Minggu, 12 Agustus 2012

revolusi, kata john lennon

Para diktator suka punya mimpi yang mustahil. Napoleon, misalnya: ia tidak saja ingin membereskan masa kini dan mengatur masa datang; ia juga ingin mengarahkan masa lalu.

Ia sudah memberangus pers dan kini ia coba berangus kenang-kenangan. Ia nyatakan bahwa Revolusi Prancis, yang meletus tahun 1789, berakhir pada tahun 1799. lalu ia dirikan sebuah patung gajah. Diharapkan agar Revolusi Prancis, yang tiap tahun diperingati pada hari dihancurkannya Penjara Bastille itu, berangsur-angsur dilupakan orang. Dengan satu monumen gajah besar, yang dibangun dalam posisi menginjak tempat penjara Bastille dulu diruntuhkan, ia seperti mau menghapus bekas: jejak sebuah episode.

Tapi ternyata semua gagal. Bangunan yang mulai didirikan pada tahun 1814 itu akhirnya rontok pada tahun 1846. napoleon sendiri akhirnya kalah perang, dan kita ingat ia mati di pembuangan.
Sebaliknya, Revolusi Prancis tetap diperingati. Pada tahun 1989 ini sejarawan Simon Schama menulis dalam Citizens, sebuah cerita panjang yang memukau tentang Revolusi Prancis: ”The elephant of Deliberate Forgetfullness was . . . no match for the Persistence of Revolutionary Memory”. Si Gajah Sengaja-Lupa rupanya kalah bertanding dengan Kenangan-Alot-Revolusi.
Kenapa ? Kenapa kenangan tentang revolusi tak pernah bisa jadi nasi basi?

Karena revolusi adalah sebuah Kurusetra: di sana ada begitu banyak wajah manusia dalam ekspresi yang paling intens. Baca saja sketsa Idrus tentang Surabaya di tahun 1945. Tindakan heroik untuk satu ide yang tak tanggung-tanggung. Kebuasan yang dahsyat atas nama keadilan. Pengkhiatan yang menyakitkan atas nama kearifan. Darah dan doa, api dan cita-cita, kecutnya keringat dan frustasi, teriak dan juga harapan terakhir.

Segalanya dihimpun dan dipertaruhkan, segalanya dicurahkan dan diikhlaskan. Mungkin sebab itu revolusi adalah sesuatu yang mengandung antitesisnya sendiri. ”Revolusi adalah sesuatu yang mencapekkan”, kata Jacques Sole mahaguru sejarah dari Grenoble yang pekan lalu berbicara di Yogya dalam satu seminar memperingati 200 tahun Revolusi Prancis.

Sole mengatakan ketika ia menjawab sebuah pertanyaan yang bagus dari hadirin: kenapa cita-cita Revolusi Prancis – untuk kebebasan, persamaan dan persaudaraan – begitu cepat mandek di tengah jalan. Revolusi begitu melelahkan, hingga di ujungnya, rakyat menyerah saja kepada orang kuat dengan lengan dan ambisi yang lebih kuat. Akhirnya, kebebasan hilang, persamaan punah, persaudaraan raib.

Napoleon adalah salah satu pertandanya: prajurit dari revolusi yang begitu diangkat untuk berkuasa menobatkan diri sendiri sebagai raja diraja dan menginjak segala bentuk kebebasan seperti patung gajahnya yang ingin menginjak kenang-kenangan.

Tapi barangkali antitesis revolusi bukan lahir semata-mata karena sang revolusi mencapekkan. Revolusi berangkat selalu dengan sikap ”kita-yang-paling-benar”, untuk bisa memobilisasi jiwa dan raga dan impian dan kemarahan. Maka ia niscaya cenderung mendirikan satu lemabaga yang kukuh tapi tidak ramah. Revolusi Prancis, akhirnya mendirikan sebuah republik perkasa – yang kalau perlu menindas segala niat untuk liberte, egalite, fraternite. Teror pun ditegakkan. Tokohnya, Saint-Just (nama yang terlampau sempurna untuk bisa toleran), meraung seram: ”Republik terdiri atas pembasmian apa saja yang menentangnya.”

Berapa kepala dipotong dan berapa wilayah diluluhlantakan? Pada akhirnya Revolusi Prancis melahirkan paradoks – mungkin kontradiksi – yang kemudian juga nampak dalam revolusi-revolusi besar sesudahnya. Kejadian revolusioner, seperti halnya konon penciptaan alam semesta, bagaimanapun adalah sesuatu yang sublim dan sekaligus mengerikan. Niat revolusi sendiri di satu pihak mendorong ke arah berkibarnya hak dan kebebasan manusia, tapi di lain pihak terdorong ke arah konsolidasi persatuan yang justru melindas kebebasan manusia itu, dengan darah.

”Memang perlu darah untuk menyemen revolusi,” kata seorang wanita revolusioner Prancis dengan antusias – dan ia sendiri kemudian dipancung. ”Kalau mau membuat omelet, telur harus dipecah,” kata tokoh revolusi Trotsky dengan dingin, ia sendiri, persisnya kepalanya, kemudian juga jadi telur yang pecah, dikapak seorang agen Stalin.

Maka, siapa yang ingin mengubah dunia tanpa itu semua, dengarkan saja John Lennon menyanyi. ”Yah, kita semua ingin mengubah dunia, kau tahu,” katanya. ”Tapi bila kau omong tentang penghancuran, jangan sertakan aku.” Don’t you know that it’s going to be allright, allright, allright?

Siapa tahu, John, siapa tahu.

Goenawan Mohammad # 17 Juni 1989

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons