Jumat, 28 Desember 2018

Karakter Seorang Ekonomis a.k.a Ahli Ekonomi


Di Indonesia, kalau kita baca suasana dan popularitas orang-orang yang sering muncul di televisi, sudah pasti ekonom kalah jauh daripada politisi. Bahkan bila sang politisi itu adalah ekonomi, orang lebih paham bahwa beliau adalah politisi.

Siapakah dan bagaimanakah karakter ekonomis atau ahli ekonomi itu ? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita lihat dulu apa itu ekonomi.

Di SMA atau SMP, ekonomi kita ketahui sebagai ilmu mempelajari bagaimana mencari keuntungan. Hampir semua orang akan ingat bahwa ekonomi adalah aktifitas dimana orang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan seminimal mungkin. Ekonomi lebih dari itu, karena perekonomian bukan hanya persoalan individu orang-per-orang namun juga bagaimana sebagai negara, nilai rupiah Indonesia kuat dan stabil, pengangguran kecil, ekspor lebih seimbang dengan impor dll.

Solusi dari tema dan permasalahan di atas, sesungguhnya ada rumusnya; sebagaimana berdagang pun ada rumusnya, yaitu beli Rp 1.000, dijual Rp 1.300. Nah, masalah rupiah, pengangguran dan ekspor pun ada rumusnya. Hanya saja karena keterbatasan ruang tidak dapat saya jelaskan secara memadai. Yang penting dari ilustrasi di atas adalah ekonomi dan perekonomian menyangkut kepentingan individu dalam skala pribadi hingga skala negara.

Maka, karakter pertama seorang ekonom adalah dia seorang yang berhati-hati karena keputusan dan kebijakannya bisa berpengaruh negatif kepada semua orang atau paling tidak berpengaruh negatif kepada sebagian orang dan berpengaruh positif kepada orang lain. Dalam setiap perumusan solusi atas permasalahan ekonomi akan ada sisi positif dan sisi negatif yang harus siap ditanggung. Bahasa kerennya trade-off<\bold>. Silakan googling apa yang dimaksud dengan trade-off dalam konteks perekonomian, maka anda akan sedikit lebih pintar daripada "ahli ekonomi" tanpa harus kuliah ekonomi.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan berikan contoh ilustrasi imajinatif tentang trade-off :
"Indonesia ingin menekan impor, dengan tujuan agar neraca perdagangan luar negeri Indonesia berimbang. Sementara ini, impor hampir lebih tinggi 50% daripada ekspor. Caranya adalah dengan meningkatkan bea impor, agar permintaan terhadap barang impor tersebut turun dan impor pun turun. Sayangnya, barang substitusi yang diproduksi di dalam negeri belum tersedia. Sementara, mayoritas produk impor adalah produk setengah jadi yang dibutuhkan industri. Sehingga, peningkatan bea impor pada akhirnya akan memberatkan konsumen. Pada kondisi seperti inilah "jual-beli" antara kepentingan dan sentimen nasionalisme dihadapkan kepada kepentingan industri dan konsumen secara kesuluruhan. Seorang ekonom harus berada di dua kutub tersebut dan mengambil kesimpulan dan keputusan yang sebisa mungkin menimbulkan efek negatif hanya pada sebagian kecil pihal.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons