Minggu, 10 November 2013

Konflik dan Teori Konspirasi



Konon konflik adalah sesuatu yang sehat. Dengan konflik kita bisa melihat siapa yang loyal dan siapa yang tidak loyal. Dengan konflik kita bisa melihat siapa yang memutuskan untuk setia dan siapa yang pergi. Konflik juga membuat kita bisa kita melihat karakter asli setiap individu di sekitar kita.
Yang menarik, ada konflik yang sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan emosional. Konflik bisa secara sadar (atau tidak sadar) sengaja diadakan demi perasaan ditemani dan dibela. Yaitu ditemani dan dibela oleh orang-orang yang merasa kasihan pada kita. Sementara akar konfliknya hanyalah asumsi-asumsi yang dasarnya tidak terlalu jelas. Kalau ada konflik semacam itu, coba anda beri mereka solusi yang konkrit. Saya yakin tidak akan ada yang mau melaksanakan solusi itu. Misalnya : di sebuah perusahaan ada dua karyawan yang berkonflik. Inti masalahnya tidak terlalu jelas. Mereka berkonflik hanya karena ingin ber-drama-ria. Usulkan pada salah satu untuk secara terus terang mengusir dan menolak kehadiran sang musuh. Ini solusi konkrit dan “jantan”. Ibarat dua banteng bermusuhan, jangan sang pawang disuruh saling ejek atau bertarung suara banteng mana yang paling keras. Tapi suruhlah kedua banteng disuruh berkelahi. Kalau perlu sampai mati. Dan setelah itu lupakanlah permusuhan.
Sayangnya, solusi seperti itu tidak populer. Yang populer adalah masalah tetap disimpan brankas suci yang tidak boleh disentuh siapa pun, sementara pernak-pernik masalah asyik digunjingkan dibelakang bersama para sekutu setia dan juga sekutu-ganda (mereka yang bingung menentukan posisi). Alih-alih menyuruh kedua banteng bertarung di gelanggang sampai selesai masalah atau sampai salah satu mati, kita lebih suka membiarkan masalah mengendap. Dengan begitu, besok pagi dan pagi-pagi berikutnya akan terus ada bahan gosip. Asyik kan…?
Akhir Maret

Senin, 04 November 2013

PILAR-PILAR SPIRITUALITAS EMHA AINUN NADJIB



Muhammad Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun sebenarnya terus bergerak dengan kampanye  budaya dan optimismenya meski tidak pernah diliput dan diekspose media. Maka tak heran bila masyarakat umum menganggap Cak Nun tak punya “kegiatan” karena minimnya ekspose media mainstream. Hal ini disadari oleh Cak Nun dan komunitasnya, sebagaimana sering ia ungkapkan dalam beberapa kesempatan. Dan di dalam buku ini, Cak Nun dengan lapang mengatakan “Tapi Kiai Kanjeng memang tidak dihargai di Indonesia. Dan itu tidak apa-apa bagi Kiai Kanjeng. Sebab, sukses itu bagi Kiai Kanjeng bukan terletak pada kami dapat apa, jadi apa, eksis atau tidak, bintangnya terang atau tidak. Tapi, bagaimana menjalani hidup ini dengan benar, itu arti sukses bagi Kiai Kanjeng” (hal 205).
Latar belakang Cak Nun sendiri cukup menarik. Ia lahir di Jombang pada tanggal 27 Mei 1953. Latar belakang tempat tinggal, keluarga dan pendidikan masa kecil mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Hal itu terlihat dari ceramah-ceramahnya yang kerap menyinggung masa kecil dan remajanya. Dari buku dan tulisannya pun dapat dilihat pengaruh latar belakang Cak Nun tersebut, misalnya pada “Ibu, Tamparlah Wajah Anakmu Ini” atau “Indonesia Bagian Dari Desaku”. Dan untuk lebih menguliti latar belakang pemikiran Cak Nun perlu diketahui juga kiranya bahwa Cak Nun telah sejak tahun 1970 an menjadi wartawan dan sastrawan yang menelurkan berbagai tulisan berupa cerpen, artikel, lirik-lirik lagu, naskah drama, essai maupun puisi. Dan jangan lupa Cak Nun juga pernah berkecimpung di dunia teater. Namun, di buku ini, hal tersebut (mungkin) sengaja untuk tidak dikupas.
cak nun,politik indonesia,EAN,emha ainun najib,emha ainun nadjib,gambang syafaat,kenduri cinta,budaya indonesia,kiai kanjeng,jaman wis akhir
Buku ini mengupas sosok Cak Nun dari segi pemikiran dan sikap spiritualitasnya. Terutama pada peran Cak Nun di Kiai Kanjeng. Di buku ini Cak Nun menamakan dirinya sebagai “sahabat dekat kiai kanjeng” (hal 205). Namun, secara umum, buku ini mengupas pemikiran Cak Nun dalam komunitas Maiyah. Maiyah sendiri lebih merujuk pada ukuran kualitatif daripada kuantitatif. Maka, “Maiyah lebih merupakan komitmen nilai, bukan bentuk. Sehingga, Maiyah tidak akan pernah mencapai bentuk formal semacam organisasi masyarakat” (hal 29). Meskipun begitu, ciri-ciri kualifikasi Maiyah setidaknya dapat dilihat dari acara-acara rutin yang ia asuh: Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Obor Illahi (Malang) dan Paparandang Ate (Sulawesi). Diluar itu Cak Nun masih sering menerima undangan diskusi maupun pengajian di daerah-daerah serta komunitas-komunitas intelektual dalam maupun luar negeri, baik secara pribadi maupun dalam kapasitas Grup Kiai Kanjeng.
Salah satu karakter Maiyah adalah daya penerimaan (akseptabilitas) yang amat terbuka kepada berbagai komunitas dan pihak untuk ikut bergabung dalam diskusi Maiyah. Ragam pihak yang diterima bukan sekadar dari berbagai latar belakang agama dan suku namun juga keragaman pemikiran dan strata sosial. Sehingga dalam Maiyah tercatat pernah dihadiri tokoh politik, anggota DPR atau calon legislatif seperti Efendi Choiri, Rizal Ramli, Mutia Hatta, Permadi, Gus Dur (almarhum) hingga Ichsanudin Noorsy. Ada juga kalangan artis mainstream seperti Letto – kebetulan vokalisnya adalah putra Cak Nun dan salah satu narasumber Maiyah juga - Sulis, Mbah Surip (almarhum) dan Dik Doang. Dari komunitas lokal pun diapresiasi, misalnya komunitas Tana Abang, Perkumpulan Keraton Nusantara, para habib hingga anggota SAR meledaknya Gunung Merapi. Para individu yang menjadi langganan Maiyah pun bila kritis dan setia mengikuti Maiyah akan diapresiasi secara proporsional oleh Cak Nun, misalnya tokoh “kafir liberal” di Kenduri Cinta Jakarta. Dan tidak ketinggalan Ust. Wijayanto dan ust. Nurshomad Kamba yang berbicara lebih akademis-formal dan by the book. Semua pihak tersebut memang sengaja diberi tempat oleh Cak Nun, bukan hanya sekadar diberi kesempatan untuk bertanya semata.
Pemikiran Cak Nun dalam buku ini paling tidak ada 4 sisi yang paling menonjol. Pertama, teknologi peradaban Jawa. Lalu yang kedua adalah pemikiran progresif dalam kerangka cinta Indonesia. Sedangkan yang ketiga adalah Islam dan hikmah-hikmah kenabian. Dan yang terakhir adalah segitiga cinta dan Allah sebagai pemiliki qolbu manusia (shohibu baytii).
Bila Cak Nun menyebut peradaban Jawa, maka Cak Nun merujuk pada sejarah panjang Nusantara yang sudah ada sebelum sejarah keraton dan kerajaan Nusantara. Bahkan jauh sebelum Majapahit. Dan keberadaan peradaban Jawa pada masa ini dikuatkan oleh ilmuwan Inggris Stephen Oppenheimer (“Out of Taiwan” dan “Out of Sundaland” hal 11-14). Menurut teori Oppenheimer manusia Nusantara adalah manusia yang melakukan imigrasi ke utara, yaitu wilayah Asia Utara hingga Amerika dan wilayah Pasifik. Sehingga ia menolak anggapan bahwa manusia Nusantara adalah pendatang dari utara (teori Out of Taiwan). Dari dasar pemikiran ini Cak Nun mencoba membangkitkan optimisme masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahwa cikal bakal bangsa Nusantara adalah bangsa besar. Bahkan cerita-cerita mistis para kiai yang dapat pindah tempat dalam sekejap (teleportasi) dan menggerakkan benda-benda tanpa disentuh merupakan kemampuan alami manusia Nusantara, yang didapat dari ritual-ritual tertentu yang dicurigai sebagai amalan-amalan Islami. Misalnya puasa dan wirid-wirid. Intinya adalah kalau Eropa mengolah perangkat keras untuk bisa terbang dan menaklulkan alam, maka manusia awal Nusantara mengolah hati dan pikiran untuk menaklukan alam. Dan kedua-duanya adalah sama-sama jenis teknologi. (Teori Fisika Peradaban Jawa hal 15,Slow Speed hal 22 dan Kisah-kisah dari Peradaban Koneksitas hal 51).
Cak Nun pun mengguyur jamaahnya dengan pemikiran dan kecintaan pada Indonesia secara progresif. Hal itu terlihat dalam “Bangsa Fotokopi” (hal 61) yang mempertanyakan kemandirian bangsa Indonesia dalam mengelola negaranya sendiri. Kemudian Cak Nun juga menggambarkan secara jernih dan mengagetkan peristiwa tahun 1998 yang monumental lewat “Kesaksian Reformasi 1998” (hal 165) hingga “Reformasi yang Gagal” (hal 178). Dalam pembahasan reformasi 1998 ini diselipkan sub bab “Bahasa Pasemon” (hal 172) untuk memberi lampu kuning bahwa bahasa yang dipakai Cak Nun amatlah halus sekaligus menohok. Sehingga maksud Cak Nun adalah seperti dalam permainan karambol. A menembak B, padahal sebenarnya pada saat yang sama A mengharapkan bahwa C menyadari bahwa dirinyalah yang diincar.
Sebagai jebolan Pondok Pesantren Gontor tentu saja Cak Nun tidak bisa dilepaskan dari analisis dan pemikiran  yang khas Islam. Ini terlihat dari bagaimana Cak Nun memandang kafir, muslim dan mukmin. Secara tradisi ke-Islaman, setiap kata pembahasan ibadah,muamalah dan aqidah memiliki makna bahasa (literer), makna istilah dan makna syar’i. Dalam hal ini Cak Nun mencoba mendudukkan istilah-isitilah tersebut secara tepat, sehingga orang tidak mudah mengkafirkan tanpa dasar dan pada saat yang sama Cak Nun mencegah jamaahnya agar jauh dari tindakan kufur (mengingkari atau tidak mau tahu). Baik kufur kepada nikmat Allah, kufur kepada kebesaran Allah maupun kufur secara politik (Kafir, Muslim dan Mukmin hal 119). Dan analisis model ini pun Cak Nun gunakan untuk membahas masalah jihad, kepemimpinan (rois/amir), kebaikan (hasan/thoyib), barokah, karomah dan lain-lain. Hikmah-hikmah kenabian dibuku ini menyajikan keluasan analisis berpikir manusia lewat kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa (hal 87). Dalam kisah ini Cak Nun seolah-olah menyatakan bahwa ada beberapa tindak kebaikan sosial maupun individu yang melewati masanya sehingga dilihat oleh masyarakat umum sebagai tindakan gila dan merugikan.
Mungkin tidak ada teks lain yang fokus mengurai spiritualitas hati Cak Nun selain syair “Allah Tuan Rumahku”, sehingga syair tersebut menjadi halaman pamungkas buku ini. Spiritualitas Cak Nun, sebagaimana tergambar dalam buku ini dan ceramahnya di Maiyah, tertambat pada konsep segitiga cinta Allah, Rasulullah dan Manusia serta konsep menyatunya hamba dengan Kholiq (Sang Pencipta). Dalam segitiga cinta, Rasulullah adalah kekasih Allah yang menjadi konsekuensi cinta manusia pada Allah. Maka kecintaan manusia pada kekasihNya sebenarnya adalah kecintaan manusia pada Allah itu sendiri. Apalagi kalau mempertimbangkan jasa Rasulullah melalui panduannya maupun melalui syafaatnya kelak. Sedangkan konsep shohibu baytii  meniscayakan bahwa isi dari qolbu dan hati manusia hanyalah Allah semata. Bahkan manusia itu sendiri (ego) itu tidak ada sehingga, raja hati dan qolbu manusia adalah Allah semata. Maka kreasi dari hati dan qolbu manusia, di lapangan ekonomi,politik, hukum maupun negara dapat dipastikan telah mendapat persetujuan Raja hati dan qolbu yaitu Allah SWT. Inilah yang dirujuk sebagai menyatunya hamba dan Pencipta yang tentu saja berbeda dengan manunggaling kawula lan gusti  ala Siti Jenar.   
Secara umum buku ini telah mampu menggambarkan pemikiran dan spiritulitas Emha Ainun Nadjib sebagai pengasuh Maiyah. Yang menarik adalah penulis membuat buku ini setelah sempat berkorespondensi dengan Cak Nun kemudian  mendapat “perintah” dari Cak Nun untuk menulis tentang Maiyah (hal XII).  Hanya saja penggunaan gaya laporan pandangan mata (sightseeing report) oleh penulis menjadi kelebihan sekaligus kelemahan. Menjadi kelebihan karena pemikiran Cak Nun lebih lugas diungkapkan, menjadi kelemahan karena ada ketidak-konsistenan sehingga pada beberapa bagian tidak begitu jelas mana yang merupakan kata-kata Cak Nun, mana yang diinterpretasikan dari kata-kata Cak Nun dan mana yang merupakan opini penulis sendiri. Buku ini layak baca bagi pemerhati gerakan ke-Islaman dari kalangan mahasiswa, akademisi maupun masyarakat umum. Buku ini pun cocok bagi mereka yang ingin mendapatkan perspektif baru menurut pandangan Islam mengenai permasalahan budaya dan kebangsaan.
Penulis : A.R. Ibnu, S.E.

Resensi Buku
Judul                     : Spiritual Journey : Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Nadjib
Penulis                  : Prayogi R Saputra
Penerbit               : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit       : 2012

Jumat, 01 November 2013

Yours Forever

Hak yang paling asasi konon hak asasi manusia. Amerika sejak 1700an telah menjamin hak itu lewat The Declaration of Independence. Salah satu perumusnya adalah Thomas Jefferson. Kalau di Indonesia, Thomas Jefferson itu Soekarno. Dalam deklarasi itu negara menjamin hak untuk hidup, hak berpendapat dan hak memperjuangkan hidupnya (bebas bekerja dan memiliki sesuatu). Kalau ada yang salah dari hak-hak itu tolong dikoreksi. Maklum, terakhir baca sejarah Amerika waktu SMA.
thomas jefferson,politik indonesia,pks,golkar,hanura,amerika indonesia,politik internasional,pahlawan amerika,usa,hero,national hero
Mungkin inilah perbedaan paling mendasar antara manusia dan binatang. Manusia memiliki free-will (kebebasan memilih) karena punya konsep ego (ke-akuan). Sedangkan binatang hanya memiliki naluri. Dia tidak sadar ke-akuan-nya. Bagi binatang; lapar ya makan, ada lawan ditantang, diserang ya bertahan, kalah bertarung ya minggir. Dia tidak punya ego yang membuat ia merasa malu bila kalah. Dia tidak punya ego yang membuat ia punya cita-cita. Ia tidak punya konsep dendam atau manipulasi terhadap keadaan. Bagi binatang kalah ya kalah. Lihatlah capung yang nabrak-nabrak kaca. Sampai kiamat ia akan terus berusaha melewati kaca itu seolah-olah kaca itu tidak ada. Sedangkan manusia, setiap hambatan bisa ia akali. Bahkan aturan pun bisa ia manipulasi untuk kepentingannya sendiri.
Misteri paling gelap dalam kehidupan manusia adalah free-will. Anugrah terbesar manusia dari Tuhan adalah free-will. Dalam bahasa Al Qur’an –mungkin– free-will adalah amanah. Semua makhluk Tuhan ditawari free-will (amanah) tapi mereka semua menolak. Hanya manusia –yang dengan congkaknya- menerima amanah itu.
Mata, hati, kaki, inspirasi dan ilham. Semuanya dari Tuhan. Lalu darimanakah free-will itu? Mungkin itu adalah sedikit dari sifat Allah yang dipinjamkan kepada manusia. Allah bebas berkehendak (dalam asmaul husna ada. Cek aja sendiri). Suatu saat free-will itu akan diambil dan dimintai pertanggung-jawaban.
Yang aneh adalah ada beberapa orang yang memilih untuk tidak memakai free-will-nya. Mereka punya keinginan, namun menyerahkan semuanya pada entah apa. Ada yang menyerahkannya kepada teman, orang tua, proses sosial atau apa pun itu asal bukan dirinya sendiri (baca:ego). Siapakah kalian yang tidak membutuhkan kebebasan? Siapakah kalian yang nyaman dalam penjara? Siapakah kalian yang merasakan kebebasan dalam keterikatan? Siapakah kalian yang merasakan keterikatan dalam kebebasan? Apa sebenarnya yang mengikat kalian? Apa sebenarnya yang membebaskan kalian?
Apa pun itu. Kebebasan adalah milik manusia. Selamanya.
Here some wings,
There yours forever,
And heres some dreams,
That will come true,
Take these tears, to wash away your sorrows,
Tomorrow still holds out its hands to you,
Yes tomorrow still holds out its hands to you
Yes tomorrow still holds out its hands to you

“John Mellencamp – Yours Forever” OST Perfect Storm
Monday, April 08, 2013

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons