Sabtu, 24 April 2010

Presiden dan Menteri Luar Negeri Tak Akur ?

Salah satu 'budaya demokrasi' yang menarik di Amerika adalah bila kita perhatikan hubungan Presiden Obama dan Menlu Hillary Clinton. Sebelum pemilihan presiden Amerika tahun 2008 kemarin, Clinton dan Obama adalah kandidat dari partai Demokrat untuk menjadi Presiden Amerika. Pertarungan waktu itu begitu keras dan memanas. Clinton dengan dukungan sang suami -mantan Presiden Amerika sebelum J.W Bush-, melawan Obama dengan basis dukungan yang mengakar-terutama warga kulit hitam.

Sekian waktu berselang, mereka akhirnya bekerjasama dalam satu "tim". Obama jadi presiden dan Clinton jadi Menlu. Newsweek.com beberapa waktu lalu menciun ketidak-harmonisan dua tokoh negeri Paman Sam ini.


Newsweek menggambarkan hubungan mereka seperti 2 orang yang berbeda karakter dalam film-film holywood. Mungkin seperti pertengkaran Mandra dan Mas Karyo dalam sinetron "Si Doel Anak Sekolahan".

"It was almost like one of those moments in a buddy-cop movie when the two partners who dislike each other"

Puncaknya adalah ketika konverensi "Pemanasan Global" di Copenhagen, Denmark. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 100 pemimpin dunia. Clinton mengungkapkan bahwa itu adalah pertemuan yang paling "kacau" (disorganized) yang ia ikuti sejak kelas 8 (eighth-grade student). Efeknya, saat itu Amerika seolah-olah melawan seluruh dunia dalam kebijakan anti-pemanasan global, lanjut Clinton kepada newsweek. Amerika memang punya kebijakan yang kadang melawan opini global, tetapi hanya pada saat itulah sikap mereka terlalu vulgar kelihatan dan tak ter-organisir.


Copenhagen also provided further evidence that the sharp differences between Obama and Clinton over foreign policy on the campaign trail were, as many on both sides now acknowledge, largely political theater. In fact, their views of American power had never been that far apart. "We're both, at bottom, problem solvers and practical, realistic people," Clinton says now. "As Mario Cuomo said, 'You campaign in poetry and you govern in prose.'?" Critics dismissed the climate targets as vague and voluntary, and the administration faces a separate onslaught from global-warming skeptics. But since the summit, 120 nations have signed on and 75 have submitted carbon-reduction plans, Stern says.

Tetapi, Clinton mulai membela, perbedaan kami sebenarnya tak terlalu lebar. Kami sama-sama berpikir realistis dan praktis. Kemudian Clinton mengutip kata-kata seorang penyair (Mario Cuomo), untuk menggambarkan hubungan mereka; "engkau berkampanye dengan puisi sementara aku berkampanye dengan prosa"

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons