Minggu, 20 November 2011

Macbeth

Mengetahui masa depan adalah sesuatu yang dahsyat. Kita ingat Macbeth. Ia panglima perang Skotland yang baru saja memadamkan pemberontakan, dan pulang, bersama Banquo, temannya, melalui rimba. Udara buruk dan badai. Kilat bersambung, tiba-tiba 3 wanita sihir yang mengerikan muncul dari tengah kelam, dan meneriakan sebuah nujum: Macbeth akan jadi yang dipertuan di Cawdor, dan kemudian akan menjadi raja di seluruh Skotland.

Sejak itu, cerita Shakespeare ini melontarkan Macbeth sebagai tokoh yang tragis: seorang yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan – dan terjerat oleh nasib itu sekaligus.

Macbeth mula-mula memang menganggap, ramalan di hutan muram itu ”tak berada dalam kemungkinan untuk dipercayai”. Tapi segera terbukti bahwa nasib menyongsongnya seperti dinujum: Raja Duncan membalas jasanya dan mempromosikannya jadi penguasa wilayah Cawdor. Sejak itu, orang yang berani dan setia ini menjadi culas, dengan hasrat yang ”gelap dan tersimpan dalam”. Ambisi jadi demam di hatinya. Istrinya mengipas-ngipas sebuah api gila yang tersembunyi di sana. Akhirnya, wanita yang tak sabar itu pun mendorong Macbeth memenuhi ramalan sampai ke puncak: ia bunuh Duncan dengan cara licik. Dan ia jadi raja.

Tak mudah, memang, menangkis godaan untuk mendengar sebuah cerita tentang apa yang kelak akan terjadi dalam hidup kita. Tak gampang menutup kuping dari 3 wanita sihir yang, betapapun asingnya, ”dapat menilik benih waktu, dan mengatakan mana butir yang akan tumbuh dan mana yang akan layu.”

Karena itulah kita pergi ke kelenteng. Atau membaca-baca kembali Megatrends dari John Naisbitt. Atau datang ke dukun pinggir jalan yang membawa burung gelatik dan kartu. Atau mengundang para ekonom, ahli sosiolog, analis-analis politik – dan sebagainya – ke sebuah seminar tentang prospek 1986.

Mengetahui masa depan memang sesuatu yang dahsyat. Mengira-ngiranya saja telah membikin permukaan bumi berubah-ubah. Investasi-investasi besar tak akan dilakukan jika para pengusaha tak punya informasi tentang apa hasilnya sebuah usaha 10 tahun yang akan datang. Rel kereta api tak akan dipasang dan ladang-ladang petani tak akan jadi agribisnis. Di pihak lain, revolusi-revolusi, khususnya revolusi sosialis, tak akan meletus seandainya tak ada sejenis keyakinan: Marx meramal bahwa dunia akan membangun kapitalisme sampai akhirnya stelsel itu roboh, dan kaum buruh akan jadi juru selamat. Ramalan itu meleset, tapi jejaknya tak mudah hapus pada ilmu bumi dan sejarah.

Suatu kelebihan manusia memang, untuk melepaskan waktu dari siklus alam. Pembagian ”pagi”, ”siang”, ”malam” telah ditransformasikan jadi suatu konsep yang mudah dipakai untuk matematika . Dengan kemampuan itulah kita bisa menyusun asuransi hari tua, mengkalkulasikan bunga deposito buat warisan anak-anak, atau – kadang-kadang – merencanakan sebuah bom kapan bakal meledak.

Mengetahui masa depan memang sesutau yang dahsyat. Tapi benarkah kita bersungguh-sungguh menginginkan itu?

Macbeth memperoleh informasi tentang apa yang akan terjadi, tapi kita tahu apa yang kemudian menimpa dirinya. Para wanita sihir telah membentangkan peta nasib laki-laki itu: ia akan menjadi raja – dan Macbeth pun segera bergerak ke arah sana. Seperti diucapkannya dengan wajah pucat dan hati gentar sebelum ia membunuh Duncan, ia berdiri ”di atas tebing dan beting waktu”, hendak ”meloncatkan hidup ke masa datang”. Dengan kata lain, ia mengambil sikap aktivis. Ia tak Cuma menunggu nasib.

Bahkan akhirnya ia berusaha melawan nasib itu, nekat, mati-matian, dengan keras. Nujuman lain dari para wanita sihir itu hendak diubahnya. Maka, ia membunuh sahabatnya, Banquo, karena Banquo-lah – dan bukan dirinya – yang diramal akan menurunkan anak-anak yang kelak akan jadi raja.

Dalam satu hal Macbeth, tokoh dari sebuah cerita sandiwara abad ke-17, tampak seperti orang modern: ia memanfaatkan proyeksi sebagai bahan rencana untuk tindakan perbaikan nasib. Ia tidak lagi memandang nujuman sebagai suatu batas yang tak terelakan, tapi sebagai kemungkinan dan data untuk perhitungan.

Tapi Shakespeare pada akhirnya membuat Macbeth kalah. Tokoh malang ini, dalam proses, ternyata Cuma satu ambisi yang menggelepar-gelepar, meloncat ke sana kemari, tapi tetap dalam tudung takdir gelap.

Apakah artinya, kemudian, kebebasan dan kekuasaan manusia untuk menentukan nasib sendiri, ketika nasib tak pernah bisa ditentukan sendiri? Dalam posisi seperti itu, mengetahui masa depan adalah sesuatu yang dahsyat: pengetahui itu dapat membuat kita telah selesai sebelum memulai, berjalan tanpa antusiasme, mungkin hanya dengan rasa sia-sia. ”Esok dan esok dan esok lagi,” gumam Macbeth menjelang akhir kekuasaanya, ”merayap langkah leceh hari demi hari . . .”

18 Januari 1986

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons