Senin, 27 September 2010

Tata Negara


Bangga juga diri ini kemarin belajar mu’awin tafwidh. Bangga karena apa yang aku bahas dengan teman-teman hampir mirip dengan pembahasan dan masalah yang saat ini sedang ramai di negeri ini, yaitu kasus Yusril Ihza Mehendra yang dijadikan tersangka. Dalam konteks tanggung jawab dan pengangkatan Menteri (dalam kasus ini Yusril) dan Mu’awin sama-sama diangkat oleh pemimpin negara dan pertanggung-jawabannya di kembalikan ke pihak yang mengangkat; dalam hal ini Presiden dalam konteks negara modern dan Khalifah dalam konteks ke-Khilafahan. Dalam kasus Yusril, ia di sangkakan melakukan kesalahan ketika menjadi menteri. Dengan memakai logika bahwa menteri adalah pembantu presiden, bisa juga presiden dikait-kaitkan dengan kebijakan yang diambil oleh menterinya. Logika yang lebih ekstrim dan jitu akan terlihat bila dianalogikan menteri sama dengan mua’win, yaitu bahwa mua’win diangkat Khalifah dengan akad wakalah (perwakilan tanggung-jawab). Dalam konteks ke-Khilafahan, mua’win adalah representasi Khalifah yang mengangkatnya. Jadi, bila mua’win melakukan kesalahan yang dihukum adalah Khalifah. Perjalanan kasus Yusril menarik bak sinetron. Awal-awal penetapan tersangka, Yusril bak kucing yang sedang dipukuli tuannya. Tak berdaya. Namun, nasibnya kemudian berubah secara mengejutkan ketika gugatannya ke MK (Mahkamah Konstitusi) dikabulkan sebagian. Ia mulai di atas angin. Publik pun semakin menyadari kapasitas keilmuan dan pemahaman mantan Presiden Partai Bulan Bintang ini. Hingga, beberapa jam lalu Yusril menyatakan bahwa kasusnya bisa menyeret RI-1.
Drama Politik Adanya celah kemungkinan pelibatan RI-1 dalam kasus hukum, menjadi perhatian banyak pihak. Musuh-musuh politik RI-1 akan memperhatikan kasus ini secara serius. Menarik diperhatikan apa yang akan mereka lakukan. Sasaran utamanya tentu terjaminnya kepentingan politik pihak mereka. Bila tujuan akhir mereka nantinya adalah melengserkan Presiden, maka pertarunganya akan sengit dan berbelit-belit. Dan bisa jadi hasil akhirnya akan sama seperti kasus Bank Century. Namun, entitas politik pendukung RI-1 dan partainya bukan anak kemarin sore. Golkar dan PDI-P adalah partai yang sekian puluh tahun menghuni peta perpolitikan negeri ini. Orang-orangnya pun – meski baru, adalah kader-kader yang dikitari politikus berpengalaman di era orba. Ini artinya, meski panah siap dilepaskan kepada RI-1 dan partainya saya kurang yakin dua partai tadi akan melepaskan panahnya. Mereka akan tetap hati-hati dan mencari pendapatan politik yang lebih besar daripada sekadar melengserkan RI-1. Sementara partai pendukung RI-1 mau tidak mau membangun benteng bagi RI-1 agar aman dari serangan. Partai pendukung RI-1 akan cenderung bisa dibaca manuvernya. Sementara partai-partai lawan politiknya akan lebih sulit dibaca manuvernya. Inilah ujian bagi partai biru dengan kadernya yang muda dan enerjik. Kita lihat drama apa yang akan terjadi. Atau hanya menjadi Century jilid 2.

Rabu, 22 September 2010

Harapan Untuk Kapolri Baru

Jabatan Kapolri menjadi seperti seorang gadis yang hendak dipinang. Kebahagian terbayang dan menjadi harapan bangsa Indonesia dan SBY - sebagai tetua adat yang akan meminta izin pada wali sang gadis, juga mengharapkan kebahagian yang sama. Sayangnya jabatan yang dipinang belum jelas benar kualitasnya. Bukan karena dia tidak cantik, bukan karena dia tidak cerdas dan bukan pula karena dia tidak sehat tetapi karena dia akan dinikahkan dengan suami yang sulit diatur.

Kalau boleh saya pakai kalimat roman atau novel, jabatan Kapolri itu seperti kekasih yang dibenci sekaligus di rindu.
Polisi sementara ini tetap menjadi harapan masyarakat, karena setiap tiba musim mudik jalanan harus diatur sedemikian rupa agar tidak macet. Polisi juga diperlukan karena angka kriminalitas masih tinggi, mulai dari perampokan bersenjata, bentrok antar warga yang mengakibatkan korban jiwa hingga pencurian-pencurian kelas teri. Semua itu masih membuat Polisi di rindukan. Namun, disisi lain institusi Kepolisian masih membaut banyak orang - kata sebuah lagu "gregetan". Berbagai pesanan masyarakat untuk membongkar korupsi, mafia pajak, konflik internal hingga kasus rekening gendut Perwira Polisi tak kunjung dipenuhi.

Kapolri memang bukan superman yang akan menyelesaikan masalah dalam hitungan menit, maka ia harus memberikan harapan dan ketenangan. Harapan bahwa Polisi akan menjadi lebih baik dan ketenangan bahwa Polisi tidak akan menambah masalah yang sudah ada. Poin "harapan" diukur dari poin yang kedua "tidak menambah masalah". Dengan kata lain, bila kehadiran Polisi tidak lagi menambah masalah maka boleh jadi itulah "harapan" yang masyarakat idam-idamkan akan segera hadir.

Tulisan ini mungkin bernada skeptis, tetapi ini adalah poin ketiga yang harus disadari oleh Kapolri yang baru. Kapolri yang baru harus sadar di peta bagian manakah Polri sekarang berada. Ia harus paham apakah Polri sedang di puncak gunung prestasi ataukah terperosok di lembah-lembah. Ini adalah variabel yang sulit dipenuhi karena Polri selama ini selalu kesulitan membaca dan memahami diri. Sebagian menganggap karena Polri terlalu jaim (jaga image/citra), sehingga terlalu gagah kalau harus membongkar aib sendiri. Tetapi , kalau menurut saya itu karena Polri tak paham konsep dirinya sendiri.

Masyarakat tak perlu tahu siapa yang akan dipilih menjadi Kapolri. Karena rakyat tak punya kepentingan membahas "SIAPA" yang jadi. Rakyat berkepentingan "APA" yang akan dilakukan Kapolri yang baru. Kecuali kalau anda WAKIL rakyat, bisa jadi anda berkepentingan membahas SIAPA.

Senin, 13 September 2010

Negara Ketidakpastian

Oleh JAKOB SUMARDJO

DI Indonesia orang harus hidup dalam ketidakpastian-ketidakpastian. Hitungan matematika tidak berlaku di Indonesia. Hukum tertulis adalah dunia maya bagi orang Indonesia. Harga karcis bioskop kelas atas, di suatu kota berbeda dengan kota yang lain. Ganti presiden ganti kementerian-kementerian. Ganti menteri, ganti sistem. UUD 45 boleh tetap dipakai, tetapi lembaga-lembaga kenegaraan tidak sama sejak 1945 sampai 2005.

Indonesia adalah sebuah bengkel besar, main bongkar pasang setiap sebuah rezim berkuasa. Tidak ada yang namanya tradisi modern Indonesia. Tradisi modern Indonesia adalah dekonstruksi terus-menerus. Kapan akan berakhir? Sampai orang Indonesia capai main bongkar-bongkaran. Sampai orang menyadari pentingnya suatu sistem yang agak permanen. Ibarat membangun Rumah Indonesia dari bekas Rumah Kolonial Belanda, mula-mula dibongkar atapnya, kemudian disekat kamar-kamar tidurnya, akhirnya ditempelkan bangunan baru di belakangnya; sebuah Frankenstein modern yang babak belur.

Orang Indonesia masih mabuk kebebasan. Kebebasan itu berarti, kalau saya berkuasa saya dapat melakukan apa saja. Maka kekuasaan menjadi rebutan, mulai tingkat desa sampai tingkat negara, mulai kepala subbagian sampai kepala kantor. Di situlah saya menikmati kebebasan saya.

Rata-rata orang Indonesia belum merdeka. Kalau Anda tidak memegang kekuasaan, Anda adalah objek mereka yang pegang kuasa. Anda tidak bebas, meskipun Anda berteriak tiap hari mengklaim hak-hak azasi Anda. Semuanya ini akibat dari tidak adanya tradisi sistem. Sistem di Indonesia selalu diperlakukan sebagai bagan praksis, bukan sebuah filosofi. Karena ia hanya bagan praksis, maka keberadaannya amat bergantung pada kondisi dan situasi. Dasar filosofinya campur aduk. Sebuah wajah Frankenstein.

Penyakit mental orang Indonesia itu ada dua, yakni lekas kagum dan memuja segala sesuatu yang baru, dan tidak menaruh hormat terhadap sejarahnya sendiri. Penyakit pertama membuat orang Indonesia mau cepat-cepat mempraktikkan apa yang sukses dilakukan orang di luar Indonesia untuk dilakukan di Indonesia. Padahal ukuran sukses memecahkan masalah itu bergantung pada dimensi ruang, waktu, dan pelaku. Sebuah sistem yang sukses dilakukan dalam ruang, waktu, dan pelaku yang berbeda belum tentu akan sukses di sini. Kita harus mulai berhenti menjadi monyet peniru semacam ini. Inilah sebabnya bongkar pasang sistem selalu terjadi di Indonesia.

Penyakit kedua orang Indonesia adalah amnesia sejarah. Pada zaman Orde Lama, Bung Karno menjadi panutan bangsa. Setiap pidatonya dicetak ulang dan dikumpulkan dalam sebuah buku besar. Bung Karno seperti Ketua Mao dengan buku merahnya. Begitu Orde Lama ambruk, maka setiap artefak yang berbau Bung Karno harus lekas-lekas disingkirkan. Ke mana perginya buku-buku indoktrinasi Bung Karno yang dulu menghiasi meja makan penduduk tani Indonesia itu? Gagasan Bung Karno tentang Indonesia harus dibenamkan dalam-dalam. Bahkan dalam buku-buku sejarah sekolah tidak dicantumkan lagi gagasan-gagasan besarnya. Bandul sistem berubah seratus sembilan puluh derajat. Go to hell semua apa yang telah kau kerjakan untuk Indonesia.

Orde Baru membangun sistemnya sendiri tanpa mengingat apa pun yang telah dilakukan Orde Lama. Buku-buku indoktrinasi P-4 menjadi best seller tanpa perlu dibeli. Jilidnya tebal-tebal. Setiap calon pegawai harus hafal isi buku tebal itu. Buku merah Ketua Mao. Dan ketika rezim ini ambruk pula, setelah mencapai rekor pegang kuasa paling lama di dunia, ke mana perginya "sistem Orde Baru" itu? Setiap artefak dan gagasan yang mengingatkan kita pada sistem Orde Baru kita matikan dalam pikiran kita. Go to hell!

Dan sampai kini telah silih berganti datang empat presiden. Presiden BJ Habibie belum sempat membangun sebuah sistem, telah kita lupakan. Presiden Abdurrahman Wahid yang baru mulai membangun sistem telah cepat-cepat kita turunkan. Lokomotif ini terlalu cepat buat kereta Indonesia. Dan penggantinya, Presiden Megawati, karena orang Indonesia mau cepat-cepat memperoleh obat mujarab yang cespleng buat membangun Indonesia, ditinggalkan pula.

Enam presiden telah kita miliki, dan masing-masing selalu membangun sistemnya sendiri dengan go to hell pada sistem-sistem dan hasil-hasil sebelumnya. Kesinambungan tidak ada. Selalu ingin yang baru. Setiap pemilih presiden selalu bertanya, "Ada stock yang baru Mas?" Begitu presidennya, begitu pula menteri-menterinya. Kantor yang baru diisi arsip-arsip yang gres. Arsip-arsip lama masuk gudang. Dikunci mati.

Ganti penguasa ganti logo dan ganti cap serta kop surat. Ini Indonesia baru. Orang enggan meneruskan apa yang telah dilakukan pejabat sebelumnya. Jelas gagal kok dilanjutkan? Berapa presiden yang gagal? Berapa Perdana Menteri yang gagal? Berapa menteri yang gagal? Tetapi negara, bangsa, dan pemerintahan tetap yang itu-itu juga.

Indonesia itu sebuah ketidakpastian. Semua ini gara-gara para pelakunya, aktor yang penuh improvisasi tanpa peduli teks. Asal memainkan dirinya. Kekuasaan itu milik, dan bukan mandat. Bukan amanah. Setiap kehilangan kekuasaan orang merasa malu dan tidak berguna, karena tahu segala usaha yang telah dilakukannya akan dilupakan begitu saja.

Bagaimana agar hidup ini menjadi pasti di Indonesia?

Bagi mereka yang lama hidup di luar negeri, atau orang luar negeri yang masuk Indonesia, tentu kaget melihat realitas "dunia lain" yang nonmodern ini. Indonesia itu tidak bisa ditebak, karena tidak menganut hukum kausalitas. Hukum di Indonesia itu bersifat spontanitas. Jadi, maka jadilah. Boleh, maka bolehlah. Tidak jelas sebab akibatnya. Aturannya bunyi begitu, praktiknya berbalikan. Mereka yang taat hukum dan aturan, yang percaya pada hukum kausalitas, akan menjadi korban tingkah laku spontanitas. Di negara kepastian, ketidakpastian adalah kepastian. Di negara ketidakpastian, kepastian adalah ketidakpastian. Di negara orang gila, orang waras adalah gila.

Di negara matematis, tiga tambah tiga itu tentunya enam, tiga kali tiga adalah sembilan. Tetapi di negara ketidakpastian, tidak jelas tiga dikalikan tiga atau tiga ditambah tiga. Tanda "kali" dan "tambah" mudah sekali dibalik, ditegakkan atau dimiringkan. Di negara ketidakpastian berkata jujur itu ketidakbenaran, berkata bohong itu kebenaran.

Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kita dapat membuat perencanaan, merancang masa depan. Dalam ketidakpastian, rencana tidak mungkin dijalankan, masa depan tidak mungkin digambarkan. Ketidakpastian Indonesia membuat masa depannya tidak mungkin dibayangkan.

Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kejujuran dan dusta dapat dibedakan. Agar kepercayaan dapat dibangun. Agar sistem dapat dipertahankan. Agar tradisi modern dihormati. Agar kita mampu menerima warisan, buruk maupun bagus. Agar kita tetap merupakan satu kesatuan, dalam ruang, waktu, dan sebagai pelaku. Agar kita menjadi kita, bukan kami dan mereka.

Kepastian membuat negara dan bangsa ini tetap ada. Tegak di dunia. Bagaimana bangsa ini dapat dihormati, kalau di antara kita sendiri tidak saling menghormati? Bung Karno dapat salah, Pak Harto dapat salah, Habibie dapat salah, Gus Dur dapat salah, Megawati mungkin punya kekurangan, tetapi mereka milik kita, bagian dari diri kita. Menghujat tidak ada manfaatnya, belajar dari kesalahan banyak manfaatnya.

Indonesia akan ambruk kalau pilar kepastian tidak ditegakkan.***

Penulis, Budayawan

Senin, 06 September 2010

Gaya Kepemimpinan Presiden Kita Dalam Segelas Air

Tulisan ini tidak hendak menilai pribadi masing-masing presiden. Ini hanya mengulas gaya kepemimpinan. Bisa jadi gaya kepemimpinan mereka bukan cerminan sifat personal masing-masing presiden. Maksud saya adalah, kalau dalam tulisan ini mengandung kritik itu hanyalah sekadar kritik gaya kepemimpinan. Bisa jadi keseharian mereka sebagai manusia biasa – sebagai suami/istri, bapak/ibu amat baik dan terhormat. Buktinya mereka lebih terkenal daripada penulis.

· Soekarno

Bila diibaratkan gelas, bung karno adalah gelas yang airnya melimpah dan tak pernah habis. Ia menuangkan isi gelasnya kepada siapa saja. Gelas demokrasi diisi, gelas nasionalisme diisi, gelas Islam diisi, gelas komunisme diisi juga. Pokoknya semua gelas diisi. Semua diterima oleh gelasnya Soekarno.

Ribuan orang terinspirasi oleh retorika pidatonya. Pemuda-pemudi terbakar semangatnya oleh orator ulung ini. Hingga sekarang masih banyak penggemarnya yang setia memelihara peninggalannya, baik berupa kutipan kata-kata maupun gambar hingga. . . . kuburannya.

· Soeharto

‘Gelas’ kepemimpinan H.M Soeharto merupakan yang paling unik. Gelas Soeharto sebenarnya penuh dan mampu menenggelamkan siapa saja. Namun, begitu bertemu orang gelasnya di kosongi. Semua orang merasa didengar dan diterima. Semua air masuk ke dalam gelasnya Soeharto. Semua orang yang ‘minta petunjuk’ kepadanya selalu diterima. Dan tak seorang pun menyadari apakah sang presiden sebenarnya marah, menolak atau menerima dengan ikhlas. Maka tak ada seorang pun yang merasa dimanfaatkan. Itulah kemenangan gelas kepemimpinan Soeharto, semua orang merasa telah mengisi gelasnya Soeharto, padahal mereka sedang tenggelam dalam air kekuasaannya.

Tak percaya ? Coba cari indikator kecerdasan atau kebodohan Soeharto ? Pasti sulit dicari. Karena tak ada yang benar-benar bisa menelitinya maka tak ada yang mampu menjungkalkan Soeharto (sebelum reformasi).

· BJ Habibie

Gelas kepemimpinan sulit di teliti. Karena begitu Habibie mendapat gelas kepemimpinan dari Soeharto, sekejap kemudian gelasnya hilang. Kepemimpinanya memang seumur jagung. Mungkin karena tak mampu mengimbangi gerakan lincah bola mata ahli pesawat terbang ini.

· Gus Dur

Gelas kepemimpinan Gus Dur juga salah satu yang terunik. Gelas kepemimpinan Gus Dur tak punya dasar alias gelasnya bolong. Siapapun menuangkan air ke dalam gelasnya maka air itu akan keluar lagi. Berapapun air dimasukkan ke dalam gelas kepemimpinannya, sebesar itu pula air itu hilangh entah kemana.

Ada gelas maupun tak ada gelas, karakter kepemimpinan Gus Dur ya tetap seperti itu. Seperti apa ? Ya, seperti itu. Gitu aja kok repot, lha wong jelas keliatan. Kalau bingung yang salah sendiri. Siapa suruh mbaca ini ? Sana mbaca komik aja..!

· SBY

Gelas kepemimpinan SBY adalah yang paling modern. Gelas SBY selalu penuh. Orang yang melihatnya akan terkagum-kagum karena ternyata isinya penuh, pas dengan tinggi bibir gelas, airnya jernih. Gelas kepemimpinannya dilarang kurang walaupun setetes. Apalagi kalau sampai kosong…Dilarang keras! Gelas kepemimpinan bagi SBY harus penuh, kalau tidak penuh memalukan. Semua harus kelihatan perfect. Bahkan bunga di teras istana pun harus hijau segar (ingat ketika Bush datang ke istana Bogor, SBY sempat memeriksa tanaman di pot teras istana-mungkin kalau ada yang setangkai yang layu akan disuruh diganti).

Efek dari gelas yang penuh, tak ada yang air lagi yang bisa mengisi gelas kepemimpinan SBY.

· Megawati

Sangat disayangkan Megawati tak mengenal gelas, sehingga tak jelas bagaimana kepemimpinan Megawati. Tak jelas apakah kepemimpinan Megawati berupa cangkir, gelas teh, botol, jirigen atau bahkan drum. Tak jelas apakah isinya air, minyak atau lumpur.

Jadi, bagaimana karakter kepemimpinannya ? Ya.. ngga jelas

Adaptasi dari Kenduri Cinta, Cak Nun – 3 September 2010

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons