Saya sangat terkesan sekali ketika mendengar sebuah ungkapan…”Jadilah seperti Ikan di laut, walaupun air disekelilingnya asin tapi daging Ikan itu tidak ikut menjadi asin (kecuali ikan laut yang sudah dijemur dan diberi garam, yang kemudian kita kenal dengan nama “Ikan Asin” – salah satu menu favorite saya karena bisa menjadi sumber yodium). Kalau kita renungkan sejenak dengan mengkondisikan hati kita untuk menangkap sebuah makna dari ungkapan ini, kita akan menyelami sebuah lautan pesan yang di dalamnya terkandung sebuah hikmah : (bahasa gampangnya) ketika kondisi di lingkungan kita “tidak kondusif” maka kita harus berusaha untuk “tetap kondusif” minimal stabil – itu yang terbaik.
Tapi disisi lain “alam sekitar” konon bisa lebih kejam daripada ibu tiri (tapi tak sedikit juga ibu tiri yang hadir bagai “bidadari” terindah yang membawa lembar-lembar kasih sayang). Alam bisa saja membuat kita hancur lebur ketika kita memang tak sanggup untuk kokoh berdiri. Pertanyaannya : ketika panggilan “alam sekitar” telah bersahut-sahutan, menanti “kehadiran” kita untuk memenuhi undangannya, apa yang kemudian akan kita pilih – menjadi “seperti ikan di laut atau hancur lebur”……?
Memang pilihan itu bukan seperti pilihan dalam soal ujian, - yang ketika soal yang kita jawab keliru, maka nilai jelek adalah hasilnya dan mengulang adalah konsekuensinya – tidak juga seperti pilihan dalam Quiz untuk menjadi seorang Milyarder – yang ketika pilihannya keliru bisa jadi hasil yang telah didapat hilang semua. Tidak. Tidak sesederhana itu, ini memiliki konsekuensi yang sangat urgen, bukan hanya konsekuensi pribadi, tapi konsekuensi yang akan melibatkan puluhan “hati” manusia beserta prasangkanya (yang ketika prasangka itu buruk adalah ladang dosa) dan juga nasib “tunas-tunas” baru yang nanti akan tumbuh.
Sebuah pilihan yang tidak bisa diputuskan hanya dengan menghitung kancing. Tapi sebuah keputusan yang harus dipertimbangkan dengan akal sehat dan hati yang jernih plus emosi yang stabil (karena kalo emosi lagi “kena gempa” kabut-kabut hitam akan menyelimuti cahaya terang dari sebuah keputusan yang benar). Juga bukan sebuah pilihan yang harus diambil hanya dengan modal nekad, asal-asalan, mati konyol dan sejenisnya, tapi pilihan itu adalah awal dari sebuah “perjalanan”, perjalanan yang penuh rintangan Dalam “perjalanan” itu yang sangat dibutuhkan adalah bekal yang cukup dan energi yang memadai. Bekal yang nantinya akan membantu kita untuk tetap kuat bertahan. Juga dibutuhkan seseorang untuk menjadi teman (kalo ada). Tentu bukan teman “palsu” yang hanya bisa tertawa ketika datang bahagia, tapi tidak bisa menangis ketika duka melanda (bukan pula air mata buaya, kalo buaya lagi sedih). Tapi Teman Sejati yang mampu mendengar bait-bait syair lagu hati kita dan dia mampu menyanyikannya kembali ketika kita sedang lupa. Teman sejati yang mampu menjelaskan kemana arah garis yang lurus dan dia sendiri tidak mengabaikan garis itu.
Juga satu hal yang tak kalah pentingnya dalam “perjalanan” itu adalah bagaimana saluran komunikasi yang tak pernah putus. Ibarat sebuah pesawat laur angkasa, ketika hilang kontak dengan pangkalan tempat dia lepas landas, maka saat itulah waktu yang tepat untuk “nyasar’ kemana-mana (dan salah satu “nyasar” yang paling menyiksa adalah ketika tak mampu menyadari dimana posisi diri yang sebenarnya bahkan kesulitan untuk membaca ”arah angin” sekalipun – kata kakek saya ini namanya Linglung). Tanpa semua itu,….”perjalanan” tersebut hanya akan menjadi perjalanan yang melelahkan tanpa pernah menemui ujung yang dicita-citakan
Untuk yang terakhir kalinya, pertanyaan di awal tadi mungkin perlu ditulis ulang: ketika panggilan “alam sekitar” telah bersahut-sahutan, menanti “kehadiran” kita untuk memenuhi undangannya, apa yang kemudian akan kita pilih – menjadi “seperti ikan di laut atau hancur lebur”……? Padahal, sadar atau tidak sadar, “rahim ibunda” tempat kita dibesarkan telah memberi warna dalam pigmen kulit kita. Dan orang lain tak akan melihat daging atau tulang kita, tapi mereka akan melihat lapisan terluar dari kulit kita yang mampu di tangkap oleh indera penglihatan mereka. Maka ketika kulit itu telah berubah warna atau terkoyak-tergores luka, maka “ibunda”lah yang akan turut merasakan rintihan kesakitan, bahkan rasa malu sekalipun.
Sayangnya pertanyaan itu tidak layak dijawab dengan kata-kata dari mulut (karena kadang mulut terlalu banyak melahap makanan sehingga suaranya kadang terdengar sumbang) tidak pula dijawab dengan tulisan seperti tulisan ini (karena kadang kata-kata dalam tulisan hanya dibangun dari rangkaian huruf yang kadang-kadang memanipulasi ide-ide busuk menjadi sebuah karya yang indah). Pertanyaan ini juga tak layak dijawab kalo hanya sekedar ingin diperdengarkan kepada orang lain.
Pertanyaan ini harus dijawab dengan jawaban yang kita bisa mendengarnya ketika orang lain tidak mampu mendengarnya, kita mampu melihatnya ketika orang lain tak tahu keberadaannya, dan jawaban yang mampu berhembus ke dalam sumsum tulang belakang kita hingga kita mampu berdiri tegar menapaki liku-liku jalan setapak di “alam sekitar” untuk menuju ke sebuah titik yang telah kita tetapkan dan telah kita ulang ikrarkan dalam 5 kali sehari minimal.
Haruskan saya, kamu, engkau, anda, kami, bahkan kita, mencari jawaban itu sendirian?
(mengiringi sebuah malam yang semakin larut, ketika tetes-tetes karunia sedang dikucurkan dari langit…dihadapan sebuah “alat canggih dengan teknologi pas-pasan” Sabtu, 09.00 PM 25/06/’05 bukan sekedar menghabiskan detakan detik waktu yang terus berlalu) . [MED]
*Sang Penulis adalah sahabat baik saya.
0 comments:
Posting Komentar