Peristiwa tanggal 13 Juli kemarin amat mengagetkan semua orang. Bom meledak pagi-pagi. Saat semua orang asik dengan aktivitasnya. Ada yang sarapan, ada yang olahraga, ada yang jogging ada yang sedang sibuk siap-siap ke kantor atau ada pula yang sedang buru-buru pergi ke kantor. Dan begitu meledak, semua aktivitas tersebut berhenti. Semua orang kaget. Sebagian besar orang geram dan kesal. Maksud saya, amat sangat geram dan kesal.
Polri adalah pihak yang jenggotnya paling banyak terbakar. Mereka pihak yang paling gusar. Bertambah gusar lagi setelah pengepungan belasan jam di Temanggung yang diharapkan menangkap Noordin ternyata meleset. Tayangan live berjam-jam – konon salah satu TV swasta dapat spot pengamatan istimewa karena ada deal bisnis dengan yang berwenang – ternyata “hanya” menayangkan penangkapan kaki tangan Noordin.
Setelah peristiwa tersebut, media terbiasa menyebut istilah “jihad”, “dakwah”, “pengajian” dan sejenisnya. Disinyalir para teroris, beroperasi di sekitar aktivitas-aktivitas –dalam tanda kutip- tadi. Bagi saya itu bagus. Masyarakat umum, terutama muslim, sudah terlalu lama berjauhan dengan istilah-istilah itu. Dan saat ini masyarakat mulai mencoba mengenalnya kembali, term-term yang dahulu telah amat dekat dengan kehidupan mereka.
Mengawasi Dakwah Ulama
Setelah term-term Islam dibahas dengan intens di media, sepertinya semua orang sudah seopini dan sepemahaman. Masyarakat, media dan polisi sudah paham bagaimana seharusnya para dai berdakwah. Masyarakat, media dan polisi juga sudah tahu bagaimana seharusnya term “jihad” dijelaskan oleh para dai. Tak heran muncullah keinginan untuk mengawasi dan membatasi cara dai berdakwah. Atau dengan bahasa Wakadivhumas Polri (SCTV, “Barometer” 260809), “perlu ada sosialisasi” mengenai dakwah yang damai dan penjelasan makna jihad secar benar.
Bila Polisi benar-benar mengawasi para dai – seperti di Spanyol dan Amerika – di bulan Ramadhan, Polisi benar-benar over acting, kata Umar Abduh (pengamat terorisme). Ketua Umum – dalam acara tersebut - pun tak setuju dengan pengawasan yang akan dilakukan Polisi tersebut.
Bagi saya, pengawasan oleh polisi ataupun sosialisasi oleh Depag – seperti diungkap Wakadivhumas – intinya sama. Poin pentingnya bukan salah para dai yang selama ini telah berdakwah secara salah. Bukan juga salah dai yang selama ini telah menerangkan makna jihad secara tidak benar – walaupun menurut pengalaman saya amat jarang para dai menyinggung masalah jihad secara sekilas atau mendalam. Polisi telah benar mencari para penjahat dan mereka yang merusak ketentraman masyarakat. Para dai telah benar menyampaikan nasihat-nasihat agama. Hanya setiap kita yang tak pernah mau belajar agama dengan benar. Term-term jihad telah lama kita lupakan dan tak terpahami, karena kita tidur saat Jumatan. Selama ini kita betul-betul merasa butuh pengetahuan agama hanya ketika akan zakat, nikah atau cerai. Jadi, masihkah kita menyalahkan para remaja-remaja yang memahami jihad secara salah ?
Cara Menangkap Noordin
Saya jadi ingat beberapa serial kriminal barat di TV. Para detektif secara ajaib bisa menemukan persembunyian penjahat setelah berdiskusi lima atau tujuh menit. Apa yang mereka diskusikan ? Mereka mendiskusikan apa yang dipikirkan penjahat pada kondisi saat itu. Intinya, para dektektif berusaha berpikir dan ber-keaadaan-psikologi seperti penjahat. Mungkin itu yang harus dilakukan Polisi.
Sayang, Noordin pun pasti berpikiran seperti itu. Lima tahun dalam pelarian dan hampir tertangkap beberapa kali pasti memberinya banyak “ilmu”. Dia mestinya telah paham akan apa yang akan dilakukan Polri. Sehingga Noordin tinggal berpikir secara berkebalikan dengan apa yang dipikir, direncanakan, dilakukan oleh Polisi agar bisa terus berlari. Gampang Toh ?
Tinggal Polisi dan BIN yang harus berpikir mbulet-mbulet. Apa yang akan dilakukan dan dipikirkan Noordin bila dia telah tahu rencana dan cara berpikir Polisi sementara dia sendiri belum tahu Polisi sudah tahu bagaimana cara berpikir Noordin? Bingung ga. Begitulah pusingnya Polri dan BIN (btw, kalau Polri dan BIN masih bingung memecahkan pertanyaan seperti diatas berarti mereka kalah dari FBI yang telah memecahkan kondisi tersebut pada tahun 1950-an. hebatnya lagi formula pemecahannya secara matematis. Di posting berikutnya akan saya bahas).
Tenang saja pak polisi, “sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh kalau ditembak”.
*****
Kutunggu kau kutunggu, kunanti kau kunanti
Walau sampai akhir hayat ini
(footer:lagu “kunanti oleh punkrockjalanan, lagu amat populer namun lahir dan besar di jalanan)
(mungkin begitu nyanyian Polri saat ini)
Jumat, 28 Agustus 2009
Teori Teroris
03.34
adi rahman
0 comments:
Posting Komentar