, Tuhan yang Mahabijaksana tahu bahwa, betapapun pesat dan hebatnya manusia berpikir, pada akhirnya kebenaran yang ditangkapnya akan selalu luput. Pretensi besar untuk menganggap bahwa sang kebenaran telah ada di tangan, bahwa dari sini semua keputusan tak boleh diganggu gugat dan ditandingi, di dalam pandangan Tuhan mungkin sama dengan pretensi katak yang hendak jadi lembu. Ada yang menyedihkan dan sekaligus menggelikan di situ.
Tapi ada orang-orang kreatif (bagi Milan Kundera khususnya para penulis novel) yang bisa melihat situasi yang menyebabkan Tuhan ketawa seperti itu. Sebaliknya, ada para agelastes, mereka yang tak bisa geli, yang tak bisa ketawa.

Bagi Kundera, tak mungkin perdamaian terjadi antara kedua sisi itu: para pencipta dan para agelastes berada di front dan keduanya mencoba saling mengalahkan.
Sebab, para agelastes adalah mereka yang mengira – seperti sang penujum muram dari Babilon – bahwa dunia akan hancur bila orang menulis buku. ”Karena tak pernah mendengar suara tawa Tuhan,” kata Kundera, ”para agelastes yakin bahwa kebenaran itu jelas, bahwa semua orang niscaya berpikir sama, dan bahwa diri mereka sendiri adalah persis seperti yang mereka pikirkan.” Seorang novelie sebaliknya menciptakan ”sebuah wilayah dimana tak seorang pun memiliki kebenaran . . . tapi dimana setiap orang punya hak untuk dimengerti”.

Jika begitu besar perbedaan antara mereka yang pernah mendengar ”suara tawa Tuhan” dan yang tak pernah bisa ketawa, kata Kundera dengan nada sedih, dunia toleransi adalah dunia yang rapuh dan mudah lenyap. ”Di kaki langit sana berdiri bala tentara agelastes mengawasi setiap tindak kita,” kata Kundera, dan ia pun bercerita tentang sebuah perang yang tak dimaklumkan dan berlangsung tak habis-habisnya.

Kundera pastilah tahu apa yang dikatakanya: ia mengungkapkan itu semua dari dari lubuk pengalamannya sendiri. Ia terpaksa meninggalkan tanah airnya ketika pemerintahnya mengharuskan para penulis, atas nama sosialisme, patuh kepada petunjuk dari atas. Ia kini tinggal di Paris.

Yang menarik ialah bahwa tak seluruh nasibnya bisa dikatakan sebagai tragedi. Di dalam pembuangannya, Kundera mendapatkan mimbar yang lebih leluasa, tempat yang lebih tinggi. Dan mungkin itu adalah contoh bahwa apa pun yang dilakukan oleh para agelastes kepada seorang pengarang yang tak bisa patuh, tampaknya yang akan terdengar akhirnya adalah suara tertawa dari atas: kita seperti diingatkan akan kearifan Tuhan ketika ia melihat kekuasaan hambanya.

Kekuasaan itu – seperti hal pikiran manusia – terkadang tidak menyadari keterbatasannya untuk mengalahkan segala hal. Kekuasaan itu juga ibarat katak hendak jadi lembu: mau mengatur segalanya, menaklukan segalanya – juga menaklukkan keyakinan – tapi apa yang terjadi selalu? Para dewa yang murka dari nujum Babilon itu juga akhirnya tercatat di tanah liat.
Goenawan Mohammad # 18 Juni 1988

Jumat, 16 Maret 2012

Hukum VS Hukum

kpk,gedung kpk,ketua kpk,logo kpk
Judul yang aneh memang. Namun, akan saya awali tulisan ini dengan mengingat lagi tayangan ILC (Indonesian Lawyer Club) minggu ini. Tayang Selasa 13 Maret 2012. Acara ini diawali dengan tanya jawab Karni Ilyas (sang host) dengan Anwar Fuady (artis) yang pernah menyatakan diri siap jadi Presiden. Konon sang artis baru menyelesaikan pendidikan S2 hukum. Jadi, (iseng-iseng) Karni Ilyas ngetes keilmuan sang artis. Pendek kata saya langsung ganti channel lain karena sang artis gelagapan di tanya soal tingkatan hukum pidana di Indonesia (kalau ngga salah itu pertanyaannya). Ngga tahu kenapa saya yang jadi merasa malu, padahal rumah saya dan Jakarta terpisah ratusan km.


Saya ingin bertanya; mengapa harus ada hukum? Mengapa harus ada sekian ribu halaman UU dan aturan yang dapat mengakibatkan seseorang dipenjara karena melanggarnya?

Silahkan anda jawab. Tapi, tolong jangan jawab; karena ada banyak orang jahat. Atau untuk menjaga ketertiban. Sebab, tidak ada orang jahat kecuali setelah dituntut di muka pengadilan.

Pagi ini ada diskusi di TVOne tentang KPK yang konon sedang terpecah belah. Bony Hargen (seorang pengamat politik muda) dengan semangat mempertanyakan kesolidan KPK karena lima ketua KPK saling bertentangan dan bahkan sampai ada yang banting gelas. Inilah yang dipertanyakan Bony. Karena - menurut Bony - ini menunjukkan adanya ketidaksepakatan terhadap kebenaran. Artinya, ada komisioner KPK yang membela 'bandit-bandit' politik (istilah ini juga saya pinjam dari Bony).

Namun, menurut M. Yasin (mantan Ket. KPK) dan Nasrullah (pakar hukum) itu hal biasa. Pertentangan itu adalah hal biasa. Secara hukum pertentangan antar Ketua KPK tidak bernilai. Maksudnya, tidak ada kejahatan yang dilakukan kelima Ketua KPK. Karena menurut UU begitulah cara KPK mengambil keputusan. Meskipun dari masing-masing ketua punya pandangan terhadap suatu masalah, maka setelah satu keputusan diambil itulah yang benar. Benar dari sisi cara pengambilan keputusan dan dari sisi isi keputusan itu sendiri.

Itulah yang dipertanyakan Bony dan dipertahankan oleh M Yasin dan Nasrullah. Bony bertanya dan mengkritik secara sosial dan moral, sementara M Yasin dan Nasrullah mempertahankan membela secara hukum dan norma aturan yang ada, sebab hukum adalah untuk hukum.

Benarkan kalau membahas hukum harus selalu berdasarkan hukum? Dan haram dianalisis secara sosial, moral, budaya, psikologis atau sosiologis ?

Menurut saya, tidak bisa hukum dianalisis melulu pakai pisau analisis hukum. Johan Budi (jubir KPK) yang ikut dalam diskusi itu pun membela KPK dengan analisis sosial dan sosiologis. Ia mengatakan "tidak mungkin KPK tidak ada yang harus diperbaiki". Artinya, setiap lembaga pasti ada kesalahan satu atau dua. Ini 100% adalah komentar beradasarkan analisis sosial dann sosiologis. Secara hukum, pernyataan ini tidak ada artinya karena kesalahan harus setelah dibuktikan di pengadilan atau dengan jelas melanggar suatu aturan tertulis. Sehingga bila tidak ada yang ketahuan atau diproses hukum sama saja tidak ada pelanggaran hukum.

Inilah ke-tidak-konsistenan yang saya amati. Ketika mempertanyakan kritikan Bony, M Yasin, Nasrullah dan Johan Budi menyerang dasar analisis yang bersifat sosiologis, namun ketika berargumentasi ia tidak bisa murni 100% hukum positif semata.

Benang Merah
Manusia tidak memerlukan hukum. Karena manusia diciptakan bukan sebagai penjahat. Hukum muncul ketika kejahatan menjadi terorganisir. Ketika penjahat 1 atau 2 orang keputusan pemimpin itulah hukum. Darimana asal 'hukum' yang diputuskan sang pemimpin. Bisa dari nilai kelompok, pikiran pribadi pemimpin, adat dst. Dasarnya bisa banyak sekali. Artinya, hukum itu berasal dari kebijaksanaan manusia itu sendiri. Bila ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lain, keputusan hukum tersebut diragukan kebenarannya.

Keputusan Kolegial
Sistem kolegial dibuat untuk mengawasi keputusan Ketua KPK. Padahal, pengawasan dan membuat keputusan adalah dua hal yang berbeda. Keputusan kolegial tidak lebih efektif dan efesien daripada keputusan oleh pemimpin tunggal. Logikanya sama dengan analogi bahwa "Tuhan tidak mungkin lebih dari Satu".

Senin, 12 Maret 2012

Khotbah

Khotbahnya keras. Dicercanya para wanita, yang mempertontokan kecantikan tubuh dan wajah. Dikecamnya para bankir, yang memungut ”riba” dari utang. Dihantamnya penguasa, yang ia sebut ”para tiran”. Mereka ini ”mencintai ”puji-pujian”, katanya, dan ”tak mendengarkan kaum yang melarat”.

Kota Firenze, menjelang akhir abad ke-15, bergetar oleh suara padri dominikan itu, Girolamo Savanarola.

Kota itu sendiri sebuah negeri yang paling sibuk dan berseri di Italia. Dari sinilah, kata ahli sejarah, zaman Renaissance bermula. Penduduk yang 100.000 jiwa itu memang dalam taraf ”maju”: seperempat dari jumlah itu bekerja sebagai buruh industri. Ada 200 pabrik tekstil di sana, dan seorang penulis sejarah mengatakan bahwa memasuki tahun 1300, Firenze sudah suatu contoh kapitalisme dengan investasi yang besar.

Untuk meluaskan pasar, misalnya, Firenze membuka perwakilan sampai ke Persia dan Tiongkok. Untuk membiayai usahanya seluas itu, sudah ada 80 bank. Pendapat pemerintahnya, di tahun 1400, lebih besar ketimbang pendapatan Inggris di masa gemilang Ratu Elizabeth I.
Tapi di Firenze itu, seperti halnya di mana pun, kekayaan itu mengandung cacatnya sendiri: tak semua berkesempatan menikmatinya. Di bawah lapisan bankir, pemilik pabrik, pedagang dan kaum profesional, yang bergabung di dalam 21 gilda, hidup mendekam kaum popolo minuto, orang-orang kecil. Mereka buruh yang bersatu dalam serikat kerja, tapi tak punya hak pilih, atau pekerja yang dilarang berserikat, dan sebab itu hidup dalam kemelaratan yang bisu.

Apa boleh buat. Kekuasaan, akhirnya, hanya jadi urusan yang kaya dan, karena itu, berpengaruh. Toh Firenze bernasib baik, ketika dari kalangan ini muncul sebuah dinasti: keluarga Medici.

Keluarga ini, sejak mereka memegang tampuk jabatan eksekutif, punya pandangan yang lebih luas ketimbang sekadar kepentingan sesaat. Kekuasaan medici berani mengenakan pajak yang lebih berat bagi si kaya, biarpun mereka sendiri terkena beban. Di bawah kepemimpinan Cosimo de’ Medici dan cucunya, Lorenzo, Kota Firenze mendapatkan satu hal lain: pengetahuan dan kesenian, yang dipupuk dengan dana yang dermawan.
Dari situlah pikiran bebas dan kegembiraan hidup menyeruak. Zaman Renaissance pun lahir, menggerakkan Firenze, menggerakan Italia, kemudian Eropa, ke seluruh jagat. Di Firenze kaum humanis tampil: para terpelajar yang mengagumi filsafat dan seni Yunani serta Latin sebelum Kristen – dan memandang ajaran agama dengan hati yang ringan. Sebab, bagi kaum humanis (dari kata umanisti), adanya filsafat dan sastra Yunani yang sedemikian tinggi adalah bukti: ternyata manusia bisa hidup dengan ikhtiar spiritual yang mengagumkan di luar Injil.

Toleransi tumbuh. Kitab suci bukan satu-satunya alternatif. Zaman itu adalah zaman bagi tokoh seperti Pico: seorang aristokrat tampan, juga seorang pemikir yang cerah, yang menelaah puisi dan arsitektur, menyukai pemikiran Yahudi dan Arab, yang mencoba mendekatkan Yudaisme, agama Kristen, dan Islam, dan menulis tentang Tuhan yang menciptakan Adam sebagai makhluk untuk menjalankan pilihan bebas.

Pembebasan itu, pada saat yang sama, juga pengenduran di sisi lain. Ketika doktrin agama tak lagi mencekam, ikatan akhlak yang ada juga tidak lagi mutlak. Moralitas melonggar – terutama ketika Firenze menikmati kemakmuran ekonomi di bawah kekuasaan Lorenzo de’ Medici. Negeri itu hidup dengan parade dan festival, dengan sajak yang satiris dan puisi yang erotis. Lorenzo sendiri, seorang penyair ulung, menulis nyanyian yang berseru: ”Panjang umur Dewa Anggur, hiduplah hasrat hati!”
Menghadapi semua itu hiduplah Savanarola dengan khotbahnya. Ia memang tokoh yang agak aneh buat zaman yang riang itu. Namun, zaman Renaissance, betapapun juga, sebuah masa peralihan : orang baru ”merdeka” dengan rasa bersalah dan ketidakpastian dalam hati. Savanarola memberikan kepastian. Ia juga membebaskan orang dari ketakutan berdosa. Ia menyerukan pertobatan: kembali ke kitab suci.

Orang pun mendengar. Dan ketika kekuasaan Medici suatu saat mengalami krisis, orang ramai bahkan mengangkat Savanarola ke pucuk kekuasaan. 500 tahun sebelum Iran, di Firenze, seorang rohaniawan memimpin sebuah republik yang angker: di sana bukan Cuma judi yang dilarang, tapi juga lagu-lagu tertentu. Di sana sejumlah pemuda jadi polisi susila, yang bisa merobek pakaian wanita yang mereka anggap tak sopan. Di sana seorang yang dituduh menghujat Tuhan bisa ditusuk lidahnya dan di sana Yesus Kristus dianggap sebagai Kepala Negara.

Sejarah kemudian mencatat bahwa republik yang alim itu hanya berlangsung sejak 1495 sampai 1498. Banyak faktor menyebabkan Savanarola – yang menentang Paus – akhirnya jatuh. Tapi satu hal jelas: setelah ia meninggal di api pembakaran, Firenze kembali melanjutkan eksperimennya dengan kebebasan. Hingga kini.

24 Oktober 1987

Senin, 27 Februari 2012

chairil

Seandainya Chairil Anwar hidup hari ini, mungkin lebih baik ia tak menulis sajak. Indonesia di tahun 1986 tak sama dengan Indonesia di awal 40-an.

Tentu, saya sendiri tak tahu persis bagaimana tanah air menjelang 1945. tapi mungkin kita bisa membayangkannya: suatu masa ketika pikiran besar dan kecil telah ramai bergulat. Harapan-harapan, untuk sebuah negeri yang bebas, mekar. Pemikir dan penyair sibuk, juga asyik. Dan Chairil pun menulis puisi: begitu besar, begitu kurang ajar.

”Aku suka pada mereka yang berani hidup”, tulisnya, setengah kagum, tentang para pemuda yang berjaga malam seperti prajurit, dan bermimpikan kemerdekaan. ”Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam”.

Dan jika dalam malam itu ada bahaya, juga dosa, setan, atau sifilis, tak perlu risau. Binal adalah satu pernyataan – sekaligus risiko – dalam kemerdekaan. Kita tak akan tunduk. Tak ada sensor, tak ada ketakutan, tak ada sejarah, batas administrasi, doktrin agama, dan segala yang dianggap membatasi.

Bahkan Tuhan, dalam kemahakuasaannya, ia terima sebagai tekanan. Sebuah sajak yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, misalnya, Di Mesjid, melukiskan pertemuannya dengan Tuhan dalam kiasan yang sangat berbeda dengan metafora Amir Hamzah dari tahun 30-an. Amir Hamzah berbicara tentang kerinduan; Chairil bicara tentang sebuah peperangan. ”Ini ruang”, tulisnya tentang tempat peribadatan itu, ”Gelanggang kami berperang”.

Memang, beberapa tahun kemudian ia menulis sajak Doa yang menggetarkan itu: “Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu”. Tapi ia juga, pada kumpulan sajak yang sama, bisa mencemooh harapan manusia akan surga yang lazim, “yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/dan bertabur bidari beribu”. Sebab, kata Chairil meragukan surga. Ia memilih hidup yang kini, yang baginya lebih bergairah.

Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Ia, dalam umur 20-an, memang biasa bicara angkuh, cerdas cekatan, kocak dan kadang menohok. Tapi ia bicara di awal tahun 40-an, ketika sebuah bangsa harap-harap cemas menantikan dirinya merdeka. Hidup di ambang arena yang menjanjikan banyak hak. Hidup juga masih mencari bentuk institusi-institusinya sendiri.

Artinya, tak ada yang memberangus Chairil. Ia sendiri tak merasa terancam. Masyumi + Muhammadiyah tak mengerahkan massa untuk menyerbu atau menuntut, bahkan setahu saya tak ada pernyataan “kami tersinggung”. Juga tak ada kanwil deperdag dan kanwil depdikbud, tak ada laksusda dan kadit binmas dan akronim-akronim lain yang, dari pelbagai meja persegi, mengetahui soal keselamatan masyarakat dan karena itu merasa tahu betul perkara sajak. Indonesia di masa Chairil adalah Indonesia yang lain dari yang kini kita kenal.

Setelah sekian tahun merdeka, Indonesia kini telah jadi sebuah negeri yang rasanya semakin tahu sulitnya sebuah kemerdekaan. Banyak yang mengharap, beberapa yang mendapat, sebagian yang kecele. Pelbagai kelompok sosial tampil. Semuanya merasa wajib dicatat, untuk dapat tempat. Perebutan untuk ke atas pun tak dapat dihindarkan. Kemerdekaan telah membuka pintu untuk itu. Lagi pula, berada di bawah betapa sumpeknya, betapa terancamnya.
Bahwa bentrokan dan kemarahan dan ketersinggungan sering terjadi, juga represi, siapa yang bisa menyalahkan? Siapa yang bisa disalahkan?

Orang Yunani, dengan mitologinya yang aneh, mungkin akan mengatakan bahwa kemerdekaan punya nemesisnya sendiri. Kemerdekaan punya pembalasannya – yakni kerisauan dan kecemasan. Seperti bertahun-tahun yang lalu dikatakan ahli psikologi Erich Fromm, manusia sering takut untuk merdeka – dan kembali ke kongkongan.

Chairil agaknya tahu juga, apa sisi lain kemerdekaan itu. Dalam sebuah sajaknya buat Gadis Rasid, ia bicara tentang “bangsa muda menjadi”, yang “baru bisa bilang ‘aku’”. Di sebelah sini ada daun-daun hijau, padang lapang dan anak-anak kecil tak bersalah. Tapi di sebelah sana “angin tajam kering, tanah semata gersang, pasir bangkit mentanduskan”. Dan di antara kedua sisi itulah, antara suasana terbuka yang segar dan ancaman ketandusan pikiran, sang penyair merasa terapit. “Kita terapit, cintaku – mengecil diri . . . “

Tapi tak mandek. Ia bahkan mengajak terbang, the only possible nonstop flight, terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat. “Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati”. Yang penting bukanlah suatu arah, melainkan keberanian menjelajah. Yang penting bukanlah satu konklusi, melainkan eksplorasi.

Merpati itu mungkin capek kemudian, dan jatuh. Dan tahu, bahwa “ada yang tetap tidak diucapkan,/sebelum pada akhirnya kita menyerah”, seperti ditulisnya di ujung sebuah sajak yang mengharukan menjelang ia meninggal. Adakah itu kearifan,atau sebuah putus asa, untuk kita semua, kini ?

Goenawan Mohammad # 1 Februari 1986

Sabtu, 25 Februari 2012

Ferdinand Marcos : Hari Ini 26 Tahun Lalu



Ferdinand Marcos Ambruk 25 Februari 1986
Presiden Filipina Ferdinand Marcos (1917-1989) mengakhiri keadaan darurat di Filipina. Meski sukses dalam pembangunan dan diplomasi internasional, pemerintahannya dibekap korupsi masif, nepotisme, represi politik, dan pelanggaran HAM. Diktator itu ambruk oleh People Power pada Februari 1986

Siapa Ferdinad Marcos?

Ferdinand Edralín Marcos (Templat:Lahir mati) adalah Presiden kesepuluh Filipina. Ia menjabat dari 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.

Marcos lulus dari Fakultas Hukum Universitas Filipina dengan gelar cum laude pada tahun 1939. Ia turut berperang melawan Jepang dalam Perang Dunia II dan memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya selama perang. Pada tahun 1954, ia menikah dengan Imelda Romuáldez yang kelak akan membantunya dalam kampanye presidennya. Ia kemudian bergabung dengan Partai Nacionalista, dan bersama dengan calon wakil presidennya Fernando Lopez, ia mengalahkan presiden Diosdado Macapagal dalam pemilu 1965.

Marcos adalah presiden Filipina pertama yang terpilih untuk menjabat selama dua masa bakti berturut-turut secara penuh. Pada tahun 1972, ia mendirikan rezim otoriter yang memperbolehkannya tetap berkuasa hingga rezim tersebut dihapus pada 1981, dengan menggunakan hukum darurat militer sebagai alat untuk menekan oposisi. Ia kemudian dilantik kembali pada tahun yang sama untuk menjabat masa bakti selama enam tahun yang diwarnai pengaturan politik yang tidak baik, masalah kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak militer dan korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Pada masa inilah, terjadilah kasus pembunuhan pemimpin oposisi Benigno Aquino, Jr., yang terjadi tahun 1983. Hal ini mulai memicu ketidakpuasan publik terhadap pemerintahannya. Secara umum, rezim Marcos sama dengan rezim Orde Baru di Indonesia, dengan karakteristik yang hampir sama. Marcos memiliki visi Bagong Lipunan (Masyarakat baru), dimana doktrinnya adalah "orang miskin dan kaya harus bekerjasama satu sama lain untuk menuju satu tujuan masyarakat dan mencapai kebebasan melalui kesadaran diri". Karakter rezim ini yang serupa Orde Baru adalah lebih menekankan pembangunan ekonomi negara, yang banyak memanfaatkan pinjaman dari luar negeri.

Pada tahun 1986, ia terpilih untuk keempat kalinya dalam sebuah pemilu yang diduga dipengaruhi kecurangan. Marcos akhirnya diturunkan dari jabatannya sebagai presiden dalam Revolusi EDSA, sebuah revolusi yang damai di bawah pimpinan Corazon Aquino (janda Benigno Aquino), pada tahun yang sama.

Bersama dengan istrinya, Imelda, Marcos melarikan diri ke Hawaii. Di sana ia dituduh menggelapkan uang negara dan pinjaman dari luar negeri untuk kepentingannya dan kroni-kroninya (terutama pinjaman dari Amerika Serikat, yang merupakan sekutu terdekat Filipina) dan ditemukan bersalah. Marcos meninggal dunia di Honolulu, Hawaii pada tahun 1989 akibat penyakit ginjal, jantung, dan paru-paru. Marcos pertama dikebumikan di Hawaii, sejak itu dimakamkan di kuburan besar indah di Kota Batac, provinsi Ilocos Utara.

Ferdinand Marcos meninggal pada tanggal 28 September 1989 (umur 72)di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Sabtu, 18 Februari 2012

parlemen

Di sepetak taman di London, terpasang patung karya Rodin yang termashyur, Les Bourgeouis de Calais. Patung itu ternyata tak semegah seperti yang saya bayangkan dari gambarnya di buku seni rupa. Tapi ia karya Rodin: menggetarkan, wujud yang seperti meneruskan masa silam, tanpa rasa janggal, pada masa kini.

Sejarah memang bergaung di atasnya. Di sebelah kiri, mengalir Sungai Thames yang tua. Di belakangnya: gedung Parlemen.

Rodin mempersembahkan Les Bourgeouis de Calais ke taman Parlemen Inggris itu pada tahun 1913, untuk memperingati suatu peristiwa pada tahun 1347: ketika pasukan Inggris, di bawah Raja Edward III, mengepung kota Calais selama setahun, dan di tengah ancaman kelaparan yang terjadi, sejumlah orang kota Calais menyerahkan diri sebagai sandera, agar pengepungan segera diakhiri dan rakyat kota Calais bebas.

Les Bourgeouis : tiba-tiba kata itu tak sekadar bisa diterjemahkan menjadi ”borjouis”, dengan konotasinya yang menyebalkan. Tiba-tiba kata itu kembali ke arti semula, yang menggambarkan orang kota yang bebas, terhormat, dinamis, dang – mungkin aneh – juga heroik. Karl Marx sendiri – yang pengikutnya telah membuat kata ”borjuis” jadi kata kotor – pernah mengatakan betapapun tak heroiknya masyarakat borjuis, masyarakat itu lahir antara lain melalui ”heroisme” dan ”pengorbanan”.

Tidak Cuma di Calais. Gedung Parlemen Inggris itu juga salah satu saksi: sebuah lembaga yang berdiri sebelum kaum bourgeois ada, tapi baru mendapatkan harkatnya setelah wakil-wakil ”kalangan menengah” itu hadir di sana – dan kemudian menggerakkan, sedikit demi sedikit, apa yang disebut ”demokrasi” sampai kini.

Orang Inggris memang mujur dalam hal itu. Ada tradisi yang disebut witan dari orang Anglo-Saxon, yang menentukan agar pemegang tahta berkonsultasi dengan hambanya, untuk memutuskan satu hal yang sangat menyangkut hidup mereka. Tak mengherankan bila Sir Walter Raleigh pada abad ke-17 bisa membanggakan kelebihan sistem monarki Inggris atau “tirani bangsa Turki”.

Tapi toh Raleigh sedikit berilusi. Ia sendiri ikut dituduh berkomplot melawan Raja James I dan akhirnya dihukum pancung. Inggris pada awal abad ke-17 memang Inggris yang masih bisa sewenang-wenang.

Waktu itu, bepergian mencari kerja dianggap melanggar hukum. Seorang jaksa agung menyatakan, usaha bersama untuk menaikan gaji adalah pengkhianatan. Jual beli pun dikontrol: pemerintah memberikan monopoli kepada swasta tertentu untuk memproduksi barang, seperti sabun dan kaca jendela. Orang mati pun tak bebas: pada tahun 1622 ditentukan, jenazah harus diberi pakaian wol. Dan siapa tak ke gereja dihukum.

Juga Parlemen (kata aslinya, parliamentum, konon dipakai pertama kali November 1236) yang sudah 400 tahun itu tetap barang yang ringkih. Sidangnya tak teratur, terserah raja. Dan bila ada anggota yang omongnya tak berkenan di hati baginda, ia bisa ditahan tanpa proses pengadilan.

Maka apa yang menyebabkan kemudian Parlemen berani? Sebuah paradoks, kata majalah The Economist ketika membahas buku A History of Parliament karya Ronald Butt, yang baru terbit.
Dulu, para baron dan kesatrian yang menjadi anggota dewan itu selalu menjaga agar raja tak memajak rakyat. Namun bila tujuan ini berhasil, Parlemen justru akan kehilangan bobot. Raja Edward IV, misalnya, dapat memerintah tanpa dana dari rakyat. Maka ia pun tak membutuhkan parlemen, dan pada masanya, sidang lembaga ini semakin jarang.
Tapi ketika raja bokek dan pajak diperlukan, Parlemen pun dibutuhkan. Pada masa Charles I, misalnya. Tapi betapa malangnya raja ini. Ia mewarisi pandangan ayahnya, Raja James I, bahwa raja Inggris punya lisensi khusus dari Gusti Allah dan bisa memerintah tanpa parlemen. Tapi pada masa itu juga, ia mewarisi sisa perang dari ayahnya. Untuk itu ia butuh duit.

Ia pun memanggil parlemen bersidang. Tapi ia tak tahu zaman sudah lain. Parlemen yang dihadapinya sudah penuh dengan kekuatan sosial baru, orang-orang kelas menengah, les bourgeois yang butuh hak-hak baru.

“Jangan anggap ini ancaman,” kata Raja ketika ia mendesak parlemen agar menyetujui pajak lagi. “Saya tak sudi mengancam siapa pun yang tak sederajat dengan saya.”
Parlemen tahu penghinaan itu, dan akhirnya kita melihat: Charles I adalah raja yang dipancung 144 tahun sebelum Revolusi Prancis memancung rajanya. Demokrasi, pelbagai hak, rasanya memang tak bisa dipesan sekaligus, seperti kalau kita memesan nasi bungkus.

Goenawan Mohammad # 13 Mei 1989

Minggu, 12 Februari 2012

pemimpin

Seorang pemimpin yang baik, kata Tao, adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu sumbernya adalah air yang datang dari jauh pedalaman: sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.

Karena itu, kepemimpinan yang baik tak dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Good leadership consists of doing less and being more.

Carlos Salinas de Gortari mungkin belum mengerti ini. Atau ia tak terlampau diharapkan bisa jadi telaga Tao. Umurnya baru 40 tahun, walaupun ia tampak tua karena botak dengan kumis yang angker dan mulut yang yakin. Ia memang terpilih jadi Presiden Meksiko. Tetapi ia juga tampaknya contoh dari apa yang dicatat oleh majalah The Economist pekan lalu: kehidupan politik di negeri itu telah menegakkan tipe pemimpin yang ”tak lagi mendengar rumput yang tumbuh”.

Pemerintah Meksiko dipegang terus-menerus oleh Partai Revolusioner Institusional (PRI) semenjak tahun 1929. Masa panjang itu tak tersaingi oleh siapa pun di luar dunia komunis. Bedanya: partai komunis merasa mewakili keharusan terakhir dari sejarah manusia, yang katanya adalah kemenangan dari kapitalisme. PRI tak punya ajaran itu. Ajarannya hanya: stabilitas itu perlu.

Ajaran itu benar untuk suatu jangka waktu, dan bisa salah untuk jangka waktu yang lain. Selama hampir 60 tahun PRI menyediakan presiden dari kalangannya, juga gubernur, juga senator dan hampir semua wakil rakyat di majelis rendah. Kecuali satu, semua presiden sebelum Salinas bisa ”menang” 90 % suara. Orang menduga sebagian itu adalah palsu dan sebagian lagi suara rakyat yang telah kehilangan alternatif.

Akibatnya, menurut The Economist, adalah hal yang terjadi di mana saja bila kekuasaan berada di atas terlalu lama. Ada tendensi untuk jadi makin tegar – dan ”tegar” memang berarti kaku. Mungkin karena dasar pandangan yang selama itu dipergunakan tak hendak ditinjau kembali, berhubung tak ada saingan dan tak ada perbandingan. Sementara itu, perasaan selalu menang menyebabkan kian tipisnya sikap toleran. Siapa yang tak mau ikut dengan segera jadi pembangkang.
Tentu saja di Meksiko bukan tak ada keleluasaan. Tapi dalam keleluasaan juga ada kemandekan. Di Meksiko, menurut The Economist, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, kekuasaan telah beralih dari kaum politikus ke tangan kaum teknokrat. Barang kali juga birokrat – yang menyebabkan negeri itu, dalam kata-kata novelisnya yang termasyur, Carlos Fuentes, yang berlaku adalah ”hukum penolakan terlunak”.

Tak ada keterangan lebih jauh kenapa itu bisa terjadi. Tetapi barang kali kita tahu: politikus – profesi yang diremehkan dan dianggarp buruk itu – umumnya bertumbuh ketika orang-orang partai dan wakil rakyat berusaha keras dapat dukungan. Mereka harus menyambangi para pemilih, mendengarkan apa yang mereka katakan, menjabat tangan yang mereka sembunyikan, mencium pipi anak yang mereka gendong.

Singkatnya: mereka harus mengambil hati. Semua mungkin buat kepentingan sebuah ide. Atau semua itu buat kepentingan diri si politikus, agar dipilih. Tapi apapun tujuannya, akibat proses itu jelas: ada kontak yang langsung antara si calon anggota parlemen dan para calon pemilihnya.
Kontak semacam itu tentu tak diperlukan lagi, ketika sejumlah orang begitu yakin bahwa diri mereka toh akan menang dalam setiap pemilihan. Akibatnya, politikus tak perlu datang ke bawah. Pemerintah pun cukup punya gagasan yang pintar, dan tok-tok-tok, diputuskan untuk dilaksanakan. Tanpa ditawarkan.

Demikianlah cara Presiden Miguel de la Madrid memotong anggaran belanja pemerintah, menghapuskan subsidi, serta melakukan deregulasi. Itu tindakan yang tepas sebenarnya saat itu. Tapi ia tak merasa perlu menjelaskan alasannya kepada rakyat. Ia tentu tahu bahwa penghapusan subsidi bisa dalam waktu dekat memberati masyarakat. Tapi agaknya dia lupa bahwa ia perlu mengajak masyarakat untuk mengerti apa makna beban yang memberati itu. PRI telah semakin tak mendengar rumput yang tumbuh.

Mungkin itulah sebabnya ketidak-puasan kini menunjukkan diri. Tampaknya, dalam memimpin sebuah bangsa, pintar saja memang tak cukup, benar juga tak memadai. David Halberstam menulis The Best and the Brightest, tentang orang-orang pintar di sekeliling Presiden Kennedy yang memutuskan agar Amerika terlibat jauh ke Perang Vietnam. Tujuan perang itu mungkin mempesonakan, tapi kemudian kita tahu bagaimana ia gagal: ia adalah sebuah ikhtiar nasional yang tak cukup didukung sebagai ikhtiar nasional. Perang itu mungkin hasil rancangan the best and the brightest, tapi para piawai itu tak pernah sekalipun merasakan terik dan capeknya berjuang untuk mendengarkan suara rakyat, dipilih oleh rakyat.

Mereka tak menampung. Mereka bukan danau yang dalam. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan bapak pimpinan.

Goenawan Mohammad # 23 Juli 1988
Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Minggu, 29 Januari 2012

WARGA NEGARA DAN NEGARA (bag 1)

hukum keadilan,keadilan,hukum,politik indonesia,indonesian politics,negara,bangsa indonesia,pengadilan,mencari keadilan,hakim

HUKUM DAN NEGARA

Hukum Menurut JCT. Simorangkir SH. dan Woerjono Sastropranoto SH. Bahwa hkum sebagai peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib.
Ciri dan sifat hukum :
• Adanya larangan-larangan hukum di suatu lingkungan masyarakat
• Larangan tersebut harus di patuhi oleh setiap orang
Sumber-sumber hukum :
Segala sesuatunya akan menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan secara memaksa dan kalau dilanggar akan mendapat sanksi-sanksi yang tegas dan nyata.

Sumber hukum formal :
1. Undang-undang (statute), yaitu hokum yang ada di peraturan undang-undang;
2. Kebiasaan (costum), perbuatan manusia yang di ulang-ulang dalam hal yang sama dan di terima oleh masyarakat;
3. Keputusan hakim (yurisprudensi), keputusan hakim yang terdahulu yang akan di jadikan dasar keputusan mengeni masalah yang sama;
4. Traktat (treaty), perjanjian anatara dua orang atau lebih dalam suatu hal yang terikat dalam perjanjian tersebut;
5. Pendapat sarjana hukum, pendapat sarjana yang sering di kutip oleh para hakim dalam menyelesaikan suatu masalah.

Pembagian hukum

Menurut “sumbernya”
• Hukum undang-undang,
• Hukum kebiasaan
• Hukum traktat
• Hukum yurisprudensi

Menurut “bentuknya”
• Hukum tertulis: Hukum terkodifikasi dan Hukum tidak terkodifikasi.
• Hukum tidak tertulis

Menurut “tempat berlakunya”
• Hukum Nasional
• Hukum Internasional
• Hukum Asing
• Hukum Gereja

Menurut “waktu berlakunya”
• Ius Constitutum (hukum Positif)
• Ius Contituendum
• Hukum Asasi (hukum Alam)

Menurut “cara mempetahankan”
• Hukum Material
• Hukum Formal

Menurut “sifatnya”
• Hukum yang memaksa
• Hukum yang mengatur

Menurut “wujudnya”
• Hukum Obyektif
• Hukum Subyektif

Menurut “isinya”
• Hukum Privat (Hukum Sipil),
• Hukum Publik (Hukum Negara

Tugas Pokok Negara
: mengatur dan mengendalikan gejala kekuasaan asosial , Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia di dalam tujuan sosial
Sistem hukum terurai dalam tiga komponen, yaitu:
1) Substansi
2) Struktur
3) kultur
Proses interaksi dalam masyarakat mempunyai 10 aspek penganalisa, yaitu:
1. Jangan mengidentifikasi “hukum” dengan “kebenaran keadilan”.
2. Harus selalu adil dan benar dengan sendirinya.
3. Hukum tetap mengabdikan diri untuk meminjam kegiatan masa, system dan bentuk pemerintah.
4. Mengandung unsur keadilan atau kebaikan.
5. Hukum didefinisikan dengan kekuatan atau kekuasaan.
6. Bermacam-macam hukum.
7. Jangan apriori hukum adat lebih baik.
8. Jangan mencampur adukan substansi hukum.
9. Jangan mencampur adukan “law is activis” dengan “law in books”.
10. Jangan menganggap sama aspek terjang penegak hukum dengan hukum.

NEGARA

Tugas Utama Negara :
1) Mengatur dan menertibkan gejala yang ada didalam masyarakat;
2) Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongannya untuk menciptakan tujuan bersama.

Sifat-sifat Negara :


1. Sifat memaksa
2. Sifat monopoli
3. Sifat mencakup semua

Bentuk Negara :

1) Negara Kesatuan
• Sistem sentralisasi
• Sistem desentralisasi
2) Negara Serikat ( Negara Federasi)

Perbedaan Negara Didenstralisir dengan Negara Federasi


Negara Kesatuan

negara kesatuan dahulu baru dibentuk daerah otonomi
hanya ada satu pembuat UUD : pemerintah pusat
pemerintah pusat yang didistribusikan kepada daerah otonom

Negara Federasi


negara bagian terlebih dahulu, membentuk negara serikat
ada 2 pembuatan UUD : pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
pemerintah negara bagian yang dikontribusikan pada pemerintah federal

NEGARA


Bentuk Kenegaraan :

1. Negara Dominan
2. Negara Uni :
• Uni Rill
• Uni Personil

Unsur-unsur Negara

1. Mempunyai wilayah;
2. Mempunyai rakyat;
3. Mempunyai pemerintah;
4. Mempunyai tujuan dalam mendirikan negara;
5. Mempunyai kedaulatan.

Tujuan Negara

• Memperluas kekuasaan semata;
• Memperluas kekuasaan untuk mencapai tujuan;
• Menyelenggarakan ketertiban hukum;
• Menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Tujuan Negara Republik Indonesia

1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Sifat Kedaulatan

• Permanen
• Absolute.
• Tidak terbagi-bagi kekuasaannya.
• Tidak terbatas.

Sumber Kedaulatan

1) Teori Kedaulatan Tuhan
2) Teori Kedaulatan Rakyat
3) Teori Kedaulatan Negara
4) Teori Kedaulatan Hukum

bersambung - to be continue

Senin, 23 Januari 2012

SISTEM POLITIK INDONESIA

Pengertian sistem Politik

Pengertian Sistem

Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.

Pengertian Politik

Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara.
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.

Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng

Pengertian Sistem Politik di Indonesia


Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.

Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.

Sejarah Politik Di Indonesia

Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
  • Masa prakolonial
  • Masa kolonial (penjajahan)
  • Masa Demokrasi Liberal
  • Masa Demokrasi terpimpin
  • Masa Demokrasi Pancasila
  • Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
  • Penyaluran tuntutan
  • Pemeliharaan nilai
  • Kapabilitas
  • Integrasi vertikal
  • Integrasi horizontal
  • Gaya politik
  • Kepemimpinan
  • Partisipasi massa
  • Keterlibatan militer
  • Aparat negara
  • Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :

Masa prakolonial (Kerajaan)

  • Penyaluran tuntutan : rendah dan terpenuhi
  • Pemeliharaan nilai : disesuikan dengan penguasa
  • Kapabilitas : SDA melimpah
  • Integrasi vertikal : atas bawah
  • Integrasi horizontal : nampak hanya sesama penguasa kerajaan
  • Gaya politik : kerajaan
  • Kepemimpinan : raja, pangeran dan keluarga kerajaan
  • Partisipasi massa : sangat rendah
  • Keterlibatan militer : sangat kuat karena berkaitan dengan perang
  • Aparat negara : loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
  • Stabilitas : stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
Masa kolonial (penjajahan)
  • Penyaluran tuntutan : rendah dan tidak terpenuhi
  • Pemeliharaan nilai : sering terjadi pelanggaran ham
  • Kapabilitas : melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
  • Integrasi vertikal : atas bawah tidak harmonis
  • Integrasi horizontal : harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
  • Gaya politik : penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
  • Kepemimpinan : dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
  • Partisipasi massa : sangat rendah bahkan tidak ada
  • Keterlibatan militer : sangat besar
  • Aparat negara : loyal kepada penjajah
  • Stabilitas : stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
Masa Demokrasi Liberal
  • Penyaluran tuntutan : tinggi tapi sistem belum memadani
  • Pemeliharaan nilai : penghargaan HAM tinggi
  • Kapabilitas : baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
  • Integrasi vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
  • Integrasi horizontal : disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
  • Gaya politik : ideologis
  • Kepemimpinan : angkatan sumpah pemuda tahun 1928
  • Partisipasi massa : sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
  • Keterlibatan militer : militer dikuasai oleh sipil
  • Aparat negara : loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
  • Stabilitas : instabil
Masa Demokrasi terpimpin
  • Penyaluran tuntutan : tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
  • Pemeliharaan nilai : Penghormatan HAM rendah
  • Kapabilitas : abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
  • Integrasi vertikal : atas bawah
  • Integrasi horizontal : berperan solidarity makers,
  • Gaya politik : ideolog, nasakom
  • Kepemimpinan : tokoh kharismatik dan paternalistik
  • Partisipasi massa : dibatasi
  • Keterlibatan militer : militer masuk ke pemerintahan
  • Aparat negara : loyal kepada negara
  • Stabilitas : stabil
Masa Demokrasi Pancasila
  • Penyaluran tuntutan : awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
  • Pemeliharaan nilai : terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
  • Kapabilitas : sistem terbuka
  • Integrasi vertikal : atas bawah
  • Integrasi horizontal : nampak
  • Gaya politik : intelek, pragmatik, konsep pembangunan
  • Kepemimpinan : teknokrat dan ABRI
  • Partisipasi massa : awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
  • Keterlibatan militer : merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
  • Aparat negara : loyal kepada pemerintah (Golkar)
  • Stabilitas : stabil
Masa Reformasi
  • Penyaluran tuntutan : tinggi dan terpenuhi
  • Pemeliharaan nilai : Penghormatan HAM tinggi
  • Kapabilitas : disesuaikan dengan Otonomi daerah
  • Integrasi vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
  • Integrasi horizontal : nampak, muncul kebebasan (euforia)
  • Gaya politik : pragmatik
  • Kepemimpinan : sipil, purnawiranan, politisi
  • Partisipasi massa : tinggi
  • Keterlibatan militer : dibatasi
  • Aparat negara : harus loyal kepada negara bukan pemerintah
  • Stabilitas : instabil

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons