Sabtu, 26 November 2011

Gaya Mahasiswa

Mahasiswa rantau, makan tak teratur
Senen makan, Selasa puasa
Rabu ngutang, eh Kamis dibayar
Jum’at lapar lagi
Sabtu makan lagi
Minggu ngutang lagi
Senen balik lagi

Rambut metal gondrong
celananya bolong
Jarang makan, apalagi jajan
Pacar tiada, duit pun tak punya
Utang di mana-mana


Itulah sepenggal lirik lagus PHB (Pemuda Harapan Bangsa) berjudul "mahasiswa rantau. PHB adalah band mahasiswa era akhir 1970 hingga pertengahan 1980. Lagu-lagu mereka campuran dangdut, keroncong dan pop yang dibawakan secara akustik. Aransemennya tidak rumit, karena cuma gitar, kecrek dan kendang. Mungkin begitulah hiburan mahasiswa-mahasiswa zaman dulu. Nyanyi-nyanyi di depan kost dengan alat musik seadanya. Band yang semisal adalah PSP (Pancaran Sinar Petromak) dengan lagu "Gaya Mahasiswa".

Itulah mahasiswa zaman dulu yang memang "makan tak teratur". Sudah biasa juga guru-guru saya di SMA menceritakan perihnya jadi mahasiswa rantau. Makan bisa sehari sekali. Lauknya pun cuma pakai cabe dan nasi. Pokoknya serba kekurangan. Boleh ngutang di warung saja sudah bagus. Utang piutang sudah biasa terjadi antar mereka, karena uang bulanan tak jelas datang. Wesel tak secepat dan sepraktis ATM.

Sekarang sudah tidak ada lagi mahasiswa seperti itu. Semua sudah maju. Uang bulanan lancar. Tinggal sms sebentar, rekening pun dalam tempo yang sesingkat-singkatnya sudah terisi rupiah. Hiburan pun tak lagi pake kecrek atau gitar butut. Mereka bisa pergi ke kafe yang hanya hitungan langkah dari kampus atau kos. Di sana ada live band dan kalau ada acara-acara tertentu ada sexy dancer. Rambut mereka tak gondrong dan celana mereka tidak bolong. Soalnya di seberang kampus berjejer salon-salon dan toko-toko baju. Jangan ditanya soal model baju dan gaya bajunya, sudah pasti up to date dan ga beda dengan tren di ibu kota. Lagu-lagu mereka pun tak lagi nelangsa dan kesengsaraan jadi mahasiswa rantau. Tema lagu sudah lebih maju dan berkaitan dengan hal-hal penting dalam kehidupan : cinta. Ada tentang dilema ketika menyukai pacar teman (Cherrybell) ada juga tentang kebencian pada cowo playboy (7 icons).

Selamat tinggal mahasiswa memble. Selamat tinggal mahasiswa miskin.

Akhirnya semua mahasiswa kita kaya, gaul, modern, punya gaya dan tidak kampungan.

Alhamdulillah...

*terdengar di kejauhan..."mahasiswa rantau....."

Jumat, 25 November 2011

Kubus

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad


Ka’bah adalah sebuah kebersahajaan. Suatu ketika saya masuk ke dalamnya. Ruangan itu gelap. Tak ada hal yang menakjubkan, tak ada yang mempesonakan. Tak ada yang menyatakan bahwa di sini tersimpan rahasia alam yang gaib.

Memang ada yang menyebabkan perasaan terguncang ; dan itu terjadi ketika saya dengar suara berbisik, dari depan saya, agar saya bersembahyang dua rakaat – dan serentak pada saat itu saya menyadari, bukan hanya secara pikiran, melainkan secara fisik, bahwa Tuhan tak di sini, bahwa Tuhan tak dimana-mana, tetap jauh – tak terangkum dari tempat saya berdiri. Tuhan tak ada dalam jangkauan jarak. Tapi pada momen kita menginsafi itu, atau lebih tepat kita mengalami itu, kita pun menyerah. Seperti mungkin kata seorang penyair, kita menyerah ”di bawah bayang-bayang keakbaran-Nya”. Dan dalam detik itulah Ia sangat dekat.

Hari itu saya teringat sajak Chairil Anwar: ”Di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tak bisa berpaling.”

Ka’bah adalah sebuah tanda kebersahajaan: ia tanda kemenyerahan manusia di hadapan-Nya. Tanda itu sebuah kubus. Selimutnya hitam. Sosoknya memang besar, tapi – kecuali kaligrafi pada kiswah yang membungkusnya – ia praktis tanpa keelokan, tanpa ornamen, tanpa keinginan menjadi impresif. Ia berdiri begitu saja dihalaman dalam Masjidil Haram, tak menyentak.

Muhammad Asad, penulis Islam keturunan Yahudi Eropa, benar. Ia menulis Jalan Ke Makkah, sebuah buku yang indah tentang perjalanan hidupnya, dan mengatakan dengan bagus apa yang ingin saya katakan. ”Saya telah menyaksikan berbagai negeri kaum Muslimin, tempat tangan seniman besar menciptakan karya yang diilhami,” kata Asad. Tapi justru di ”dalam kesederhanaan kubus itu, yang menyangkal segala keindahan garis dan bentuk,”tercermin satu sikap: ”Betapapun indahnya segala apa yang dapat dibuat oleh tangan-tangan manusia, adalah congkak dibanding kebesaran Tuhan; oleh karena itu semakin sederhana yang dapat disombongkan manusia, merupakan hal terbaik yang dapat dibuatnya untuk menyatakan kebesaran Tuhan.”

Ka’bah adalah ”sebuah pulau tenang”, kata Asad, ”jauh lebih tenang dibandingkan dengan segala gaya arsitektur mana pun di dunia ini.” Ka’bah adalah sebuah pulau tenang, karena pembangun pertama tanda ini tahu: ambisi kita untuk kemegahan, kekerasan hati untuk keunggulan, hanya akan pucat pasi pada detik kita menyadari posisi kita yang sesungguhnya. Kubus itu adalah produk kesadaran itu, sebuah pernyataan kerendahan hati. Penyair Rainer Maria Rilke bernyanyi tentang Tuhan, dan agaknya ia berangkat dari tema yang kekal : Tuhan, bisiknya (dalam sebuah sajak), ”arti-Mu adalah kerendahan hati.”

Hari itu di dalam Ka’bah orang-orang bersembahyang, menghadap kemana saja, dan di luarnya orang-orang bersembahyang, menghadap ke arah yang sama: ke arah Ka’bah, tapi, sebenarnya, juga bisa kemana saja. Menyerah. ”Bayangkan dirimu sebagai sebuah partikel besi di dalam sebuah medan magnet,” seru Ali Shariati dalam kitab kecilnya yang termasyhur tentang perjalanan haji itu, ”seolah-olah engkau berada di antara berjuta-juta burung putih yang sedang melakukan mikraj.”

Sebuah partikel besi di antara jutaan partikel besi, seekor burung putih di antara jutaan burung putih: siapakah saya, siapakah kami, siapakah kita? Jelas, bukan sekadar massa. Paradoks dari arti ”massa” ialah bahwa di satu pihak pribadi menjadi tak penting, tapi di lain pihak ia lebur jadi daya yang bisa besar. Paham totaliter, seperti fasisme dan komunisme, berbicara tentang ”massa” bagaikan kata ajaib dalam sebuah mantra perjuangan. ”Massa” diberi arti khusus. Di dalam paham seperti ini, bisa kita dengar suara marah, sekaligus keyakinan, bahwa sang ”massa” selalu benar dan ditakdirkan untuk pada akhirnya menang.

Dengan kata lain, sebuah ketakaburan, kurang lebih. Maka, kita pun sebenarnya tak bisa menyamakan gerakan ribuan jamaah yang mengelilingi Ka’bah itu dengan ”massa” dalam pengertian totaliter. Sebab, ibadat itu, pada dasarnya, adalah sebuah sujud – dan arti sosial-politik apa pun yang bisa diberikan kepadanya tak mungkin bisa jauh dari arti dasar itu.

Ali Shariati menulis, ”Mekkah adalah kota yang aman dan damai”, yang ”tidak dicirikan oleh ketakutan, kebencian dan perang, tetapi oleh keamanan dan kedamaian.” Menyedihkan, bahwa banyak hal berubah setelah ia menulis seperti itu. Seandainya saja kita ingat bahwa kita semua adalah partikel besi dan burung putih yang sedang mikraj itu – menghadap ke Ka’bah, mengelilingi Ka’bah, menyatakan diri sebagai yang menyerang, mituhu, di dalam kehendak Yang Satu itu.

15 Agustus 1987

Minggu, 20 November 2011

Macbeth

Mengetahui masa depan adalah sesuatu yang dahsyat. Kita ingat Macbeth. Ia panglima perang Skotland yang baru saja memadamkan pemberontakan, dan pulang, bersama Banquo, temannya, melalui rimba. Udara buruk dan badai. Kilat bersambung, tiba-tiba 3 wanita sihir yang mengerikan muncul dari tengah kelam, dan meneriakan sebuah nujum: Macbeth akan jadi yang dipertuan di Cawdor, dan kemudian akan menjadi raja di seluruh Skotland.

Sejak itu, cerita Shakespeare ini melontarkan Macbeth sebagai tokoh yang tragis: seorang yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan – dan terjerat oleh nasib itu sekaligus.

Macbeth mula-mula memang menganggap, ramalan di hutan muram itu ”tak berada dalam kemungkinan untuk dipercayai”. Tapi segera terbukti bahwa nasib menyongsongnya seperti dinujum: Raja Duncan membalas jasanya dan mempromosikannya jadi penguasa wilayah Cawdor. Sejak itu, orang yang berani dan setia ini menjadi culas, dengan hasrat yang ”gelap dan tersimpan dalam”. Ambisi jadi demam di hatinya. Istrinya mengipas-ngipas sebuah api gila yang tersembunyi di sana. Akhirnya, wanita yang tak sabar itu pun mendorong Macbeth memenuhi ramalan sampai ke puncak: ia bunuh Duncan dengan cara licik. Dan ia jadi raja.

Tak mudah, memang, menangkis godaan untuk mendengar sebuah cerita tentang apa yang kelak akan terjadi dalam hidup kita. Tak gampang menutup kuping dari 3 wanita sihir yang, betapapun asingnya, ”dapat menilik benih waktu, dan mengatakan mana butir yang akan tumbuh dan mana yang akan layu.”

Karena itulah kita pergi ke kelenteng. Atau membaca-baca kembali Megatrends dari John Naisbitt. Atau datang ke dukun pinggir jalan yang membawa burung gelatik dan kartu. Atau mengundang para ekonom, ahli sosiolog, analis-analis politik – dan sebagainya – ke sebuah seminar tentang prospek 1986.

Mengetahui masa depan memang sesuatu yang dahsyat. Mengira-ngiranya saja telah membikin permukaan bumi berubah-ubah. Investasi-investasi besar tak akan dilakukan jika para pengusaha tak punya informasi tentang apa hasilnya sebuah usaha 10 tahun yang akan datang. Rel kereta api tak akan dipasang dan ladang-ladang petani tak akan jadi agribisnis. Di pihak lain, revolusi-revolusi, khususnya revolusi sosialis, tak akan meletus seandainya tak ada sejenis keyakinan: Marx meramal bahwa dunia akan membangun kapitalisme sampai akhirnya stelsel itu roboh, dan kaum buruh akan jadi juru selamat. Ramalan itu meleset, tapi jejaknya tak mudah hapus pada ilmu bumi dan sejarah.

Suatu kelebihan manusia memang, untuk melepaskan waktu dari siklus alam. Pembagian ”pagi”, ”siang”, ”malam” telah ditransformasikan jadi suatu konsep yang mudah dipakai untuk matematika . Dengan kemampuan itulah kita bisa menyusun asuransi hari tua, mengkalkulasikan bunga deposito buat warisan anak-anak, atau – kadang-kadang – merencanakan sebuah bom kapan bakal meledak.

Mengetahui masa depan memang sesutau yang dahsyat. Tapi benarkah kita bersungguh-sungguh menginginkan itu?

Macbeth memperoleh informasi tentang apa yang akan terjadi, tapi kita tahu apa yang kemudian menimpa dirinya. Para wanita sihir telah membentangkan peta nasib laki-laki itu: ia akan menjadi raja – dan Macbeth pun segera bergerak ke arah sana. Seperti diucapkannya dengan wajah pucat dan hati gentar sebelum ia membunuh Duncan, ia berdiri ”di atas tebing dan beting waktu”, hendak ”meloncatkan hidup ke masa datang”. Dengan kata lain, ia mengambil sikap aktivis. Ia tak Cuma menunggu nasib.

Bahkan akhirnya ia berusaha melawan nasib itu, nekat, mati-matian, dengan keras. Nujuman lain dari para wanita sihir itu hendak diubahnya. Maka, ia membunuh sahabatnya, Banquo, karena Banquo-lah – dan bukan dirinya – yang diramal akan menurunkan anak-anak yang kelak akan jadi raja.

Dalam satu hal Macbeth, tokoh dari sebuah cerita sandiwara abad ke-17, tampak seperti orang modern: ia memanfaatkan proyeksi sebagai bahan rencana untuk tindakan perbaikan nasib. Ia tidak lagi memandang nujuman sebagai suatu batas yang tak terelakan, tapi sebagai kemungkinan dan data untuk perhitungan.

Tapi Shakespeare pada akhirnya membuat Macbeth kalah. Tokoh malang ini, dalam proses, ternyata Cuma satu ambisi yang menggelepar-gelepar, meloncat ke sana kemari, tapi tetap dalam tudung takdir gelap.

Apakah artinya, kemudian, kebebasan dan kekuasaan manusia untuk menentukan nasib sendiri, ketika nasib tak pernah bisa ditentukan sendiri? Dalam posisi seperti itu, mengetahui masa depan adalah sesuatu yang dahsyat: pengetahui itu dapat membuat kita telah selesai sebelum memulai, berjalan tanpa antusiasme, mungkin hanya dengan rasa sia-sia. ”Esok dan esok dan esok lagi,” gumam Macbeth menjelang akhir kekuasaanya, ”merayap langkah leceh hari demi hari . . .”

18 Januari 1986

Sabtu, 19 November 2011

Iou

Catatan Pinggir Goenawan Mohammad

Utang adalah bagian penting dari sejarah. ”Tak ada pusat perdagangan di dunia ini dimana bisnis tak dijalankan dengan uang pinjaman. Tak ada seorang bisnis pun agaknya yang tak punya keharusan mendatangi kocek orang lain.” Itu kata Turgot, ahli ekonomi dari Prancis terkemuka di abad ke 18. Dan kita tahu, apa yang dimaksudkannya juga berlaku buat masa kini.

Tak tak semua orang nampaknya menyadari itu. Tak semua orang, khususnya di Indonesia, punya persepsi seperti Turgot, yang tumbuh dari sejarah debit-kredit yang telah berabad-abad. Wir, kenalan saya, misalnya, manajer keuangan sebuah perusahaan, menolak buat berutang. Dia takut harus bayar bunga, dia takut kena sita bila tak bisa memenuhi cicilan, dia takut berutang budi dan malu dan dia takut sakit jantung memikirkan semua itu.

Pengecut dan konyol, kata sebagian orang mendengar alasan itu. Bukankah si Wir – seraya ia tak mau ambil utang dari orang lain – sebaliknya tak bisa menghindarkan orang lain berhutang padanya? Bukankah para agen, yang mengedarkan produknya, tak hendak membayarnya kontan? Kenapa ia hendak berhutang? Betapa bodoh. Apa dia tidak tahu bahwa pembukuan juga harus dihitung dengan basis accrual ? Dalam dunia bisnis, kata orang, inilah hukum kelihaian pertama: pada saat orang bisa berutang padamu, kamu harus pula bisa berutang kepada orang lain. Bahkan modal sejati seorang pengusaha adalah ide, tekad dan kemampuan berusaha, plus sejumlah uang yang bukan punya sendiri.

Tapi Wir, teman saya itu, memang bukan pemberani. Ia seorang Indonesia biasa, yang, seperti kebanyakan orang Indonesia, menyimpan banyak ingatan suram tentang sukses yang gagal, keberhasilan yang mendadak runtuh, atau kenestapaan yang panjang. Di waktu kecil ia hidup di sebuah dusun, dan ia melihat apa artinya utang: Pak Rejo yang sawahnya sudah dihadang pengijon. Pariyem yang ikut megap-megap, dan akhirnya jadi pelacur, karena bapaknya pinjam uang dari rentenir. Atau para tetangga lain, yang gelang dan giwangnya tak kunjung tertebus di rumah gadai.

Ketakutan pada utang adalah ketakutan yang purba, rasa was-was dari sebuah zaman ”pra-bisnis”. Mungkin juga akarnya sebuah trauma yang setengah tersembunyi jauh dalam kesadaran kolektif kita: di masa lalu, di Indonesia, seperti halnya di beberapa negeri lain di Asia Tenggara, memang ada hubungan yang erat antara peminjaman uang dan hilangnya kemerdekaan. Utang pada gilirannya akan berakibat dalam ikatan, pasungan, bondage, perbudakan.

Setidaknya itulah cerita para sejarawan, yang menulis dalam sebuah buku yang amat menarik yang terbit di tahun 1983, Slavery, Bondage & Dependency in Southeast Asia. Satu kenyataan yang diungkapkan di sana adalah bahwa di zaman lampau, cari lazim bagi orang di Asia Tenggara untuk dapat memperoleh modal adalah dengan menggadaikan diri. Atau, kalau tidak, menggadaikan anggota keluarga yang ditanggungnya.

“Bila orang yang merderka empunya banyak utang di sini dan di sana”, demikian termaktub dalam aturan orang Kutai yang dikutip oleh Sejarawan A. Reid dari satu jilid Adatrecstsbundels, “maka orang dijual dan hasil penjualannya dibagi-bagi”. Seorang asing di abad ke-17 melihat Banten dan ia, yang agaknya terkejut, juga kemudian menulis, bahwa di negeri itu, “seorang pemberi utang boleh mengambil orang yang berutang, juga istrinya, anaknya, budaknya dan semua yang dimilikinya, untuk dijual guna membayar kembali pinjamannya.”

Masa lampau memang sering menakutkan – khususnya bila dilihat di masa kini. Masa lampau juga ternyata tak mudah punah dari bawah sadar kita, meskipun semua itu praktis kini tak ada lagi: utang, bagi kita, tetap saja sebuah mimpi buruk bertahun-tahun. Atau kalau tidak, bagi kita, yang terbiasa dengan hubungan pribadi-dengan-pribadi, utang masih semacam budi baik orang yang lebih mampu kepada yang kurang mampu. Kata-kata ”IOU” masih terasa berat dengan beban moral. Utang masih belum dianggap sebagai sekadar pembayaran yang ditunda - yang bisa menguntungkan, baik bagi si pemberi utang maupun si penerima. Asal ada pegangan yang bisa dipercaya.

Utang, buat sang kreditor dan debitor, memang mengandung sebuah kepercayaan, bukan cuma kepada satu sama lain, tetapi kepada masa depan: bahwa masa depan adalah waktu, yang bisa diukur dan diandalkan. Utang juga mengandung sebuah kepercayaan kepada aturan-aturan yang selalu akan ditaati, bahwa kesewenang-wenangan tak akan terjadi.

Tapi kita mungkin belum terbiasa dengan semua itu. Sejarah kita penuh dengan keretakan dan guncangan. Kita cenderung melihat perjalanan waktu sebagai sesuatu yang terpotong dan terpisah-pisah, bukan sesuatu yang satu dan kontinyu. Kita mulai merasakan manfaatnya apa yang disebut ”stabilitas” baru dalam kurun waktu dua dasawarsa – terlampau pendek untuk terbentuknya sebuah persepsi lain tentang waktu – dan sementara itu kita masih belum tahu apa arti stabilitas yang sebenarnya: kita masih memerlukan hukum yang tidak plintat ke sana dan plintut kemari dari hari ke hari, kita masih memerlukan aturan dan lembaga yang tak goyah, kita masih memerlukan semacam rasa tentram, sebuah basis untuk menghitung kemungkinan yang akan datang.

Dengan singkat, kita masih perlu dasar, agar tidak waswas berbicara tentang satu soal yang normal dalam sejarah itu: utang.

16 Januari 1988


Selasa, 15 November 2011

Bebas

Untuk apa sebenarnya kebebasan? Dan beranikah kita?

Tidak, bila kita dengar kata-kata seorang pendeta tua yang berkuasa, seorang kardinal bermuka suram. “Tak ada yang lebih berat ditanggung manusia dan masyarakat ketimbang kebebasan.”

Maka, sang kardinal pun jadi Sang Pengusut Agung, Inkuisitor Besar. Ia menyidik ke segenap sudut kalau ada pikiran bebas yang akhirnya menyeleweng. Dan ia menghukum bakar siapa saja yang ia anggap berbuat bid’ah. Orang harus tunduk kepada doktrin, dan mereka akan terjamin.

Tentu, para pembaca, itu memang suatu bagian terkenal dari Dostoyewski yang besar itu, Karamazov Bersaudara.

Dostoyewski mengambil satu pasase dalam sejarah Spanyol abad ke-16, ketika Gereja dan Raja dengan tangan besi menghabisi orang-orang yang “ingkar” dengan serangkaian auto-da-fe: orang-orang itu diikat di palang, di atas seunggun kayu kering, lalu api dinyalakan,dan semua mati hangus, dan iman diselamatkan. Tapi dalam novel Rusia abad ke-19 itu kita dihadirkan, melalui cerita Ivan Karamazov kepada adiknya, ke dalam sebuah syair yang fantastis: dalam puisi Ivan itu Kristus dilukiskan turun kembali ke bumi. Seorang penyembuh langsung hadir ke tanah Sevilla itu, untuk mengangkat orang-orang dari teror dan siksaan api Inkuisisi.

Tapi Sang Pengusut Agung tak membiarkan itu. Ia menangkap Kristus. Yang ditangkap tak melawan, juga tak bertanya. Di depan wajah yang diam itulah sang Pengusut Agung mengetengahkan satu pembelaan diri: “Tuan memang menginginkan kasih yang bebas, pada manusia, hingga ia akan mengikuti Tuan secara merdeka,” kata padri tua itu. “Tuan menggantikan hukum lama yang tegar,” dan mengharapkan agar “manusia harus seterusnya memutuskan, dengan hati bebas, apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya, hanya dengan menggunakan citra Tuan sebagai pembimbing.” Betapa bagusnya. Tapi, Sang Pengusut Agung, manusia bukanlah makhluk yang layak mendapatkan kehormatan itu.

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad


30 September 1989

Mendengarkan Kesunyian

Headset terpasang di telingaku. Lagu riang dan sedikit kocak terdengar lancar mengalir. Sekilas, ini seperti suasana

tenang dan damai sebagaimana hari-hari lainnya. Tetapi sebenarnya tidak. Lagu-lagu itu hanya mampu menggetarkan

gendang telingku. Lagu-lagu itu tak mampu menggetarkan gendang hatiku. Hatiku telah tertawan oleh sesuatu yang lain.

Bisa saja aku memaksa mengetahui apa gerangan yang membuat hatiku sunyi. Namun, misteri ini terasa lebih indah.

Pencarian ternyata lebih indah daripada penemuan.


Manusia dengan kelemahannya selalu mencari arti hidupnya. Susah payah manusia mencarinya. Begitu memulai mencari,

usaha mereka sudah terbentur karang keras. Bagaimana tidak ? Alih-alih mencari arti hidup, mencari tahu apa itu

hidup saja tak sanggup mereka menemukan. Justru dengan menerima kelemahan manusia menjadi lebih tahu siapa dirinya.

Kalau dalam kelemahan aku menemukan kesejatian, kelemahan adalah singgasanaku. Kalau dalam kelemahan aku menemukan

Tuhanku, maka disitulah rumah sejatiku.


Di tengah keributan ini kesunyian semakin terasa. Riuhnya lagu-lagu ini tak mampu menebus dimensi kehikmatan.

Dimensi dimana hatiku menunduk khusu. Dimensi dimana hatiku terus mencari dalam ketundukannya. Dimensia dimana

hatiku berharap kepada ilustrasi kesejatian. Dimensi dimana pencarian kesejatian mengalahkan kebutuhan-kebutuhan

jasmani. Dimensi dimana kehilangan sebenarnya adalah penemuan. Karena bisa jadi yang hilang adalah yang sementara

dan yang sejati adalah ketidak-punya-an-atas-benda-benda.


>Agar bisa sampai, kamu harus mengikuti tanda-tanda. Tuhan membuat sengaja membuat tanda-tanda itu agar manusia bisa

melihatnya. Jadi, tinggal bagaimana usaha manusia menemukan tanda-tanda itu.


>Cinta tidak ada di luar sana, cinta ada di dalam diri ini. Kita tinggal membangunkannya. Namun, untuk membangunkannya kita butuh orang lain.

Rabu, 09 November 2011

Yerusalem

Umar, yang meninggalkan ontanya dan berjalan kaki memasuki gerbang Kota Yerusalem, barangkali memang bukan sang penakluk. Kota itu telah dikalahkannya, tapi abad ke-7 itu, tak ada pembantaian, tak ada penghancuran, yang ada hanya seorang khalifah dari Mekah yang berpakaian lusuh dan memandang dengan takzim sebuah kota yang direbutnya, tetapi – karena ia Muslim – tetap dihormatinya.

Hari itu Patriakh Sophronius menjumpainya di Bukit Zaitun. Mereka berbicara tentang perdamaian. Umar diminta menjamin keamanan kaum Nasrani dan gereja mereka. Pemimpin yang terkenal lurus hati dari Arab itu mengiyakan. Maka, gerbang pun dibuka, dan pasukan Muslim – untuk pertama kalinya dalam sejarah – menginjakkan kota yang mereka kenal hanya dari cerita Isra dan Mi’raj Nabi mereka.

Mereka menyebutnya Al Quds, atau Yang Suci. Kata sahibul hikayat, begitu melewati gerbang kota Yerusalem, Umar meminta kepad Sophronius untuk membawanya ke Kenisah Sulaiman. Sang Patriakh tak segera memenuhi permintaan ini. Ia khawatir, kalau-kalau Umar berencana membangun bait itu kembali bagi orang-orang Yahudi.

Yerusalem memang telah jadi tempat dimana syak wasangka bertebar dengan mudah, seperti puing dari perang yang belum lama lalu.

Barangkali itu memang nasibnya. Seorang Firaun dari Mesir pernah menyerbunya, kekuasaan Babilonia pernah melindasnya, kemudian Roma, dan kemudian, di tahun 614, pasukan Persia.

Penduduk Yerusalem di hari itu dibantai, dan gereja-gereja dibumihanguskan. Menurut cerita, dalam perang sebelumnya orang Yahudilah yang dihabisi, sedang dalam penyerbuan Persia kali ini justru sebaliknya yang terjadi: orang Yahudi Yerusalemlah yang membantu tentara Persia untuk membunuhi orang Kristen. Maka, dengan kemarahan besar, demikianlah menurut yang empunya legenda, orang-orang Kristen menempeli altar yang terkenal sebagai Batu Karang itu dengan kotoran hewan.

Jika kebencian bukan barang asing di Yerusalem, Umarlah yang justru asing. Dengan sabar ia mengikuti Sophronius yang membawanya ke tempat-tempat suci Kristen, tapi ketika kebetulan ia melihat letak Kenisah Sulaiman, ia berhenti. Pintu masuk bangunan tua itu sudah begitu sesak dengan tahi, hingga Umar hanya berhasil memasukinya sambil merangkak. Dengan tangannya, Sang Khalifah menyingkirkan kotoran yang telah mengering itu, dan melemparkannya ke lembah. Ia melakukan apa yang baginya harus ia lakukan.

Permukaan yang tinggi itu memang seb uah wilayah yang suci. Orang Islam menyebutnya Haram as-Sharif. Tak ada rumah ditegakkan di sana. Yang ada hanya keluasan. Di situlah Umar kemudian mendirikan satu bangunan bersahaja: masjid dari kayu.

Masjid itu kini disebut “Masjid Umar”. Baru setengah abad berikutnya, di bawah penguasa Damaskus, Abdul Malik bin Marwan, menjelang akhir abad ke-7, masjid itu dipugar dan diperindah dengan menakjubkan.

Umar mungkin sekali akan heran seandainya ia melihat bahwa suatu kemewahan kemudian terpampang di masjid yang dulu didirikannya dengan penuh rasa hormat kepada sekitar yang bersejarah itu. Motif Abdul Malik bin Marwan sendiri, kata sementara ahli sejarah, memang politis: waktu itu ia ditampik oleh seorang di Mekah, dan ia ingin menjadikan Yerusalem – wilayah yang di bawah yuridiksinya – tak kalah dari kota suci pertama di Jazirah Arabia itu. “Kubah Karang” itu bahkan lebih megah ketimbang Masjid Al-Aqsa yang terletak tak jauh dari sana.

Tapi barang kali kita harus memaafkan Abdul Malik. Sejarawan, arsitek – juga turis – bisa menyaksikan apa yang ditinggalkannya kini. Dalam keinginan untuk mempermegah diri ataupun untuk mengekspresikan iman, seorang penguasa terkadang meninggalkan benda yang begitu besar, begitu megah, begitu banyak pengorbanan – dan bernilai historis: Kubah Karang ini, atau, beratus tahun sebelumnya, Kenisah Sulaiman.

Namun, bangunan-bangunan besar sering hanya bisa ditopang oleh kekuasaan yang mutlak dan akumulasi dana yang mencekik. Masjid, candi, gereja, kenisah, dan sejenisnya memang bisa jadi sesuatu yang berlebihan: sebuah isyarat tentang iman tapi juga tentang kepongahan. Keganjilan manusia adalah bahwa ia bisa bersikap demikian juga dalam hubungannya dengan Tuhan, di hadapan siapa sebenarnya kita tak bisa pongah.

Tapi benarkah satu keganjilan? Yerusalem telah menyaksikan dengan rutin bagaimana dengan perangai itu manusia beroperasi, sering dengan rasa bengis dan atau ambisi. Orang membangun kuil atau menghancurkannya, tapi siapa yang membersihkannya?

Seorang teman saya yang beragama Kristen berkata, bahwa suatu hari Yesuslah yang datang ke Yerusalem, membersihkan Baitullah, dan menyatakan kembali apa yang kemudian ditulis dalam sebuah puisi Tagore: “Kasih antara Tuan dan aku ini, sederhana seperti nyayi.”

31 Desember 1988

Jumat, 04 November 2011

El Supremo

Di pintu katedreal itu, pada suatu pagi buta, terpaku selembar maklumat gelap. Seregu patroli grenadir menemukannya. Mereka mencabutnya dan membawanya ke markas besar. Isi maklumat itu sebuah olok-olok subversif:

Aku, Diktator Agung Republik, memerintahkan agar pada saat kematianku, mayatku dipancung; pancangkan kepalaku pada sebuah paku besar selama tiga hari di tengah Plasa de Republica, dimana rakyat harus dipanggil dengan bunyi lonceng yang sekeras-kerasnya. Semua budakku, sipil dan militer, harus digantung. Tanamkan mayat mereka di padang rumput . . .”

Dengan segera Sang Diktatur Agung menerima laporan itu dari sekretarisnya yang setia. Dan dengan itu, berangkatlah kisah ini, sebuah novel karya Augusto Roa Bastos, Yo el Supremo, satu prosa panjang tentang sebuah kedikatatoran yang hampir tanpa henti, di abad silam Paraguay.

Agaknya hanya negeri dengan pengalaman Amerika Latin yang bisa melahirkan novel seperti ini. Dikatator teramat banyak bertebar di sana. Bedil-bedil terhunus dan dendam bersiap, jalan-jalan terentang lemah dan orang tertindas di bawah matahari.

Dalam bentuk aslinya, Yo el Supremo terbit di Argentina di tahun 1974; melalui versi Inggrisnya, yang beredar 12 tahun kemudian, pengalaman Amerika Latin itu pun berbicara juga dengan dunia kita. Sebab, kita pun menemukan di dalamnya sebuah tamasya yang kita kenal: sebuah tamasya yang begitu luas, begitu menakutkan dan menakjubkan.

Yang luar biasa pada novel ini ialah bentuknya. Ia seakan-akan sebuah kumpulan dokumen, rekaman pembicaraan dan pikiran Sang Diktator. Cerita tidak bergerak oleh peristiwa-peristiwa. Cerita hanya bergerak – atau setengah bergerak – oleh rangkaian kata. Kalimat demi kalimat berbaris. Ungkapan-ungkapan berdesak. Selintas, seperti sebuah monolog yang panjang. Pada saat yang sama, kita tahu di dalamnya ada dialog. Dalam kediktatoran, dimana hanya ada satu orang yang berhak memberi makna dan definisi bagi sejumlah orang lain, adakah sebenarnya beda antara monolog dan dialog?

Tak ada. Pendapat lain yang tinggal hanya, “Benar, Paduka.” Selebihnya bungkam. “Bila orang tak biasa tak pernah berbicara kepada dirinya sendiri, maka Sang Diktator terus-menerus berbicara kepada orang lain,” demikian tertulis dalam suatu dokumen. Bahkan “kediamdiriannya pun mengandung titah.”

Di pihak lain, ada cerita yang suram tentang Tevego, koloni tempat orang-orang terhukum. Di sana tak ada suara. Bahkan tak ada bunyi angin yang bertiup. Tak ada desau. “Tak ada suara lelaki satu pun, tak juga wanita, tak ada tangis bayi, tak ada salak anjing, tak ada tanda.”

Di Tevego tang membisu itu orang-orang tak tahu apa yang terjadi dengan diri mereka. Mereka hanya ada di sana, tak mati, tak hidup, tak menantikan apa-apa, tak mengharapkan apa-apa. Ketika dalam suatu inspeksi seorang pejabat distrik memasuki kancah itu, sesuatu yang mengerikan terjadi: hanya dalam sekejap mata ia berubah tua, dan kemudian mati seperti kadal.

Jika demikian, siapa gerangan yang menuliskan maklumat gelap yang ditemukan di pintu katedral tadi pagi itu? Geledah rumah para antipatriot, titah el Supremo. Cari di bui bawah tanah. Para pembangkang yang dipenjarakan itu memang telah disumpal tiap kemungkinannya untuk membuat statemen. “Saya telah memerintahkan,” sang skretaris melapor,”agar semua liang dan landasan semut, setiap urung-urung bagi jangkrik, semua celah tempat mendesah, semua itu disumbat rapat. Tak ada kegelapan yang lebih gelap, Tuan Hamba. Mereka tak punya apa-apa buat menulis.”

Tak punya apa-apa? Sang Diktator tak percaya: “Mereka mungkin tak punya cahaya ataupun udara. Tapi mereka punya ingatan.”

Mungkin ia benar. Tapi jika begitu, ia sendiri tahu paradoks sebuah kekuasaan yang ingin mutlak. Ia ternyata tak bisa menghilangkan ingatan orang-orang yang telah ditaklukan dan dibungkamnya, ia juga tak mampu membuat koloni yang tertindas seperti Tevego jadi tempat yang aman bagi para penguasa. Maka, si penguasa besar pun akan merasakan ketidakpastian yang besar tentang daya cengkramnya sendiri – dan terbitlah rasa syak dan curiga yang tak pernah habis. Juga terhadap setiap hal yang “kebetulan”.

Sang Diktator memang mencoba mengendalikan “kebetulan” jadi bagian dari rencananya. Tapi bagaimana mungkin? Pada suatu hari sebuah meteor jatuh dari langit, dan ditemukan nun jauh di pedalaman. Sang Supremo memerintahkan agar batu angkasa luar itu jadi tahanan, dan agar diseret ke Ibu Kota. Dengan susah payah, perintah itu dapat dilaksanakan, tetapi beribu-ribu meteor, beribu-ribu kebetulan, akan tetap berhamburan di angkasa luar.

Ketika 20 September 1840 El Supremo mangkat, bukan dia yang memilih hari.

30 Januari 1988

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons