Jumat, 30 April 2010

Tentang Demokrasi : Antara Utopia dan Wacana

Kelas 3 SMA saya membaca buku karya Frans Magnis Suseno tentang Marxisme. Utipia Ideologi dan Pemikiran Marxisme ia tulis dengan bahasa akademis yang teknis dan tidak terlalu praktis untuk otak SMA saya. Jadi, tulisan ini hendak 'balas dendam' terhadap tulisan Frans Magnis dengan cara membuat tulisan tentang demokratisme. Tahun 1990an tidak pernah terpikirkan artis atau pertemuan rt menyinggung-nyinggung kata "demokrasi" atau "demokratis". Apa sebenarnya demokrasi dan demokratisme ?
Istilah demokratisme mungkin aneh. Akan banyak yang menyanggah; 'tambahan -isme kan menunjukkan bahwa dia adalah ideologi, bukankah demokrasi itu sudah merupakan sebuah ideologi ?'. Kenyataannya tidak seperti itu. Silakan tanya ke warung-warung nasi atau ke pangkalan ojek dan becak. Tanyalah orang-orang di sana 'apa itu demokrasi?'; mereka paling tidak akan menjawab 'demokrasi itu milih langsung' atau 'demokrasi ya apa ya ? ya begitulah.. ' Begitulah keadaan orang kecil. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri atau pemimpin-pemimpin mereka katakan. Mereka adalah korban-korban budaya 'demokrasi-tainment'. 'Demokrasi-tainment' adalah ketika di televisi seseorang berbicara penuh bunga, namun kata-kata yang di ucapkan bila ditelusur secara fakta maupun akademis amat memalukan akurasinya.Demokrasi menurut beberapa orang yang lebih intelek, disimpulkan dengan kalimat yang singkat dan padat 'demokrasi adalah tata-kelola negara dengan sistem perwakilan'. Sekilas keren, tetapi apa bedanya dengan komunisme dan sosialis yang -misalnya di Cina, ada juga partai-partai yang mengaku mewakili kepentingan rakyat.
Namun, pada kenyataannya demokrasi tidak pernah mewakili siapapun. Pembagian kekuasaan menjadi 3 pihak, yaitu eksekutif, yudakatif dan legislatif hanyalah kompromi di permukaan saja, sedangkan di hati mereka ada permusuhan yang tak pantas.
Demokrasi, sebagai sebuah sistem kenegaraan adalah cita-cita yang mensyaratkan beberapa hal. Pertama, orang-orang suci tanpa tendensi. Mereka ibarat malaikat. Tiga pos kekuasaan yang di perkirankan akan saling mengawasi ternyata justru menjadi pos penyimpangan yang saling acuh dan saling "tahu-sama-tahu". Saya jadi ingat ketika kecil, guru-guru saya menjelaskan bahwa Tuhan itu harus satu. Ia mutlak Esa. Bila ada Tuhan 3 atau 4 atau 5 atau lebih maka mereka akan bertengkar tentang urusan hamba-hambanya. Penguasa negara ibarat 'Tuhan', bila ada lebih dari satu maka akan ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka saling mengawasi. Ini logika dan teknis yang amat rumit. Masing-masing punya kepentingan satu sama lain, namun di suruh mengawasi satu sama lain. Presiden mengawasi DPR ? dengan apa? Lha wong yang mendukung presiden ada banyak di DPR ?

Senin, 26 April 2010

Islam di Simpang Jalan : Sebuah Review Singkat

“Jarang umat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandang di mana masalah-masalah itu tampil di hadapan kita itu berlainan dengan segala yang pernah kita kenal sebelumnya.”Seorang ulama Islam pernah berceramah tentang perubahan kultur umat. Beliau menggambarkan bagaimana kondisi kampung-kampung atau rumah-rumah selepas waktu maghrib dahulu dan sekarang. Dahulu selepas maghrib rumah-rumah ramai dengan anak-anak mengaji. Jalan-jalan sepi dari kegiatan. Surau-surau dipenuhi anak-anak belajar ilmu agama. Sedangkan sekarang, anak-anak lebih suka berkumpul di depan televisi. Kalaupun tidak di depan televisi mereka berkumpul di perempatan atau tempat-tempat hiburan. Mengaji dan belajar agama bukan lagi bagian dari hidup.
Di dunia politik dan ekonomi, khasanah ke-Islaman - dahulu, masih memiliki peran. Buktinya, hukum positif Indonesia harus mengakui agama sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia selain hukum (warisan) Belanda dan hukum adat. Bila pemikir-pemikir politik dan kenegaraan dewasa ini dibawa ke masa lalu dan bersama-sama merumuskan sumber hukum negara, bisa jadi Hak Asasi Manusia, Kearifan lokal dsb di dapuk menjadi sumber-sumber hukum negara. Agama tidak.
Fenomena-fenomena baru dan pemikiran-pemikiran baru meminggirkan pemikiran-pemikiran Islam yang dipakai sejak lama. Bagi sebagian orang, ini fenomena biasa. Mereka berkata, nilai-nilai baru yang lebih segar muncul dan amat pantas menggantikan nilai-nilai lama yang sudah usang. Namun, bagi Leopold Weiss - pemikir Islam kelahiran Eropa yang telah kenyang dengan nilai-nilai baru di dunia barat (dia baru memeluk Islam pada umur 40 tahunan), fenomena-fenomena ini adalah tantangan. Tantangan bagi (umat) Islam yang harus segera direspon.
“Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual, jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai serum yang menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun” .”

Islam, bagi umatnya, telah menemani mereka berinteraksi dengan Kerajaan Romawi. Hasilnya mereka survive. Islam juga menemani pemeluknya berinteraksi dengan budaya dan pemikiran Yunani yang rasional, logis dan belum pernah dikenal Islam sebelumnya. Hasilnya, pergolakan pemikiran terjadi, perbedaan pendapat sampai pada puncaknya. Namun, (umat) Islam tetap survive dan sistem kenegaraan Islam tetap dipertahankan. Malah saat itulah intelektulitas Islam - dalam bidang kedokteran, fisika, kimia, astronomi dll, menjadi panutan dan pondasi modernitas dunia hingga sekarang.
Leopold Weiss yakin Islam punya “ilmu” untuk berinteraksi dengan fenomena baru se-ekstrim apapun. Islam punya sistem yang bisa mencerna sub-sistem atau sistem apapun ke dalam dirinya. Sayangnya, keadaan umat terlalu rapuh. Mereka terjebak ke dalam sikap yang dalam bahasa jawa disebut “gumunan” (mudah terpukau).

“Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang telah habis dikerahkan."

“Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya”

Barat dengan rasionalitasnya yang menonjol, menarik setiap jenis ras ke dalam alam pemikirannya. Hampir semua penduduk di muka bumi ini berpikir, atau mulai berpikir sebagaimana pandangan hidup barat. Mengapa proses ini begitu mudah terjadi. Mengalir bak aliran sungai. Apakah karena memang rasionalitas barat itulah yang terbaik ? Atau karena penyakit “gumunan” dan “ikutan-ikutan” menjangkiti seluruh manusia di kolong bumi ini ? Leopold Weiss menjawab.

“Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurang-kurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius - - Itulah maka Nabi bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari).”

Epilog

“dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati”

Buku ini, di akhir pemaparannya mulai bertanya kepada anak-anak pengusung Islam dan mereka yang masih merasa punya warisan darah Islam di nadinya.
Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya?

Sebagaimana penyakit, Allah tak akan menurunkan penyakit tanpa penawarnya, begitu pula keterpurukan (umat) Islam saat ini selalu ada harapan dan penawar menyembuhkan penyakitnya. Itu semua bisa terjadi bila umat kembali kepada aturan dan kepemimpinan berpikir yang telah diperlihatkan dengan cemerlang oleh Muhammad bin Abdullah.
“Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan al-Qur an:

"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an, 33:21)”
Resensi buku “Islam di Simpang Jalan” karya Leopold Weiss

PNS Sayang, PNS Malang

Menjadi pegawai negeri menjadi dambaan jutaan orang di Indonesia. Adanya jaminan pensiun menjadi salah satu faktor pendorong. Faktor pendorong lain adalah kepastian kerja yang lebih terjamin. Berbeda dengan swasta yang selalu ada kemungkinan PHK. Apalagi untuk buruh perusahaan yang dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini bayangan PHK seolah terlihat di depan mata.

Sekian ribu mahasiswa setiap tahun berlomba-lomba menjadi PNS. Tentu saja, ribuan diantara mereka harus tersingkir dan mencari kesempatan lowongan CPNS di lain tempat atau menunggu tahun depan. Perbandingan jumlah lulusan dengan lowongan CPNS yang njomplang membuat persaingan seperti memperebutkan putri raja.

Bila dihitung dari jumlah peminat bisa jadi profesi PNS lebih dicari orang daripada anggota legislatif atau dokter. Dokter dan anggota legislatif (aleg) memang menjanjikan finansial yang lebih baik daripada PNS biasa. Namun, akses menjadi PNS yang relatif lebih ringan daripada dokter dan aleg membuat kelas menengah-bawah berlomba-lomba mengisinya

Kawan-kawan penulis telah mengikuti berbagai ujian, tes atau wawancara untuk menjadi PNS. Sebagian besar gagal. Bahkan ada yang mendaftar di 4 tempat, namun semuanya gagal. Ada yang 3 tahun berjuang barulah ia dapat menembus persaingan menjadi PNS. Ada yang apatis dengan dibukanya lowongan CPNS karena persaingannya yang terlalu ketat ada juga yang karena mencurigai adanya ‘main mata’ antara peserta seleksi dan panitia seleksi. Segala sesuatu yang dibutuhkan banyak orang memang mudah dimanfaatkan orang untuk kepentingan pribadi.

Profesi yang dicari berjuta-juta orang ini ternyata menuai banyak kritik. Birokrasi biaya tinggi, bertele-tele, kuno, penuh pungli, tidak disiplin, telat dan bermalas-malasan telah menjadi cap yang melekat pada sebagian besar PNS. Seolah-olah status PNS menjadi sekadar kepentingan praktis semata, yaitu demi gaji bulanan dan uang pensiun semata, sementara kualitas kerja adalah urusan nomor dua.

Bila sebagian PNS melenggang dengan uang berlimpah, beban kerja rendah, jam kerja yang gampang diakali, bos yang bisa diajak kong-kalikong dst - ternyata ada sebagian PNS yang mengalami nasib kurang beruntung. Mereka adalah yang benar-benar bekerja untuk pelayanan. Hidup mereka terpencil di pulau-pulau dan daerah-daerah yang tak tersentuh. Kita tak pernah mendengar kisah hidup mereka. Dan para pejabat di pusat pun melupakan mereka. Mereka menjadi permata tersembunyi. Merekalah permata sebenarnya yang menjadi tulang punggung pejabat dan PNS-PNS di perkotaan yang dedikasinya belum tentu lebih baik.

Pada era Yusuf Kalla, ada seorang guru yang berpuisi dan menggambarkan sekolahnya sebagai kandang ayam. Saya kira itu penggambaran yang tepat para PNS yang entah mengapa terpinggirkan.

Di satu sisi PNS begitu dipuja dan dicari. Di sisi lain ada PNS yang terpinggirkan. terpojokkan, tertindas keadaan atau mungkin sistem.

051209

Sabtu, 24 April 2010

Presiden dan Menteri Luar Negeri Tak Akur ?

Salah satu 'budaya demokrasi' yang menarik di Amerika adalah bila kita perhatikan hubungan Presiden Obama dan Menlu Hillary Clinton. Sebelum pemilihan presiden Amerika tahun 2008 kemarin, Clinton dan Obama adalah kandidat dari partai Demokrat untuk menjadi Presiden Amerika. Pertarungan waktu itu begitu keras dan memanas. Clinton dengan dukungan sang suami -mantan Presiden Amerika sebelum J.W Bush-, melawan Obama dengan basis dukungan yang mengakar-terutama warga kulit hitam.

Sekian waktu berselang, mereka akhirnya bekerjasama dalam satu "tim". Obama jadi presiden dan Clinton jadi Menlu. Newsweek.com beberapa waktu lalu menciun ketidak-harmonisan dua tokoh negeri Paman Sam ini.


Newsweek menggambarkan hubungan mereka seperti 2 orang yang berbeda karakter dalam film-film holywood. Mungkin seperti pertengkaran Mandra dan Mas Karyo dalam sinetron "Si Doel Anak Sekolahan".

"It was almost like one of those moments in a buddy-cop movie when the two partners who dislike each other"

Puncaknya adalah ketika konverensi "Pemanasan Global" di Copenhagen, Denmark. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 100 pemimpin dunia. Clinton mengungkapkan bahwa itu adalah pertemuan yang paling "kacau" (disorganized) yang ia ikuti sejak kelas 8 (eighth-grade student). Efeknya, saat itu Amerika seolah-olah melawan seluruh dunia dalam kebijakan anti-pemanasan global, lanjut Clinton kepada newsweek. Amerika memang punya kebijakan yang kadang melawan opini global, tetapi hanya pada saat itulah sikap mereka terlalu vulgar kelihatan dan tak ter-organisir.


Copenhagen also provided further evidence that the sharp differences between Obama and Clinton over foreign policy on the campaign trail were, as many on both sides now acknowledge, largely political theater. In fact, their views of American power had never been that far apart. "We're both, at bottom, problem solvers and practical, realistic people," Clinton says now. "As Mario Cuomo said, 'You campaign in poetry and you govern in prose.'?" Critics dismissed the climate targets as vague and voluntary, and the administration faces a separate onslaught from global-warming skeptics. But since the summit, 120 nations have signed on and 75 have submitted carbon-reduction plans, Stern says.

Tetapi, Clinton mulai membela, perbedaan kami sebenarnya tak terlalu lebar. Kami sama-sama berpikir realistis dan praktis. Kemudian Clinton mengutip kata-kata seorang penyair (Mario Cuomo), untuk menggambarkan hubungan mereka; "engkau berkampanye dengan puisi sementara aku berkampanye dengan prosa"

Selasa, 20 April 2010

Political Ideas and Ideologies

Ideology:
  • As a system of ideas or beliefs that guide political action
  • As society defined ideation structures
  • Ideology implies a union of ideas and power
  • Ideas come from political thinkers most of who have not been active in politics but whose ideas influence political movements.
  • It involves the social construction of reality – highly abstract and often forcefully imposed.
According to Gramsci, ideology helps us understand how dominant groups keep subordinate groups under their rule without employing coercion.Antonio Gramsci is Italian borned intelectual. His view and thought have affected his era. He is also a radical politician.

Sabtu, 17 April 2010

Keamanan Negara

Seperti apakah pembagian "lapangan kerja" polisi dan militer ? Lalu dimana posisi satpol PP yang kemarin bikin heboh karena kalah adu fisik dengan anak-anak pengajian yang notabene tak pernah berlatih fisik dan baris-berbaris seperti mereka.Asumsi pertama yang harus dibangun dalam membahas keamanan negara adalah bahwa negara berbeda dengan pemerintah. Pemerintah atau pemerintahan adalah sosok yang tidak 'ajeg'. Artinya, pemerintah atau rezim bisa luruh dan tergantikan karena ia adalah entitas abstrak yang dipaksa memiliki batasan-batasan oleh undang-undang. Oleh karena itu - dalam konteks Indonesia- presiden tidak bisa menjabat lebih dari 2 kali. Sementara negara atau "nation" adalah wilayah dengan batasan-batasan yang terukur secara fisik. Penetapan batasan dalam undang-undang bukan karena batasan itu belum jelas terukur tetapi lebih karena tertib administrasi.

Aktifitas pengamanan kemudian menjadi domain negara sebagai sebuah "nation" yang berbatas luas jelas. Dimana ketentaraan lebih bersifat pengamanan batas-batas negara dan pengamanan dari serangan eksternal dan kepolisian berperan dalam pengamanan dan penindakan hukum dalam negeri. Meski begitu -sejarah telah mencatat- aktifitas pengamanan negara dan pengamanan rezim menjadi sesuatu yang sulit dibedakan.

Hermawan Sulistyo (2006) mengatakan, bial dikaitkan dengan konsep-konsep dan perspektif di atas, maka dirumuskanlah bidang-bidang tugas kepolisian ke dalam “pemeliharaan keamanan dan ketertiban” (order maintenance), “pencegahan kejahatan” (crime prevention), dan penegakan hukum (law enforcement). Domain gerak yang luas ini kadang tidak jernih pembedaannya. Sehingga, muncul banyak pertanyaan mengenai domain asli POLRI. Apakah keamanan ketertiban (order maintenance) ? Ataukah penegakan hukum dan pencegahan kejahatan (law and crime enforcement) ?

Ketika POLRI masih meraba-raba dimana posisi yang tepat, otonomi daerah muncul dan lahirlah kesatuan pengamanan daerah yang disebut Satpol PP. Bagi institusi Kepolisian yang berumur lebih tua dibanding Satapol-PP saja terus berupaya memperbaiki posisi dan "setelan"nya; apalagi Satpol-PP yang seumur jagung dan diisi oleh (harus diakui dengan besar hati) personel yang lolos dari saringan pendidikan dan profesionalitas yang rata-rata. Seharusnya ketidak jelasan posisi Satpol-PP sudah terbaca oleh para pemimpin di daerah. Atau mereka memang di buat tidak jelas agar sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan untuk "apapun" demi kepentingan Pemda ?


_arni_

Kamis, 01 April 2010

Tentang Politik dan Media

Berita-berita hukum sedang menjadi 'anak emas' media-media belakangan ini. Kasus hukum seperti menjadi rantai yang terputuskan sejak munculnya ribut-ribut kematian Nasrudin hingga kasus pajak sekarang ini. Muncul pertanyaan adakah yang lebih menarik perhatian daripada itu semua ? Bisa jadi kalau ada bom lagi atau teroris yang mati jawabannya adalah "ya". Berita sebenarnya tak harus dicari. Berita sudah ada di sekitar manusia dari dulu. Berita adalah kehidupan manusia itu sendiri. Sehingga ketika seorang wartawan (baca: media) memahami lekuk-lekuk kehidupan masyarakat ia akan mendapati berita setiap detik setiap menit.

Politik pemberitaan adalah berita itu sendiri. Ini yang ingin saya tulis. Politik dan pemberitaan adalah dua hal yang teknis dan berbeda. Teknis karena ada disiplin ilmu tersendiri untuk masing-masing istilah itu.

Politik sebagai sebuah ilmu dan fenomena sosial kemanusian tentu akan amat panjang bila dikupas tuntas. Begitu juga pemberitaan (baca: media & jurnalisme). Tetapi bila kita hubungkan dengan kehidupan sehari-hari, keduanya bisa lebih sederhana di pertontonkan.

Kalau boleh cerita sedikit, td malam saya dan teman kelaparan di sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan perkotaan. Perut lapar. Dan akhirnya diputuskan bikin mie goreng. Ambil panci, isi air, siapin kayu bakar, bikin api kemudian ditaruhlah panci di atas api. Lima belas menit kemudian, mie goreng sudah terhidang dan siap dimakan. Mak nyusss !

Politik itu seperti mie yang harus dipanaskan. Air itu masyarakat, media itu bilah-bilah kayu yang terbakar, proses politik itu air yang mendidih dan agenda (baca: kepentingan) politik adalah mie yang siap di santap "sang tuan".
-a.r.n.i_

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons