Kamis, 12 Juli 2012

ya

Hitler berusia 100 tahun, seandainya ia hidup terus. Tapi ia tidak hidup terus. Ia menembakkan pistol ke dalam mulutnya sendiri di hari Senin sore 30 April 1945. ia mati dalam umur 56 tahun lebih 10 hari, ketika kota Berlin dirajam peluru dan pasukan Rusia sudah diambang pintu.

Dan Jerman pun kalah, setelah perang dahsyat itu. Lalu orang seperti terjaga. Bukan dari mimpi ngeri, tapi dari sihir Hitler, barangkali. Seorang penulis pernah menyebut mata Hitler yang biru itu tajam bagaikan mata Medusa, tokoh dongeng yang dengan sorot pandangnya menjadikan siapa saja arca batu.

Di bawah Nazi, Jerman memang tak jadi patung, tapi jadi pentas gila, teater dengan wiracarita yang berteriak. Hitler tahu hebatnya pengaruh kata-kata yang dilontarkan ke tengah massa. Dan di Nurnberg di tahun 1934 ia menunjuk ini: rapat akbar Partai Nazi yang menggelegar.
Ribuan bendera swastika berkibar, di langit September, dan ketika malam musim gugur tiba, parade obor pun bergerak dibawa 15 ribu orang, berlarik bagaikan pitra cahaya di jalan-jalan kuno kota Nuremberg. Musik bergema melagukan lagu perang zaman dulu, dan suara ribuan lelaki berpadu menyanyikan lagu baris. Opera Wagner pun tak akan bisa mengalahkan efek pertunjukan seperti itu.

Dan rakyat Jerman tergetar. Yang jadi pertanyaan ialah : bagaimana Hitler bisa tahu bahwa rakyat Jerman akan menyukai teater macam itu?

Jawabnya mungkin: karena Hitler datang dari kalangan mereka. Ia bukan intelektual bukan aristokrat. Ia berasal dari kelas menengah bawah. Ia punya rasa dan punya cara berpikir lapisan ini.

Thomas Mann, pengarang besar Jerman yang membenci kaum Nazi, menulis dalam catatan hariannya tanggal 8 September 1933, ketika ia dengan Hitler berpidato tentang kebudayaan: ”Ide-ide yang ia sajikan . . . . dengan gaya yang benar-benar menyedihkan . . . . adalah gagasan seorang murid sekolah dasar yang kerja keras tapi bakatnya terbatas.”

Tapi rakyat Jerman bukanlah Thomas Mann. Bangsa yang melahirkan Kant dan Goethe itu pada dasarnya toh punya insting seperti bangsa lain juga. Insting itu tak jauh jaraknya dari suatu rasa amarah yang terpendam, mungkin juga iri dan sakit hati. Terhadap luar negeri, mereka marah karena baru kalam dalam perang 10 tahun yang lalu, dan dihukum secara merendahkan oleh lawannya. Terhadap keadaan di dalam negeri, mereka marah karena ketimpangan sosial yang tak teratasi.

Khususnya, ini terjadi di kalangan petani kecil. Telaah terkenal yang ditulis Barrington Moore Jr. – tentang asal-usul sosial-ekonomi dari totaliterianisme dan demokrasi – menunjukkan bahwa pendukung utama nazi datang dari pedalaman. Siapa yang melukiskan Hitler hanya sebagai seorang diktator yang didukung bisnis besar tak akan bisa memahami totaliterianisme, atau setidaknya tak akan tahu betapa kuat sebenarnya fasisme Hitler berakar dalam latar masyarakat Jerman pada masanya.

Pada masa itu petani kecil terancam oleh masuknya kapitalisme. Mereka memandang makelar serta bankir sebagai musuh – yang kebanyakan memang orang Yahudi. Pada saat seperti itulah Partai nazi (yang ”nasionalis” dan ”sosialis”) menawarkan alternatif, dengan kemarahannya, kebenciannya dan impiannya.

Kamu Nazi melukiskan tanah bukan Cuma sebagai sarana pencari nafkah petani, tetapi juga sesuatu yang lebih intim, malah mungkin suci, ketimbang itu. Dalam buku Mein Kampf, Hitler menunjukkan bagaimana ia menganggap barisan petani kecil dan menengah sebagai ”benteng terbaik terhadap kejahatan sosial yang kita miliki kini”. Dalam angan-anganya, industri dan perdagangan akhirnya harus mundur dari posisinya yang di depan, dan bertaut dengan kerangka ekonomi nasional ”yang berdasarkan kebutuhan dan persamaan”.

Romantis, memang, tapi juga – seperti halnya banyak ilusi – bisa menyesatkan. Hitler sendiri akhirnya harus bertopang pada kaum industrialis, untuk menjalankan ekonomi dan mesin perangnya. Tapi pada saat yang sama, ia tak hendak memberi hak-hak politik kepada lapisan masyarakat ini. Bahkan juga tidak kepada siapa saja.

Sebab berbareng dengan kemenangan Nazi, totaliterianisme telah lahir: satu wujud kehidupan politik ketika massa resah dan merasa hampa. Mereka mengharapkan pemimpin, mengharapkan gerakan, mengharapkan bimbingan. Kepada gelora itulah Hitler datang, menyerukan ide ”satu pemimpin, satu bangsa, satu ya ”. Ein Fuhrer, Ein Volk, Ein Ja. Hak untuk berbeda alias kemerdekaan? Tak perlu. Warna harus satu. Yang Yahudi, yang merah, yang hitam, yang berpikiran aneh, semua khianat: bunuh.

Kita tahu Hitler terus mengaum, sejak itu.

Goenawan Mohammad # 22 April 1989

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons