Senin, 27 Februari 2012

chairil

Seandainya Chairil Anwar hidup hari ini, mungkin lebih baik ia tak menulis sajak. Indonesia di tahun 1986 tak sama dengan Indonesia di awal 40-an.

Tentu, saya sendiri tak tahu persis bagaimana tanah air menjelang 1945. tapi mungkin kita bisa membayangkannya: suatu masa ketika pikiran besar dan kecil telah ramai bergulat. Harapan-harapan, untuk sebuah negeri yang bebas, mekar. Pemikir dan penyair sibuk, juga asyik. Dan Chairil pun menulis puisi: begitu besar, begitu kurang ajar.

”Aku suka pada mereka yang berani hidup”, tulisnya, setengah kagum, tentang para pemuda yang berjaga malam seperti prajurit, dan bermimpikan kemerdekaan. ”Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam”.

Dan jika dalam malam itu ada bahaya, juga dosa, setan, atau sifilis, tak perlu risau. Binal adalah satu pernyataan – sekaligus risiko – dalam kemerdekaan. Kita tak akan tunduk. Tak ada sensor, tak ada ketakutan, tak ada sejarah, batas administrasi, doktrin agama, dan segala yang dianggap membatasi.

Bahkan Tuhan, dalam kemahakuasaannya, ia terima sebagai tekanan. Sebuah sajak yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, misalnya, Di Mesjid, melukiskan pertemuannya dengan Tuhan dalam kiasan yang sangat berbeda dengan metafora Amir Hamzah dari tahun 30-an. Amir Hamzah berbicara tentang kerinduan; Chairil bicara tentang sebuah peperangan. ”Ini ruang”, tulisnya tentang tempat peribadatan itu, ”Gelanggang kami berperang”.

Memang, beberapa tahun kemudian ia menulis sajak Doa yang menggetarkan itu: “Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu”. Tapi ia juga, pada kumpulan sajak yang sama, bisa mencemooh harapan manusia akan surga yang lazim, “yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/dan bertabur bidari beribu”. Sebab, kata Chairil meragukan surga. Ia memilih hidup yang kini, yang baginya lebih bergairah.

Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Ia, dalam umur 20-an, memang biasa bicara angkuh, cerdas cekatan, kocak dan kadang menohok. Tapi ia bicara di awal tahun 40-an, ketika sebuah bangsa harap-harap cemas menantikan dirinya merdeka. Hidup di ambang arena yang menjanjikan banyak hak. Hidup juga masih mencari bentuk institusi-institusinya sendiri.

Artinya, tak ada yang memberangus Chairil. Ia sendiri tak merasa terancam. Masyumi + Muhammadiyah tak mengerahkan massa untuk menyerbu atau menuntut, bahkan setahu saya tak ada pernyataan “kami tersinggung”. Juga tak ada kanwil deperdag dan kanwil depdikbud, tak ada laksusda dan kadit binmas dan akronim-akronim lain yang, dari pelbagai meja persegi, mengetahui soal keselamatan masyarakat dan karena itu merasa tahu betul perkara sajak. Indonesia di masa Chairil adalah Indonesia yang lain dari yang kini kita kenal.

Setelah sekian tahun merdeka, Indonesia kini telah jadi sebuah negeri yang rasanya semakin tahu sulitnya sebuah kemerdekaan. Banyak yang mengharap, beberapa yang mendapat, sebagian yang kecele. Pelbagai kelompok sosial tampil. Semuanya merasa wajib dicatat, untuk dapat tempat. Perebutan untuk ke atas pun tak dapat dihindarkan. Kemerdekaan telah membuka pintu untuk itu. Lagi pula, berada di bawah betapa sumpeknya, betapa terancamnya.
Bahwa bentrokan dan kemarahan dan ketersinggungan sering terjadi, juga represi, siapa yang bisa menyalahkan? Siapa yang bisa disalahkan?

Orang Yunani, dengan mitologinya yang aneh, mungkin akan mengatakan bahwa kemerdekaan punya nemesisnya sendiri. Kemerdekaan punya pembalasannya – yakni kerisauan dan kecemasan. Seperti bertahun-tahun yang lalu dikatakan ahli psikologi Erich Fromm, manusia sering takut untuk merdeka – dan kembali ke kongkongan.

Chairil agaknya tahu juga, apa sisi lain kemerdekaan itu. Dalam sebuah sajaknya buat Gadis Rasid, ia bicara tentang “bangsa muda menjadi”, yang “baru bisa bilang ‘aku’”. Di sebelah sini ada daun-daun hijau, padang lapang dan anak-anak kecil tak bersalah. Tapi di sebelah sana “angin tajam kering, tanah semata gersang, pasir bangkit mentanduskan”. Dan di antara kedua sisi itulah, antara suasana terbuka yang segar dan ancaman ketandusan pikiran, sang penyair merasa terapit. “Kita terapit, cintaku – mengecil diri . . . “

Tapi tak mandek. Ia bahkan mengajak terbang, the only possible nonstop flight, terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat. “Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati”. Yang penting bukanlah suatu arah, melainkan keberanian menjelajah. Yang penting bukanlah satu konklusi, melainkan eksplorasi.

Merpati itu mungkin capek kemudian, dan jatuh. Dan tahu, bahwa “ada yang tetap tidak diucapkan,/sebelum pada akhirnya kita menyerah”, seperti ditulisnya di ujung sebuah sajak yang mengharukan menjelang ia meninggal. Adakah itu kearifan,atau sebuah putus asa, untuk kita semua, kini ?

Goenawan Mohammad # 1 Februari 1986

Sabtu, 25 Februari 2012

Ferdinand Marcos : Hari Ini 26 Tahun Lalu



Ferdinand Marcos Ambruk 25 Februari 1986
Presiden Filipina Ferdinand Marcos (1917-1989) mengakhiri keadaan darurat di Filipina. Meski sukses dalam pembangunan dan diplomasi internasional, pemerintahannya dibekap korupsi masif, nepotisme, represi politik, dan pelanggaran HAM. Diktator itu ambruk oleh People Power pada Februari 1986

Siapa Ferdinad Marcos?

Ferdinand Edralín Marcos (Templat:Lahir mati) adalah Presiden kesepuluh Filipina. Ia menjabat dari 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.

Marcos lulus dari Fakultas Hukum Universitas Filipina dengan gelar cum laude pada tahun 1939. Ia turut berperang melawan Jepang dalam Perang Dunia II dan memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya selama perang. Pada tahun 1954, ia menikah dengan Imelda Romuáldez yang kelak akan membantunya dalam kampanye presidennya. Ia kemudian bergabung dengan Partai Nacionalista, dan bersama dengan calon wakil presidennya Fernando Lopez, ia mengalahkan presiden Diosdado Macapagal dalam pemilu 1965.

Marcos adalah presiden Filipina pertama yang terpilih untuk menjabat selama dua masa bakti berturut-turut secara penuh. Pada tahun 1972, ia mendirikan rezim otoriter yang memperbolehkannya tetap berkuasa hingga rezim tersebut dihapus pada 1981, dengan menggunakan hukum darurat militer sebagai alat untuk menekan oposisi. Ia kemudian dilantik kembali pada tahun yang sama untuk menjabat masa bakti selama enam tahun yang diwarnai pengaturan politik yang tidak baik, masalah kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak militer dan korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Pada masa inilah, terjadilah kasus pembunuhan pemimpin oposisi Benigno Aquino, Jr., yang terjadi tahun 1983. Hal ini mulai memicu ketidakpuasan publik terhadap pemerintahannya. Secara umum, rezim Marcos sama dengan rezim Orde Baru di Indonesia, dengan karakteristik yang hampir sama. Marcos memiliki visi Bagong Lipunan (Masyarakat baru), dimana doktrinnya adalah "orang miskin dan kaya harus bekerjasama satu sama lain untuk menuju satu tujuan masyarakat dan mencapai kebebasan melalui kesadaran diri". Karakter rezim ini yang serupa Orde Baru adalah lebih menekankan pembangunan ekonomi negara, yang banyak memanfaatkan pinjaman dari luar negeri.

Pada tahun 1986, ia terpilih untuk keempat kalinya dalam sebuah pemilu yang diduga dipengaruhi kecurangan. Marcos akhirnya diturunkan dari jabatannya sebagai presiden dalam Revolusi EDSA, sebuah revolusi yang damai di bawah pimpinan Corazon Aquino (janda Benigno Aquino), pada tahun yang sama.

Bersama dengan istrinya, Imelda, Marcos melarikan diri ke Hawaii. Di sana ia dituduh menggelapkan uang negara dan pinjaman dari luar negeri untuk kepentingannya dan kroni-kroninya (terutama pinjaman dari Amerika Serikat, yang merupakan sekutu terdekat Filipina) dan ditemukan bersalah. Marcos meninggal dunia di Honolulu, Hawaii pada tahun 1989 akibat penyakit ginjal, jantung, dan paru-paru. Marcos pertama dikebumikan di Hawaii, sejak itu dimakamkan di kuburan besar indah di Kota Batac, provinsi Ilocos Utara.

Ferdinand Marcos meninggal pada tanggal 28 September 1989 (umur 72)di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Sabtu, 18 Februari 2012

parlemen

Di sepetak taman di London, terpasang patung karya Rodin yang termashyur, Les Bourgeouis de Calais. Patung itu ternyata tak semegah seperti yang saya bayangkan dari gambarnya di buku seni rupa. Tapi ia karya Rodin: menggetarkan, wujud yang seperti meneruskan masa silam, tanpa rasa janggal, pada masa kini.

Sejarah memang bergaung di atasnya. Di sebelah kiri, mengalir Sungai Thames yang tua. Di belakangnya: gedung Parlemen.

Rodin mempersembahkan Les Bourgeouis de Calais ke taman Parlemen Inggris itu pada tahun 1913, untuk memperingati suatu peristiwa pada tahun 1347: ketika pasukan Inggris, di bawah Raja Edward III, mengepung kota Calais selama setahun, dan di tengah ancaman kelaparan yang terjadi, sejumlah orang kota Calais menyerahkan diri sebagai sandera, agar pengepungan segera diakhiri dan rakyat kota Calais bebas.

Les Bourgeouis : tiba-tiba kata itu tak sekadar bisa diterjemahkan menjadi ”borjouis”, dengan konotasinya yang menyebalkan. Tiba-tiba kata itu kembali ke arti semula, yang menggambarkan orang kota yang bebas, terhormat, dinamis, dang – mungkin aneh – juga heroik. Karl Marx sendiri – yang pengikutnya telah membuat kata ”borjuis” jadi kata kotor – pernah mengatakan betapapun tak heroiknya masyarakat borjuis, masyarakat itu lahir antara lain melalui ”heroisme” dan ”pengorbanan”.

Tidak Cuma di Calais. Gedung Parlemen Inggris itu juga salah satu saksi: sebuah lembaga yang berdiri sebelum kaum bourgeois ada, tapi baru mendapatkan harkatnya setelah wakil-wakil ”kalangan menengah” itu hadir di sana – dan kemudian menggerakkan, sedikit demi sedikit, apa yang disebut ”demokrasi” sampai kini.

Orang Inggris memang mujur dalam hal itu. Ada tradisi yang disebut witan dari orang Anglo-Saxon, yang menentukan agar pemegang tahta berkonsultasi dengan hambanya, untuk memutuskan satu hal yang sangat menyangkut hidup mereka. Tak mengherankan bila Sir Walter Raleigh pada abad ke-17 bisa membanggakan kelebihan sistem monarki Inggris atau “tirani bangsa Turki”.

Tapi toh Raleigh sedikit berilusi. Ia sendiri ikut dituduh berkomplot melawan Raja James I dan akhirnya dihukum pancung. Inggris pada awal abad ke-17 memang Inggris yang masih bisa sewenang-wenang.

Waktu itu, bepergian mencari kerja dianggap melanggar hukum. Seorang jaksa agung menyatakan, usaha bersama untuk menaikan gaji adalah pengkhianatan. Jual beli pun dikontrol: pemerintah memberikan monopoli kepada swasta tertentu untuk memproduksi barang, seperti sabun dan kaca jendela. Orang mati pun tak bebas: pada tahun 1622 ditentukan, jenazah harus diberi pakaian wol. Dan siapa tak ke gereja dihukum.

Juga Parlemen (kata aslinya, parliamentum, konon dipakai pertama kali November 1236) yang sudah 400 tahun itu tetap barang yang ringkih. Sidangnya tak teratur, terserah raja. Dan bila ada anggota yang omongnya tak berkenan di hati baginda, ia bisa ditahan tanpa proses pengadilan.

Maka apa yang menyebabkan kemudian Parlemen berani? Sebuah paradoks, kata majalah The Economist ketika membahas buku A History of Parliament karya Ronald Butt, yang baru terbit.
Dulu, para baron dan kesatrian yang menjadi anggota dewan itu selalu menjaga agar raja tak memajak rakyat. Namun bila tujuan ini berhasil, Parlemen justru akan kehilangan bobot. Raja Edward IV, misalnya, dapat memerintah tanpa dana dari rakyat. Maka ia pun tak membutuhkan parlemen, dan pada masanya, sidang lembaga ini semakin jarang.
Tapi ketika raja bokek dan pajak diperlukan, Parlemen pun dibutuhkan. Pada masa Charles I, misalnya. Tapi betapa malangnya raja ini. Ia mewarisi pandangan ayahnya, Raja James I, bahwa raja Inggris punya lisensi khusus dari Gusti Allah dan bisa memerintah tanpa parlemen. Tapi pada masa itu juga, ia mewarisi sisa perang dari ayahnya. Untuk itu ia butuh duit.

Ia pun memanggil parlemen bersidang. Tapi ia tak tahu zaman sudah lain. Parlemen yang dihadapinya sudah penuh dengan kekuatan sosial baru, orang-orang kelas menengah, les bourgeois yang butuh hak-hak baru.

“Jangan anggap ini ancaman,” kata Raja ketika ia mendesak parlemen agar menyetujui pajak lagi. “Saya tak sudi mengancam siapa pun yang tak sederajat dengan saya.”
Parlemen tahu penghinaan itu, dan akhirnya kita melihat: Charles I adalah raja yang dipancung 144 tahun sebelum Revolusi Prancis memancung rajanya. Demokrasi, pelbagai hak, rasanya memang tak bisa dipesan sekaligus, seperti kalau kita memesan nasi bungkus.

Goenawan Mohammad # 13 Mei 1989

Minggu, 12 Februari 2012

pemimpin

Seorang pemimpin yang baik, kata Tao, adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu sumbernya adalah air yang datang dari jauh pedalaman: sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.

Karena itu, kepemimpinan yang baik tak dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Good leadership consists of doing less and being more.

Carlos Salinas de Gortari mungkin belum mengerti ini. Atau ia tak terlampau diharapkan bisa jadi telaga Tao. Umurnya baru 40 tahun, walaupun ia tampak tua karena botak dengan kumis yang angker dan mulut yang yakin. Ia memang terpilih jadi Presiden Meksiko. Tetapi ia juga tampaknya contoh dari apa yang dicatat oleh majalah The Economist pekan lalu: kehidupan politik di negeri itu telah menegakkan tipe pemimpin yang ”tak lagi mendengar rumput yang tumbuh”.

Pemerintah Meksiko dipegang terus-menerus oleh Partai Revolusioner Institusional (PRI) semenjak tahun 1929. Masa panjang itu tak tersaingi oleh siapa pun di luar dunia komunis. Bedanya: partai komunis merasa mewakili keharusan terakhir dari sejarah manusia, yang katanya adalah kemenangan dari kapitalisme. PRI tak punya ajaran itu. Ajarannya hanya: stabilitas itu perlu.

Ajaran itu benar untuk suatu jangka waktu, dan bisa salah untuk jangka waktu yang lain. Selama hampir 60 tahun PRI menyediakan presiden dari kalangannya, juga gubernur, juga senator dan hampir semua wakil rakyat di majelis rendah. Kecuali satu, semua presiden sebelum Salinas bisa ”menang” 90 % suara. Orang menduga sebagian itu adalah palsu dan sebagian lagi suara rakyat yang telah kehilangan alternatif.

Akibatnya, menurut The Economist, adalah hal yang terjadi di mana saja bila kekuasaan berada di atas terlalu lama. Ada tendensi untuk jadi makin tegar – dan ”tegar” memang berarti kaku. Mungkin karena dasar pandangan yang selama itu dipergunakan tak hendak ditinjau kembali, berhubung tak ada saingan dan tak ada perbandingan. Sementara itu, perasaan selalu menang menyebabkan kian tipisnya sikap toleran. Siapa yang tak mau ikut dengan segera jadi pembangkang.
Tentu saja di Meksiko bukan tak ada keleluasaan. Tapi dalam keleluasaan juga ada kemandekan. Di Meksiko, menurut The Economist, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, kekuasaan telah beralih dari kaum politikus ke tangan kaum teknokrat. Barang kali juga birokrat – yang menyebabkan negeri itu, dalam kata-kata novelisnya yang termasyur, Carlos Fuentes, yang berlaku adalah ”hukum penolakan terlunak”.

Tak ada keterangan lebih jauh kenapa itu bisa terjadi. Tetapi barang kali kita tahu: politikus – profesi yang diremehkan dan dianggarp buruk itu – umumnya bertumbuh ketika orang-orang partai dan wakil rakyat berusaha keras dapat dukungan. Mereka harus menyambangi para pemilih, mendengarkan apa yang mereka katakan, menjabat tangan yang mereka sembunyikan, mencium pipi anak yang mereka gendong.

Singkatnya: mereka harus mengambil hati. Semua mungkin buat kepentingan sebuah ide. Atau semua itu buat kepentingan diri si politikus, agar dipilih. Tapi apapun tujuannya, akibat proses itu jelas: ada kontak yang langsung antara si calon anggota parlemen dan para calon pemilihnya.
Kontak semacam itu tentu tak diperlukan lagi, ketika sejumlah orang begitu yakin bahwa diri mereka toh akan menang dalam setiap pemilihan. Akibatnya, politikus tak perlu datang ke bawah. Pemerintah pun cukup punya gagasan yang pintar, dan tok-tok-tok, diputuskan untuk dilaksanakan. Tanpa ditawarkan.

Demikianlah cara Presiden Miguel de la Madrid memotong anggaran belanja pemerintah, menghapuskan subsidi, serta melakukan deregulasi. Itu tindakan yang tepas sebenarnya saat itu. Tapi ia tak merasa perlu menjelaskan alasannya kepada rakyat. Ia tentu tahu bahwa penghapusan subsidi bisa dalam waktu dekat memberati masyarakat. Tapi agaknya dia lupa bahwa ia perlu mengajak masyarakat untuk mengerti apa makna beban yang memberati itu. PRI telah semakin tak mendengar rumput yang tumbuh.

Mungkin itulah sebabnya ketidak-puasan kini menunjukkan diri. Tampaknya, dalam memimpin sebuah bangsa, pintar saja memang tak cukup, benar juga tak memadai. David Halberstam menulis The Best and the Brightest, tentang orang-orang pintar di sekeliling Presiden Kennedy yang memutuskan agar Amerika terlibat jauh ke Perang Vietnam. Tujuan perang itu mungkin mempesonakan, tapi kemudian kita tahu bagaimana ia gagal: ia adalah sebuah ikhtiar nasional yang tak cukup didukung sebagai ikhtiar nasional. Perang itu mungkin hasil rancangan the best and the brightest, tapi para piawai itu tak pernah sekalipun merasakan terik dan capeknya berjuang untuk mendengarkan suara rakyat, dipilih oleh rakyat.

Mereka tak menampung. Mereka bukan danau yang dalam. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan bapak pimpinan.

Goenawan Mohammad # 23 Juli 1988
Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons