Senin, 23 April 2012

jassin

Kadang-kadang sebuah peruntungan ditentukan oleh sebuah kitab kecil. Setidak ada sebuah risalah yang pernah ikut berpengaruh dalam satu tahapan hidup saya.

Ketika saya berumur 18 tahun, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Fakultas Psikologi, sebuah cabang baru dari Universitas Indonesia. Bukan saya bercita-cita menjadi seorang psikolog; waktu itu saya bahkan tak tahu jelas apa gerangan ”psikologi” itu. Saya memilih pendidikan tinggi itu karena di sana, saya dengar, diajarkan tiga hal: psikologi, filsafat dan sosiologi. Di fakultas lain tidak.

Dan itu semua gara-gara saya membaca, dengan agak terlampau tekun, sebuah buku tipis yang bernama Tifa Penyair dan Daerahnya, ditulis oleh H.B. Jassin lebih dari 30 tahun yang lalu. Koleksi tulisan itu, yang judulnya memang agak aneh, berisi pengantar hal-hal yang perlu diketahui jika anda ingin memasuki lapangan kesusasteraan. Salah satu ajaran H.B. Jassin di situ, kurang lebih, ialah: seorang sastrawan harus menguasai psikologi, filsafat dan sosiologi. Dan saya punya satu cita-cita rahasia: kepengin jadi sastrawan.

Mungkin masih merupakan perdebatan, benarkah seorang sastrawan harus sesiap itu untuk memulai kariernya. Tapi coba kita ikuti tulisan-tulisan H.B. Jassin. Dan kita saksikan bagaimana ia menjalani riwayat hidupnya. Pekan lalu, orang merayakan usia Jassin yang ke-70, dari banyak penjuru. Dikelilingi teman dan pengagum dan lawan-lawan pikirannya, berada di pusat dokumentasinya yang terkenal di Taman Ismail Marzuki itu, kita mendengar ia bicara, di kita pun jadi tahu: kesustraan adalah urusan yang serius, sangat serius.

Sejak hampir 50 tahun yang lalu sosok ini, yang pemalu dan sopan tapi sebenarnya penuh api, menulis tinjauan tentang karya-karya sastra, memperkenalkannya ke khalayak ramai, memberi tempat bagi novelis dan penyair baru, mengajar, menghimpun tiap carik tulisan atau dokumen yang dianggap penting tentang sastra dan sastrawan, mendengarkan pujian dan makian – bahkan ancaman – terhadap dirinya, semuanya untuk kesusastraan Indonesia modern. Penyair Taufik Ismail dengan tepat menyebut bahwa dalam usia ke 70 tahun itu, hidup H.B. Jassin bukan hidup yang panjang, tapi padat. Buat apa? Karena apa? Jawabnya: kesusastraan. Satu urusan yang serius.

Di dalam keseriusan itulah, seorang sastrawan menjadi sastrawan, bukan sekadar bekerja sebagai sastrawan. Awal Juni 1943, penyair Chairil Anwar berpidato di Angkatan Baru Pusat Kebudayaan di Jakarta. Ia menyebut seni cipta adalah ”soal hidup mati”. Berlebih-lebihan mungkin, tapi Chairil (sangat dikagumi Jassin) agak telah memulai suatu semangat, yang menegaskan bahwa kesusastraan – biarpun sepotong sajak – bukanlah sekadar ”wahyu” atau ”ilham”, dorongan mencipta yang datang tiba-tiba. Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis, menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita, adalah proses yang meminta pengerahan batin.

Dalam pengetahuan batin itu seorang seakan-akan menghadapi dirinya sendiri, seakan bercermin. Seorang penyair mungkin tak akan tahu apakah yang nanti ditulisnya jelek, tapi ia akan tahu apakah yang ditulisnya palsu. Ia tak bisa berbohong. Ia harus otentik.

Mungkin itu sebabnya Jassin menganggap bahwa kesusastraan adalah sebuah dunia, yang harus dipelihara dalam kemurniannya. Terkadang orang memang mencemooh, bahwa di luar bidang itu, ia tak tahu apa-apa. Mungkin. Tapi konsentrasinya di dalam urusan ini – yang serius ini – sebenarnya memberi isyarat bahwa di tengah kancah yang riuh rendah oleh banyak hal ini, harus ada sebuah tempat yang teduh, terjaga, leluasa. Kesusastraan adalah salah satu tempat itu.

Maka, ia pun menolak usaha memperpolitikkan penilaian sastra, seperti dilakukannya di tengah desakan PKI di tahun 1960-an, sehingga ia harus berhenti dari jabatan mengajar di Universitas Indonesia. Ia akan mengatakan – dengan tanpa banyak lika-liku – bahwa novel Mochtar Lubis tak bisa dinilai sebagai usaha subversif, begitu pula novel Pramoedya Ananta Toer. Ia akan mempertahankan bahwa keindahan, imajinasi, dan hasil pengarahan rohani seorang manusia (dan itu adalah sastra) tak akan bisa diberi cap secara gampangan. Itulah sebabnya, dengan penuh keberanian, ia menghadap meja hakim, dan dihukum, ketika sebuah cerita pendek di tahun 1969 dianggap ”menghina Tuhan”.

”H.B. Jassin. Di mana berakhirnya mata seorang penyair?” – kata sebaris sajak penyair Toto Sudarto Bachtiar di tahun 1955. Saya tak bagaimana jawaban Jassin. Saya duga ia akan senyum, membaca sebuah sajak atau cerita, memberi catatan, dan berjalan terus. Terus.

Goenawan Mohammad # 8 Agustus 1987

Kamis, 12 April 2012

babilon

Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Ada sebuah nujum kuno, terekam dalam sebuah tulisan berbentuk baji. Para arkeolog menemukannya di sebidang sabak tanah liat, konon berasal dari Babilon. Isinya meramal dengan nada yang amat muram, ”Hari kiamat tengah mendekat.”

Kita tak tahu kapan hari akhir itu akan terjadi, tapi tanda-tandanya sudah tampak waktu itu juga, ”Anak-anak tak lagi mematuhi orang tua mereka, dan tiap-tiap orang ingin menulis buku . . .”

Mengapa begitu muram tampaknya prospek kehidupan bila anak-anak memberontak dan bila tiap orang ingin menyatakan pikirannya ke dalam tulisan? Kita tak tahu. Kita Cuma bisa menduga: si pembuat nubuat kuno itu mungkin seorang pendeta agung yang bertugas menjaga ketertiban iman dan kehidupan. Dalam posisi itu, ia menduga dewa akan murka bila manusia resah. Pada saat manusia ingin mengembangkan ide sendiri-sendiri, pada saat jiwanya bangkit, dunia pun akan ambruk, dan seluruh tata akan tergulung.

Kini kita tahu bahwa nujum Babilon itu tak terbukti. Kiamat tak terjadi meskipun anak-anak mengembangkan pikiran-pikiran yang tak dapat restu orang-tur mereka. Kehidupan tak berakhir dalam ledakan besar meskipun orang-orang ramai menulis buku. Ketidakpatuhan memang menjengkelkan. Tapi seandainya hanya kepatuhan yang berjalan di dalam sejarah manusia, kita tahu: tak akan ada negeri yang merdeka dan tak akan ada pemikiran baru yang menghasilkan hal-hal besar.

Namun, itulah mungkin yang tak bisa dimengerti oleh sang pendeta agung penjaga ketertiban dari Babilon. Baginya kebenaran telah diperoleh dan direkamnya di tangannya yang padu. Baginya garis sudah diletakkan dan itu jangan diungkit-ungkit.
Tapi ”manusia berpikir, Tuhan ketawa”, kata sebuah pepatah Yahudi. Novelis Milan Kundera, dalam sebuah pidato yang dibacakannya di musim semi di tahun 1985, yakin bahwa pepatah itu mengandung makna yang penting, karena baginya novel – buah kreativitas manusia – adalah sesuatu yang ditulis sebagai ”gema dari suara tawa Tuhan”.

Sebab, Tuhan yang Mahabijaksana tahu bahwa, betapapun pesat dan hebatnya manusia berpikir, pada akhirnya kebenaran yang ditangkapnya akan selalu luput. Pretensi besar untuk menganggap bahwa sang kebenaran telah ada di tangan, bahwa dari sini semua keputusan tak boleh diganggu gugat dan ditandingi, di dalam pandangan Tuhan mungkin sama dengan pretensi katak yang hendak jadi lembu. Ada yang menyedihkan dan sekaligus menggelikan di situ.
Tapi ada orang-orang kreatif (bagi Milan Kundera khususnya para penulis novel) yang bisa melihat situasi yang menyebabkan Tuhan ketawa seperti itu. Sebaliknya, ada para agelastes, mereka yang tak bisa geli, yang tak bisa ketawa.

Bagi Kundera, tak mungkin perdamaian terjadi antara kedua sisi itu: para pencipta dan para agelastes berada di front dan keduanya mencoba saling mengalahkan.
Sebab, para agelastes adalah mereka yang mengira – seperti sang penujum muram dari Babilon – bahwa dunia akan hancur bila orang menulis buku. ”Karena tak pernah mendengar suara tawa Tuhan,” kata Kundera, ”para agelastes yakin bahwa kebenaran itu jelas, bahwa semua orang niscaya berpikir sama, dan bahwa diri mereka sendiri adalah persis seperti yang mereka pikirkan.” Seorang novelie sebaliknya menciptakan ”sebuah wilayah dimana tak seorang pun memiliki kebenaran . . . tapi dimana setiap orang punya hak untuk dimengerti”.

Jika begitu besar perbedaan antara mereka yang pernah mendengar ”suara tawa Tuhan” dan yang tak pernah bisa ketawa, kata Kundera dengan nada sedih, dunia toleransi adalah dunia yang rapuh dan mudah lenyap. ”Di kaki langit sana berdiri bala tentara agelastes mengawasi setiap tindak kita,” kata Kundera, dan ia pun bercerita tentang sebuah perang yang tak dimaklumkan dan berlangsung tak habis-habisnya.

Kundera pastilah tahu apa yang dikatakanya: ia mengungkapkan itu semua dari dari lubuk pengalamannya sendiri. Ia terpaksa meninggalkan tanah airnya ketika pemerintahnya mengharuskan para penulis, atas nama sosialisme, patuh kepada petunjuk dari atas. Ia kini tinggal di Paris.

Yang menarik ialah bahwa tak seluruh nasibnya bisa dikatakan sebagai tragedi. Di dalam pembuangannya, Kundera mendapatkan mimbar yang lebih leluasa, tempat yang lebih tinggi. Dan mungkin itu adalah contoh bahwa apa pun yang dilakukan oleh para agelastes kepada seorang pengarang yang tak bisa patuh, tampaknya yang akan terdengar akhirnya adalah suara tertawa dari atas: kita seperti diingatkan akan kearifan Tuhan ketika ia melihat kekuasaan hambanya.

Kekuasaan itu – seperti hal pikiran manusia – terkadang tidak menyadari keterbatasannya untuk mengalahkan segala hal. Kekuasaan itu juga ibarat katak hendak jadi lembu: mau mengatur segalanya, menaklukan segalanya – juga menaklukkan keyakinan – tapi apa yang terjadi selalu? Para dewa yang murka dari nujum Babilon itu juga akhirnya tercatat di tanah liat.
Goenawan Mohammad # 18 Juni 1988

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons