Senin, 31 Januari 2011

Catatan Singkat Untuk Vonis Ariel

Begitu tahu vonis Ariel di televisi kemarin, saya langsung teringat beberapa berita di surat kabar beberapa belas tahun lalu. Dahulu begitu ada orang yang tertangkap basah berbuat asusila akan segera dihukum oleh masyarakat. Hukumannya antara lain; diarak keliling kampung, dinikahkan paksa, diusir atau hukuman adat lainnya. Dibeberapa daerah konon masih ada hukuman adat seperti itu. Namun, semakin lama hukum adat itu kian ditinggalkan. Mungkin karena sudah UU Pornografi dan Pornoaksi.

Zaman sekarang "definisi" tertangkap basah berkembang. Ini karena adanya teknologi baru, terutama ponsel berkamera dan internet. Kalau dahulu tertangkap basah itu ketika laki-laki perempuan ketahuan menginap di kamar atau dirumah. Kalau sekarang apakah gambar adegan begituan sudah bisa dikategorikan "tertangkap basah" ?

Satu lagi yang terus berputar-putar dalam pikiran saya adalah mengenai hukuman yang diterima Ariel. Kalau dulu seseorang bisa ditelanjangi dan diarak keliling kampung atau dipaksa nikah, sekarang Ariel atau siapa pun tak perlu menjalani semua itu. Dia hanya perlu tidur dan bermalas-malasan di dalam penjara selama 3 tahun. Bahkan bisa saja hanya 1,5 tahun kalau dapat remisi. Hukum positif lebih baik bagi Ariel daripada hukum adat yang berlaku beberapa puluh tahun lalu. Tetapi apakah hukum adat lebih jelek dari pada hukum positif dimata keadilan dan tata sosial dan moralitas masyarakat ?

Saya kira kok tidak..... Menurut Anda ?

Sabtu, 22 Januari 2011

Soliditas Birokrasi Pascapilkada

Tahun ini (2009) ada 17 daerah kota/kabupaten di Jateng yang mengagendakan pilkada langsung. Empat belas daerah sudah melaksanakan agenda itu dengan segala plus-minusnya. Terdapat perkembangan menarik yang terkait dengan peran, posisi dan tanggung jawab birokrasi dalam politik pilkada, yang nyaris luput dari perhatian banyak pihak, termasuk kalangan pers.

YANG dimaksud dengan perkembangan menarik adalah muncul kecenderungan yang kuat bahwa ketika kesempatan terbuka lebar, para birokrat memiliki kemauan untuk ikut memperebutkan jabatan politik. Mereka mengajukan diri sebagai kandidat pasangan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Mereka umumnya top manager atau middle manager di daerah, khususnya yang duduk pada eselon II seperti sekretaris daerah (sekda), kepala dinas, kepala badan, dan sebagainya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapkah para birokrat menerima berbagai implikasi yang timbul pascapilkada? Apakah mereka sebenarnya benar-benar siap kalah? Pertanyaan tentang apakah mereka siap menang sengaja tidak diungkap, karena banyak bukti menunjukan mereka sebenarnya lebih merasa dan mempersiapkan diri untuk menang. Soal kalah, umumnya mereka berpikir ''bagaimana nanti sajalah''.

Secara teoritik, debat soal netralitas birokrasi dalam politik (baik politik nasional maupun lokal) merupakan tema lama, yang selalu aktual untuk dibicarakan, karena menyangkut dinamika realitas pemerintahan yang hampir setiap saat terjadi dalam praktik politik.

Ada dua aliran besar dalam ilmu politik menyangkut netralitas birokrasi dalam politik. Pertama, aliran yang dimotori para ahli administrasi klasik seperti W Wilson dan kawan-kawan. Menurut Wilson, birokrasi harus netral dan steril dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok ini, birokrasi merupakan sesuatu yang bersifat administratif-mekanistik. Berarti birokrasi tidak lebih dari sekadar pelaksana kebijakan. Ia tidak boleh masuk dalam kontekstualitas pengambilan kebijakan politik, apalagi bertarung memperebutkan jabatan politik.

Paradigma aliran pertama ini sangat kuat menegaskan, jika birokrasi terlibat dalam politik, maka sejak itulah birokrasi akan rusak dan makin tidak dipercaya masyarakat. Artinya, birokrasi kemudian mengalami krisis kepercayaan yang bisa berakibat fatal bagi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahannya.

Kedua, aliran yang dimotori para ahli dan praktisi administrasi publik yang lebih progresif menolak pemikiran aliran pertama. Aliran ini antara lain dipelopori oleh James Svara dan George Edward II. Menurut kelompok pemikir ini, pertanyaan yang seharusnya dikedepankan bukan soal netralitas birokrasi, melainkan apakah birokrasi harus netral ketika napas kehidupan dan lingkungan yang digelutinya adalah politik?

George Edward II bahkan mengibaratkan lebih mendalam, bahwa birokrat dan politik bak ikan dan air, yang keduanya tidak bisa dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam pemikiran ini, alternatif yang ditawarkan adalah birokrasi tidak bisa tidak harus engage (terlibat) dalam politik, karena ikut menentukan masa depan organisasi dan kehidupan politiknya.

Pertarungan dua aliran besar itu hingga kini belum benar-benar berakhir atau belum memperoleh titik temu. Dalam politik lokal Indonesia, terbukti cukup banyak birokrat yang berpikir untuk tidak berpolitik sama sekali. Pada sisi lain ada pula birokrat yang berpikir, kalau ada peluang kenapa tidak berpolitik?

Tren ke Depan?

Kecenderungan birokrat mencalonkan diri sebagai peserta pilkada menunjukan hal yang sering terjadi dan sangat mungkin menjadi tren politik ke depan. Mereka yang menempati eselon II mempunyai lebih banyak kemauan untuk maju dalam pilkada ketimbang eselon-eselon di bawahnya. Ada beberapa alasan mengapa para birokrat menentukan pilihan dengan memilih bertarung dalam pilkada langsung.

Pertama, mereka memiliki hak asasi politik untuk mengajukan diri dalam kompetisi politik memperebutkan jabatan puncak di daerah. Kedua, mereka mengaku dilamar partai politik atau koalisi partai politik, sehingga melihatnya sebagai amanah untuk maju dalam arena pilkada.

Ketiga, mereka menempati top managers atau high managers dalam birokrasi pemerintahan, sehinga wajar kalau kemudian memutuskan maju dalam pilkada. Keempat, perhitungan rasionalitas bahwa dalam waktu dekat mereka akan memasuki masa pensiun. Sehingga tak ada pilihan lain, kecuali mesti ikut kompetisi politik dalam pilkada.

Dalam konteks Jawa Tengah, kecenderungan ini memang menggejala di beberapa daerah seperti di Blora, Kendal, Rembang, Kabupaten Semarang, Purbalingga, dan Wonosobo. Bagi birokrat atau mantan birokrat yang maju ke arena pilkada dan memenanginya, barangkali tidak menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan soliditas dan profesionalisme birokrasi pemerintahan daerah.

Yang menarik dalam konteks ini adalah apa yang terjadi di Purbalingga, di mana sekda Kabupaten Kudus mencalonkan diri sebagai wakil bupati dan berhasil memenangi pilkada. Secara politik, hal ini tidak banyak memengaruhi soliditas birokrasi di Kudus karena sekda bertarung dalam kompetisi politik di wilayah lain. Ini justru menimbulkan regenerasi kepemimpinan di birokrasi Pemkab Kudus, karena jabatan sekda kemudian diperebutkan oleh mereka yang memenuhi syarat. Artinya, gerbong regenerasi malah berjalan dengan baik.

Kondisi itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi di Kendal. Kekalahan tipis mantan sekda dari bupati lama (yang dulu mengusulkan orang itu sebagai sekda) menempatkan konstelasi politik yang tak manis. Bahkan banyak pegawai daerah di Kendal yang berdemonstrasi menuntut bupati lama yang terpilih lagi. Tuntutan-tuntutan para pegawai agar bupati terpilih diperiksa --karena menduga melakukan berbagai penyimpangan-- merupakan gejala baru dalam politik lokal di Indonesia.

Demonstrasi anak buah terhadap pimpinannya, sebagaimana terjadi di Kendal, barangkali juga belajar dari pengalaman Pemkab Temanggung, Demak, dan Wonogiri. Demonstrasi yang dulu hanya dikenal sebagai alat perjuangan mahasiswa dan kelas menengah politik untuk melawan rezime yang tak kondusif, ternyata digunakan pula oleh para pegawai publik untuk menggugat pimpinannya. Tidak bisa dimungkiri, apa yang terjadi di Temanggung merupakan fenomena menarik yang mengilhami berbagai demonstrasi pegawai publik di lain daerah.

Soliditas dan netralitas birokrasi kemudian jadi pertanyaan besar. Budaya politik Indonesia yang cenderung mengajarkan pimpinan baru untuk menggunakan staf atau pejabat baru, sehingga menyingkirkan pejabat lama (yang dipandang tak loyal), menjadi sesuatu yang sulit untuk tidak dilakukan.

Yang nampaknya aneh, hal ini kadang-kadang tidak dipikirkan oleh birokrat yang maju dalam pilkada. Risiko politik tidak pernah dikalkulasi. Yang dikalkulasi hanya risiko menang. Dengan kata lain, post power syndrome atau post pilkada syndrome tidak pernah dibayangkan sebelumnya, jika risiko kalah itu yang terjadi.

Birokrasi Terbelah

Implikasi pascapilkada yang diikuti birokrat sebagai salah satu calonnya maupun incumbent leaders (kepala daerah/wakil kepala daerah) adalah birokrasi terbelah atau minimal retak. Dalam UU Pilkada, serta ditegaskan lagi oleh otoritas pemerintah pusat, terdapat larangan birokrat atau PNS berpolitik. Tetapi dalam wacana informalitas politik, para birokrat jelas tak bisa menghindari permainan politik dalam pilkada. Apalagi jika ada birokrat yang mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat.

Akibat lebih jauh, birokrasi (di bawah permukaan) terpola dalam berbagai faksi yang berafiliasi ke pasangan tertentu. Secara formal, kondisi ini akan berakhir setelah pelantikan pejabat politik terpilih. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperbaiki soliditas birokrasi sebagai imbas dari politisasi selama berlangsung pilkada.

Apa yang terjadi di beberapa daerah yang telah melaksanakan pilkada, seperti Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Purworejo, Blora, Wonosobo, dan sebagainya, menunjukkan persoalan soliditas bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Formalitas politik yang ditunjukan melalui demonstrasi di Kendal, dan mundurnya Sekda Kota Semarang Saman Kadarisman yang juga mantan penjabat wali kota, sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Artinya persoalan internal yang dihadapi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terpilih sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.

Banyak ahli menyatakan, hal ini sebagai ''luka politik'' pascapilkada. Ada kecenderungan potensi birokrat ke depan akan terus terlibat dalam proses politik pilkada. Karena itu, dibutuhkan political therapy yang memungkinkan profesionalisme birokrasi lokal tetap terjaga. Hal ini berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih harus mempunyai keterampilan politik dalam mengelola persoalan soliditas dan komitmen birokrasi.

Bukan rahasia lagi, bahwa menyelesaikan persoalan internal birokrasi tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan kekuasaan. Lebih dari itu, diperlukan berbagai upaya dan pendekatan multidimensional yang memungkinkan pengembalian peran birokrasi ke tugas pokok fungsinya sebagai pelayanan publik.

Dalam konteks seperti ini, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah semestinya banyak menggunakan rasionalitas dan profesionalisme dalam menata kembali fungsi dan peran birokrasi. Itu berarti mereka harus mampu mengatur irama dalam mengelola pemerintahan.

Salah satu saran paling penting dalam hal ini adalah agar kepala daerah/wakil kepala daerah tidak tergesa-gesa mengganti pejabat-pejabat yang ada di dalam lingkungan kekuasaannya. Keuntungan yang diperoleh cara ini antara lain adanya image publik bahwa pemimpin terpilih tidak mendasarkan diri pada aspek dendam dalam mengelola pemerintahan.

Kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih juga memiliki cukup waktu untuk melakukan proses perenungan dan mempertimbangkan berbagai hal mengenai apa, siapa, dan bagaimana seorang pejabat di bawahnya mesti diganti. Proses ini juga memungkinkan kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat masukan dari berbagai pihak, sekaligus menguji secara langsung kapasitas pejabat publik yang hendak dipromosikan.

Pada sisi lain, birokrasi dengan semua jajarannya akan merasa welcome apabila pemimpinnya mau mendengar masukan dan saran dari anak buahnya, bertindak dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa (grusa-grusu), dan berbagai tindakan lainnya yang memungkinkan proses organizational learning (pembelajaran organisasi) bisa berjalan dalam suatu daerah.

Dengan demikian, aspek kepemimpinan yang berlandaskan profesionalisme, kedewasaan (maturity) dan kesungguhan merupakan salah satu modal dasar yang harus dimiliki setiap kepala daerah serta wakil kepala daerah. Kasus kepemimpinan Bupati Temanggung barangkali merupakan salah satu cermin yang menarik, yang bisa digunakan sebagai pelajaran untuk memperbaiki kualitas dan profesionalisme birokrasi kini dan mendatang. (32)

--Drs Teguh Yuwono MPol Admin, analis kebijakan dan manajemen publik, dosen FISIP Undip Semarang.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/11/nas12.htm5:31

DEMOKRASI DAN KEKECEWAAN

17 Oktober 1952: di pagi hari itu sekitar 5000 orang muncul di jalanan Jakarta. Pada pukul 8, mereka sudah berhimpun di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Tak jelas siapa yang memimpin dan organisasi apa yang mengerahkan mereka, tapi yang mereka tuntut diutarakan dengan tegas: “Bubarkan Parlemen”. Kata sebuah poster, “Parlemen untuk Demokrasi, bukan Demokrasi untuk Parlemen”.
Tak lama kemudian mereka memasuki gedung perwakilan rakyat itu, menghancurkan beberapa kursi dan merusak kantin yang biasanya diperuntukkan bagi para legislator.
Dari sini, rombongan demonstran bergerak ke jalan lagi. Peserta makin bertambah besar. Akhirnya mereka, mencapai 3o ribu orang banyaknya, sampai ke Istana Negara. Mereka ingin menghadap presiden. Bung Karno, yang mengetahui apa yang dituntut para demonstran itu, akhirnya muncul. Dalam pidato singkat ia mengatakan: ia tak akan
membubarkan Parlemen. Ia tak ingin jadi diktator. Ia hanya berjanji pemilihan umum akan diselenggarakan segera.
Ringkas kata, Bung Karno menolak. Tapi rekaman ucapannya menunjukkan bahwa ia juga punya ketidaksukaan yang sama kepada “demokrasi liberal” yang dianggapnya sebagai cangkokan “Barat” itu. Di tahun 1959, ia membubarkan dewan perwakilan pilihan rakyat dan mengubah Indonesia dengan menerapkan “demokrasi terpimpin”.
Sistem ini kemudian berakhir di tahun 1966, ketika “Orde Baru” memperkenalkan format politik yang disebutnya “demokrasi Pancasila”—yang sebenarnya merupakan varian baru bagi “demokrasi terpimpin”. Boleh dikatakan, dalam “Orde Baru”, sebagian dari yang dikehendaki para penuntut pada tanggal 17 Oktober itu dipenuhi.
Kita tahu, seperti dicatat oleh Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, bahwa para perwira Angkatan Darat berada di belakang aksi hari itu. Sementara Bung Karno berpidato, militer memasang dua buah tank, beberapa panser, empat batang kanon yang ditujukan ke Istana: penegasan agar Presiden membubarkan Parlemen dan melikuidasi demokrasi liberal. Kita kemudian tahu, dalam “demokrasi Pancasila” yang ditegakkan Angkatan Darat, DPR memang dipilih secara reguler, tapi pada akhinya, kontruksi sang penguasa—dalam hal ini Suharto—yang menentukan. Berangsur-angsur, kekuasaan berkembang dari sifat “birokratik-otoriter” menjadi otokratik. Suharto mengulangi posisi Bung Karno sebagai “Pemimpin Besar Revolusi”, dengan gelar yang berbeda.
Di tahun 1998, otokrasi Suharto itu rubuh. Indonesia mendapatkan “demokrasi liberal”—nya kembali. Satu dasawarsa kemudian, kita masih tampak percaya kepada demokrasi ini—jika itu berarti pemilihan umum yang reguler, partisipasi masyarakat pemilih lewat partai, pembentukan undang-undang melalui para legislator di parlemen, pengawasan kinerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih rakyat. Tapi akan bertahankah kepercayaan itu?
Kita bisa menduga—melihat betapa korupnya para anggota DPR sekarang, melihat tak jelasnya lagi alasan hidup partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi—Indonesia sedang memasuki sebuah masa, ketika rakyat—dengan hak penuh untuk memilih dan tak memilih—akan mencemooh, bahkan mencurigai, para pemegang peran dalam demokrasi parlementer yang ada.
Saya tak akan meramalkan bahwa “Peristiwa 17 Oktober” baru akan terjadi segera. Tapi saya kira siapa pun bisa melihat, kita akan hidup dengan harapan-harapan yang retak kepada demokrasi liberal. Dan tak akan mengherankan bila kita akan segera mendengar kecaman seperti yang pernah diutarakan novelis, Pemenang Nobel, Saramago: “Pemilihan umum telah jadi representasi komedi absurd, yang memalukan”.
Dalam pembicaraan saya hari ini, saya akan mencoba menunjukkan, bahwa disilusi seperti itu memang tak akan terelakkan. Persoalannya kemudian, sejauh mana dan dalam bentuk apa demokrasi bisa dipertahankan.
Demokrasi—sebagaimana kediktatoran—menjaga dirinya dari khaos. Ia jadi bentuk yang harus praktis dan terkelola. Ia dibangun sebagai sistem dan prosedur.
Tapi sebagai sebuah format, ia tak dapat sepenuhnya menangkap apa yang tak praktis dan yang tak tertata. Salah satu jasa telaah kebudayaan dan teori politik mutakhir ialah pengakuan terhadap pentingnya apa yang turah, yang luput tak tertangkap oleh hukum dan bahasa, yang oleh Lacan disebut sebagai le Reel (dalam versi Inggris, the Real), dan yang saya coba terjemahkan di sini sebagai “Sang Antah”.
Dengan itu sebenarnya ditunjukkan satu kekhilafan utama dalam pemikiran politik yang mengasumsikan kemampuan “representasi”. Pengertian “representasi” dimulai dari ilusi bahasa, bahwa satu hal dapat ditirukan persis dalam bentuk lain, misalnya dalam kata atau perwakilan. Ilusi mimetik ini menganggap, semua hal, termasuk yang ada dalam dunia kehidupan, akan dapat direpresentasikan.

Seakan-akan tak ada Sang Antah.

Namun baik oleh teori “demokrasi radikal” yang diperkenalkan Laclau dan Mouffe, dengan menggunakan pandangan Gramsci, maupun oleh pemikiran politik dengan militansi ala Mao dalam pemikian Alain Badiou, kita ditunjukkan bahwa sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik, adalah sebentuk scene yang tak pernah komplit. Senantiasa ada yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah, yang dicoba diingkari. Tapi yang obscene—yang tak tertampung dan tak dapat diwakili oleh tubuh politik yang ada—justru menunjukkan bahwa scene itu, atau tata masyarakat yang kita saksikan itu, tak terjadi secara alamiah. Menurut Laclau dan Mouffe, tata masyarakat itu lahir dari hubungan antagonistis. Ia merupakan hasil perjuangan hegemonik. Itu sebabnya suatu tubuh politik yang tampak stabil mau tak mau dihantui oleh pertentangan—yang membuatnya hanya kwasi-stabil.
Dari pandangan seperti itu demokrasi, sebagai sebuah format, memang terdorong hanya merawat tubuh politik yang kwasi-stabil itu. Sebagai akibatnya, ia cenderung mengubah antagonisme dan perjuangan hegemonik itu jadi majal: demokrasi acapkali menghentikan proses politik dengan mendasarkan diri pada sebuah suara terbanyak atau sebuah konsensus. Dengan itu apa yang dianggap menyimpang, apa yang obscene, disingkirkan. Maka ia tampak sebagai sesuatu yang tak hendak membuka diri pada alternatif-alternatif baru.
Contoh yang segera dapat dilihat adalah Jepang; di sana, kekuasaan Partai Liberal Demokrasi (LDP) berlangsung hampir tak berhenti-hentinya. Hal yang sama dapat dikatakan tentang demokrasi Amerika. Hari-hari ini, justru di sebuah masa ketika suara untuk perubahan yang dibawakan Obama terdengar nyaring, sebetulnya tak tampak dahsyatnya “perubahan” yang disuarakannya.
Pernah saya katakan, demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika keadaan buruk dan harus dijebol. Pemilihan umum, mekanismenya yang utama, adalah mesin yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung dalam “kurva lonceng”: sebagian besar orang tak menghendaki perubahan yang “ekstrem”. Statistik menunjukkan ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang mengguncang-guncang. Statistik itu status quo.
Dalam haribaan “kurva lonceng”, Obama tak akan bersedia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang menggebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandangannya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencari dukungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekad bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad mengubah sikap orang Amerika yang cenderung memandang perang sebagai kegagahan patriotik, bukan kekejaman.
Seraya bersaing ketat dengan McCain, Obama—yang memproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika, negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah antara “biru” dan “merah”—akan tampil sebagai si pembangun konsensus.
Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi perubahan yang berani. Di Spanyol di tahun 1982, misalnya, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung perubahan. Felipe Gonzales Marquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri. Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya: Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol sampai empat masa jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal itu kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzales, Spanyol jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991.
Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai Sosialis menang berturut-turut. Mungkin itu indikasi bahwa “perubahan” pada akhirnya harus dibatasi oleh sinkronisasi pengalaman orang ramai. Di haribaan “kurva lonceng”, kehidupan politik yang melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci.
Tapi mungkinkah sebuah masyarakat bisa berhenti dan proses politiknya tak tersentuh oleh waktu?
Pertanyaan retoris ini penting. Di dalamnya tersirat adanya harapan—di suatu masa ketika utopianisme Marxis digugat, tapi ketika pada saat yang sama pragmatisme ala Richard Rorty tampak tak memberikan daya bagi perubahan yang berarti.
Tapi untuk itu, memang diperlukan penyegaran kembali tentang apa arti “politik” sebenarnya.
Sebuah buku yang dengan amat baik memaparkan pemikiran politik kontemporer, Kembalinya Politik (Jakarta, 2008), menguraikan “dua muka yang terpisah” dalam pengertian “politik”:
Yang pertama adalah sisi di mana politik terjadi sebegitu saja dalam rutinitas kelembagaan dan perilaku actor-aktornya…… Yang kedua adalah politik yang diharapkan, yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: politik sebagaimana diidamkan, yang tertekan di bawah instansi ketaksadaran.
Dalam pengantarnya, Robertus Robet dan Ronny Agustinus menunjukkan kemungkinan—atau malah kenyataan ketika demokrasi “telah membunuh politik” dan “menggantikannya dengan konsensus”.
Dengan kata lain, “politik” yang di-”bunuh” itu adalah politik sebagai proses perjuangan, bukan politik sebagai saling tukar kekuasaan dan pengaruh sebagaimana yang terjadi melalui pemilihan umum dan negosiasi legislatif dewasa ini di Indonesia.
“Politik” yang seperti itu sebenarnya hanya mengukuhkan tubuh sosial yang seakan-akan sepenuhnya direpresentasikan Parlemen. “Politik” yang seperti itu berilusi bahwa kita bisa mengabaikan Sang Antah. “Politik” yang seperti itu adalah bagian yang bersembunyi dari apa yang disebut Ranciere sebagai la police: struktur yang diam-diam mengatur dan menegakkan tubuh itu.
Di sini sebuah pemaparan selintas tentang teori Ranciere agaknya diperlukan.
La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan “polis” sebagai negeri dan “polisi” sebagai penjaga ketertiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ketimpangan yang tak terelakkan; selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai.
Tapi la police itu tetap saja tak bisa membentuk sebuah satuan sosial yang komplit. Di dalam hal ini, pemikiran Ranciere juga menunjukkan bahwa satuan itu kwasi-stabil sebenarnya. Sebab bahkan la police tak akan bisa mengabaikan, bahwa yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang lemah—meskipun dengan mengeluh dan marah. Dengan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan potensi si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi Ranciere, itu berarti nun di dasar yang tak hendak diingat, ada kesetaraan antara kedua pihak.
Di situ kita menemukan bagaimana sebuah negeri, polis, hidup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan sengkarut, tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam “logika” itu, ketegangan terjadi, sebab hirarki yang membentuk masyarakat justru mungkin karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan konflik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya. Ranciere mengakui, selalu ada sebuah arkhe, sebuah dasar untuk membenarkan timpangnya distribusi tempat dan bagian dalam masyarakat, tapi ia menunjukkan bahwa arkhe itu selamanya bersifat sewenang-wenang.
Dari itu terbit la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi komunikasi ala Habermas: di arena itu tak ada tujuan untuk bersepakat; di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan argumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, “perbauran dua dunia”, “di mana ada subyek dan obyek yang tampak, ada yang tidak”.
Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan makna sosialnya. Sebab yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal usul untuk menang.
Walhasil, selalu akan ada ketegangan antara la police dan la politique. Sebuah tubuh sosial akan bergerak, tak mandeg, dalam ketegangan itu. Di sini Ranciere memperkenalkan istilah lain, le politique, untuk menyebut proses mediasi antara kekuatan yang menjaga demokrasi sebagai format dan politik sebagai perjuangan ke arah kesetaraan.
Berbeda dari Badiou, Ranciere—yang menyebut keadaan demokrasi liberal sekarang sebagai “pasca-demokrasi”—masih menaruh kepercayaan akan peran demokrasi parlementer dan kemampuan perundang-undangan dalam perjuangan ke keadilan.
Tapi Ranciere bukanlah orang yang menganggap bahwa demokrasi parlementer dengan sendirinya adil. “Politik” sebagai perjuangan, “politik” sebagai la politique, itu sesuatu yang tak secara rutin terjadi. Bahkan jarang terjadi. Demikian pula, tanpa menyebut saat demokratik sebagai “kejadian” (l’evenement) yang luar biasa, Ranciere menganggap dalam sistem demokrasi yang ada, saat demokratik sejati tak selamanya didapatkan.
Dengan memakai pemikiran Ranciere, saya berharap dapat menunjukkan bahwa disilusi terhadap demokrasi liberal adakah sesuatu yang sah dan harus dinyatakan.
Tuntutan akan kesetaraan—dan dalam pengertian yang lebih luas: keadilan—adalah tuntutan yang tak akan habis-habisnya. Ia lahir dari apa yang tak hendak dilihat oleh sistem yang ada. Ia lahir dari yang obscene, dari yang turah dari representasi, ia adalah gaung Sang Antah yang tak tertampung.
Tapi haruskah kita menghancurkan demokrasi, karena menganggap bahwa demokrasi semata-mata format, bukan sebuah proses pergulatan, bukan arena la politigue? Jalan itu ada: “nihilisme aktif” dalam pengertian Simon Critchley, ketika ia menguraikan pendiriannya tentang “etika komitmen” dan “politik perlawanan” dalam Infinitely Demanding (Verso, 2008). Nihilisme aktif inilah yang dilakukan misalnya oleh teror Al Qaedah—yang pada gilirannya juga tak menumbangkan demokrasi liberal, bahkan memperkuatnya: makin kukuhnya aparat keamanan negara merupakan peneguhan dari la police.
Satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan. Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan sebelumnya; selalu diperlukan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan atau justru melawan perundang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai.
Artinya, tiap kali kita membiarkan diri untuk didesak oleh panggilan akan keadilan yang tak pernah akan membisu.***

Catatan editor: Naskah ini dibacakan sebagai pidato dalam Nurcholis Madjid Memorial Lecture II yang berlangsung pada 23 Oktober 2008 di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina. Judul awal naskah ini adalah Demokrasi dan Disilusi, yang atas permintaan Goenawan Mohamad sendiri kemudian diubah menjadi Demokrasi dan Kekecewaan sewaktu naskah pidato ini diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) dan Yayasan Paramadina. Naskah yang tayang di website ini diambil dari buku itu tadi.
Selain judul, sedikit perubahan kecil juga dilakukan pada dua titimangsa: yaitu 17 Oktober 1953 [kalimat pertama] dalam naskah pidato dan naskah buku, dikoreksi menjadi 17 Oktober 1952 dan tahun 1958 [paragraf keempat] dalam naskah pidato dan naskah buku dikoreksi menjadi 1959.

Empat (4) Alasan Mengapa Gayus Bukan Penjahat “Kelas Teri”

Banyak orang bilang, Gayus Tambunan – tersangka penyuapan kasus pajak, hanya penjahat kelas teri mengingat golongannya yang hanya 3A. Tetapi, fenomena-fenomena yang terus berkembang mengindikasikan bahwa “paus” dan “big fish” itu adalah Gayus sendiri.

Argumentasi berikut dibangun dari pernyataan Gayus pasca pembacaan vonis atas dirinya pada hari Rabu 19 Januari 2011 :
  1. Katakanlah pernyataan Gayus bahwa John Jerome mengaku bahwa dirinya anggota CIA dan Deny Indrayana men-supervisi aktivitasnya adalah benar, berarti posisi Gayus sama pentingnya dengan Jerome dalam misi CIA di Indonesia. Seorang anggota CIA tak akan begitu saja mengaku identitas dirinya pada sembarang orang. Dalam keadaan tidak tertekan anggota CIA tidak akan mengakui identitasnya kecuali pada koleganya, atasannya atau agen pendukungnya.
    Setahu saya amat jarang sekali anggota CIA terbongkar identitasnya atau terendus gerakannya dengan gampang. Keterlibatan CIA pada peristiwa-peristiwa tertentu biasanya terbongkar ketika “masa urgensi”-nya telah lewat dan minimal efeknya terhadap kepentingan pihak-pihak terkait; misalnya : indikasi keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30S atau turunnya Presiden Soekarno baru muncul ketika Indonesia memasuki masa reformasi – tahun 2000an.

  2. Katakanlah Gayus akan tetap dihukum 7 tahun penjara, maksimal 10 tahun penjara maka kemenangan ada di tangan Gayus. Tidak ada jaminan selama 7 tahun atau 10 tahun itu Gayus tidak akan jalan-jalan semasa ditahan. Atau minimal mendapat perlakuan khusus. Apalagi kalau hanya harus membayar denda 300 juta. Padahal, penyuapan yang sudah terbukti ia lakukan saja mengeluarkan uang $150.000 (Rp 1,2 M lebih). Kalau hitungan saya tidak salah, sebelum usia 40 (sekarang umurnya 31 tahun) Gayus telah bebas dan punya aset Milyaran. Sedangkan para guru dan pegawai negeri lain menjadi pegawai hingga usia 60-an untuk akhirnya frustasi, geram dan pensiun. Ini artinya Gayus adalah pegawai gol. 3A paling cerdas dalam urusan korup-mengkorup dan mengumpulkan uang. Para bupati dan gubernur saja yang korupsinya terendus harus repot-repot pura-pura sakit dan berobat ke Singapura untuk menghindari hukuman. Sementara Gayus tak se-jam pun merasa sakit dan pusing sama sekali menghadapi sidang, bahkan masih sempat piknik ke Bali. Kemarin saja Gayus kelihatan agak terharu dan stres ketika mengadukan Deny Indrayana yang ia klaim mengintimidasi istrinya kepada wartawan.

  3. Katakanlah kasus Gayus “happy ending” dengan hukuman 7 atau 10 tahun (mengingat masih banding) dan tak ada “big fish” yang dihukum, maka Gayus telah berhasil menjalankan tugas sebagai “teri fish” yang baik. Ia mampu menyelamatkan “big fish-big fish” lain yang korupsi lebih banyak. Atas prestasinya itu, posisi-posisinya menjadi amat penting bagi para “big fish” dan diam-diam posisi Gayus menjadi sejajar dengan para “big fish” itu. Dan tak ada jaminan para “big fish” tidak bertepuk tangan atas kinerja Gayus dan tak mustahil pula mereka akan menggelarkan karpet merah bagi Gayus bila ia keluar penjara 7 atau 10 tahun lagi.

  4. Katakanlah pernyataan Gayus pasca pembacaan vonis sekaligus benar dan salah (mungkin ga yah?). Kalau itu mungkin, apapun kebenarannya efek yang muncul adalah ribut politis. Para politisi akan membuat pernyataan-pernyataan yang menguntungkan kelompoknya. Demokrat akan mendukung mati-matian dibelakang Satgas dan Presiden sementara oposisi termasuk Golkar (yang jam terbang politisnya di Indonesia paling tinggi dibanding partai lain) akan dibelakang Gayus karena apa yang disampaikan Gayus amat menguntungkan mereka. Mengingat rakyat gampang jatuh hati pada politisi yang dizalimi (ingat bagaimana kemenangan Demokrat tahun 2004 diawali dengan dikeluarkannya SBY dari kabinet Megawati)
    Coba perhatikan saja pernyataan para anggota DPR di tv. Pola pernyataan yang disampaikan cenderung sama dan sebangun sesuai dengan partainya. Dengan mengetahui asal partainya anda akan bisa menebak argumentasi apa yang akan diberikan. Makanya, talk-show di tv sekarang cenderung membosankan.
    Dan satu orang yang pasti untung adalah Gayus. Kasus penyuapan, kasus kepergiannya ke Bali dan vonis 7 tahun yang ia nikmati menjadi kabur dan tenggelam oleh hingar bingar politis. Ini artinya, betapa cerdasnya gayus membaca situasi politis masa kini.
****
Kalau sudah begini tak perlu terjebak dengan pertanyaan “Siapa yang benar ? Bagaimana akhirnya ?”
Dan tak perlu bertanya kapan saya, anda, Pak Dasiman, Mbok Darmi, Mbok Tijah, Kang Karno, Yu Dasinah, Yu Sarti, Yang Limah, Mbah Tarji dan Mbah Dar diperhatikan kesejahteraan dan kebutuhan dasarnya oleh pemerintah ?

Percayalah pada hati nurani anda sendiri yang paling dalam.


The Journey, 20 January 2011

Kamis, 20 Januari 2011

Jenis-Jenis Shalawat

Lafaz-lafaz Susunan para Ulama

  1. Shalawat "Tafrijiyah"
  2. Shalawat "Munjiyah"
  3. Shalawat "Badawiyah"
  4. Shalawat "Nurul Anwar"
  5. Shalawat Mohon syafaat di Hari Kiamat
  6. Shalawat Agar diperkenankan berziarah ke Makam Rasulullah saw.
  7. Shalawat Agar diperkenankan berziarah ke Baitul Haram
  8. Shalawat "Al-Fatih"
  9. Shalawat "Sa'adatud-Darain"
  10. Shalawat memohon panjang umur dan mendapat rezeki
  11. Shalawat "Ra'ufurahhim
  12. Shalawat "Al-Wahiditsani"
  13. Shalawat "Alfiyyah"
  14. Shalawat "Al-Qadril 'Azhim"
  15. Shalawat "Al-Qurasyi"
  16. Shalawat "An-Nabiyyul Ummi"
  17. Shalawat "Adz-Dzatiyyah"
  18. Shalawat untuk memperoleh rasa aman dari segala hal yang menakutkan
  19. Shalawat "Al-Faraji"
  20. Shalawat "Thibbul Qulub"
  21. Shalawat "Ahmad Shibagh"
  22. Shalawat "Ar-Rizqi"
  23. Shalawat "Kunuzul Asrar"
  24. Shalawat Ibnu Mas'ud
  25. Shalawat untuk memperoleh Kegembiraan sepanjang masa
  26. Shalawat Ighatsah
  27. Shalawat untuk menghilangkan kelupaan
  28. Shalawat untuk cepat memahami suatu ilmu
  29. Shalawat untuk mencapai yang diinginkan dan menutup Aib
  30. Shalawat "Badar" (Badriyah)

Minggu, 16 Januari 2011

image box







european flags,flags

Sabtu, 15 Januari 2011

Netralitas Birokrasi

Oleh : Ida Syafrida Harahap

Administrasi negara tidak banyak mendapat perhatian di negara ini. Namun, reformasi birokrasi menjadi salah satu tawaran dalam pembenahan sistem penyelenggaraan negara. Meskipun tidak sama, keduanya memiliki keterkaitan. Administrasi negara tidak akan baik tanpa adanya sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Sebaliknya, birokrasi yang cenderung gemuk dan korup akan membentuk sistem administrasi negara yang tidak dapat melayani masyarakat. Untuk mudahnya, administrasi negara adalah salah satu organ birokrasi.


Di beberapa negara, Jerman misalnya, administrasi negara menjadi lembaga negara profesional, terpisah dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Administrasi negara di sini memegang fungsi administratif dalam penyelenggaraan negara. Secara legal, administrasi negara bertindak atas nama konstitusi. Untuk operasionalisasi, administrasi negara memiliki Undang-Undang Prosedur Administrasi Negara (Verwaltungsverfahrensgesetz). Dasar hukum yang kuat mampu membentuk sistem administrasi (negara) Jerman yang profesional dan pro kepada rakyat.


Berbeda halnya dengan Amerika. Administrasi negara merupakan bagian dalam sistem pemerintahan eksekutif. Meskipun tidak tercantum tegas dalam konstitusi, hal ini dengan tegas diatur dalam Administrative Procedure Act. Eksekutif selaku implementator undang-undang membutuhkan fungsi administratif dalam mengurus dan mengelola negara. Kodifikasi hukum dalam negara ini memberi kekuatan. Sistem hukum Amerika mengatur sistem pemerintahan secara komprehensif, baik dalam fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan demikian, netralitas dalam menjalankan administrasi negara tetap terjaga.


Adapun administrasi negara di Belanda hampir mendekati sistem di Jerman. Namun, dalam beberapa hal, kondisi faktual yang tergambar dalam The General Administrative Act (Alegemene wet Bestuursrecht) mereka cenderung mirip dalam konteks negara Indonesia. Sebab, dalam beberapa aturan hukum, Indonesia memang masih banyak berpedoman pada Negeri Kincir Angin tersebut.


Terlepas dari berbagai bentuk prosedur administrasi negara, Indonesia masih belum memilih bentuk administrasi negara. Selama ini administrasi negara selalu identik dengan keputusan tata usaha negara. Belum ada aturan hukum yang tegas mendeskripsikan administrasi negara. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki standar dalam menyelenggarakan administrasi negara.


Jika kita akan menerapkan sistem seperti Jerman, Amerika, ataupun Belanda, harus ada dasar hukum yang kuat. Terlebih sistem kelembagaan Indonesia dirancukan oleh sistem kepartaian dan sistem kepegawaian. Namun, meskipun dilakukan amendemen, tidak ada jaminan akan terwujud administrasi negara yang ideal. Sementara itu, untuk membentuk sistem di tengah jalan, akan membentur banyak aturan hukum yang belum tertata. Artinya, bukan masalah pendekatan apa yang digunakan dalam membentuk administrasi negara, melainkan sejauh mana Indonesia dapat menjaga netralitas penyelenggara negara dari berbagai kepentingan. Jika selama ini netralitas hanya menyentuh ruang-ruang politis, sudah saatnya netralitas memisahkan antara ruang pemerintah dan ruang negara.


Netralitas birokrasi


Undang-undang yang mengatur soal birokrasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Dalam hukum Indonesia memang tidak dikenal istilah birokrasi. Namun, dalam UU Kepegawaian, birokrasi identik dengan pegawai negeri sipil.


Pemisahan yang tidak tegas antara fungsi negara dan fungsi pemerintah sebenarnya dimulai dari konstitusi. Kita lihat saja istilah "kekuasaan pemerintahan negara" yang dipegang oleh eksekutif, dalam hal ini presiden. Padahal secara umum pemerintahan diselenggarakan oleh semua lembaga negara, yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara, termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lain.


Terlepas dari kelemahan konstitusi, kedudukan birokrasi semakin diperlemah oleh UU Kepegawaian. Secara sengaja pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai alat pemerintah (eksekutif), bukan alat negara. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, pegawai negeri sipil tunduk pada aturan pemerintah. Bagaimana mungkin pegawai negeri sipil dapat menjalankan roda birokrasi secara netral jika kebijakan dan aturan yang digunakan tunduk serta patuh kepada pemerintah. Kesalahan berikutnya adalah negara sering kali diidentikkan dengan pemerintah. Peran masyarakat tidak menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan negara. Masyarakat cenderung menjadi obyek penyelenggaraan negara.


Secara ideal, penyelenggaraan negara pasti melibatkan masyarakat. Dengan demikian, pada tingkat implementasi diperlukan instrumen khusus dengan standardisasi prosedur. Singkatnya, hubungan eksternal pemerintah dengan masyarakat membutuhkan birokrasi. Korelasi tersebut membutuhkan prosedur administrasi negara yang telah disepakati oleh semua elemen negara.


Jika konsep netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan negara dapat diterapkan, otomatis akan terbentuk sistem administrasi (negara) Indonesia yang netral. Dalam konteks Indonesia yang belum memiliki fondasi yang kuat untuk membentuk sistem administrasi negara, ada beberapa proses yang dapat dijalankan. Pertama, mempertegas pemisahan antara negara dan pemerintah. Selain menempatkan ketentuan ini dalam amendemen konstitusi berikutnya, konsep ini harus mulai dimasyarakatkan dan diterapkan dalam setiap bentuk penyelenggaraan negara. Pemerintah bukan negara dan negara pun tidak semata dikelola oleh pemerintah.


Kedua, mempertegas fungsi dan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Salah satu unsur utama pembentukan sebuah negara adalah kedaulatan. Sistem negara modern yang menempatkan perwakilan rakyat dalam penyelenggaraan negara tidak serta-merta menghapus fungsi dan tanggung jawab negara atas rakyat. Penyelenggaraan negara harus berorientasi menjalankan pelayanan terhadap publik dalam mewujudkan tujuan negara. Tidak lagi negara berjalan tanpa kehendak rakyat. Tidak ada lagi rakyat tanpa perlindungan dan jaminan dari negara.


Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi lembaga negara. Penguatan kedudukan, fungsi, dan tanggung jawab negara harus diimbangi dengan penguatan fungsi lembaga negara. Lembaga negara di sini adalah setiap organisasi yang berfungsi dan berwenang dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya lembaga negara yang memiliki fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selama ini Indonesia lebih sering menggunakan pendekatan kekuasaan daripada pendekatan fungsi. Maka pembentukan organisasi dilakukan berdasarkan adanya kekuasaan semata, tidak berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan fungsi tertentu dalam negara. Akibatnya, kekuasaan eksekutif, selain memiliki fungsi eksekutif, memiliki fungsi legislatif dan yudikatif.


Proses di atas mau tidak mau harus dilewati. Jika tidak, Indonesia akan semakin terjajah oleh salah satu pemegang kekuasaan negara. Sementara itu, rakyat selaku pemegang kedaulatan hanya menjadi obyek dalam kegamangan fungsi negara dengan pemerintah.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/08/01/Opini/krn,20070801,72.id.html

Rata Penuh

Minggu, 09 Januari 2011

The Religious Background of the Java War 1825 1830

The Religious Background of the Java War 1825 1830

Nov, 2010

On October 4th 2010, the Graduate School of Universitas Gadjah Mada held the first general lecture for new students of 2010/2011 as it was opened by the Director of The Graduate School, Prof. Dr. Hartono. Prof. Dr. Peter Carey from Oxford University gave the lecture of "The Religious Background of the Java War 1825-1830", a product of his dissertation research about Pangeran Diponegoro.

Peter Carey explained that his focus of research was on the figure and personal life of Diponegoro, not his figure as the commander of war. The Diponegoro's personality was obviously portrayed through photographs and paintings by Raden Saleh. Although he belonged to the palace noble family, he dressed like an ordinary person, with robe, serban and button made from wood like santri or religious student. Diponegoro was easy to interact with others, generous, and never haughty to common people.

Diponegoro was a descendant of Mataram palace noble family whose mother was from Tembayat. Diponegoro personified as a Prince of Warrior that gained a lot of education from outside the palace or in pesantren, Islamic religious school. He was mostly influenced by his teacher's ways of thinking, Kyai Mojo. His faith was much influenced by local belief and the guidance of his ancestors. He used "feeling" or presentiment's awareness to analyze human's character of people that he met.

Diponegoro liked to travel as he travelled from Imogiri to Nusambangan, he even made a travel from Imogiri to Makassar. In Makassar, he actively held praying forum and until today there is a mystic path in Makassar which is still influenced by the figure of Diponegoro.

The struggle that Diponegoro had craved for was like the Wali's accomplishments within governmental system as Wali was considered as friend of God. He wanted to build Islamic state where he would perform as a Wali. Among the tasks were to clean the litter in Java until the Dutch and the infidels left Java, to promote Islam and to protect the Javanese culture. He made the Javanese language compulsory and forbid the Melayu language. Such struggle eventually led to conflicts among Satriya and Santri communities that they were uneasy to work together.


In his retired life, Diponegoro suffered from malaria. Then, the British's coming to Java, triggered an ideology war between the Dutch (republic) and England (Monarchy). British defeated Dutch as 80 % of Dutch army died and 80% of Indonesian died. British took over almost all of Javanese manuscripts except Tempuran manuscripts.


The lecture was very interesting and provoking the enthusiasm of the audience. In discussion session, one of the students said that the spirit of Diponegoro was still inspiring as it was utilized in 19th century for a congress of Islamic syariah and PNI marked by the installation of Diponegoro's documentations.


The story of Diponegoro can be read by people soon that it has been translated into Indonesian within 1000 pages. He was asked when people could get the book, he replied, "It will be published in the next two years!", while taking pictures with the audience.

taken from : http://crcs.ugm.ac.id/

Senin, 03 Januari 2011

Catatan Akhir Tahun 2010

Akhir tahun 2010 diakhiri dengan evoria sepakbola. Setelah sekian lama tv-tv memajang kisah, intrik dan 'prestasi' politisi giliran para pemain sepakbola yang menjadi head lines. Bukan nama SBY, Budiono, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie, Anas Urbaningrum atau Hatta Rajasa yang muncul, namun nama Irfan Bachdim, Cristian Gonzales, Firman Utina dan Alfred Riedl. Setahun lalu nama-nama itu hanya akrab di komunitas tertentu.

Yang menarik, para politisi ikut ber-evoria sepakbola pula. Sekian orang politisi muncul di GBK, beberapa lagi dengan "pede" mengeluarkan statemen di media mengenai sepakbola dan tak segan mengadakan nobar di halaman rumahnya. Namun, ada politisi yang lebih kreatif dengan mengundang Timnas makan dan dengan bangga mengumumkan pada khalayak menghibahkan tanahnya yang luas untuk PSSI. Saat Timnas bertanding di KL pun ada bendera Parpol yang dengan gagah berkibar di antara sekian kaos timnas dan bendera merah putih.

Kita tinggalkan sejenak sepakbola dan para politisi yang semakin cerdas dan kreatif. Kita lihat hukum selama setahun ini. Pertama, ada kasus penegak hukum yang bermasalah dengan hukum. Kita lupakan rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Mereka banyak bermasalah dengan hukum. Namun, menurut saya tak terlalu penting bila dibanding dengan penegak hukum yang bermasalah hukum. Jadi, "wajar saja" kalau rakyat biasa bermasalah hukum. Untuk sekadar mendaftar mereka yang bermasalah a.l :
  1. Antasari Azhar (Ketua KPK)
  2. Susno Duadji (Kabareskrim POLRI)
  3. Bibit dan Candra ( KPK)
Masalah yang mereka hadapi sudah dibahas panjang lebar oleh media. Namun, yang belum dibahas adalah latar-belakang fenomena ini.

Kemudian masalah ekonomi. Tahun 2010 diakhiri dengan Rencana Penyesuaian Subsidi BBM. Pemerintah tak rela dengan subsiidi BBM yang ternyata di nikmati orang-orang kaya saja. Luar biasa...! Tiba-tiba pemerintah begitu perduli dengan rupiah-rupiah yang ia keluarkan. Tiba-tiba menjadi pembela rakyat kecil dan seolah-olah benci orang kaya. Pemerintah lebih dari sekadar menjauhi pilih kasih tetapi mengedepankan kepentingan orang miskin yang harus tetap disubsidi.

Lupakanlah benar-tidaknya subsidi telah salah sasaran. Tak perlu berburuk sangka karena toh kita tak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi. Kecuali, aad akses publik ke dalam Pertamina dan Kem. Energi dan gas. Kita syukuri saja kecerdasan mencari kata yang lebih halus dan cerdas untuk kenaikan BBM.

Itu saja ulasan tahun 2010. Tak perlu di bahas masalah TKI, semrawutnya haji, ibu kota yang makin banyak macet dan bus way-nya. Karena anda bukan pemerintah dan pemegang kebijakan. Anda hanya rakyat jelata yang bosan dan iseng-iseng buka internet. Siapa tahu ada yan menarik. Iya kan ? Ngaku sajalah....!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons