Sabtu, 26 Oktober 2013

Display

Tadi malam jalan-jalan ke halaman sosial media beberapa kawan. Saya terkaget-kaget melihat “tembok” seorang kawan terpampang gambar wajahnya secara demonstratif, clear dan fokus. Sebelum itu, “tembok”nya hanya berisi gambar-gambar karakter kartun idolanya.
Ada apa ini?  Hal biasa? Mungkin saya saja yang berpikir terlalu jauh.
Facebook dan twitter adalah keniscayaan zaman. Roda zaman yang tak ada rem-nya. Siapa pun mungkin telah teramat sulit untuk membendungnya. Kecuali anda presiden, maka anda bisa mem-blok media-media sosial itu dari negeri ini, sebagaimana yang terjadi di Cina.
Dua dekade yang lalu tak terbayangkan ada media semacam ini. Ngobrol lewat telepon saja – waktu itu – sudah merupakan gaya hidup yang wah. Keasyikan dan kenikmatan berkumpul dan bersenda-gurau dengan kawan berada di lapangan, surau, permainan-permainan tradisional selepas maghrib dan kenakalan-kenakalan kecil – mencuri jambu atau kelapa di kebun. Semua itu menjanjikan pengalaman mental yang lebih kaya. Keintiman dengan lingkungan yang tak lekang oleh waktu. Kekayaan petualangan yang lebih kaya daripada buku cerita seorang penyihir cilik sekalipun. Koneksi persahabatan yang luas, yang akan sulit terjadi pada anak-anak sekarang untuk bersosialisasi sedemikian luas. Karena untuk pergi ke luar rumah saja mereka butuh motor. Kalau tidak ada motor atau mobil yang bisa dipakai mereka tidak mau pergi.
Tapi itu masa lalu, saudara-saudara. Sekarang, kalau anda tidak punya akun FB, twitter, smartphone, tidak pernah punya pengalaman makan di tempat keren di kota anda, maka anda bukan siapa-siapa. Anda adalah orang pinggiran. Anda adalah penonton diantara para pemain. Anda kehilangan akses informasi yang terhangat. Anda terlibas oleh gosip terkini yang dibicarakan semua orang. Anda akan tidak nyambung dengan obrolan teman sebelah anda. Lambat laun anda akan merasa di negeri antah berantah meskipun ada tidak bepergian ke luar negeri. Teknologi, media sosial, gaya hidup dan keterbukaan informasi adalah “bola salju” yang mau tak mau kita harus ikut masuk ke dalam gulungannya, meski kita tak tahu akan menuju kemana ia.
Media sosial adalah “ibu kandung” dari berbagai fenomena masa kini. Dari bahasa gaul hingga gerakan solidaritas sosial dan politik. Maka, berbondong-bondonglah semua orang ingin punya akun FB atau twitter. Kalau anda tidak punya maka anda ga gaoool. Presiden pun akhirnya punya akun.  Biarpun presiden, dia juga harus gaul juga, saudara-saudara.
Kembali ke masalah “display”. Kalau wajah adalah “display” identitas kita. Maka halaman sosial media adalah display identitas baru kita. Asyiknya, kita bisa menghiasi dan memanipulasi display yang ingin kita suguhkan. Dan – dengan gembira saya umumkan – display kita sekarang adalah foto-foto di akun FB atau twitter dan status-status yang kita bikin. Identitas dan ke-diri-an kita adalah sebuah file JPG atau kumpulan huruf-huruf yang sengaja dibikin inspiratif, lucu atau galau.
Positif atau negatifnya dari “arus zaman” ini, bagi saya tidak relevan. Toh ia sudah duduk di ruang tamu. Ia benar-benar telah berada di dalam rumah, jadi bukan sekadar baru mengetuk pintu. Saya pun tidak punya kemampuan membendung arus ini. Meskipun ia menggulung kenangan-kenangan masa lalu yang adiluhung, syahdu dan juga kuno toh ia harus kita sambut dengan tangan terbuka. Dan saya yakin anda adalah pengendali arus baru itu. Anda akan menemukan nilai-nilai baru yang lebih adiluhung, modern, keren dan progresif di dalam arus baru ini. Tidak akan ada value yang childish, sekadar lips-service atau pencitraan semata. Kalau pun tidak, saya yakin “arus baru” ini memperkaya apa yang sudah anda miliki.
Bukan begitu, saudara-saudara?
Jadi, bila ada gambar-gambar demonstratif di media-media sosial jangan anda kaget. Itu biasa. Gambar-gambar itu diperlukan sebagai identitas. Memang betul di situ sudah ada nama. Namun, nama saja tidak cukup. Sama seperti jaringan ayam goreng cepat saji. Nama dan papan iklan tidak cukup. Kaca gerai harus tembus pandang, agar menjadi “display” yang menarik, “ditonton orang” dan yang ditonton juga merasa nyaman ditonton.
Jadi, ketika paha ayam goreng itu kita kunyah bunyinya bukan “kriuk kriuk kriuk..!” tapi “status status status..!”
May 17, 2013

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons