Rabu, 30 Desember 2015

Cinta Itu Nomor 2, Selamat No 1


Baru saja saya membaca puisi sang burung merak - WS Rendra, berjudul Pesan Pencopet Pada Pacarnya. Kaget tapi kemudian lega. Itulah perasaan saya setelah membacanya. Kaget karena dia bilang "cinta itu nomor 2". Tetapi bait kedua melegakan saya. Rendra bilang "keselamatan nomor satu".
Memang begitulah hidup manusia. Rendra telah dengan amat indah menangkap lekuk hidup manusia yang paling dalam namun nyata. Cinta memang ada, namun tak jarang orang mengatakan cinta padahal yang ia maksud adalah ego, prestise, keangkuhan, nama baik dll. Begitulah cinta. Cinta yang sebenarnya cinta akan mengalah ketika dihadang tuntutan untuk selamat. Bila ia tidak mau mengalah dihadapan tuntutan keselamatan, ia bisa jadi bukan cinta. Ia bisa jadi egoisme berselubung kata cinta, romantisme dan haru-biru.
Sajak Rendra tersebut lucu, tragis sekaligus menusuk. Ternyata cinta hadir di bilik reot pencopet yang punya hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang selir pejabat dan mungkin suatu saat nanti istri mentri.
Mereka yang bermobil mewah, tak pernah sinar matahari dari pagi-malam dan selalu kebingungan makan ditempat ekslusif mana ternyata tak pernah sekalipun mengenal cinta sejati. Mungkin nanti mereka akan mengenal juga cinta sejati. Tapi nanti, setelah mereka tua dan tidak eksis lagi.
Sekarang mari kita rayakan cinta sang pencopet dan si sitti selir pejabat itu.
31 Des 2015

Kamis, 24 Desember 2015

Sang Pujangga

Jatuh cinta membuat orang jadi pujangga. Terbitnya matahari dapat diubahnya bak emas kemilau yang menerangi dunia hingga bayangan pun malu tercipta di balik benda-benda

Putus cinta membuat orang jadi pujangga. Terbitnya matahari membuat ia terpekur menikmati sejuta kenangan hanya untuk membuat bangun dari lamunan - dalam, khidmat dan bangkit meniti hari hanya untuk membangun impian yang terbangun baru sejumput.

Kesenangan dan ekstase membuat orang jadi pujangga. Senyum dan semangat tersebar hingga ke pelosok negeri hanya untuk memberi kabar dan memberi sapa.

Musibah membuat orang jadi pujangga. Sejumput sakit jadi keindahan. Sejumput tangis jadi sajak berbaris-baris. Sejumput luka adalah rasa yang bergelora dalam pena dan susunan kata-kata.

Aku mungkin telah terpengaruh kata-kata pujangga durjana yang sombong bak telah dikenal dunia.

Ah biarlah. Hati kadang perlu berkata. Pikiran kadang perlu tercurah hanya untuk kenikmatan sesaat. Dan perayaan. Saat ini. Dan nanti

Minggu, 20 Desember 2015

Kematian Yang Manis

Kata almarhum Steve Job dalam pidatonya di depan para lulusan Stanford, kematian adalah 'penemuan' hidup yang penting. Di depan kematian, kita berusaha membuat apa yang ada menjadi berarti. Kematian tiba-tiba bisa membuat kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang berbeda. Hal-hal kecil yang biasanya kita lewatkan atau sepelekan tiba-tiba menjadi ingin kita kerjakan sebaik-baiknya, karena kita ingin dikenang dalam kebaikan, karena kita ingin meninggalkan sesuatu yang abadi. Jauh di lubuk hati, keabadian adalah yang kita inginkan. Badan dan beda-beda pada akhirnya jadi kotoran tanah. Kenangan dan warisan-warisan kita buat agar kita abadi sepeninggal kita.

Sekian banyak orang meninggal tiba-tiba dan mereka tidak sempat dengan sadar membuat peninggalan untuk dikenang selepas kematiannya. Namun begitu, mereka tetap dikenang sepeninggalnya. Mungkin karena setiap detik hidupnya memang sudah merupakan persembahan hidup mati untuk dunia dan kehidupannya di dunia. Terlepas persembahannya itu benar atau salah. Yang jelas peran "keaktoran" nya di dunia telah ia jalankan sampai pol dan semaksimal mungkin.

Maka, terlintas tokoh-tokoh dunia yang meninggal bersama otensitasnya. Tanpa diketahui untuk pelajaran apa mereka meninggalkan kenangan dan wariasan. Ada Whitney Houston, Robin Williams, Lady Dianna, Michael Jackson hingga Hitler.

Sementara itu Billy Joe asyik bernyanyi sambil mengenang Amy Winehouse


27 gone without a trace

And you walked away from your drink
Amy don't you go! I want you around

Rabu, 16 Desember 2015

Teknologi vs Politik

Teknologi adalah segala sesuatu yang manusia buat untuk memperluas potensi kemanusiaannya ; baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Faktanya, teknologi telah berkembang, tumbuh dan menjadi media yang ribuan kali lebih baik daripada 50 tahun yang lalu. Dahulu butuh seharian penuh untuk menyampaikan sejumput pesan dari satu kota ke kota lain di Jawa. Di beberapa wilayah kadang memakan lebih dari satu hari. Sekarang dalam hitungan detik satu pesan - bahkan ratusan pesan dapat tersebar. Bahkan dalam satuan wilayah yang lebih luas. Teknologi telah membuat 50 tahun lalu sebagai masa lalu yang teramat jauh. Anak muda sekarang amat sangat sulit membayangkan ""terbelakangnya" kehidupan masyarakat 50 tahun lalu.
Politik di sisi lain masih bergulat dengan masalah 50 bahkan 100 tahun yang lalu. Pemerintah yang abai masih jadi masalah. Korupsi dan kong kalikong masih ada di sekitat kita. Sekian orang masih saja mengambil kesempatan posisi dan jabatan mereka untuk kepentingan sendiri. Dan parahnya kita makin maklum. Lidah kita pun makin kelu meyakinkan diri bahwa kita mampu tetap di jalan yang benar ketika kita dalam posisi yang penuh godaan itu.

Entah mengapa politik tidak bisa berkembang sebagaimana teknologi. Mungkin politik memang bukanlah sejenis teknologi. Politik mungkin sisi lain dari hasrat dan ego manusia. Ia cermin dari hasrat dan ego masyarakat kekinian. Politik hanyalah cermin dari kita sendiri.

Minggu, 04 Oktober 2015

Maldini vs Beckham

Mereka adalah dua pesepakbola terkenal di dunia. Mereka berdua adalah ukuran standard tingkat kegandrungan seseorang terhadap sepakbola. Bila anda tidak tahu mereka berdua berarti anda bukan pecinta sepakbola. Anda hanya suka dan tertarik saja. Atau mungkin ada malah membencinya. Teruslah membaca karena tulisan ini tidak hanya ditujukan untuk para pecinta sepakbola.

Baru-baru ini David Beckham, salah satu ikon sepakbola, fashion dan pop culture dunia, curhat di media sosial. Hatinya hancur ketika salah satu anak laki-lakinya tidak ingin melanjutkan lagi bermain sepakbola di akademi. Alasannya, setiap orang selalu membandingkan dirinya dengan sang ayah. Dan dia tidak nyaman dengan tekanan sosial seperti itu. Ya, setiap orang punya ide, bakat dan preferensinya sendiri, tapi tekanan publik terlalu besar. Dan menurut saya, sang anak, memilih mundur dari dunia sepakbola daripada berkonfrontasi dengan publik bahwa dirinya bermain karena dia menginginkannya. Bukan karena ayahnya adalah pe sepakbola juga.

Anak David Beckham adalah tipikal anak modern yang terekspose ekspektasi publik dengan standard kebaikan dan "kenormalan" tertentu. Lihatlah generasi Paolo Maldini anak Cesare Maldini, dan juga Casper Schemechel. Mereka mampu mengatasi tekanan itu. Karir mereka tak melulu sebanding dengan sang orang tua. Tapi mereka sadar mereka bermain untuk diri mereka sendiri. Untuk menambah contoh, bisa juga kita lihat anak Johan Cruiff dan anak Pele. Mereka tetap bermain sepakbola, entah apa pun pendapat orang,entah sejelek apa pub pencapaian mereka. Selain mereka berempat masih ada beberapa pemain lagi yang berhasil bermain di bawah bayang-bayang sang ayah. Perbedaan mereka dengan anak David Beckham adalah mereka tidak lahir di era digital dimana gaya, pendapat dan kritik menjalar hanya dengan sentuhan jari.

Hipotesis bahwa era informasi digital dan media sosial mempengaruhi kepribadian dan pilihan sikap seseorang amatlah sulir ditolak. Terutama di kalangan anak muda (13 - 30 tahun) kalau tidak boleh menyebut semua umur. Ukuran baik, cantik, kekinian dll menjadi lebih nyata. Ukurannya lebih mudah dicari dan dibuat, karena medianya adalah teks, gambar atau video di media sosial. Karena ukurannya yang relatif mudah dicari dan dibuat maka fondasi mental dan sikap seseorang yang tercipta pun rapuh, serapuh membuat teks, gambar atau audio visual yang kontra.

Pada kasus bayang-bayang orang tua yang menghantui anak David Beckham, kritik, pendapat dan ekspektasi publik atau ekspektasi orang tua adalag keniscayaan. Seniscaya anda adalah anak dari orang tua anda. Seniscaya Joko Wi adalah orang Solo. Tetapi itu hanyalah personalitas seseorang yang tidak bisa dihilangkan. Namun, kepribadian adalah preferensi,keinginan dan cita-cita yang muncul dari perjalanan hidup seseorang. Perjalanan hidup seseorang akan berbeda satu sama lain,meskipun ia darah daging kita atau saudara kita. Kewajiban sang orang tua adalah mendampingi bahwa dirinya akan terus menemani perjalanan hidup sang anak di masa indah dan sulit atau pun di masa ia benar maupun salah.

Semoga era digital ini tetap mendorong setiap anak manusia yakin dan menemukan jalan dan hidupnya sendiri.

Minggu, 4 Oktober 2015

Sabtu, 19 September 2015

1 Tahun VS 10 Tahun

Suatu buku pernah mengatakan waktu telah memendek. Setahun menjadi serasa 1 bulan. Sementara 10 tahun terasa bagaikan 1 tahun. Anda boleh menginterpretasikannya dengan apapun. Bisa dengan teori relativitas waktunya Einstein. Boleh juga menghubungkannya dengan kemajuan alat transportasi sekarang. Ataupun majunya alat komunikasi yang bikin komunikasi ribuan kilometer bisa dilakukan dengan sentuhan jari.
Tapi yang sedang saya pikirkan adalah hubungannya dengan karakter seseorang. Baik dari segi berpikir hingga cara berpakaian.
Dalam satu tahun orang bisa menjadi lebih kekinian hanya dengan membeli produk gadget terbaru. Dengan gadget terbaru lingkungan bergaul, cara bergaul, cara berkomunikasi pun berubah sedikit demi sedikit. Proses sedikit demi sedikit ini berlangsung selama setahun. Di masa lalu evolusi kepribadian seseorang hanya terjadi di padepokan-padepokan. Kalaupun tidak dipadepokan, bisa ditempat lain yang memungkinkan dan dibawah bimbingan guru yang setia mengawasi. Tak heran proses transformasi yang terjadi selesai dalam waktu paling cepat 10 tahun. Hasilnya pun bertahan seumur hidup. Sedangkan sekarang, proses transformasi bisa terjadi hanya dalam hitungan tahun. Bahkan bulan. Namun, itu semua tidak menjanjikan tahun depan sang pelaku tidak akan berganti karakter dan jalan hidup.
~Minggu, 20 September 2015~

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons