Sabtu, 31 Desember 2011

o, anak

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad

Anak adalah sumber kecemasan berabad-abad. Atau barangkali lebih tepat: anak adalah tempat seorang tua menggantungkan kecemasan-kecemasannya sendiri.

Saya ingat satu episode dalam hari-hari terakhir Amangkurat I, ketika raja Mataram itu lari dari ibu kotanya yang jatuh di pertengahan abad abad ke-17. dalam pengungsian ke arah barat itu, di sebuah desa raja jatuh sakit. Baginda pun dibaringkan di sebuah rumah.

Dan di dekat ranjang yang gering itu, Pangeran Adipati dan seorang bangsawan pengiring duduk bersimpuh menunggui. Sakit baginda menjadi. Pada suatu ketika, ia menginginkan kelapa muda. Dengan segera Adipati menyuruh seseorang untuk memperolehnya. Setelah didapat, dawegan itu pun dipersembahkan ke hadapan Amangkurat yang nyaris tak berdaya dan, terbujur itu, untuk diminum.

Amangkurat telah melihat kelapa itu telah dilubangi, dan ia pun mereguk airnya. Tapi ucapannya setelah itu – yang ditujukan kepada Pangeran Adipati, - putra mahkotanya – sangat mengejutkan. ”Terima kasih, Anakku,” demikian ujar Raja, ”atas pemberian ini. Aku tahu apa maksudmu: engaku menyuruhku agar segera mati.”

Ada yang menafsirkan, kata-kata itu menunjukkan rasa curiga Amangkurat I kepada Pangeran Adipati: ia menduga calon penggantinya itu telah memasukkan racun ke dalam air kelapa muda yang diminumnya.

Bukan mustahil sekarang, dalam keadaan terguncang itu – dalam keadaan kalah, terusir, getir, setengah putus asa dan amarah – Amangkurat mengidap paranoia. Kita tahu, penyakit gampang curiga ini sering menghinggapi orang macam dia, tokoh yang berkuasa dan menggemari kekuasaannya, yang juga amat kejam. Raja seperti Amangkurat I agaknya hanya tahu : hubungan kekuasaan ialah antara yang bisa mem-bunuh dan yang bisa di-bunuh.

Juga hubungannya dalam keluarga. Jauh sebelum tahta roboh, konflik pernah terjadi antara sang raja dan putra mahkota. Si anak suatu kali jatuh cinta kepada seorang gadis, yang sebenarnya sedang disimpan untuk dinikmati si bapak. Gadis itu dengan nekat dicuri. Tentu saja Baginda murka.

Hukuman, yang kemudian dijatuhkan, khas Amangkurat I : putra magkota harus membunuh perempuan yang tak bersalah itu dengan tangannya sendiri; kakek dan nenek sang pangeran – yang juga paman Amangkurat – dihabisi bersama 40 anggota keluarganya, karena terlibat; dan pangeran Adipati dibuang, tempat kediamannya dibakar. Baru setelah sekian waktu pangeran itu diampuni.

Tapi marilah kita kembali pada adegan itu. Amangkurat tahu ia akan segera habis. Tapi dengan melontarkan tuduhan bahwa putra mahkota tak setia, bapak itu sesungguhnya hendak menyatakan rasa pedihnya: si anak, yang kini lebih punya daya ketimbang si bapak, adalah juga sesuatu yang terlepas dari kekuasaan orang tuanya. Ada rasa kalah di dalam sikap itu.

Itulah sebabnya anak suatu sumber kecemasan. Dan si anak sebaliknya. Merasa tertekan oleh ketakutan yang bukan miliknya itu, ia pun mencoba lepas. Bentrok pun terjadi. Dan itulah persengketaan antargenerasi.

Pada suatu hari, sang ayah, yang jauh lebih mulya hatinya ketimbang Amangkurat I, pernah menulis kepada seorang anaknya, ”Engkau bukan tawananku, tetapi kawanku.” Ayah itu tahu: dengan segala kelemah-lembutanya, Gandhi bukanlah seorang ayah yang toleran kepada keinginan wajar anak-anaknya.

Bila Amangkurat I melihat anaknya sebagai seorang yang punya potensi meracuni seseorang untuk kekuasaan, seperti dirinya sendiri, Gandhi pun melihat anak-anaknya sebagai ia melihat dirinya: orang yang tanpa nafsu dan suci hati. Tak heran kita bila Kasturba, nyonya Gandhi yang luar biasa itu, memprotes cara suaminya mendidik anak dengan satu teriakan : ”Kau ingin agar anak-anakku menjadi orang suci sebelum mereka jadi orang!”

Gandhi memang begitu mencemaskan akhlak anak-anaknya, hingga suatu hari ia memimpikan anak bungsunya, Devandas, mencuri uang. ”Aku bermimpi tadi malam bahwa kau mengingkari kepercayaanku kepadamu,” tulisnya kepada anak itu. Gandhi juga pernah menyatakan Harilal, yang sulung, tak diakuinya sebagai anak, karena Harilal ingin kawin pada umur 18 – meskipun Gandhi sendiri menikah pada usia lebih muda. Dan ketika Manilal, anaknya yang kedua, ketahuan mengambil uang milik ashram untuk dipinjamkan kepada kakaknya yang sedang mencoba bisnis, Gandhi memvonis anak ini dengan hukuman yang panjang : antara lain, Manilal diusir dari ashram dan tak boleh memakai nama Gandhi.

O, Anak”, kata sebuah judul buku Imam Ghazali yang seakan terdengar seperti, ”O, Kecemasanku!”. Mungkin dunia akan lebih baik jika seorang raja dan seorang suci tak melahirkan keturunan. Raja punya kekuasaan yang teramat besar, orang suci punya kesucian yang teramat tinggi. Kecemasan mereka, cinta mereka, konflik mereka, dan investasi mereka dalam urusan anak-anak mereka, bisa membuat banyak tindakan di luar proporsi.

7 Juni 1986

Selasa, 27 Desember 2011

Ditanya soal Miranda, Ini Jawaban Nunun

Selalu sulit memisahkan politik dengan uang. Kalau dahulu politik-kekuasaan- para sultan, raja-raja dan kaisar-kaisar juga tak jauh dari darah, harta dan wanita.

Bagaimana sekarang? Mungkin masih sama. Dengan corak yang lebih halus, tentunya. Berikut Kutipan lengkap beritapemeriksaan Nunun terkait skandal pemilihan Gubernur Bangk Indonesia.

"Saya tidak tahu," kata Nunun singkat, seusai menjalani pemeriksaan selama lebih kurang lima jam di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/12/2011).

Sempat menebar senyum ke arah pewarta, Nunun yang mengenakan kacamata hitam, pashmina, dan baju lengan panjang bermotif batik itu juga mengaku sehat. Dia tidak menghindari sorotan kamera seperti saat pemeriksaan pertama pada 12 Desember lalu.

Nunun sendiri disangka memberikan cek perjalanan ke anggota DPR 1999-2004 untuk meloloskan Miranda. Wanita itu diyakini merupakan saksi kunci untuk mengungkap pihak yang memodali pembelian cek pelawat tersebut.

Kuasa hukum Nunun, Ina Rahman, pernah mengatakan, Miranda adalah otak di balik pemberian cek perjalanan ini. Miranda, kata Ina, layak menjadi tersangka. Setelah Nunun tertangkap di Thailand (7 Desember 2011) kemudian ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta, (11 Desember 2011), KPK belum memeriksa Miranda.

Sebelumnya, saat Nunun buron, Miranda beberapa kali diperiksa. Untuk kepentingan penyidikan, guru besar di Universitas Indonesia itu juga dicegah bepergian ke luar negeri. Terkait pemeriksaan Nunun hari ini, KPK menyiapkan satu mobil ambulans. Hal itu dilakukan untuk berjaga-jaga jika kondisi kesehatan Nunun tiba-tiba memburuk dan harus dilarikan ke rumah sakit.

sumber : kompas.com

Senin, 26 Desember 2011

Cengeng

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad

Esok hari Damarwulan berangkat berperang, dan malam itu ia menembangkan sebuah puisi untuk kekasihnya, Anjasmara. Ia tahu, ia tidak akan menang. Dalam tembang yang menggetarkan itu, anak muda yang harus bertempur di Belambangan itu memang menyampaikan kata-kata sedih :

Karia mukti, Wong ayu

Kakangmas pamit palastra

”Tinggallah dalam bahagia. Adikku manis. Abang minta diri, menuju mati.”

Puisi itu menyentuh hati berbicara tentang kesedihan sebagai sebuah situasi yang tak mungkin diulangi. Pelbagai cerita berkisah tentang rasa duka, tetapi dalam puisi yang sejati, masing-masing tak terbandingkan, karena yang satu bukan pengulangan dari yang lain. Masing-masing membawa vibrasinya sendiri.

Suatu hari, di sebuah kota yang jauh, saya menonton Die Zauberflote karya Mozart, dalam film sederhana yang dibuat dengan indahnya oleh Ingmar Bergman. Pada babak kedua opera itu, Pamina, bersua dengan kekasihnya, Tamino, yang dengan bersusah payah dinantikannya. Tapi Tamino membisu di hadapannya, dan gadis itu pun sedih. Kesedihan itu bergaung dengan murni ketika Mozart mengungkapkannya dalam sebuah aria pendek, yang mungkin salah satu aria terindah di abad ke-17 :


Tamino, lihatlah,

Air mata ini mengalir, Kekasihku,

Untukmu seorang, untukmu seorang


Sieh, Tamino,

Diese Tranen fliessen, Trauter,

dir allein, dir allein . . .

bersalahkah kesedihan ? Terkadang kita memang suka mencemoohkan rintihan cinta sebagai sentimentalitas anak bawang. Dalam pementasan Sam Pek Eng Tay oleh Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta hari-hari ini, cerita melodramatis yang termashur itu dibuat lucu, dan kita terbahak-bahak. Memang bagi anak muda di tahun 1988, sikap putus asa Sam Pek – ketika cintanya kepada Eng Tay ternyata patah – terasa kelewat bodoh, cengeng dan sia-sia.

Tapi tentu ada yang bermakna dalam cerita kesetian yang tragis itu, hingga ia dicintai oleh pelbagai generasi dan pelbagai bangsa. Di waktu kecil, saya ingat saya membaca cerita itu, dalam bahasa Jawa yang lembut, di sebuah buku tulis yang kertasnya sudah menguning, disusun dengan tulisan tangan yang rapi – suatu tanda bahwa ada sejumlah orang yang cukup mau bersusah-payah untuk menyimpannya.

Barangkali kesedihan, dalam suatu karya kesenian, punya fungsi yang tak bisa diejek. Kesedihan Sam Pek – Eng Tay toh tak bisa kita ringkus begitu saja, untuk dimasukan ke dalam kantung apak sejarah. Juga adieu Damarwulan dan tangis Pamina dalam Die Zauberflote. Semuanya, seakan dengan sebuah sembilu yang magis, telah menorehkan sebuah luka yang kekal. Kata orang, itulah tanda sebuah puisi yang abadi.

Namun, tak semua kesedihan adalah kesedihan. Di depan layar TVRI, konon kata kritikus musik Remy Silado, kita harus siap untuk mual. Lagu-lagu Indonesia di layar itu adalah bolu warna-warni yang basi dikukus berkali-kali. Satu lagu dengan lagu lain sulit dibedakan – biarpun semuanya ditampilkan oleh gadis pesolek yang sibuk bergerak-gerak. Tak ada yang sempat meninggalkan bekas. Lolong itu sudah seperti rutin. Dari melodi dan kata-katanya, tak terasa ada gerak yang tulus, yang melahirkan nyanyian murni. Perasaan itu adalah perasaan dari plastik.

Mungkin itulah soalnya: kita tak lagi mendengar perasaan pribadi yang jujur. Yang kita dengar adalah pengulangan. Yang kita dengar adalah klise. Yang kita dengar bukanlah cetusan dari sebuah rasa terharu yang sebenarnya, melainkan sesuatu yang sudah dirumuskan, dan diharuskan, atau dipertuahkan, oleh bapak produser, pejabat, cukong, kritikus, wartawan, pialang dan sebagainya.

Ini, sudah tentu, bukan sebuah gejala baru di Indonesia. Ketika PKI masih berpengaruh, sama seperti ketika uang sangat berpengaruh, ekspresi bisa diperintah atau bisa dipesan. Ketidakjujuran adalah isyarat ketidakbebesan hati. Kalimat klise adalah topeng bagi mereka yang takut berkepribadian. Dan topeng selalu berkaitan dengan semacam kepalsuan. Maka, jangan heran bila di situ (di kaset dan pidato-pidato kita) kata yang bersemangat tentang revolusi atau pembangunan pun bisa sama plastiknya dengan kata yang lain.

Tapi Anda mungkin ingat Sepasang Mata Bola. Saya pernah bertanya kenapa lagu ini menyentuh kita. Seorang teman menjawab : karena nyanyian itu ditulis tanpa pretensi. Dalam ekspresi yang tanpa dipesan dari luar, nyanyian yang mengungkapkan perasaan pribadi bisa bergetar sekuat nyanyian revolusi.

Memang : 40 tahun yang lalu, ketika lagu itu diciptakan, orang benar-benar sedang berjuang. Bukannya sedang meyakin-yakinkan diri bahwa ia sedang berjuang.

3 september 1988

Minggu, 11 Desember 2011

Perjuangan Nunun vs Sondang

Dua nama yang ramai dibicarakan diakhir pekan ini adalah Nunun Nurbaeti dan SOndang Hutagalung. Nunun Nurbaeti adalah orang lama dengan kasus lama. Sementara Sondang adalah "pendatang baru" yang berusaha sekuat tenaga dan sepenuhnya nyawanya memperjuangkan aspirasi politiknya. Tidak ada kesamaan diantara mereka berdua. Satu-satunya kesamaan adalah dua-duanya menjadi headline di tengah jenuhnya berita dunia perpolitikan Indonesia

Dua-duanya mentok. Dua-duanya akhirnya tak bisa berbuat apa-apa. Nunun akhirnya tertangkap, dan Sondang akhirnya meninggal dunia. Pemuda kelahiran tahun 1989 ini harus mengorbankan nyawanya tanpa dunia tahu apa tepatnya aspirasi politiknya.

Analisis saya selalu tak bisa membiarkan satu peristiwa terjadi tanpa dihubungkan dengan peristiwa lain. Pertama mengenai penangkapan Nunun. Secara kemampuan, KPK bisa menangkap Nunun lebih awal. Entah mengapa, menjelang berakhirnya kepemimpinan yang sekarang seolah-olah menjadi lebih mudah. Ada banyak jeda waktu antara penetapan Nunun menjadi tersangka hingga sekarang. Ini yang mestinya menjadi pertanyaan.

Memang terlalu tendensius bila menganggap ada rekayasa terhadap penangkapan Nunun. Namun, fakta dan kejadian yang berdekatan bisa melahirkan spekulasi seperti itu. Kita tahu baru beberapa hari yang lalu DPR menetapkan pimpinan KPK perioder berikutnya. Kondisi ini mungkin juga membuat para pimpina KPK sekarang lebih leluasa menangkap Nunun. Mereka tak akan menderita konsekuensi politik apa pun. Toh beberapa waktu lagi tidak akan menjabat lagi.

Bila dibandingkan, Nunun dan Sondang seperti "Langit dan Bumi". Perjuangan Sondang cuma butuh modal beberapa puluh ribu. Ya, diketahui dia membawa 3 botol bensin untuk membakar dirinya. Sedangkan Nunun modalnya lebih besar, karena dia selalu bolak-balik 3 negara; Singapura - Malaysia - Thailand. Kecuali, kalau dalam masa pengobatannya Nunun meninggal dunia. Kalau dua-duanya meninggal dunia mungkin baru sepadan pengorbanan yang mereka berdua keluarkan demi "sesuatu" yang mereka yakini benar.

Ya, "sesuatu".... (tanpa banget)

Minggu, 04 Desember 2011

KPK Baru : Mengapa Popularitasnya Menurun ?


Masih teringat bagaimana reaksi pengguna facebook ketika 2 pimpinan KPK di tahan. Lebih dari 1 juta pengguna facebook menolak kriminalisasi para pimpinan KPK.

Sekarang ?

Sepertinya kecenderungan mereka simpati mereka kepada KPK menurun. Masyarakat Indonesia memang mudah simpati pada orang-orang yang dizalimi secara berlebihan. Oleh karena itu, saya pun masih yakin orang-orang seperti Antasari punya banyak simpatisan. Mungkin para pimpinan KPK harus dizalimi orang dulu, baru popularitasnya akan meningkat.

Apakah popularitas KPK bisa meningkat lagi ?


Tentu bisa. Tidak ada yang tidak bisa di Indonesia. Dan tak perlu membuat skenario agar para pimpinan KPK di jahatin orang, hanya agar popularitas menurun. Cukup dengan cara memperbaiki kinerja – dengan cara membuat gebrakan yang luar biasa. Gebrakan saja tidak cukup. Harus ditambah sesuatu yang luar biasa. Apakah “sesuatu” itu ? (jangan tanyakan ke Syahrini). Entahlah, yang jelas bukan “sesuatu” itu bukan kasus atau menangkap orang-orang tertentu, tapi di luar di itu. Karena kalau menggunakan alat-alat hukum yang ada sekarang, tak akan ada kasus atau orang besar yang akan terkena. Kenapa eh kenapa ? Karena eh karena, semua orang terlibat. Kata seorang teman “kalau semua koruptor di tangkap, maka hampir seluruh penduduk Indonesia masuk penjara”. Bahkan mereka yang kerjaannya kampanye anti korupsi, pembela rakyat dan seterusnya.

KPK Baru dan Sri Mulyani



Ini tema yang menarik. Posisi Sri Mulyani yang akan mencalonkan diri jadi presiden, membuat peta konstelasi perpolitikan di DPR berubah. Para pendukung Sri Mulyani mulai gamang. Karena bila dukungan mereka dilanjutkan itu sama saja artinya membiarkan lawan berat ikut bersaing di perebutan RI-1 tahun 2014.

Disinyalir KPK akan lebih gagah memeriksa kasus Century. Karena – lagi-lagi – faktor politik masih mempunyai tekanan ke KPK. Meski besar tekanan itu relatif sulit diprediksi kekuatan dan efektifitasnya.

Di sinilah kapabilitas Sri Mulyani sebagai seorang ekonom diuji lagi menghadapi dunia politik. Pada kasus Century Sri Mulyani “terpaksa” mengalah. Untuk kepentingan politik tertentu ia diberi kehormatan posisi yang amat baik di Bank Dunia. Memang banyak yang tidak perduli pada faktor politik atas di pilihnya Sri Mulyani di Bank Dunia, misalnya Wimar Witoelar. Namun, Sri Mulyani adalah sasaran empuk manuver politik adalah fakta.

Para pimpinan KPK belum bekerja. Banyak suara kontra dan pro. Mungkin banyak yang berkata normatif dan klise, “Mari kita tunggu dan lihat kinerja mereka. Baru komentar”. Namun, puluhan ribu kasus hukum dan korupsi yang menumpuk membuat saya tidak bisa melihat dan menunggu. Haruskah saya juga mewariskan “melihat dan menunggu” itu kepada anak cucu saya hanya untuk melihat setengah dari kasus itu diselesaikan ?

Okelah negara ini dibubarkan. Kita ganti dengan sistem baru. Sistem hukum yang baru juga plus perangkat-perangkatnya. Tetap saja pertanyaannya, “Bagaimana kasus-kasus korupsi itu diselesaikan?”
4 Desember 2011

Jumat, 02 Desember 2011

Kamus Saku Ilmu Politik

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons