Jumat, 25 November 2011

Kubus

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad


Ka’bah adalah sebuah kebersahajaan. Suatu ketika saya masuk ke dalamnya. Ruangan itu gelap. Tak ada hal yang menakjubkan, tak ada yang mempesonakan. Tak ada yang menyatakan bahwa di sini tersimpan rahasia alam yang gaib.

Memang ada yang menyebabkan perasaan terguncang ; dan itu terjadi ketika saya dengar suara berbisik, dari depan saya, agar saya bersembahyang dua rakaat – dan serentak pada saat itu saya menyadari, bukan hanya secara pikiran, melainkan secara fisik, bahwa Tuhan tak di sini, bahwa Tuhan tak dimana-mana, tetap jauh – tak terangkum dari tempat saya berdiri. Tuhan tak ada dalam jangkauan jarak. Tapi pada momen kita menginsafi itu, atau lebih tepat kita mengalami itu, kita pun menyerah. Seperti mungkin kata seorang penyair, kita menyerah ”di bawah bayang-bayang keakbaran-Nya”. Dan dalam detik itulah Ia sangat dekat.

Hari itu saya teringat sajak Chairil Anwar: ”Di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tak bisa berpaling.”

Ka’bah adalah sebuah tanda kebersahajaan: ia tanda kemenyerahan manusia di hadapan-Nya. Tanda itu sebuah kubus. Selimutnya hitam. Sosoknya memang besar, tapi – kecuali kaligrafi pada kiswah yang membungkusnya – ia praktis tanpa keelokan, tanpa ornamen, tanpa keinginan menjadi impresif. Ia berdiri begitu saja dihalaman dalam Masjidil Haram, tak menyentak.

Muhammad Asad, penulis Islam keturunan Yahudi Eropa, benar. Ia menulis Jalan Ke Makkah, sebuah buku yang indah tentang perjalanan hidupnya, dan mengatakan dengan bagus apa yang ingin saya katakan. ”Saya telah menyaksikan berbagai negeri kaum Muslimin, tempat tangan seniman besar menciptakan karya yang diilhami,” kata Asad. Tapi justru di ”dalam kesederhanaan kubus itu, yang menyangkal segala keindahan garis dan bentuk,”tercermin satu sikap: ”Betapapun indahnya segala apa yang dapat dibuat oleh tangan-tangan manusia, adalah congkak dibanding kebesaran Tuhan; oleh karena itu semakin sederhana yang dapat disombongkan manusia, merupakan hal terbaik yang dapat dibuatnya untuk menyatakan kebesaran Tuhan.”

Ka’bah adalah ”sebuah pulau tenang”, kata Asad, ”jauh lebih tenang dibandingkan dengan segala gaya arsitektur mana pun di dunia ini.” Ka’bah adalah sebuah pulau tenang, karena pembangun pertama tanda ini tahu: ambisi kita untuk kemegahan, kekerasan hati untuk keunggulan, hanya akan pucat pasi pada detik kita menyadari posisi kita yang sesungguhnya. Kubus itu adalah produk kesadaran itu, sebuah pernyataan kerendahan hati. Penyair Rainer Maria Rilke bernyanyi tentang Tuhan, dan agaknya ia berangkat dari tema yang kekal : Tuhan, bisiknya (dalam sebuah sajak), ”arti-Mu adalah kerendahan hati.”

Hari itu di dalam Ka’bah orang-orang bersembahyang, menghadap kemana saja, dan di luarnya orang-orang bersembahyang, menghadap ke arah yang sama: ke arah Ka’bah, tapi, sebenarnya, juga bisa kemana saja. Menyerah. ”Bayangkan dirimu sebagai sebuah partikel besi di dalam sebuah medan magnet,” seru Ali Shariati dalam kitab kecilnya yang termasyhur tentang perjalanan haji itu, ”seolah-olah engkau berada di antara berjuta-juta burung putih yang sedang melakukan mikraj.”

Sebuah partikel besi di antara jutaan partikel besi, seekor burung putih di antara jutaan burung putih: siapakah saya, siapakah kami, siapakah kita? Jelas, bukan sekadar massa. Paradoks dari arti ”massa” ialah bahwa di satu pihak pribadi menjadi tak penting, tapi di lain pihak ia lebur jadi daya yang bisa besar. Paham totaliter, seperti fasisme dan komunisme, berbicara tentang ”massa” bagaikan kata ajaib dalam sebuah mantra perjuangan. ”Massa” diberi arti khusus. Di dalam paham seperti ini, bisa kita dengar suara marah, sekaligus keyakinan, bahwa sang ”massa” selalu benar dan ditakdirkan untuk pada akhirnya menang.

Dengan kata lain, sebuah ketakaburan, kurang lebih. Maka, kita pun sebenarnya tak bisa menyamakan gerakan ribuan jamaah yang mengelilingi Ka’bah itu dengan ”massa” dalam pengertian totaliter. Sebab, ibadat itu, pada dasarnya, adalah sebuah sujud – dan arti sosial-politik apa pun yang bisa diberikan kepadanya tak mungkin bisa jauh dari arti dasar itu.

Ali Shariati menulis, ”Mekkah adalah kota yang aman dan damai”, yang ”tidak dicirikan oleh ketakutan, kebencian dan perang, tetapi oleh keamanan dan kedamaian.” Menyedihkan, bahwa banyak hal berubah setelah ia menulis seperti itu. Seandainya saja kita ingat bahwa kita semua adalah partikel besi dan burung putih yang sedang mikraj itu – menghadap ke Ka’bah, mengelilingi Ka’bah, menyatakan diri sebagai yang menyerang, mituhu, di dalam kehendak Yang Satu itu.

15 Agustus 1987

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons