Minggu, 27 Juni 2010

Andi Nurpati dan "Stockholm Syndrom"

KPU (Komisi Pemilihan Umum) kehilangan salah satu anggotanya. Andi Nurpati, seorang kader Muhammadiyah, keluar dari KPU karena menjadi pengurus Partai Demokrat. Andi Nurpati menjadi orang ke-sekian yang mengisi kepengurusan Demokrat di bawah Anas Urbaningrum. Para "pendahulu" Andi antara lain pengacara kondang Todung Mulya Lubis dan kader NU Ulil Abshar Abdala.

Saya jadi teringat sindrom stockholm. Sindrom ini berawal dari penyandraan yang dilakukan para perampok di sebuah bank di Stockholm Swedia. Singkat, cerita seorang sandera yang seharusnya ketakutan karena terancam nyawanya, justru bergabung dengan para perampok yang menyanderanya. Kemudian kejadian ini terulang juga di beberapa kota besar di dunia. Maka, lahirlah apa yang disebut "Stockholm Syndrom".

Kasus Andi Nurpati adalah kebalikan dari Stockholm Syndrom. KPU yang garang dan keras dalam mengawasi partai-partai dalam Pemilu, justru jatuh hati pada yang diawasi. Tetapi, ini tentu logika yang susah di tangkap masyarakat umum. Bagi masyrakat umum butuh penjelasan yang lebih sederhana. Karena begitulah hidup mereka dan kita sebenarnya.

Logika sederhananya, partai lebih menarik bagi Andi Nurpati daripada KPU. Itu saja. Cuma kita tak pernah tahu apa yang membuat partai (Demokrat) tampak menarik bagi Andi Nurpati. Bagi politikus ini menjadi santapan empuk, karena disinyalir kemenangan Demokrat pada Pemilu lalu masih menyisakan PR. Bagi pengamat, ini adalah era-nya partai untuk berkuasa. Bisa jadi beberapa waktu ke depan, posisi mentri tidak nampak lebih menarik daripada anggota partai atau bahkan posisi Presiden tidak lagi semenarik posisi pengurus atau Ketua Partai. Lets wait and see...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons