Jumat, 04 November 2011

El Supremo

Di pintu katedreal itu, pada suatu pagi buta, terpaku selembar maklumat gelap. Seregu patroli grenadir menemukannya. Mereka mencabutnya dan membawanya ke markas besar. Isi maklumat itu sebuah olok-olok subversif:

Aku, Diktator Agung Republik, memerintahkan agar pada saat kematianku, mayatku dipancung; pancangkan kepalaku pada sebuah paku besar selama tiga hari di tengah Plasa de Republica, dimana rakyat harus dipanggil dengan bunyi lonceng yang sekeras-kerasnya. Semua budakku, sipil dan militer, harus digantung. Tanamkan mayat mereka di padang rumput . . .”

Dengan segera Sang Diktatur Agung menerima laporan itu dari sekretarisnya yang setia. Dan dengan itu, berangkatlah kisah ini, sebuah novel karya Augusto Roa Bastos, Yo el Supremo, satu prosa panjang tentang sebuah kedikatatoran yang hampir tanpa henti, di abad silam Paraguay.

Agaknya hanya negeri dengan pengalaman Amerika Latin yang bisa melahirkan novel seperti ini. Dikatator teramat banyak bertebar di sana. Bedil-bedil terhunus dan dendam bersiap, jalan-jalan terentang lemah dan orang tertindas di bawah matahari.

Dalam bentuk aslinya, Yo el Supremo terbit di Argentina di tahun 1974; melalui versi Inggrisnya, yang beredar 12 tahun kemudian, pengalaman Amerika Latin itu pun berbicara juga dengan dunia kita. Sebab, kita pun menemukan di dalamnya sebuah tamasya yang kita kenal: sebuah tamasya yang begitu luas, begitu menakutkan dan menakjubkan.

Yang luar biasa pada novel ini ialah bentuknya. Ia seakan-akan sebuah kumpulan dokumen, rekaman pembicaraan dan pikiran Sang Diktator. Cerita tidak bergerak oleh peristiwa-peristiwa. Cerita hanya bergerak – atau setengah bergerak – oleh rangkaian kata. Kalimat demi kalimat berbaris. Ungkapan-ungkapan berdesak. Selintas, seperti sebuah monolog yang panjang. Pada saat yang sama, kita tahu di dalamnya ada dialog. Dalam kediktatoran, dimana hanya ada satu orang yang berhak memberi makna dan definisi bagi sejumlah orang lain, adakah sebenarnya beda antara monolog dan dialog?

Tak ada. Pendapat lain yang tinggal hanya, “Benar, Paduka.” Selebihnya bungkam. “Bila orang tak biasa tak pernah berbicara kepada dirinya sendiri, maka Sang Diktator terus-menerus berbicara kepada orang lain,” demikian tertulis dalam suatu dokumen. Bahkan “kediamdiriannya pun mengandung titah.”

Di pihak lain, ada cerita yang suram tentang Tevego, koloni tempat orang-orang terhukum. Di sana tak ada suara. Bahkan tak ada bunyi angin yang bertiup. Tak ada desau. “Tak ada suara lelaki satu pun, tak juga wanita, tak ada tangis bayi, tak ada salak anjing, tak ada tanda.”

Di Tevego tang membisu itu orang-orang tak tahu apa yang terjadi dengan diri mereka. Mereka hanya ada di sana, tak mati, tak hidup, tak menantikan apa-apa, tak mengharapkan apa-apa. Ketika dalam suatu inspeksi seorang pejabat distrik memasuki kancah itu, sesuatu yang mengerikan terjadi: hanya dalam sekejap mata ia berubah tua, dan kemudian mati seperti kadal.

Jika demikian, siapa gerangan yang menuliskan maklumat gelap yang ditemukan di pintu katedral tadi pagi itu? Geledah rumah para antipatriot, titah el Supremo. Cari di bui bawah tanah. Para pembangkang yang dipenjarakan itu memang telah disumpal tiap kemungkinannya untuk membuat statemen. “Saya telah memerintahkan,” sang skretaris melapor,”agar semua liang dan landasan semut, setiap urung-urung bagi jangkrik, semua celah tempat mendesah, semua itu disumbat rapat. Tak ada kegelapan yang lebih gelap, Tuan Hamba. Mereka tak punya apa-apa buat menulis.”

Tak punya apa-apa? Sang Diktator tak percaya: “Mereka mungkin tak punya cahaya ataupun udara. Tapi mereka punya ingatan.”

Mungkin ia benar. Tapi jika begitu, ia sendiri tahu paradoks sebuah kekuasaan yang ingin mutlak. Ia ternyata tak bisa menghilangkan ingatan orang-orang yang telah ditaklukan dan dibungkamnya, ia juga tak mampu membuat koloni yang tertindas seperti Tevego jadi tempat yang aman bagi para penguasa. Maka, si penguasa besar pun akan merasakan ketidakpastian yang besar tentang daya cengkramnya sendiri – dan terbitlah rasa syak dan curiga yang tak pernah habis. Juga terhadap setiap hal yang “kebetulan”.

Sang Diktator memang mencoba mengendalikan “kebetulan” jadi bagian dari rencananya. Tapi bagaimana mungkin? Pada suatu hari sebuah meteor jatuh dari langit, dan ditemukan nun jauh di pedalaman. Sang Supremo memerintahkan agar batu angkasa luar itu jadi tahanan, dan agar diseret ke Ibu Kota. Dengan susah payah, perintah itu dapat dilaksanakan, tetapi beribu-ribu meteor, beribu-ribu kebetulan, akan tetap berhamburan di angkasa luar.

Ketika 20 September 1840 El Supremo mangkat, bukan dia yang memilih hari.

30 Januari 1988

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons