Sabtu, 04 Desember 2010

Anak-anak Muda Terkaya di Indonesia

Menurut majalah Forbes Indonesia, tahun 2010 ini ada 3 anak muda paling kaya di Indonesia. Siapa mereka ? Tentu saja bukan saya.

Mereka adalah :

  1. Ciliandra Fangiono. Umurnya baru 34 tahun, dengan kekayaan sebesar USD 1,1 miliar. Dia mengepalai First Resources yang mengelola 100 ribu hektar lahan minyak kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan. First Resources didirikan Martias, ayah Ciliandra, yang sejak 2003 tak banyak melibatkan diri di perusahaan itu.
  2. Agus Lasmono Sudwikatmono, berumur 39 tahun, memiliki kekayaan sebesar USD 845 juta. Dia adalah wakil presiden komisaris di Indika Energy, penambang batu bara. Dari namanya sudah bisa ditebak kalau Agus adalah putra dari Sudwikatmono (eksekutif papan atas dari grup Salim) --sepupu mantan presiden Soeharto.
  3. Sandiaga Uno. Pengusaha berumur 41 tahun ini sempat mencalonkan diri menjadi Ketua Kadin. Ia tercatat berkekayaan USD 795 juta, hampir dua kali lipat tahun sebelumnya yang USD 400 juta. Ia ikut mendirikan Saratoga Capital bersama Edwin Soeryadjaya (di posisi 13 terkaya) pada 1998. Ia juga turut mengangkat Adaro Energy ke salah satu perusahaan penambang batu bara kedua terbesar di Indonesia.
Sayangnya, daftar orang-orang terkaya di Indonesia sekadar daftar saja. Membuat kita bangga ? Bisa jadi. Membuat kita sedih ? Bisa juga. Apalagi kalau melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yang menurut BPS (2010) adalah 31 juta. Tentu itu bukan angka yang sedikit. Apalagi kalau hanya dibandingkan dengan 3 orang muda terkaya se-Indonesia. Angka 30 juta adalah jumlah kepala keluarga. Kalau diasumsikan setiap KK tersebut memiliki 1 orang anak berarti sudah jelas kita punya 60 juta orang tergolong miskin. Menurut PBB (2008), penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari $ 2 per hari.
Nah lho...?

Jumat, 19 November 2010

Coffee Lover

Tak ada cerita istimewa di balik kisah ‘cofee lover’-ku. Aku bukan kreator campuran kopi yang istimewa. Aku juga bukan penulis artikel makanan dan minuman terkenal di tabloid atau majalah kuliner di ibu kota. Aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan lebih suka politik. Aku orang biasa.

Cerita di balik ‘cofee lover’ku adalah ketegangan otak dan kebosanan atas hiburan-hiburan yang ada di televisi. Bagiku kopi itu adalah keindahan, sementara ‘stress reducer’ berupa pacaran, nge-game, tidur berlebihan dst adalah ‘stress reducer’ yang sama sekali tidak indah. Apalagi kalau dibandingkan dengan drugs, sex, alcohol, gambling, beting dll.

Cerita di balik ‘cofee lover’ ku adalah tentang buruh kopi, petani kopi, modal petani kopi, pengepul kopi, buruh pabrik kopi, karyawan pabrik kopi dan daya saing kopi Indonesia di dunia internasional. Setiap yang ada di depanku tidak boleh hanya kulit. Aku harus paham juga kulit ari, otot-otonya, urat-urat yang mengalirkan darah, tulang-tulang rawan yang menjaga persendian sampai ke tulang-tulang dan zat-zat di dalam sum-sum tulangnya. Intinya setiap hal kupahami bukan sekedar lahiriah-nya saja tetapi yang tidak terlihat (padahal keberadaaannya pasti) pun aku kenali juga. Ini bisa dan tidak mustahil diterapkan di setiap segi kehidupan. Bukan hanya soal kopi. Permasalahan orang tua marah, suporter bentrok, remaja-remaja banyak yang hamil di luar nikah, Gayus liburan ke Bali sampai ke hal-hal kecil seperti mahalnya tempe, tahu dan gorengan.

Bagi saya ini bukan kecerdasan emosional semata. Bagi saya ini bukan gaya khas politisi dan dosen-dosen ilmu sosial. Bagi saya ini bukan hanya sekadar pengamatan sosial dan cara pandang komprehensif. Ini cara pandang agama !

Anda pasti kaget ? Minimal anda bingung.

Di dalam Al Qur’an ayat 3-4 surat 2, orang-orang yang yakin (beriman) memiliki beberapa indikator. Salah satu indikator adalah yakin pada yang ghaib. Dalam terminologi agama, ghaib yang utama diduduki oleh iman pada Tuhan, hari akhir dll. Semua ‘pihak’ itu ghaib bukan karena mereka tidak bisa dijangkau indra manusia tetapi karena belum diizinkan oleh Tuhan untuk terjangkau oleh indra manusia. Posisi mereka hampir mirip kata ‘orang ketiga’ dalam khasanah bahasa Indonesia. Sebagai intermezo, bahasa Arab untuk orang ketiga dalam ilmu nahwu adalah ‘ghaib’.

Artinya, kalau aku ingin jadi manusia yang baik di hadapan Tuhan, dalam hal keyakinan (agama) aku harus yakin esksistensi (iman) ‘pihak-pihak’ yang ghaib itu.

Artinya, kalau aku ingin jadi manusia yang baik di hadapan Tuhan, dalam urusan dunia aku juga harus paham dan mampu menelusuri keberadaan setiap hal ‘ghaib’ dalam urusan dunia. Karena dunia adalah tempat untuk ‘bercocok tanam’ kebaikan dan kemakmuran bagi manusia, maka aku juga harus paham ke ‘ghaib’an dunia. Aku harus paham bahwa setiap perbuatan ada unsur-unsur lain yang pengaruh-mempengruhi. Ketika aku beli satu sachet kopi instan, aku sadar aku sedang membeli keringat petani kopi, lelah badan buruh pertanian kopi, pengorbanan pengepul kopi, kepatuhan karyawan pabrik kopi, manajer pabrik kopi, pemilik saham pabrik kopi, pajak pertambahan nilai kemasan kopi dll. Dari demikian panjang pihak-pihak ‘ghaib’ yang terlibat, berapa rupiah kira-kira yang masuk ke kantong petani atau buruh kopi ? Ingat, buruh dan petani adalah pihak yang paling lemah sekaligus paling banyak jumlahnya di negeri ini. Kira-kira dari rupiah itu masyoritas masuk kemana ? Dari situ saja kita bisa paham kondisi petani dan buruh kita.

Anda mungkin bertanya buat apa aku mengetahui hal-hal seperti itu. Aku hanya belajar dari itu semua. Goal dari pembelajaran itu aku akan belajar ramah, simpati, mau menghibur dan menjadi tetangga yang baik bagi tetangga-tetanggaku yang kebanyakan petani. Itulah wilayahku. Jangan tanyakan regulasi, kebijakan pemerintah, anggaran Kementerian Pertanian dll. Itu semua akan kujawab kalau aku jadi Presiden atau Menteri.
Tapi, rasanya mustahil aku jadi salah satu dari dua itu.

____
Sore ini ada dua gelas di meja komputerku. Selain buku-buku, sebuah kamus, sebuah pensil berwarna oranye, satu set speaker aktif tua, 3 buah flash disk rusak dan sebuah flashdisk yang masih berfungsi; dua gelas itu menambah keramaian mejaku. Meja kompuerku memang tidak terlalu rapi. Aku juga jarang membersihkannya. Aku merapikan mejaku bukan dalam rangka kebersihan. Aku merapikannya sekadar membuktikan bahwa aku mau dan pernah membersihkannya.
Mungkin orang bilang aku pemalas. Aku memang pemalas sampai aku mau berbuat sesuatu. Pemalas hanya keadaan sementara. Bahkan kata ‘pemalas’ pun tidak berlaku tetap. ‘Pemalas’-ku bukan seperti ‘petinju’ dalam kata “Chris John menjadi petinju terbaik di Indonesia saat ini”. “Pemalas”ku seperti kata ‘pemukul’ dalam kata “Seorang pemukul artis diamankan polisi setelah artis yang bersangkutan melaporkan kawan satu band-nya itu ke Polres Jakarta Pusat”.

Stop soal malas.

Hari ini aku sudah menghabiskan 2 gelas kopi. Aku memang penikmat kopi. Kebetulan dua kopi yang hari ini kunikmati adalah kopi instan buatan pabrik. Artinya, dalam satu sachet kopi itu sudah ada krim dan gulanya.
Pkc# November 17, 2010

Sabtu, 30 Oktober 2010

Bencana dan Hikmah

Sekian pidato pada bulan ini bertemakan bencana. Sekian khutbah-khutbah di mesjid dan gereja menyinggung-nyinggung masalah bencana. Obrolan selepas pergi ke pura, vihara atau klenteng juga tak luput membicarakan masalah bencana. Mereka bicara tentang Merapi yang "merokok" dan memakan korban 6 orang. Mereka bicara tentang Mentawai yang "main air" dan menewaskan ratusan orang.

Semua itu adalah cerita yang "adiktif". Enak untuk dijadikan bahan pidato. Pendengarnya akan merasa dalam ekstase dan tiada tara hanya untuk dilupakan setelah selesai. Dan kesimpulannya pun sama setiap saat dan setiap tahun; "Manusia harus berubah agar bencana tidak datang lagi". Dan kemudian forum-forum itu bubar dan tidak ada perubahan apa pun yang terjadi di antara para jamaah atau peserta forum. Dan jangan pula berharap orang lain yang tak pernah mendengar pidato itu akan berubah.

Manusia Indonesia memang tidak perlu berubah sepertinya. Kita sudah terbiasa dengan bencana. Dan bencana lama-lama jadi teman lama yang kalau tidak pernah muncul dikangeni tetapi kalau muncul malah bikin ribut. Dan satu kesimpulan dan hikmah yang muncul dari bencana-bencana itu adalah : SEMAKIN KERAS BENCANA MENGINDIKASIKAN KEBEBALAN INDONESIA UNTUK MAU BERUBAH DAN MELANGKAH KE WILAYAH BARU DAN SEGAR.

Selamat menikmati (kebebalan) Indonesia...

Senin, 04 Oktober 2010

Senyumanmu Yang Kutunggu

Adegan 1
Di sebuah SPBU. Seorang pegawai menyambut dengan senyuman.
“Selamat pagi, Pak”, katanya ramah.
“Mau isi berapa?” sambil tersenyum. Tapi tak se-spontan senyuman yang pertama.
Bapak itu menjawab pendek.
Si bapak pembeli bensin, tak tampak ikut tersenyum. Wajahnya datar. Biasa-biasa saja, malah
terkesan tak mendengar dan pura-pura memperhatikan hal lain.
“Uangnya pas ya, Pak” kata si pegawai. Masih ramah.
“Silakan isi angin atau air bila membutuhkan. Terima kasih.”
Si bapak tetep kalem. Mengangguk pun tidak. Seolah-lah tak mendengar kata-kata itu.
Adegan 2
Di sebuah SPBU. Seorang pegawai menyambut dengan senyuman.
“Selamat pagi, Pak”, katanya ramah. Senyumnya lebar mengembang. Mungkin mantan model
iklan pasta gigi.
“Pagi,” jawab seorang pemuda antusias,”Eh mbak, mau ga main ke rumah saya? Ga ngapa-
ngapain, anda cukup ketemu saya. Senyum. Dan saya kasih Rp 5.000”
Si pegawai kaget. Dia melongo. Dia tidak pernah di training menghadapi pelanggan macam
ini.
***
Adegan pertama adalah adegan yang sudah biasa kita lihat sehari-hari. Adegan kedua adalah
adegan yang hampir mustahil terjadi di negeri ini. Saya sendiri yang punya ide itu pun tidak punya
keberanian melakukannya untuk menguji benar-tidaknya konsep berpikir saya.
Ide ini berawal dari para pelayan SPBU Pertamina yang kian hari kian ramah dan senang
tersenyum. Namun, tak ada seorang pun yang menghiraukan. Bahkan hampir tak ada yang
membalas senyuman mereka. Karena senyuman mereka adalah senyuman bayaran. Mereka
tersenyum karena dibayar. Bukan karena anda ganteng atau karena mereka memang orang yang
ramah.
Saya tidak mencela mereka yang tersenyum karena pekerjaan atau karena uang. Uang yang
mereka dapat pun halal. Namun, makin lama makin banyak keindahan, keramahan dan kebaikan-
kebaikan yang tak tulus. Semakin gampang kita mendapatkan keramahan, kebaikan-kebaikan di
tempat-tempat komersial seperti bank-bank, supermarket2, toko-toko dll namun semakin sedikit
kita temukan keramahan, ketulusan dan kebaikan-kebaikan di kehidupan nyata.
Kalau saya perkirakan, senyum mereka bernilai 200 rupiah. Bila sehari ada seratus pelanggan
dan mereka kerja 26 hari sebulan berarti sebulan mereka dapar 500 ribuan untuk tersenyum.
Sisanya adalah bayaran kehadiran mereka, uang makan dll. Artinya, bila mereka profesional,
tawaran 5.000 untuk tersenyum tak boleh disia-siakan.
Saya jadi ingat sebuah hadist, “Tersenyumlah, karena senyummu kepada saudaramu adalah
sedekah.” Kalau Nabi hidup sekarang, beliau mungkin akan kecewa karena ‘hadist’ yang sekarang
berlaku adalah “Tersenyumlah, karena tersenyum itu bernilai 200 rupiah.”
***
Daripada termenung karena mikirin degradasi senyum karena kekuatan uang, lebih baik aku
mendengarkan musik. Kunyalakan winampku. Dan ku-klik tombol play. Satu lagu dari Sabrang
Mawa Damar Panoeloeh dengan grup band-nya ‘Letto’ :
. . .

Oh bukanlah
cantikmu yang kutunggu
Bukanlah itu yang aku mau
Tetapi ketulusan hati yang abadi

Ku tahu mawar tak seindah dirimu
Awan tak seteduh tatapanmu
Namun, ku tahu yang kutunggu
Hanyalah senyumanmu


P# 23 September 2010

Senin, 27 September 2010

Tata Negara


Bangga juga diri ini kemarin belajar mu’awin tafwidh. Bangga karena apa yang aku bahas dengan teman-teman hampir mirip dengan pembahasan dan masalah yang saat ini sedang ramai di negeri ini, yaitu kasus Yusril Ihza Mehendra yang dijadikan tersangka. Dalam konteks tanggung jawab dan pengangkatan Menteri (dalam kasus ini Yusril) dan Mu’awin sama-sama diangkat oleh pemimpin negara dan pertanggung-jawabannya di kembalikan ke pihak yang mengangkat; dalam hal ini Presiden dalam konteks negara modern dan Khalifah dalam konteks ke-Khilafahan. Dalam kasus Yusril, ia di sangkakan melakukan kesalahan ketika menjadi menteri. Dengan memakai logika bahwa menteri adalah pembantu presiden, bisa juga presiden dikait-kaitkan dengan kebijakan yang diambil oleh menterinya. Logika yang lebih ekstrim dan jitu akan terlihat bila dianalogikan menteri sama dengan mua’win, yaitu bahwa mua’win diangkat Khalifah dengan akad wakalah (perwakilan tanggung-jawab). Dalam konteks ke-Khilafahan, mua’win adalah representasi Khalifah yang mengangkatnya. Jadi, bila mua’win melakukan kesalahan yang dihukum adalah Khalifah. Perjalanan kasus Yusril menarik bak sinetron. Awal-awal penetapan tersangka, Yusril bak kucing yang sedang dipukuli tuannya. Tak berdaya. Namun, nasibnya kemudian berubah secara mengejutkan ketika gugatannya ke MK (Mahkamah Konstitusi) dikabulkan sebagian. Ia mulai di atas angin. Publik pun semakin menyadari kapasitas keilmuan dan pemahaman mantan Presiden Partai Bulan Bintang ini. Hingga, beberapa jam lalu Yusril menyatakan bahwa kasusnya bisa menyeret RI-1.
Drama Politik Adanya celah kemungkinan pelibatan RI-1 dalam kasus hukum, menjadi perhatian banyak pihak. Musuh-musuh politik RI-1 akan memperhatikan kasus ini secara serius. Menarik diperhatikan apa yang akan mereka lakukan. Sasaran utamanya tentu terjaminnya kepentingan politik pihak mereka. Bila tujuan akhir mereka nantinya adalah melengserkan Presiden, maka pertarunganya akan sengit dan berbelit-belit. Dan bisa jadi hasil akhirnya akan sama seperti kasus Bank Century. Namun, entitas politik pendukung RI-1 dan partainya bukan anak kemarin sore. Golkar dan PDI-P adalah partai yang sekian puluh tahun menghuni peta perpolitikan negeri ini. Orang-orangnya pun – meski baru, adalah kader-kader yang dikitari politikus berpengalaman di era orba. Ini artinya, meski panah siap dilepaskan kepada RI-1 dan partainya saya kurang yakin dua partai tadi akan melepaskan panahnya. Mereka akan tetap hati-hati dan mencari pendapatan politik yang lebih besar daripada sekadar melengserkan RI-1. Sementara partai pendukung RI-1 mau tidak mau membangun benteng bagi RI-1 agar aman dari serangan. Partai pendukung RI-1 akan cenderung bisa dibaca manuvernya. Sementara partai-partai lawan politiknya akan lebih sulit dibaca manuvernya. Inilah ujian bagi partai biru dengan kadernya yang muda dan enerjik. Kita lihat drama apa yang akan terjadi. Atau hanya menjadi Century jilid 2.

Rabu, 22 September 2010

Harapan Untuk Kapolri Baru

Jabatan Kapolri menjadi seperti seorang gadis yang hendak dipinang. Kebahagian terbayang dan menjadi harapan bangsa Indonesia dan SBY - sebagai tetua adat yang akan meminta izin pada wali sang gadis, juga mengharapkan kebahagian yang sama. Sayangnya jabatan yang dipinang belum jelas benar kualitasnya. Bukan karena dia tidak cantik, bukan karena dia tidak cerdas dan bukan pula karena dia tidak sehat tetapi karena dia akan dinikahkan dengan suami yang sulit diatur.

Kalau boleh saya pakai kalimat roman atau novel, jabatan Kapolri itu seperti kekasih yang dibenci sekaligus di rindu.
Polisi sementara ini tetap menjadi harapan masyarakat, karena setiap tiba musim mudik jalanan harus diatur sedemikian rupa agar tidak macet. Polisi juga diperlukan karena angka kriminalitas masih tinggi, mulai dari perampokan bersenjata, bentrok antar warga yang mengakibatkan korban jiwa hingga pencurian-pencurian kelas teri. Semua itu masih membuat Polisi di rindukan. Namun, disisi lain institusi Kepolisian masih membaut banyak orang - kata sebuah lagu "gregetan". Berbagai pesanan masyarakat untuk membongkar korupsi, mafia pajak, konflik internal hingga kasus rekening gendut Perwira Polisi tak kunjung dipenuhi.

Kapolri memang bukan superman yang akan menyelesaikan masalah dalam hitungan menit, maka ia harus memberikan harapan dan ketenangan. Harapan bahwa Polisi akan menjadi lebih baik dan ketenangan bahwa Polisi tidak akan menambah masalah yang sudah ada. Poin "harapan" diukur dari poin yang kedua "tidak menambah masalah". Dengan kata lain, bila kehadiran Polisi tidak lagi menambah masalah maka boleh jadi itulah "harapan" yang masyarakat idam-idamkan akan segera hadir.

Tulisan ini mungkin bernada skeptis, tetapi ini adalah poin ketiga yang harus disadari oleh Kapolri yang baru. Kapolri yang baru harus sadar di peta bagian manakah Polri sekarang berada. Ia harus paham apakah Polri sedang di puncak gunung prestasi ataukah terperosok di lembah-lembah. Ini adalah variabel yang sulit dipenuhi karena Polri selama ini selalu kesulitan membaca dan memahami diri. Sebagian menganggap karena Polri terlalu jaim (jaga image/citra), sehingga terlalu gagah kalau harus membongkar aib sendiri. Tetapi , kalau menurut saya itu karena Polri tak paham konsep dirinya sendiri.

Masyarakat tak perlu tahu siapa yang akan dipilih menjadi Kapolri. Karena rakyat tak punya kepentingan membahas "SIAPA" yang jadi. Rakyat berkepentingan "APA" yang akan dilakukan Kapolri yang baru. Kecuali kalau anda WAKIL rakyat, bisa jadi anda berkepentingan membahas SIAPA.

Senin, 13 September 2010

Negara Ketidakpastian

Oleh JAKOB SUMARDJO

DI Indonesia orang harus hidup dalam ketidakpastian-ketidakpastian. Hitungan matematika tidak berlaku di Indonesia. Hukum tertulis adalah dunia maya bagi orang Indonesia. Harga karcis bioskop kelas atas, di suatu kota berbeda dengan kota yang lain. Ganti presiden ganti kementerian-kementerian. Ganti menteri, ganti sistem. UUD 45 boleh tetap dipakai, tetapi lembaga-lembaga kenegaraan tidak sama sejak 1945 sampai 2005.

Indonesia adalah sebuah bengkel besar, main bongkar pasang setiap sebuah rezim berkuasa. Tidak ada yang namanya tradisi modern Indonesia. Tradisi modern Indonesia adalah dekonstruksi terus-menerus. Kapan akan berakhir? Sampai orang Indonesia capai main bongkar-bongkaran. Sampai orang menyadari pentingnya suatu sistem yang agak permanen. Ibarat membangun Rumah Indonesia dari bekas Rumah Kolonial Belanda, mula-mula dibongkar atapnya, kemudian disekat kamar-kamar tidurnya, akhirnya ditempelkan bangunan baru di belakangnya; sebuah Frankenstein modern yang babak belur.

Orang Indonesia masih mabuk kebebasan. Kebebasan itu berarti, kalau saya berkuasa saya dapat melakukan apa saja. Maka kekuasaan menjadi rebutan, mulai tingkat desa sampai tingkat negara, mulai kepala subbagian sampai kepala kantor. Di situlah saya menikmati kebebasan saya.

Rata-rata orang Indonesia belum merdeka. Kalau Anda tidak memegang kekuasaan, Anda adalah objek mereka yang pegang kuasa. Anda tidak bebas, meskipun Anda berteriak tiap hari mengklaim hak-hak azasi Anda. Semuanya ini akibat dari tidak adanya tradisi sistem. Sistem di Indonesia selalu diperlakukan sebagai bagan praksis, bukan sebuah filosofi. Karena ia hanya bagan praksis, maka keberadaannya amat bergantung pada kondisi dan situasi. Dasar filosofinya campur aduk. Sebuah wajah Frankenstein.

Penyakit mental orang Indonesia itu ada dua, yakni lekas kagum dan memuja segala sesuatu yang baru, dan tidak menaruh hormat terhadap sejarahnya sendiri. Penyakit pertama membuat orang Indonesia mau cepat-cepat mempraktikkan apa yang sukses dilakukan orang di luar Indonesia untuk dilakukan di Indonesia. Padahal ukuran sukses memecahkan masalah itu bergantung pada dimensi ruang, waktu, dan pelaku. Sebuah sistem yang sukses dilakukan dalam ruang, waktu, dan pelaku yang berbeda belum tentu akan sukses di sini. Kita harus mulai berhenti menjadi monyet peniru semacam ini. Inilah sebabnya bongkar pasang sistem selalu terjadi di Indonesia.

Penyakit kedua orang Indonesia adalah amnesia sejarah. Pada zaman Orde Lama, Bung Karno menjadi panutan bangsa. Setiap pidatonya dicetak ulang dan dikumpulkan dalam sebuah buku besar. Bung Karno seperti Ketua Mao dengan buku merahnya. Begitu Orde Lama ambruk, maka setiap artefak yang berbau Bung Karno harus lekas-lekas disingkirkan. Ke mana perginya buku-buku indoktrinasi Bung Karno yang dulu menghiasi meja makan penduduk tani Indonesia itu? Gagasan Bung Karno tentang Indonesia harus dibenamkan dalam-dalam. Bahkan dalam buku-buku sejarah sekolah tidak dicantumkan lagi gagasan-gagasan besarnya. Bandul sistem berubah seratus sembilan puluh derajat. Go to hell semua apa yang telah kau kerjakan untuk Indonesia.

Orde Baru membangun sistemnya sendiri tanpa mengingat apa pun yang telah dilakukan Orde Lama. Buku-buku indoktrinasi P-4 menjadi best seller tanpa perlu dibeli. Jilidnya tebal-tebal. Setiap calon pegawai harus hafal isi buku tebal itu. Buku merah Ketua Mao. Dan ketika rezim ini ambruk pula, setelah mencapai rekor pegang kuasa paling lama di dunia, ke mana perginya "sistem Orde Baru" itu? Setiap artefak dan gagasan yang mengingatkan kita pada sistem Orde Baru kita matikan dalam pikiran kita. Go to hell!

Dan sampai kini telah silih berganti datang empat presiden. Presiden BJ Habibie belum sempat membangun sebuah sistem, telah kita lupakan. Presiden Abdurrahman Wahid yang baru mulai membangun sistem telah cepat-cepat kita turunkan. Lokomotif ini terlalu cepat buat kereta Indonesia. Dan penggantinya, Presiden Megawati, karena orang Indonesia mau cepat-cepat memperoleh obat mujarab yang cespleng buat membangun Indonesia, ditinggalkan pula.

Enam presiden telah kita miliki, dan masing-masing selalu membangun sistemnya sendiri dengan go to hell pada sistem-sistem dan hasil-hasil sebelumnya. Kesinambungan tidak ada. Selalu ingin yang baru. Setiap pemilih presiden selalu bertanya, "Ada stock yang baru Mas?" Begitu presidennya, begitu pula menteri-menterinya. Kantor yang baru diisi arsip-arsip yang gres. Arsip-arsip lama masuk gudang. Dikunci mati.

Ganti penguasa ganti logo dan ganti cap serta kop surat. Ini Indonesia baru. Orang enggan meneruskan apa yang telah dilakukan pejabat sebelumnya. Jelas gagal kok dilanjutkan? Berapa presiden yang gagal? Berapa Perdana Menteri yang gagal? Berapa menteri yang gagal? Tetapi negara, bangsa, dan pemerintahan tetap yang itu-itu juga.

Indonesia itu sebuah ketidakpastian. Semua ini gara-gara para pelakunya, aktor yang penuh improvisasi tanpa peduli teks. Asal memainkan dirinya. Kekuasaan itu milik, dan bukan mandat. Bukan amanah. Setiap kehilangan kekuasaan orang merasa malu dan tidak berguna, karena tahu segala usaha yang telah dilakukannya akan dilupakan begitu saja.

Bagaimana agar hidup ini menjadi pasti di Indonesia?

Bagi mereka yang lama hidup di luar negeri, atau orang luar negeri yang masuk Indonesia, tentu kaget melihat realitas "dunia lain" yang nonmodern ini. Indonesia itu tidak bisa ditebak, karena tidak menganut hukum kausalitas. Hukum di Indonesia itu bersifat spontanitas. Jadi, maka jadilah. Boleh, maka bolehlah. Tidak jelas sebab akibatnya. Aturannya bunyi begitu, praktiknya berbalikan. Mereka yang taat hukum dan aturan, yang percaya pada hukum kausalitas, akan menjadi korban tingkah laku spontanitas. Di negara kepastian, ketidakpastian adalah kepastian. Di negara ketidakpastian, kepastian adalah ketidakpastian. Di negara orang gila, orang waras adalah gila.

Di negara matematis, tiga tambah tiga itu tentunya enam, tiga kali tiga adalah sembilan. Tetapi di negara ketidakpastian, tidak jelas tiga dikalikan tiga atau tiga ditambah tiga. Tanda "kali" dan "tambah" mudah sekali dibalik, ditegakkan atau dimiringkan. Di negara ketidakpastian berkata jujur itu ketidakbenaran, berkata bohong itu kebenaran.

Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kita dapat membuat perencanaan, merancang masa depan. Dalam ketidakpastian, rencana tidak mungkin dijalankan, masa depan tidak mungkin digambarkan. Ketidakpastian Indonesia membuat masa depannya tidak mungkin dibayangkan.

Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kejujuran dan dusta dapat dibedakan. Agar kepercayaan dapat dibangun. Agar sistem dapat dipertahankan. Agar tradisi modern dihormati. Agar kita mampu menerima warisan, buruk maupun bagus. Agar kita tetap merupakan satu kesatuan, dalam ruang, waktu, dan sebagai pelaku. Agar kita menjadi kita, bukan kami dan mereka.

Kepastian membuat negara dan bangsa ini tetap ada. Tegak di dunia. Bagaimana bangsa ini dapat dihormati, kalau di antara kita sendiri tidak saling menghormati? Bung Karno dapat salah, Pak Harto dapat salah, Habibie dapat salah, Gus Dur dapat salah, Megawati mungkin punya kekurangan, tetapi mereka milik kita, bagian dari diri kita. Menghujat tidak ada manfaatnya, belajar dari kesalahan banyak manfaatnya.

Indonesia akan ambruk kalau pilar kepastian tidak ditegakkan.***

Penulis, Budayawan

Senin, 06 September 2010

Gaya Kepemimpinan Presiden Kita Dalam Segelas Air

Tulisan ini tidak hendak menilai pribadi masing-masing presiden. Ini hanya mengulas gaya kepemimpinan. Bisa jadi gaya kepemimpinan mereka bukan cerminan sifat personal masing-masing presiden. Maksud saya adalah, kalau dalam tulisan ini mengandung kritik itu hanyalah sekadar kritik gaya kepemimpinan. Bisa jadi keseharian mereka sebagai manusia biasa – sebagai suami/istri, bapak/ibu amat baik dan terhormat. Buktinya mereka lebih terkenal daripada penulis.

· Soekarno

Bila diibaratkan gelas, bung karno adalah gelas yang airnya melimpah dan tak pernah habis. Ia menuangkan isi gelasnya kepada siapa saja. Gelas demokrasi diisi, gelas nasionalisme diisi, gelas Islam diisi, gelas komunisme diisi juga. Pokoknya semua gelas diisi. Semua diterima oleh gelasnya Soekarno.

Ribuan orang terinspirasi oleh retorika pidatonya. Pemuda-pemudi terbakar semangatnya oleh orator ulung ini. Hingga sekarang masih banyak penggemarnya yang setia memelihara peninggalannya, baik berupa kutipan kata-kata maupun gambar hingga. . . . kuburannya.

· Soeharto

‘Gelas’ kepemimpinan H.M Soeharto merupakan yang paling unik. Gelas Soeharto sebenarnya penuh dan mampu menenggelamkan siapa saja. Namun, begitu bertemu orang gelasnya di kosongi. Semua orang merasa didengar dan diterima. Semua air masuk ke dalam gelasnya Soeharto. Semua orang yang ‘minta petunjuk’ kepadanya selalu diterima. Dan tak seorang pun menyadari apakah sang presiden sebenarnya marah, menolak atau menerima dengan ikhlas. Maka tak ada seorang pun yang merasa dimanfaatkan. Itulah kemenangan gelas kepemimpinan Soeharto, semua orang merasa telah mengisi gelasnya Soeharto, padahal mereka sedang tenggelam dalam air kekuasaannya.

Tak percaya ? Coba cari indikator kecerdasan atau kebodohan Soeharto ? Pasti sulit dicari. Karena tak ada yang benar-benar bisa menelitinya maka tak ada yang mampu menjungkalkan Soeharto (sebelum reformasi).

· BJ Habibie

Gelas kepemimpinan sulit di teliti. Karena begitu Habibie mendapat gelas kepemimpinan dari Soeharto, sekejap kemudian gelasnya hilang. Kepemimpinanya memang seumur jagung. Mungkin karena tak mampu mengimbangi gerakan lincah bola mata ahli pesawat terbang ini.

· Gus Dur

Gelas kepemimpinan Gus Dur juga salah satu yang terunik. Gelas kepemimpinan Gus Dur tak punya dasar alias gelasnya bolong. Siapapun menuangkan air ke dalam gelasnya maka air itu akan keluar lagi. Berapapun air dimasukkan ke dalam gelas kepemimpinannya, sebesar itu pula air itu hilangh entah kemana.

Ada gelas maupun tak ada gelas, karakter kepemimpinan Gus Dur ya tetap seperti itu. Seperti apa ? Ya, seperti itu. Gitu aja kok repot, lha wong jelas keliatan. Kalau bingung yang salah sendiri. Siapa suruh mbaca ini ? Sana mbaca komik aja..!

· SBY

Gelas kepemimpinan SBY adalah yang paling modern. Gelas SBY selalu penuh. Orang yang melihatnya akan terkagum-kagum karena ternyata isinya penuh, pas dengan tinggi bibir gelas, airnya jernih. Gelas kepemimpinannya dilarang kurang walaupun setetes. Apalagi kalau sampai kosong…Dilarang keras! Gelas kepemimpinan bagi SBY harus penuh, kalau tidak penuh memalukan. Semua harus kelihatan perfect. Bahkan bunga di teras istana pun harus hijau segar (ingat ketika Bush datang ke istana Bogor, SBY sempat memeriksa tanaman di pot teras istana-mungkin kalau ada yang setangkai yang layu akan disuruh diganti).

Efek dari gelas yang penuh, tak ada yang air lagi yang bisa mengisi gelas kepemimpinan SBY.

· Megawati

Sangat disayangkan Megawati tak mengenal gelas, sehingga tak jelas bagaimana kepemimpinan Megawati. Tak jelas apakah kepemimpinan Megawati berupa cangkir, gelas teh, botol, jirigen atau bahkan drum. Tak jelas apakah isinya air, minyak atau lumpur.

Jadi, bagaimana karakter kepemimpinannya ? Ya.. ngga jelas

Adaptasi dari Kenduri Cinta, Cak Nun – 3 September 2010

Minggu, 29 Agustus 2010

Ketua KPK Baru

Sebentar lagi Idul Fitri. Anak-anak mulai merengek kepada ibu mereka, meminta baju baru. Anak-anak laki-laki mulai merengek kepada ayah mereka dibelikan spatu baru. Sementara yang dewasa, beranak dan bercucu diam-diam pun menginginkan hal yang baru. Entah, mobil baru atau TV baru. Beberapa yang berekonomi kecil berharap bisa membersihkan rumah dan lingkungan di hari yang fitri nanti. Itu saja.
Gema semangat pemeberantasan korupsi (kalau ada) pun mulai disirami gairah baru. Dua orang calon nahkoda KPK telah ditentukan. Mereka adalah Busyro Muqodas dan Bambang Wijoyanto. Dua-duanya bukan nama asing di dunia hukum Indonesia. Silakan anda korek-korek track record mereka,tetapi saya kurang begitu tertarik. Bukan karena susah mencari informasi apa saja yang prestasi atau pekerjaan yang pernah mereka lakukan, tetapi karena kebanyakan masyarakat Indonesia pun tak akan mengetahuinya dan menganggap itu penting. Tetanggaku tak kenal mereka. Teman-temanku di FB juga adem ayem. Paling hanya satu dua yang membahas. Setelah itu mereka lebih tertarik kepada perut dan uang masing-masing.
Orang di sekitarku tak perduli siapa ketua KPK. Rakyat tak punya uang yang bakal di korupsi. Mereka merasa tak punya uang di BI. Pak tani di desa ku tak punya uang di BUMN-BUMN, jadi biarin aja mau dikorupsi atau tidak. Uang di BUMN yang punya orang-orang berdasi. Rakyat tidak. Mereka paling kebagian tak seberapa, ketika uang itu dibagikan lima tahun sekali saat pemilu.
Mungkin aku pun tak perlu mengurusi siapa ketua KPK. Akan ku kubur kegelisahan terhadap bangsa ini di suasana gembira 1 Syawal. Menggoda anak-anak kecil sampai mereka menangis, setelah itu kubagikan kue-kue kecil.
Konon para pemimpin bukanlah mereka yang berhasil mencapai target semata. Konon pemimpin bukan orang yang paling ditakuti. Namun, pemimpin adalah mereka yang mampu membawa rakyat ke padang rumput yang hijau dan penuh kesejahtraan. Bak seorang gembala memanjakan ternaknya. Mungkin itu karena itulah Muhammad saw pernah jadi gembala di masa kecil, agar jadi pemimpin yang pengayom dan pelindung.

Selasa, 24 Agustus 2010

Ki Bagus Hadikusumo (1890 – 1954) : Kontroversi Piagam Jakarta


Di Indonesia, ketika masa penjajahan Kekaisaran Majusi Jepang (1942-1945) penduduk yang mayoritas Muslim dipaksa untuk seikerei yakni membungkuk (mirip ruku’) ke arah Tokyo sambil memusatkan hati kepada Hirohito (1901-1989). Hirohito adalah kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan Dewata yang katanya turun dari kahyangan untuk kemakmuran manusia dalam lingkungan Asia Raya yang diberi gelar Tenno Heika (yang maha mulia Kaisar).

Doktrin fasisme Jepang ditanamkan pula pada seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Setiap jam tujuh pagi semua murid wajib seikerei. Tentu hal itu membuat berang setiap Muslim yang imannya tertancap kokoh dalam jiwa.

Maka bangkitlah para ulama menentang arus kemusyrikan, termasuk Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah saat itu. Ia berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari “Seikerei terlarang bagi umat Islam karena bertentangan dengan tauhid”, tegasnya.

Pemimpin Umat


Ki Bagus dilahirkan di Kauman Yogyakarta dengan nama Raden Hidayat pada 11 Rabiul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kyai di Kauman.

Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di Pesantren tradisional Wonokromo. Tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab fiqih dan tasawuf akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh, dan pemimpin umat.

Secara formal, disamping kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, Anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah.

Ki Bagus adalah seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk mencontoh Nabi Muhammad saw yakni menginstitusionalkan Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alsan ideologis, politis dan juga intelektual.

KI Bagus juga sangat produktif menuliskan buah pikirannya. Salah satu buku yang ia tulis adalah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlak Pemimpin. Maka dalam rangka menegakkan hukum Islam di Indonesia, di masa penjajahan Kerajaan Protestan Belanda, ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitian yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam.

Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931.

Kekecewaanya ia ungkapkan kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu.

Namun ia tidak patah arang. Meskipun BPUPKI dibuat oleh penjajah Jepang yang menunjuk pentolan nasionalis sekuler Soekarno sebagai ketuanya. Ki Bagus berusaha merealisasikan cita-citanya melalui badan itu. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang syariah dengan kelompok nasionalis sekuler dan Kristen.

Pada 22 Juni 1945, panitia sembilan yang dibentuk BPUPKI menandatangani Rancangan Undang-Undang Dasar negara RI yang belakangan disebut Piagam Jakarta. Meski telah disahkan namun tetap menimbulkan kontroversi. Pihak Islam belum puas. Begitu juga, Kristen diwakili Latuharhary sempat menyoal rumusan tersebut.

Meski demikian, perdebatan a lot terus terjadi antara pejuang syariah dan kelompok lainnya terutama terkait dengan dasar negara dan formalisasi penerapan syariah Islam. Ki Bagus tentu saja di kubu Islam yang menginginkan negara berdasarkan Islam dan memberikan kebebasan kepada agama lain untuk menjalankan agamanya.

Sedangkan Soekarno berusaha menengahi dengan gaya kompromi (baca: mencapurkan yang haq dan batil). Dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan.

Saya ulangi lagi bahwa ini suatu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan didasarkan kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima panitia ini.”

Pada rapat 14 Juli 1945, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dicoret. Jadi bunyinya hanya Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.

Karena Ki Bagoes menyadari Islam bukan hanya mahdhah yang hanya mengatur ritual kaum Muslim tetapi juga ajaran yang sempurna yang mengatur negeri dan masyarakat seperti yang telah di contohkan Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw memipin Madinah dengan syariat Islam padahal penduduknya plural, disamping bermacam suku dari berbagai bangsa tetapi bermacam agama seperti Yahudi, Islam, Kristen dan penyembah berhala.

Pendapatnya pun ditolak kelompok nasionalis sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI; “Sudahlah hasil kompromis antara dua pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen.”

Namun sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, dihapuslah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (tujuh kata) itu alih-alih hanya menghapus tiga kata terakhirnya saja seperti yang diusulkan Ki Bagoes.

Tujuh kata tersebut dihapus dengan dalih golongan Protestan dan Kristen lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota panitia sembilan, pun melobi kelompok Islam termasuk Ki Bagoes agar setuju tujuh kata tersebut diganti dengan Yang Maha Esa.

Almarhum Hussein Umar (terakhir sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapan Kasman dalam sebuah perbicangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu.

Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang Tuan-tuan dari golongan Islam silakan perjuangkan disitu,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti 6 bulan lagi. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagoes. Karena dalam pandangan Ki Bagoes hanya Islam-lah agama Tauhid.

Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahu sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada tahun 1957 – 1959 (hingga dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagoes yang diminta menunggu oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.–Joko Prasetyo;Media Umat ed.40-

Minggu, 22 Agustus 2010

Perampok

Sekitar seminggu yang lalu masyarakat dikejutkan dengan peristiwa perampokan yang terjadi di Medan. Yang membuat terkejut bukan perampokan itu sendiri, karena peristiwa-peristiwa kriminal kini telah menjadi berita biasa. Sama seperti tayangan gossip ataupun acara keagamaan yang punya slot tayangan khusus dan eksklusif. Kecepatan, organisasi, cara kerja dan senjata yang dipakai para perampok kemarinlah yang membuat masyarakat terkejut. Jumlah perampok lebih dari 10. Bekerja dalam rentang waktu kurang dari 30 menit. Di siang hari, ditepi jalan raya ramai. Memakai senapan AK-47 dan tak segan membunuh polisi yang berjaga. Seorang pembawa acara tv malah menyamakan aksi perampokan itu dengan film-film Holywood untuk menggambarkan bagaimana fantastisnya peristiwa itu.
Peristiwa ini segera menjadi berita yang segar untuk tv-tv dan koran-koran. Berita ini sedikit mengalahkan berita usulan berani masa kerja presiden untuk diperpanjang. Beberapa mantan kriminil menganggap hal itu biasa. Toh, tahun 70-an dan 80-an hal itu pernah terjadi dengan hasil jarahan yang lebih fantastis. Pengamat kriminal memprogandakan (lagi) upaya-upaya pencegahan kriminal (oleh entah siapa) agar hal seperti ini tak terjadi lagi.
Harus diakui keterkejutan masyarakat karena telah menganggap masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun dan ramah tamah. Asumsi ini sudah berdengung di telinga sejak pemerintahan orde baru masih sehat memerintah. Sulit untuk membantah bahwa masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang ramah dan mudah tersenyum (bukan karena gila tentunya), tetapi bukti-bukti bahwa ketidak-beresan sedang berlangsung di negeri ini tak berhenti mengemuka. Kalau pengetahuan sejarah kita agak lebih lengkap maka kita akan tahu sepak terjang Joni Indo atau Anton Medan sehingga tak perlu kita terkejut lagi. Dan seandainya catatan sekarah kita agak lebih lengkap, maka kita akan kenal dengan Edi Tansil dkk sehingga sekarang kita tak perlu bingung kalau masalah penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi saat ini sampai pada level yang membuat bingung orang cerdas sekalipun.
Entah apa yang merampok daya siaga kita untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa. Musibah atau pemberitaan kriminal dan a-moral di televisi hanya meninggalkan efek keterkejutan. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi sampai Allah mengizinkan datangnya ‘kejutan’ lain. Dan kemudian kita terkejut lagi dan lupa lagi.
Tulisan-tulisan ini mencoba merasakan apa yang terjadi, bukan hanya sekadar mengetahui. Tulisan ini mencoba menjajaki lagi isi otak dan hati ini agar bisa menjawab pertanyaan “Sudahkah kita belajar dari semua itu?

Sabtu, 14 Agustus 2010

Politik Warisan : Fenomena Keluarga Politisi di Amerika

Di Indonesia wilayah politik bak ladang bercocok tanam bagi para anak-anak politisi. Mulai dari Puan Maharani,Inggrid Kansil hingga Agus Yudhoyono dengan nyamannya duduk di gedung dewan. Karier kepemimpinan seperti ini mengingatkan pada teori kepemimpinan Weber, yaitu kepemimpinan kharismatik (otoritas kharismatis).

Sejak zaman Soekarno, atau bahkan sejak zaman kerajaan dan kesultanan, kharisma pemimpin menjadi variabel berpengaruh dalam kancah kekuasaannya. Ambil contoh SOekarno, sampai sekarang masih banyak pengagumnya yang membesarkan bagaimana beliau berpidato, berpikir dan berkata. Bahkan Soeharto, Gus Dur, Megawati dan Yudhoyono adalah pemimpin bercorak kharismatik. Dalam kepemimpinan Kharismatik faktor keturunan hingga faktor tindak-tanduk menjadi faktor yang menciptakan kekaguman hingga akhirnya ketaatan.

Fenomena ini ternyata berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika. Anak-anak para politisi lebih tertarik dunia jurnalistik dibanding sibuk silat lidah di parlemen.

John F. Kennedy Jr.
Anak mendiang Presiden JFK Sr. ini meluncurkan majalah politik "George". Tagline-nya cukup menarik, "Bukan Politik Seperti Biasa". Dengan cover yang 'sexy', 'George' ingin meraih perhatian berbekal 'seleberitas politik'. Sayangnya, pada tahun 2001 majalah ini ditutup. JFK Jr sendiri - yang pada tahun 1995 dinobatkan sebagai "Sexiest Man of the Year", meninggal 2 tahun sebelumnya dalam sebuah kecelakaan pesawat.

Meghan McCain
Nama McCain menarik perhatian di seluruh dunia ketika pemilihan presiden Amerika yang mempertemukan Barack Obama melawan John McCain-ayah Meghan. Perempuan berusia 24 tahun ini memiliki blog di 'The Daily Best' dan pernah muncul di jaringan tv dan tv kabel Amerika seperti "The View", "The Rachel Maddow Show" dll. Blog milik McCain mengulas berbagai hal mulai dari 'primadona' Kongres sampai gaptek internet di kalangan KOngres. McCain terjun langsung di blognya dengan menulis sendiri headline. Sejauh ini ia cukup mendapat perhatian, terutama berkaitan dengan 'perang tulisan' antara dirinya dengan kalangan konservativ.

Alexandra Pelosi
Perempuan berumur 38 tahun ini adalah anak dari Nancy Pelosi, juru bicara kepresidenan Amerika. Alexandra aktif membuat dokumenter politik. Pada tahun 200 ia mendapat pengahargaan Emmy Award atas karya dokumenter yang ia buat, "Journeys with George". Dokumenter itu menguapas sepak terjang George W. Bush dalam kampanye pemilihan presiden hingga meraih kemenangan. Karya-karya lain mendapat perhatian cukup baik antara lain,"Right America: Feeling Wronged," "The Trials of Ted Haggard" dan "Friends of God: A Road Trip with Alexandra Pelosi."

Maria Shriver
Nama ini kurang dikenal di Indonesia bahkan di dunia. Tetapi, suaminya - "Sang Terminator" - Arnold Scwarzneger adalah Gubernur California tidak perlu dipertanyakan lagi popularitasnya.
Meski menjadi perempuan no.1 di California, karier Shriver bukanlah hadiah dari popularitas sang suami. Ia telah bekerja di dunia jurnalistik selama lebih dari 20 tahun. Pada tahun 1977 ia sudah menjadi penulis berita dan memproduseri KYW-TV di Philadelphia. Pada tahun 1989 hingga 2003 Shriver menjadi reporter untuk program "Dateline NBC" di jaringan televisi NBC.

Keluarga Reagen
Sebagai seorang aktor, anak-anak Reagen juga terbiasa dengan aktifitas ayahnya yang biasa berakting di depan kamera. Michael Reagen misalnya, menjadi host program radio di 'Radio Amerika' yang ditayangkan secara nasional. Sementara adiknya, Ron Reagen juga menjadi host di 'Air Amerika'. Kegiatan Ron yang lain adalah analis politik untuk MSNBC, menulis di media-media nasional dan menjadi host untuk program berita "Front Page" di jaringan televisi Fox.

Lain Amerika lain Indonesia. Dalam satu dekade ke depan, peluang para keluarga politikus untuk bisa berprestasi akan lebih diarahkan ke dunia politik. Mungkin, karena budaya sungkan dan memandang 'bibit' lebih diutamakan daripada 'bobot' ataupun 'bebet'.

Journalism: the new politics position

Over the weekend, the AP reported that the former first daughter is joining NBC's "Today" show as a correspondent. Jim Bell, the show's executive producer, says Mrs. Bush Hager won't be covering politics, but will focus on stories that are close to her heart, like "education, urban education, women and children's issues and literacy."

Politicians and journalists have always had a rocky relationship, but with her new monthly appearances, Hager joins an ever-growing list of children of prominent politicians who are trading their guest spots for press passes — Meghan McCain, Alexandra Pelosi, John F. Kennedy Jr., Ron Reagan, just to name a few. Here's a look at some of the political children who opted for covering, rather than entering, politics:

John F. Kennedy Jr.: In 1995, the "Sexiest Man of the Year" proved that he had the brains to match those stunning looks, launching the political magazine, George. With the tagline, "Not just politics as usual" and sexy covers, George attempted to put a hip, celeb-driven spin on politics. The magazine eventually folded in 2001, almost two years after JFK Jr., his wife Carolyn, and sister-in-law were killed in a plane crash.

Meghan McCain: The daughter of Sen. John McCain, 24, has a blog on the The Daily Beast and has appeared on "The View," "The Rachel Maddow Show" and other network and cable TV shows. McCain's blog covers everything from the GOP's lack of Internet savvy to Congressional "hotties." McCain makes headlines as often as she writes them; so far, she's already publicly rumbled with fellow conservatives Ann Coulter, Michelle Malkin and Laura Ingraham.

Alexandra Pelosi: Daughter of Speaker of the House Nancy Pelosi, Alexandra, 38, has made a name for herself with her political documentaries. She won an Emmy Award for her 2000 documentary, "Journeys with George," in which she chronicled George W. Bush's campaign to his eventual victory. Other notable documentaries include the HBO specials "Right America: Feeling Wronged," "The Trials of Ted Haggard" and "Friends of God: A Road Trip with Alexandra Pelosi."

Maria Shriver: OK, so she's the current first lady of California (and member of the vast Kennedy clan), but she boasts a journalism career that has spanned more than 20 years. Shriver started out as a news writer and producer for Philadelphia's KYW-TV in 1977, eventually working her way up the ladder to co-anchor several top network shows. Shriver was a reporter for NBC's "Dateline NBC" from 1989 to 2003.

The Reagans: With a former actor for a father, it's not a big leap for Ronald Reagan's children to feel at home in front of the camera. Michael Reagan hosts a nationally syndicated radio show on Radio America, while younger brother Ron hosts his own show on Air America. Ron has also served as a political analyst for MSNBC, written for several national publications and co-hosted Fox's "Front Page" news magazine in the '90s.

Sister Patti, the "black sheep" of the family, has been in front of the camera in various forms — as an actress and a Playboy cover model. She's also written several books and writes magazine essays on a variety of subjects, including her own family.

Ethan Axelrod: You may not know his name yet, but you're sure to recognize his father's: David Axelrod is Senior Advisor to President Barack Obama, having served in that capacity since Obama's 2004 Senate campaign. Before hitching his wagon to Obama, Axelrod Senior was a political writer for the Chicago Tribune. Axelrod Junior, 22, was recently hired to edit The Huffington Post's upcoming local Denver site.

In the wake of Sen. Edward Kennedy's death last week, speculation inevitably focused on which of the younger generation would "pick up the torch" for the legendary political dynasty. But as more political children who are writing the headlines, instead of making them, maybe it's time for the new generation to start their own dynasty.

— Lili Ladaga

Kamis, 12 Agustus 2010

Buya Hamka : Pemikir Lintas Zaman


Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
_____________________________________________________
PERJALANAN HIDUP

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. -sumber:wikipedia-
________________________________________________________
Karya-karyanya hingga kini masih terus relevan dan dibaca oleh banyak kalangan. Sebagai seorang ulama Hamka juga menerbitkan Tafsir Al - Azhar. Berikut adalah beberapa ceramah beliau yang terdokumentasikan :
  1. Pegangan hidup seorang Muslim (download mp3)
  2. Dari Gelap Menuju Terang (download mp3)
  3. Kehidupan Setelah Kematian (download mp3)
  4. Ramadhan Bagi Seorang Muslim (download mp3)

Rabu, 11 Agustus 2010

Malu & Ramadhan

Alhamdulillah Ramadhan 1431 telah hadir. Tradisi-tradisi yang telah ditinggalkan selama 11 bulan kemarin dilakukan kembali. Saat Maghrib menjadi waktu paling shahdu bagi mereka yang berpuasa. Saat-saat menjelang Shubuh juga kembali ramai karena umat Muslim sibuk santap sahur. Sepertinya konsumsi listrik PLN pun meningkat karena masyarakat beraktifitas lebih panjang.
Salah satu tema ceramah yang sering disampaikan para dai di bulan Ramadhan adalah : Menyambut Ramadhan dengan Gembira. Jujur saja saya bukan orang yang otomatis gembira ketika Ramadhan tiba. Saya lebih merasa malu ketika ia datang. Bayangkan : anda lama sekali tidak berkunjung ke atasan anda. Padahal ada perintah atasan anda yang masih menggantung dan anda belum selesaikan. Karena saking lamanya kemudian anda melupakannya. Pertanyaan saya adalah apakah anda berani berkunjung ke rumah atasan anda dan meminta berbagai macam fasilitas yang anda butuhkan ? Itulah saya di bulan Ramadhan. Saya tidak berani menegakkan kepala di bulan Ramadhan. Saya di beri kesempatan menikmati bulan ini saja sudah bersyukur apatah lagi meminta duniawi yang saya telah terperdaya olehnya.
Biarlah yang gembira adalah para yatim piatu, orang-orang yang miskin, orang-orang yang teraniaya dan orang-orang yang kehilangan haknya untuk diperlakukan tidak adil. Merekalah yang pantas gembira dan pada kenyataannya mereka gembira. Kesulitan hidup apapun yang mereka miliki tetap membuahkan senyum di bibir mereka. Mereka menikmati setiap rizki yang diberikan Allah dengan bersahaja dan puas. Tak ada harta yang tidak sah di meja-meja makan mereka atau di lemari reyot mereka. Merekalah yang gembira dan benar-benar gembira.

Rabu, 21 Juli 2010

Tren Partai Politik 2010

Tiga pemilu terakhir PKS (Partai Keadilan Sejahtra) menjadi perhatian. Pada pemilu tahun 1999 –saat itu bernama PK (Partai Keadilan), menjadi ”rookie of the year” atau pendatang baru terbaik. Menjadi partai baru yang langsung masuk ke jajaran papan atas partai-partai besar – selain PDI-P tentunya. Kemudian fenomena yang sama pun terjadi di tahun 2004 dan tahun 2009. Terutama di tahun 2009, ketika partai-partai Islam lain mengalami penurunan, hanya PKS yang naik suaranya. Meskipun masih kalah dibanding sang pemenang pemilu, Partai Demokrat.

Beberapa waktu yang lalu PKS melakukan Musyawarah Nasional. Ada beberapa kontroversi yang muncul. Salah satu yang menonjol adalah tekad partai ini menjadi partai terbuka atau partai tengah. Sikap ini ditandai dengan terbukanya PKS terhadap non-Muslim. Ada yang sepakat dan mendukung, namun tak sedikit pula yang tak setuju dan mengkritisi. Di balik dua ekstrim ini, Ada juga yang melihat ini sebagai pemanis bibir semata alias sikap pura-pura.

Fenomena yang hampir mirip pun terjadi dengan partai lain. Partai Demokrat (PD) menyatakan pula dirinya sebagai partai tengah. Dalam beberapa iklan di media masa, para petinggi PD menyatakan dirinya sebagai partai nasionalis yang religius. Andi Malarangeng menyatakan dalam suatu kesempatan, “Agama menjadi spirit dan semangat dalam membangun negara..”. Manuver yang tak kalah elegan dilakukan Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia Perjuangan (PDI-P), yaitu dengan membentuk Baitul Muslimin. Fakta bahwa pemeluk Islam adalah mayoritas di Indonesia tak disia-siakan oleh partai pimpinan Megawati Soekarno Putri ini. Perda-perda syariah di berbagai daerah juga tidak selalu dipelopori oleh partai yang bercorak Islam. Bahkan di beberapa daerah Golkar ternyata ikut mendukung Perda-perda syariah. Bisa jadi Golkar di daerah itu melihat Perda Syariah sebagai kebutuhan bisa pula merupakan manuver politik untuk Pemilu mendatang atau merupakan bagian dari deal dengan partai lain. Apapun, latar belakangnya sepertinya klasifikasi partai politik di Indonesia memerlukan parameter yang lebih detil.

Solahudin Wahid (Gus Solah) pun – dalam tulisannya di Kompas, melihat fenomena ini sebagai “kelas” baru partai politik. Dahulu partai-partai politik bisa di klasifikasikan sebagai partai kanan dan “kanan mentok”, kiri dan “kiri mentok”. Lalu di antara keduanya ada partai tengah yang konservatif nasionalis yang secara politis cenderung mempertahankan status quo. Isu revolusi – menurut khasanah ilmu politik era Perang Dingin, selalu di identikkan dengan “partai-partai kiri”. Namun, di era pasca Perang Dingin isu revolusi kian akrab dan diidentikkan dengan “partai-partai kanan”. Pengklasifikasian dahulu tidak begitu sulit dilakukan. Namun, sekarang partai-partai berlomba-lomba menjadi partai semua orang, sehingga identitas partai menjadi tidak begitu khas dan unik, akibatnya masyarakat relatif sulit mendalami “isi hati” partai-partai.

Ke depan kondisi seperti ini masih akan terjadi. Partai-partai akan terus mengklaim – dengan cara mereka masing-masing, bahwa mereka adalah partai terbuka dan untuk semua orang. Artinya, partai-partai akan cenderung kehilangan ke-khasannya. Hal ini karena dalam memasarkan partai di era sekarang mengalami perubahan. Kalau era orde baru yang menjadi pemenang adalah mereka yang dekat dan mampu mengendalikan birokrat, sekarang yang menjadi pemenang adalah mereka yang paling banyak dipilih rakyat. Inilah konsekuensi reformasi yang (ternyata dan paling mudah dipahami) diartikan sebagai partisipasi langsung memilih wakil rakyat.

Fenomena ini adalah kebalikan dari fenomena pemasaran produk-produk masa kini. Marketing kosmetik, motor, makanan cepat saji dll di tv-tv memakai metode yang terbalik dengan marketing partai-partai politik. Strategi marketing kosmetik dan barang-barang sejenis, adalah dengan menciptakan kebutuhan. Strategi ini mengikuti asumsi “products creates its own demand’. Produk atau barang-barang dibuat dahulu maka (melalui promosi, iklan dll) permintaan akan muncul. Sedangkan strategi marketing partai politik adalah mengikuti kebutuhan ‘konsumen’ (baca: masyarakat). Sehingga asumsi yang dipakai adalah “politics follows peoples demand”. Artinya, ‘produk’ partai politik akan mengikuti gerak-gerik dan kecenderungan masyarakat. Meskipun, partai politik dan perusahaan-perusahaan sama-sama memiliki akumulasi dana yang besar, namun menciptakan demand terhadap partai politik, tidak sesedarhana membujuk orang memakai shampoo jenis A atau memakai motor jenis Y. Karena operasional benda-benda amat mudah dipahami dan dilihat, sedangkan konsep politik yang dimiliki (atau yang tidak dimiliki) partai politik merupakan benda abstrak dan tak dapat disentuh kecuali oleh pemikiran dan akal sehat. Partai-partai akan membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk ‘menciptakan demand’ terhadap dirinya. Dan ini strategi yang tidak populer.

Minggu, 18 Juli 2010

Diplomasi Secangkir Kopi

Tahun 60-an Presiden Kennedy mengundang pers untuk minum kopi. Hubungan pemerintah – pers oleh banyak orang ditafsirkan berbeda-beda. Sebagian berpendapat pers adalah pilar ke-empat demokrasi sehingga harus jauh dari pemerintahan dan tak terlalu mesra dengan pejabat-pejabatnya, agar pers bisa lugas mengontrol. Sebagian lagi berpendapat hubungan pemerintah dengan pers justru harus mesra. Kemesraan pemerintah dengan pers akan menjamin informasi yang benar dan luas tentang pembangunan-pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Singkatnya, pers dan pemerintah menjadi mitra sosialisasi pembangunan kepada rakyat sehingga kepercayaan rakyat tumbuh dan stabilitas pembangunan terjaga. Dan akhirnya yang diuntungkan adalah rakyat juga. Bentuk hubungan terakhir ini di adopsi oleh Presiden Soeharto.

Demokrasi adalah ide asing sebagaimana ide-ide lain yang sekarang masuk ke alam bawah sadar rakyat Indonesia. Namun, bila ada bertanya kepada orang-orang di jalanan; apa itu demokrasi, niscaya tidak akan ada jawaban yang sama. Sama seperti tahun 1999an hingga 2000an;orang-orang tidak mampu menjawab dengan lugas bila ditanya mengenai ‘reformasi’. Ketidak-tahuan melingkupi setiap kepala tetapi perasaan yang ada pada setiap kepala adalah ‘ketidak-tahuan’. Saya jadi teringat, diskusi di Univ. Trisakti beberapa tahun lalu. Diskusi itu dimoderatori oleh Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) dengan pembicara alm. Gus Dur, Kwik Kian Gie, Rymizard Ryacudu, Permadi dan Toby Mutis (Rektor Trisakti). Waktu itu Gus Dur marah-marah, kenapa mahasiswa tidak meneruskan reformasi. “Kenapa kalian memulai reformasi tetapi tidak dilanjutkan!”, keluh Gus Dur. Menurut Gus Dur reformasi hanya dimulai, tetapi tidak ada yang menyelesaikan. Atau bisa jadi para mahasiswa pun tak memahami akan kemana arah reformasi.

Mungkin yang paling memahami bagaimana harus menyelesaikan reformasi adalah sang empu rezim berusia 32 tahun itu – yaitu HM. Soeharto sendiri. Beliau yang paling tahu akar-akar dan simpul-simpul kekuasaan di negeri ini. Atau mungkin dia tidak tahu apa-apa, kecuali simpul-simpul pembangunan yang akan menentramkan hati rakyat.

Tahun 1998 hingga sekarang, demokrasi dan akuntabilitas menjadi kata-kata populer. Seolah-olah itu lebih penting daripada laparnya anak-anak jalanan, pendidikan yang masih belum terjangkau semua lapisan, in-efesiensi pemerintahan, hukum yang menjadi permainan dan sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kamis, 08 Juli 2010

Keamanan Daerah vs Keamanan Negara

Akhir-akhir ini media banyak mengulas wacana Menteri Dalam Negeri untuk mempersenjatai Satpol PP. Menteri Dalam Negeri menyangkal wacana ini berkaitan dengan bentrok Satpol PP melawan warga di makam Mbah Priok tempo hari. Kebijakan ini lebih dikarenakan kebutuhan dan peningkatan kinerja Satpol PP, begitu imbuh Mendagri.

Membahas Satpol PP, tidak bisa sekadar membahas Satpol PP saja atau Pemda saja. Meskipun Undang-Undang mengatakan bahwa Satpol PP adalah petugas penegak Perda yang bersifat administratif. Namun, pada kenyataannya penertiban yang dilakukan Satpol tak selalu di respon dengan ketaatan. Lebih banyak direspon dengan perlawanan. Baik secara fisik (karena mampu) dan kadang melawan dengan kata-kata saja (misalnya oleh ibu-ibu). Membahas satpol PP berkaitan dengan peran pengamanan negara dan pemerintah. Atau kalau hendak lebih mendalam dan konseptual lagi perlu dibahas dahulu beda negara dan pemerintah.

Satpol PP dalam konsep Indonesia, berada di wilayah pemerintahan. Artinya, Satpol PP adalah pengawal kebijakan-kebijakan pemerintah de jure pada saat itu. Dengan kata lain, kedudukan Satpol PP adalah seperti bupati dan perangkat-perangkatnya. Dengan begitu tak perlu ada kekerasan ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap Perda. Pelanggaran Perda di hukum sesuai dengan Perda. Bila Perda tidak mengakomodasi "penghukuman terhadap pelanggar Perda", maka Perda tersebut mandul. Kalaupun ada, hukumannya tentu bersifat administratif.

Sayangnya, otonomi memberikan kesan bahwa Pemda adalah Pemerintah seperti di pusat yang memiliki perangkat Polisi dan Tentara. Dan ini bukan kesan semata, memang kenyataannya begitu. Alhasil, Satpol PP sebenarnya Polisi dan Tentara dalam kacamata Pemerintah Daerah.

Minggu, 27 Juni 2010

Andi Nurpati dan "Stockholm Syndrom"

KPU (Komisi Pemilihan Umum) kehilangan salah satu anggotanya. Andi Nurpati, seorang kader Muhammadiyah, keluar dari KPU karena menjadi pengurus Partai Demokrat. Andi Nurpati menjadi orang ke-sekian yang mengisi kepengurusan Demokrat di bawah Anas Urbaningrum. Para "pendahulu" Andi antara lain pengacara kondang Todung Mulya Lubis dan kader NU Ulil Abshar Abdala.

Saya jadi teringat sindrom stockholm. Sindrom ini berawal dari penyandraan yang dilakukan para perampok di sebuah bank di Stockholm Swedia. Singkat, cerita seorang sandera yang seharusnya ketakutan karena terancam nyawanya, justru bergabung dengan para perampok yang menyanderanya. Kemudian kejadian ini terulang juga di beberapa kota besar di dunia. Maka, lahirlah apa yang disebut "Stockholm Syndrom".

Kasus Andi Nurpati adalah kebalikan dari Stockholm Syndrom. KPU yang garang dan keras dalam mengawasi partai-partai dalam Pemilu, justru jatuh hati pada yang diawasi. Tetapi, ini tentu logika yang susah di tangkap masyarakat umum. Bagi masyrakat umum butuh penjelasan yang lebih sederhana. Karena begitulah hidup mereka dan kita sebenarnya.

Logika sederhananya, partai lebih menarik bagi Andi Nurpati daripada KPU. Itu saja. Cuma kita tak pernah tahu apa yang membuat partai (Demokrat) tampak menarik bagi Andi Nurpati. Bagi politikus ini menjadi santapan empuk, karena disinyalir kemenangan Demokrat pada Pemilu lalu masih menyisakan PR. Bagi pengamat, ini adalah era-nya partai untuk berkuasa. Bisa jadi beberapa waktu ke depan, posisi mentri tidak nampak lebih menarik daripada anggota partai atau bahkan posisi Presiden tidak lagi semenarik posisi pengurus atau Ketua Partai. Lets wait and see...

Jumat, 30 April 2010

Tentang Demokrasi : Antara Utopia dan Wacana

Kelas 3 SMA saya membaca buku karya Frans Magnis Suseno tentang Marxisme. Utipia Ideologi dan Pemikiran Marxisme ia tulis dengan bahasa akademis yang teknis dan tidak terlalu praktis untuk otak SMA saya. Jadi, tulisan ini hendak 'balas dendam' terhadap tulisan Frans Magnis dengan cara membuat tulisan tentang demokratisme. Tahun 1990an tidak pernah terpikirkan artis atau pertemuan rt menyinggung-nyinggung kata "demokrasi" atau "demokratis". Apa sebenarnya demokrasi dan demokratisme ?
Istilah demokratisme mungkin aneh. Akan banyak yang menyanggah; 'tambahan -isme kan menunjukkan bahwa dia adalah ideologi, bukankah demokrasi itu sudah merupakan sebuah ideologi ?'. Kenyataannya tidak seperti itu. Silakan tanya ke warung-warung nasi atau ke pangkalan ojek dan becak. Tanyalah orang-orang di sana 'apa itu demokrasi?'; mereka paling tidak akan menjawab 'demokrasi itu milih langsung' atau 'demokrasi ya apa ya ? ya begitulah.. ' Begitulah keadaan orang kecil. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri atau pemimpin-pemimpin mereka katakan. Mereka adalah korban-korban budaya 'demokrasi-tainment'. 'Demokrasi-tainment' adalah ketika di televisi seseorang berbicara penuh bunga, namun kata-kata yang di ucapkan bila ditelusur secara fakta maupun akademis amat memalukan akurasinya.Demokrasi menurut beberapa orang yang lebih intelek, disimpulkan dengan kalimat yang singkat dan padat 'demokrasi adalah tata-kelola negara dengan sistem perwakilan'. Sekilas keren, tetapi apa bedanya dengan komunisme dan sosialis yang -misalnya di Cina, ada juga partai-partai yang mengaku mewakili kepentingan rakyat.
Namun, pada kenyataannya demokrasi tidak pernah mewakili siapapun. Pembagian kekuasaan menjadi 3 pihak, yaitu eksekutif, yudakatif dan legislatif hanyalah kompromi di permukaan saja, sedangkan di hati mereka ada permusuhan yang tak pantas.
Demokrasi, sebagai sebuah sistem kenegaraan adalah cita-cita yang mensyaratkan beberapa hal. Pertama, orang-orang suci tanpa tendensi. Mereka ibarat malaikat. Tiga pos kekuasaan yang di perkirankan akan saling mengawasi ternyata justru menjadi pos penyimpangan yang saling acuh dan saling "tahu-sama-tahu". Saya jadi ingat ketika kecil, guru-guru saya menjelaskan bahwa Tuhan itu harus satu. Ia mutlak Esa. Bila ada Tuhan 3 atau 4 atau 5 atau lebih maka mereka akan bertengkar tentang urusan hamba-hambanya. Penguasa negara ibarat 'Tuhan', bila ada lebih dari satu maka akan ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka saling mengawasi. Ini logika dan teknis yang amat rumit. Masing-masing punya kepentingan satu sama lain, namun di suruh mengawasi satu sama lain. Presiden mengawasi DPR ? dengan apa? Lha wong yang mendukung presiden ada banyak di DPR ?

Senin, 26 April 2010

Islam di Simpang Jalan : Sebuah Review Singkat

“Jarang umat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandang di mana masalah-masalah itu tampil di hadapan kita itu berlainan dengan segala yang pernah kita kenal sebelumnya.”Seorang ulama Islam pernah berceramah tentang perubahan kultur umat. Beliau menggambarkan bagaimana kondisi kampung-kampung atau rumah-rumah selepas waktu maghrib dahulu dan sekarang. Dahulu selepas maghrib rumah-rumah ramai dengan anak-anak mengaji. Jalan-jalan sepi dari kegiatan. Surau-surau dipenuhi anak-anak belajar ilmu agama. Sedangkan sekarang, anak-anak lebih suka berkumpul di depan televisi. Kalaupun tidak di depan televisi mereka berkumpul di perempatan atau tempat-tempat hiburan. Mengaji dan belajar agama bukan lagi bagian dari hidup.
Di dunia politik dan ekonomi, khasanah ke-Islaman - dahulu, masih memiliki peran. Buktinya, hukum positif Indonesia harus mengakui agama sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia selain hukum (warisan) Belanda dan hukum adat. Bila pemikir-pemikir politik dan kenegaraan dewasa ini dibawa ke masa lalu dan bersama-sama merumuskan sumber hukum negara, bisa jadi Hak Asasi Manusia, Kearifan lokal dsb di dapuk menjadi sumber-sumber hukum negara. Agama tidak.
Fenomena-fenomena baru dan pemikiran-pemikiran baru meminggirkan pemikiran-pemikiran Islam yang dipakai sejak lama. Bagi sebagian orang, ini fenomena biasa. Mereka berkata, nilai-nilai baru yang lebih segar muncul dan amat pantas menggantikan nilai-nilai lama yang sudah usang. Namun, bagi Leopold Weiss - pemikir Islam kelahiran Eropa yang telah kenyang dengan nilai-nilai baru di dunia barat (dia baru memeluk Islam pada umur 40 tahunan), fenomena-fenomena ini adalah tantangan. Tantangan bagi (umat) Islam yang harus segera direspon.
“Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual, jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai serum yang menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun” .”

Islam, bagi umatnya, telah menemani mereka berinteraksi dengan Kerajaan Romawi. Hasilnya mereka survive. Islam juga menemani pemeluknya berinteraksi dengan budaya dan pemikiran Yunani yang rasional, logis dan belum pernah dikenal Islam sebelumnya. Hasilnya, pergolakan pemikiran terjadi, perbedaan pendapat sampai pada puncaknya. Namun, (umat) Islam tetap survive dan sistem kenegaraan Islam tetap dipertahankan. Malah saat itulah intelektulitas Islam - dalam bidang kedokteran, fisika, kimia, astronomi dll, menjadi panutan dan pondasi modernitas dunia hingga sekarang.
Leopold Weiss yakin Islam punya “ilmu” untuk berinteraksi dengan fenomena baru se-ekstrim apapun. Islam punya sistem yang bisa mencerna sub-sistem atau sistem apapun ke dalam dirinya. Sayangnya, keadaan umat terlalu rapuh. Mereka terjebak ke dalam sikap yang dalam bahasa jawa disebut “gumunan” (mudah terpukau).

“Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang telah habis dikerahkan."

“Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya”

Barat dengan rasionalitasnya yang menonjol, menarik setiap jenis ras ke dalam alam pemikirannya. Hampir semua penduduk di muka bumi ini berpikir, atau mulai berpikir sebagaimana pandangan hidup barat. Mengapa proses ini begitu mudah terjadi. Mengalir bak aliran sungai. Apakah karena memang rasionalitas barat itulah yang terbaik ? Atau karena penyakit “gumunan” dan “ikutan-ikutan” menjangkiti seluruh manusia di kolong bumi ini ? Leopold Weiss menjawab.

“Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurang-kurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius - - Itulah maka Nabi bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari).”

Epilog

“dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati”

Buku ini, di akhir pemaparannya mulai bertanya kepada anak-anak pengusung Islam dan mereka yang masih merasa punya warisan darah Islam di nadinya.
Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya?

Sebagaimana penyakit, Allah tak akan menurunkan penyakit tanpa penawarnya, begitu pula keterpurukan (umat) Islam saat ini selalu ada harapan dan penawar menyembuhkan penyakitnya. Itu semua bisa terjadi bila umat kembali kepada aturan dan kepemimpinan berpikir yang telah diperlihatkan dengan cemerlang oleh Muhammad bin Abdullah.
“Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan al-Qur an:

"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an, 33:21)”
Resensi buku “Islam di Simpang Jalan” karya Leopold Weiss

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons