“Jarang umat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandang di mana masalah-masalah itu tampil di hadapan kita itu berlainan dengan segala yang pernah kita kenal sebelumnya.”Seorang ulama Islam pernah berceramah tentang perubahan kultur umat. Beliau menggambarkan bagaimana kondisi kampung-kampung atau rumah-rumah selepas waktu maghrib dahulu dan sekarang. Dahulu selepas maghrib rumah-rumah ramai dengan anak-anak mengaji. Jalan-jalan sepi dari kegiatan. Surau-surau dipenuhi anak-anak belajar ilmu agama. Sedangkan sekarang, anak-anak lebih suka berkumpul di depan televisi. Kalaupun tidak di depan televisi mereka berkumpul di perempatan atau tempat-tempat hiburan. Mengaji dan belajar agama bukan lagi bagian dari hidup.
Di dunia politik dan ekonomi, khasanah ke-Islaman - dahulu, masih memiliki peran. Buktinya, hukum positif Indonesia harus mengakui agama sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia selain hukum (warisan) Belanda dan hukum adat. Bila pemikir-pemikir politik dan kenegaraan dewasa ini dibawa ke masa lalu dan bersama-sama merumuskan sumber hukum negara, bisa jadi Hak Asasi Manusia, Kearifan lokal dsb di dapuk menjadi sumber-sumber hukum negara. Agama tidak.
Fenomena-fenomena baru dan pemikiran-pemikiran baru meminggirkan pemikiran-pemikiran Islam yang dipakai sejak lama. Bagi sebagian orang, ini fenomena biasa. Mereka berkata, nilai-nilai baru yang lebih segar muncul dan amat pantas menggantikan nilai-nilai lama yang sudah usang. Namun, bagi Leopold Weiss - pemikir Islam kelahiran Eropa yang telah kenyang dengan nilai-nilai baru di dunia barat (dia baru memeluk Islam pada umur 40 tahunan), fenomena-fenomena ini adalah tantangan. Tantangan bagi (umat) Islam yang harus segera direspon.
“Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual, jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai serum yang menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun” .”
Islam, bagi umatnya, telah menemani mereka berinteraksi dengan Kerajaan Romawi. Hasilnya mereka survive. Islam juga menemani pemeluknya berinteraksi dengan budaya dan pemikiran Yunani yang rasional, logis dan belum pernah dikenal Islam sebelumnya. Hasilnya, pergolakan pemikiran terjadi, perbedaan pendapat sampai pada puncaknya. Namun, (umat) Islam tetap survive dan sistem kenegaraan Islam tetap dipertahankan. Malah saat itulah intelektulitas Islam - dalam bidang kedokteran, fisika, kimia, astronomi dll, menjadi panutan dan pondasi modernitas dunia hingga sekarang.
Leopold Weiss yakin Islam punya “ilmu” untuk berinteraksi dengan fenomena baru se-ekstrim apapun. Islam punya sistem yang bisa mencerna sub-sistem atau sistem apapun ke dalam dirinya. Sayangnya, keadaan umat terlalu rapuh. Mereka terjebak ke dalam sikap yang dalam bahasa jawa disebut “gumunan” (mudah terpukau).
“Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang telah habis dikerahkan."
“Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya”
Barat dengan rasionalitasnya yang menonjol, menarik setiap jenis ras ke dalam alam pemikirannya. Hampir semua penduduk di muka bumi ini berpikir, atau mulai berpikir sebagaimana pandangan hidup barat. Mengapa proses ini begitu mudah terjadi. Mengalir bak aliran sungai. Apakah karena memang rasionalitas barat itulah yang terbaik ? Atau karena penyakit “gumunan” dan “ikutan-ikutan” menjangkiti seluruh manusia di kolong bumi ini ? Leopold Weiss menjawab.
“Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurang-kurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius - - Itulah maka Nabi bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari).”
Epilog
“dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati”
Buku ini, di akhir pemaparannya mulai bertanya kepada anak-anak pengusung Islam dan mereka yang masih merasa punya warisan darah Islam di nadinya.
Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya?
Sebagaimana penyakit, Allah tak akan menurunkan penyakit tanpa penawarnya, begitu pula keterpurukan (umat) Islam saat ini selalu ada harapan dan penawar menyembuhkan penyakitnya. Itu semua bisa terjadi bila umat kembali kepada aturan dan kepemimpinan berpikir yang telah diperlihatkan dengan cemerlang oleh Muhammad bin Abdullah.
“Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan al-Qur an:
"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an, 33:21)”
Resensi buku “Islam di Simpang Jalan” karya Leopold Weiss
Di dunia politik dan ekonomi, khasanah ke-Islaman - dahulu, masih memiliki peran. Buktinya, hukum positif Indonesia harus mengakui agama sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia selain hukum (warisan) Belanda dan hukum adat. Bila pemikir-pemikir politik dan kenegaraan dewasa ini dibawa ke masa lalu dan bersama-sama merumuskan sumber hukum negara, bisa jadi Hak Asasi Manusia, Kearifan lokal dsb di dapuk menjadi sumber-sumber hukum negara. Agama tidak.
Fenomena-fenomena baru dan pemikiran-pemikiran baru meminggirkan pemikiran-pemikiran Islam yang dipakai sejak lama. Bagi sebagian orang, ini fenomena biasa. Mereka berkata, nilai-nilai baru yang lebih segar muncul dan amat pantas menggantikan nilai-nilai lama yang sudah usang. Namun, bagi Leopold Weiss - pemikir Islam kelahiran Eropa yang telah kenyang dengan nilai-nilai baru di dunia barat (dia baru memeluk Islam pada umur 40 tahunan), fenomena-fenomena ini adalah tantangan. Tantangan bagi (umat) Islam yang harus segera direspon.
“Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual, jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai serum yang menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun” .”
Islam, bagi umatnya, telah menemani mereka berinteraksi dengan Kerajaan Romawi. Hasilnya mereka survive. Islam juga menemani pemeluknya berinteraksi dengan budaya dan pemikiran Yunani yang rasional, logis dan belum pernah dikenal Islam sebelumnya. Hasilnya, pergolakan pemikiran terjadi, perbedaan pendapat sampai pada puncaknya. Namun, (umat) Islam tetap survive dan sistem kenegaraan Islam tetap dipertahankan. Malah saat itulah intelektulitas Islam - dalam bidang kedokteran, fisika, kimia, astronomi dll, menjadi panutan dan pondasi modernitas dunia hingga sekarang.
Leopold Weiss yakin Islam punya “ilmu” untuk berinteraksi dengan fenomena baru se-ekstrim apapun. Islam punya sistem yang bisa mencerna sub-sistem atau sistem apapun ke dalam dirinya. Sayangnya, keadaan umat terlalu rapuh. Mereka terjebak ke dalam sikap yang dalam bahasa jawa disebut “gumunan” (mudah terpukau).
“Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang telah habis dikerahkan."
“Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya”
Barat dengan rasionalitasnya yang menonjol, menarik setiap jenis ras ke dalam alam pemikirannya. Hampir semua penduduk di muka bumi ini berpikir, atau mulai berpikir sebagaimana pandangan hidup barat. Mengapa proses ini begitu mudah terjadi. Mengalir bak aliran sungai. Apakah karena memang rasionalitas barat itulah yang terbaik ? Atau karena penyakit “gumunan” dan “ikutan-ikutan” menjangkiti seluruh manusia di kolong bumi ini ? Leopold Weiss menjawab.
“Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurang-kurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius - - Itulah maka Nabi bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari).”
Epilog
“dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati”
Buku ini, di akhir pemaparannya mulai bertanya kepada anak-anak pengusung Islam dan mereka yang masih merasa punya warisan darah Islam di nadinya.
Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya?
Sebagaimana penyakit, Allah tak akan menurunkan penyakit tanpa penawarnya, begitu pula keterpurukan (umat) Islam saat ini selalu ada harapan dan penawar menyembuhkan penyakitnya. Itu semua bisa terjadi bila umat kembali kepada aturan dan kepemimpinan berpikir yang telah diperlihatkan dengan cemerlang oleh Muhammad bin Abdullah.
“Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan al-Qur an:
"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an, 33:21)”
Resensi buku “Islam di Simpang Jalan” karya Leopold Weiss
0 comments:
Posting Komentar