Rabu, 19 Agustus 2009

Belajar Ilmu Politik Bag 2

Kajian ilmu politik dapat menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, bersifat deskriptif analitik, menekankan proses, bersifat induktif dan menurut W. R. Torbert (1981: 141-151) sering disebut sebagai collaborative inquiry. Sedangkan pendekatan kuantitatif berusaha untuk tidak terpengaruh koleksi data. Instrumennya yang bervariasi, seperti psychometic yang dibentuk mapan melalui tes (menguji dan menstandarisasi daftar observasi, baik wawancara terbuka maupun tertutup) menggunakan metode statistik untuk meneliti data dan menyimpulkan sebagai hasil penelitian. Dengan kata lain, pendekatan kuantitatif mencoba ke hal-hal objektif, artinya yang mereka ingin mengembangkan suatu pemahaman yang “apa adanya”, tidak terikat pada penyimpangan pribadi, nilai-nilai dan pikiran-pikiran tentang keistimewaan sesuatu yang diteliti, serta bersifat deduktif (Borg dan Gall, 1989: 23-24)

Secara umum, tugas ilmuwan politik adalah
bagaimana memberikan penjelasan retrodiktif kepada masyarakat, daripada hanya memberikan analisis-analisis kritis dan deskripsi-deskripsi yang panjang lebar.

Secara garis besar, politik cenderung terbagi menjadi dua kubu :

  1. Hight Politics (Politik tinggi), adalah ilmu politik yang mempelajati tingkah laku politik para elite yang membuat keputusan, mereka percaya bahwa kepribadian dan mekanisasi para elite adalah kunci pembuat sejarah. Mereka pun percaya bahwa perluasan kekuasaan dan kepentingan diri dapat menjelaskan perilaku sebagian besar kaum elite.

  2. Low Politics (Politik bawah), bagi para ilmuwan yang menganutnya, mereka percaya bahwa perilaku politik massa memberikan kunci untuk menjelaskan episode-episode politik utama, seperti halnya beberapa revolusi yang terjadi. Selain itu, bagi mereka kharisma, plot, maupun blunder para pemimpin kurang begitu penting dibanding dengan perubahan nilai-nilai kepentingan dan tindakan kolektivitas (O’Leary, 2000;790)

Teori Kenegaraan

Politik selalu dikaitkan dengan negara. Diakui atau tidak membahas mengenai persoalan kenegaraan menjadi sesuatu yang berdaya magnet tinggi. Tidak hanya bagi para pemikir dan pengamat politik namun juga rakyat biasa.

Teori kenegaraan dianggap sebagai teori yang paling komprehensif dalam memberikan perhatian bagi teori kontemporer, pemikiran politik, administrasi publik, kebijakan publik, sosiologi politik dan hubungan internasional (O’Leary, 2000;794). Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan ilmu politik kontemporer memfokuskan pada organisasi negara dalam sistem demokrasi barat. Berkaitan dengan demokrasi barat ini, ada dua masalah yang mesti dipecahkan. Pertama, hingga tingkat mana negara demokrasi dikontrol oleh rakyatnya ? Ini masalah klasik dalam demokrasi tetapi sering terlupakan. Alih-alih dibahas lebih mendalam, sebagian orang menurunkan level penekanan pertanyaan dengan mengajukan pertanyaan baru “Sejauh mana negara demokrasi dikontrol oleh orang yang paling kuat dalam masyarakat ?”. Sayangnya, orang yang paling kuat dalam masyarakat kadangkala memiliki kepentingan yang amat berbeda dengan kepentingan masyarakat umum kebanyakan.

Berbicara mengenai negara, tidak mungkin melepaskan diri dari bagaimana asal mula sebuah negara muncul. Dan kemunculan sebuah negara tidak pernah tidak dilatar belakangi lahirnya sebuah peradaban manusia, yang kuat dan konsisten membangun pemikiran dan (tentu saja) peradabannya sendiri. Oleh karena itu,pembahasan mengenai manusia dan peradaban tak terelakan.

Peradaban dan Manusia

Huntington (1996) dalam masterpiece-nya, mengatakan bahwa :

Sejarah manusia adalah sejarah peradaban itu sendiri. Tidak mungkin berbicara tentang sejarah perkembangan manusia – yang membentang di seluruh peradaban, dari Sumeria Kuno dan Mesir hingga peradaban Klasik, dari Meso-Amerika hingga peradaban Kristen, . . . Islam dan . . .peradaban Cina dan Hindu

Arnold Toynbee mengatakan :

suatu peradaban tak ubahnya seperti makhluk organis : lahir, berkembang, matang dan pada akhirnya mengalami pembusukan. Maka, dalam sejarah umat manusia banyak ‘tengkorak-tengkorak peradaban’ yang terkubur dalam sejarah selama ribuan tahun. Meskipun telah menjadi tengkorak peradaban tersebutakan mampu melahirkan kembali peradaban baru”

Para ahli sejarah, sosiolog dan antropolog dunia telah mengajukan gagasan masing-masing mengenai definisi, asal-mula, kemunculan-kejatuhan serta keterkaitan satu peradaban dengan peradaban lain. Mereka itu antara lain Max Weber, Emille Durkheim, Oswald Spengler, Pitirim Sorokin, Arnold Toynbee, Alfred Weber, A.L. Kroeber, Philip Bagby, Carrol Quiqley, Rushton Coulborn, Christopher Dawson, S.N. Eisenstadt, Fernand Braudel, William H. McNeil, Adda Bozeman, Immanuel Wallerstein, Felipe Fernandes-Armesto dan banyak lagi. Tentu perlu waktu untuk menguraikan pendapat mereka satu per satu, namun ada poin-poin penting yang menyatukan pendapat para ahli.

Pertama, peradaban dipandang sebagai antonim dari barbarisme, nomaden, bodoh, primitif tak terpelajar dan lain-lain. Kualitas-kualitas ‘buruk’ tadi tidak ditemukan pada masyarakat yang berperadaban sehingga muncullah pendapat bahwa berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk.

Pendapat ini dikembangkan para pemikir Perancis di abad XVIII. Namun, pemikiran seperti ini pun sebenarnya pernah ada di khasana ilmu pengetahuan Islam. Hadharahi, sebagai padanan kata peradaban ternyata memiliki makna (secara bahasa) tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab (seperti kota), sedangkan al-hadhir adalah orang-orang yang tinggal di kota-kota dan desa-desa.

Kedua, peradaban adalah sebuah entitas kultural. Peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia dan suatu peradaban adalah bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Artinya, peradaban dan budaya bisa dianggap sebagai sinonim.

Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komprehensif. Dengan kata lain peradaban selalu bersifat totalitas. Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya. Perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, nasionalitas-nasionalitas, perlbagai kelompok keagamaan, seluruhnya memiliki perbedaan kultur. Melkoii menyatakan,

(peradaban – pen) memiliki suatu derajat integrasi tertentu. Setiap bangunannya terumuskan melalui saling keterkaitan antara masing-masing bagian dengan keseluruhannya. Jika sebuah peradaban terdiri dari pelbagai negara, maka masing-masing negara tersebut akan memiliki hubungan “yang lebih” dibanding dengan negara-negara yang berbeda peradaban, yang mungkin justru akan lebih sering terlibat dalam pertikaian, dan hubungan antara masing-masing sebatas hubungan diplomatis. Mereka (negara-negara berbeda peradaban – pen) akan lebih sering tergantung dalam bidang ekonomi, dan kesamaan hanya dalam kaitan dengan hal-hal yang bersifat estetis dan filosofis.”


Keempat, peradaban bisa runtuh dalam waktu (relatif) singkat, namun ia berkembang, beradaptasi dan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Realitas yang tidak mudah mati begitu saja. Peradaban bisa tidur dan tak pernah terdengar lagi dalam catatan sejarah, namun ia tidak tidur.

Kelima, peradaban bersifat lintas negara (cross nation) dan lintas batas-wilayah (cross border). Ini terjadi karena peradaban adalah entitas kultural, bukan entitas politis atau pun entitas pemerintahan.

Peradaban-peradaban Besar

Ada banyak pendapat mengenai berapa jumlah peradaban-peradaban besar di dunia. Huntington (1996) menyatakan ada 8 (delapan) peradaban mayor kontemporer di dunia ;

  1. Peradaban Tionghoa/Cina

  2. Peradaban Hindu

  3. Peradaban Islam

  4. Peradaban Ortodoks

  5. Peradaban Barat

  6. Peradaban Amerika Latin

  7. (mungkin) Peradaban Afrika.iii



i Hizbut Tahrir Indonesia, “Keniscayaan Benturan Peradaban”, Pustaka Thariqul Izzah, hal 5

ii Richard Parker, “The Myth of Global News” , New Perspective Quarterly, 41-44 dalam Samuel P Huntington, “Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”

iii Huntington ragu karena sebagian besar sarjana peradaban tidak mengakuinya kecuali Brauder

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons