Catatan Pinggir Goenawan Muhammad
Saya ingat satu episode dalam hari-hari terakhir Amangkurat I, ketika raja Mataram itu lari dari ibu kotanya yang jatuh di pertengahan abad abad ke-17. dalam pengungsian ke arah barat itu, di sebuah desa raja jatuh sakit. Baginda pun dibaringkan di sebuah rumah.
Dan di dekat ranjang yang gering itu, Pangeran Adipati dan seorang bangsawan pengiring duduk bersimpuh menunggui. Sakit baginda menjadi. Pada suatu ketika, ia menginginkan kelapa muda. Dengan segera Adipati menyuruh seseorang untuk memperolehnya. Setelah didapat, dawegan itu pun dipersembahkan ke hadapan Amangkurat yang nyaris tak berdaya dan, terbujur itu, untuk diminum.
Amangkurat telah melihat kelapa itu telah dilubangi, dan ia pun mereguk airnya. Tapi ucapannya setelah itu – yang ditujukan kepada Pangeran Adipati, - putra mahkotanya – sangat mengejutkan. ”Terima kasih, Anakku,” demikian ujar Raja, ”atas pemberian ini. Aku tahu apa maksudmu: engaku menyuruhku agar segera mati.”
Ada yang menafsirkan, kata-kata itu menunjukkan rasa curiga Amangkurat I kepada Pangeran Adipati: ia menduga calon penggantinya itu telah memasukkan racun ke dalam air kelapa muda yang diminumnya.
Bukan mustahil sekarang, dalam keadaan terguncang itu – dalam keadaan kalah, terusir, getir, setengah putus asa dan amarah – Amangkurat mengidap paranoia. Kita tahu, penyakit gampang curiga ini sering menghinggapi orang macam dia, tokoh yang berkuasa dan menggemari kekuasaannya, yang juga amat kejam. Raja seperti Amangkurat I agaknya hanya tahu : hubungan kekuasaan ialah antara yang bisa mem-bunuh dan yang bisa di-bunuh.
Juga hubungannya dalam keluarga. Jauh sebelum tahta roboh, konflik pernah terjadi antara sang raja dan putra mahkota. Si anak suatu kali jatuh cinta kepada seorang gadis, yang sebenarnya sedang disimpan untuk dinikmati si bapak. Gadis itu dengan nekat dicuri. Tentu saja Baginda murka.
Hukuman, yang kemudian dijatuhkan, khas Amangkurat I : putra magkota harus membunuh perempuan yang tak bersalah itu dengan tangannya sendiri; kakek dan nenek sang pangeran – yang juga paman Amangkurat – dihabisi bersama 40 anggota keluarganya, karena terlibat; dan pangeran Adipati dibuang, tempat kediamannya dibakar. Baru setelah sekian waktu pangeran itu diampuni.
Tapi marilah kita kembali pada adegan itu. Amangkurat tahu ia akan segera habis. Tapi dengan melontarkan tuduhan bahwa putra mahkota tak setia, bapak itu sesungguhnya hendak menyatakan rasa pedihnya: si anak, yang kini lebih punya daya ketimbang si bapak, adalah juga sesuatu yang terlepas dari kekuasaan orang tuanya. Ada rasa kalah di dalam sikap itu.
Itulah sebabnya anak suatu sumber kecemasan. Dan si anak sebaliknya. Merasa tertekan oleh ketakutan yang bukan miliknya itu, ia pun mencoba lepas. Bentrok pun terjadi. Dan itulah persengketaan antargenerasi.
Pada suatu hari, sang ayah, yang jauh lebih mulya hatinya ketimbang Amangkurat I, pernah menulis kepada seorang anaknya, ”Engkau bukan tawananku, tetapi kawanku.” Ayah itu tahu: dengan segala kelemah-lembutanya, Gandhi bukanlah seorang ayah yang toleran kepada keinginan wajar anak-anaknya.
Bila Amangkurat I melihat anaknya sebagai seorang yang punya potensi meracuni seseorang untuk kekuasaan, seperti dirinya sendiri, Gandhi pun melihat anak-anaknya sebagai ia melihat dirinya: orang yang tanpa nafsu dan suci hati. Tak heran kita bila Kasturba, nyonya Gandhi yang luar biasa itu, memprotes cara suaminya mendidik anak dengan satu teriakan : ”Kau ingin agar anak-anakku menjadi orang suci sebelum mereka jadi orang!”
Gandhi memang begitu mencemaskan akhlak anak-anaknya, hingga suatu hari ia memimpikan anak bungsunya, Devandas, mencuri uang. ”Aku bermimpi tadi malam bahwa kau mengingkari kepercayaanku kepadamu,” tulisnya kepada anak itu. Gandhi juga pernah menyatakan Harilal, yang sulung, tak diakuinya sebagai anak, karena Harilal ingin kawin pada umur 18 – meskipun Gandhi sendiri menikah pada usia lebih muda. Dan ketika Manilal, anaknya yang kedua, ketahuan mengambil uang milik ashram untuk dipinjamkan kepada kakaknya yang sedang mencoba bisnis, Gandhi memvonis anak ini dengan hukuman yang panjang : antara lain, Manilal diusir dari ashram dan tak boleh memakai nama Gandhi.
”O, Anak”, kata sebuah judul buku Imam Ghazali yang seakan terdengar seperti, ”O, Kecemasanku!”. Mungkin dunia akan lebih baik jika seorang raja dan seorang suci tak melahirkan keturunan. Raja punya kekuasaan yang teramat besar, orang suci punya kesucian yang teramat tinggi. Kecemasan mereka, cinta mereka, konflik mereka, dan investasi mereka dalam urusan anak-anak mereka, bisa membuat banyak tindakan di luar proporsi.
7 Juni 1986