Khotbahnya keras. Dicercanya para wanita, yang mempertontokan kecantikan tubuh dan wajah. Dikecamnya para bankir, yang memungut ”riba” dari utang. Dihantamnya penguasa, yang ia sebut ”para tiran”. Mereka ini ”mencintai ”puji-pujian”, katanya, dan ”tak mendengarkan kaum yang melarat”.
Kota Firenze, menjelang akhir abad ke-15, bergetar oleh suara padri dominikan itu, Girolamo Savanarola.
Kota itu sendiri sebuah negeri yang paling sibuk dan berseri di Italia. Dari sinilah, kata ahli sejarah, zaman Renaissance bermula. Penduduk yang 100.000 jiwa itu memang dalam taraf ”maju”: seperempat dari jumlah itu bekerja sebagai buruh industri. Ada 200 pabrik tekstil di sana, dan seorang penulis sejarah mengatakan bahwa memasuki tahun 1300, Firenze sudah suatu contoh kapitalisme dengan investasi yang besar.
Untuk meluaskan pasar, misalnya, Firenze membuka perwakilan sampai ke Persia dan Tiongkok. Untuk membiayai usahanya seluas itu, sudah ada 80 bank. Pendapat pemerintahnya, di tahun 1400, lebih besar ketimbang pendapatan Inggris di masa gemilang Ratu Elizabeth I.
Tapi di Firenze itu, seperti halnya di mana pun, kekayaan itu mengandung cacatnya sendiri: tak semua berkesempatan menikmatinya. Di bawah lapisan bankir, pemilik pabrik, pedagang dan kaum profesional, yang bergabung di dalam 21 gilda, hidup mendekam kaum popolo minuto, orang-orang kecil. Mereka buruh yang bersatu dalam serikat kerja, tapi tak punya hak pilih, atau pekerja yang dilarang berserikat, dan sebab itu hidup dalam kemelaratan yang bisu.
Apa boleh buat. Kekuasaan, akhirnya, hanya jadi urusan yang kaya dan, karena itu, berpengaruh. Toh Firenze bernasib baik, ketika dari kalangan ini muncul sebuah dinasti: keluarga Medici.
Keluarga ini, sejak mereka memegang tampuk jabatan eksekutif, punya pandangan yang lebih luas ketimbang sekadar kepentingan sesaat. Kekuasaan medici berani mengenakan pajak yang lebih berat bagi si kaya, biarpun mereka sendiri terkena beban. Di bawah kepemimpinan Cosimo de’ Medici dan cucunya, Lorenzo, Kota Firenze mendapatkan satu hal lain: pengetahuan dan kesenian, yang dipupuk dengan dana yang dermawan.
Dari situlah pikiran bebas dan kegembiraan hidup menyeruak. Zaman Renaissance pun lahir, menggerakkan Firenze, menggerakan Italia, kemudian Eropa, ke seluruh jagat. Di Firenze kaum humanis tampil: para terpelajar yang mengagumi filsafat dan seni Yunani serta Latin sebelum Kristen – dan memandang ajaran agama dengan hati yang ringan. Sebab, bagi kaum humanis (dari kata umanisti), adanya filsafat dan sastra Yunani yang sedemikian tinggi adalah bukti: ternyata manusia bisa hidup dengan ikhtiar spiritual yang mengagumkan di luar Injil.
Toleransi tumbuh. Kitab suci bukan satu-satunya alternatif. Zaman itu adalah zaman bagi tokoh seperti Pico: seorang aristokrat tampan, juga seorang pemikir yang cerah, yang menelaah puisi dan arsitektur, menyukai pemikiran Yahudi dan Arab, yang mencoba mendekatkan Yudaisme, agama Kristen, dan Islam, dan menulis tentang Tuhan yang menciptakan Adam sebagai makhluk untuk menjalankan pilihan bebas.
Pembebasan itu, pada saat yang sama, juga pengenduran di sisi lain. Ketika doktrin agama tak lagi mencekam, ikatan akhlak yang ada juga tidak lagi mutlak. Moralitas melonggar – terutama ketika Firenze menikmati kemakmuran ekonomi di bawah kekuasaan Lorenzo de’ Medici. Negeri itu hidup dengan parade dan festival, dengan sajak yang satiris dan puisi yang erotis. Lorenzo sendiri, seorang penyair ulung, menulis nyanyian yang berseru: ”Panjang umur Dewa Anggur, hiduplah hasrat hati!”
Menghadapi semua itu hiduplah Savanarola dengan khotbahnya. Ia memang tokoh yang agak aneh buat zaman yang riang itu. Namun, zaman Renaissance, betapapun juga, sebuah masa peralihan : orang baru ”merdeka” dengan rasa bersalah dan ketidakpastian dalam hati. Savanarola memberikan kepastian. Ia juga membebaskan orang dari ketakutan berdosa. Ia menyerukan pertobatan: kembali ke kitab suci.
Orang pun mendengar. Dan ketika kekuasaan Medici suatu saat mengalami krisis, orang ramai bahkan mengangkat Savanarola ke pucuk kekuasaan. 500 tahun sebelum Iran, di Firenze, seorang rohaniawan memimpin sebuah republik yang angker: di sana bukan Cuma judi yang dilarang, tapi juga lagu-lagu tertentu. Di sana sejumlah pemuda jadi polisi susila, yang bisa merobek pakaian wanita yang mereka anggap tak sopan. Di sana seorang yang dituduh menghujat Tuhan bisa ditusuk lidahnya dan di sana Yesus Kristus dianggap sebagai Kepala Negara.
Sejarah kemudian mencatat bahwa republik yang alim itu hanya berlangsung sejak 1495 sampai 1498. Banyak faktor menyebabkan Savanarola – yang menentang Paus – akhirnya jatuh. Tapi satu hal jelas: setelah ia meninggal di api pembakaran, Firenze kembali melanjutkan eksperimennya dengan kebebasan. Hingga kini.
24 Oktober 1987
Kota Firenze, menjelang akhir abad ke-15, bergetar oleh suara padri dominikan itu, Girolamo Savanarola.
Kota itu sendiri sebuah negeri yang paling sibuk dan berseri di Italia. Dari sinilah, kata ahli sejarah, zaman Renaissance bermula. Penduduk yang 100.000 jiwa itu memang dalam taraf ”maju”: seperempat dari jumlah itu bekerja sebagai buruh industri. Ada 200 pabrik tekstil di sana, dan seorang penulis sejarah mengatakan bahwa memasuki tahun 1300, Firenze sudah suatu contoh kapitalisme dengan investasi yang besar.
Untuk meluaskan pasar, misalnya, Firenze membuka perwakilan sampai ke Persia dan Tiongkok. Untuk membiayai usahanya seluas itu, sudah ada 80 bank. Pendapat pemerintahnya, di tahun 1400, lebih besar ketimbang pendapatan Inggris di masa gemilang Ratu Elizabeth I.
Tapi di Firenze itu, seperti halnya di mana pun, kekayaan itu mengandung cacatnya sendiri: tak semua berkesempatan menikmatinya. Di bawah lapisan bankir, pemilik pabrik, pedagang dan kaum profesional, yang bergabung di dalam 21 gilda, hidup mendekam kaum popolo minuto, orang-orang kecil. Mereka buruh yang bersatu dalam serikat kerja, tapi tak punya hak pilih, atau pekerja yang dilarang berserikat, dan sebab itu hidup dalam kemelaratan yang bisu.
Apa boleh buat. Kekuasaan, akhirnya, hanya jadi urusan yang kaya dan, karena itu, berpengaruh. Toh Firenze bernasib baik, ketika dari kalangan ini muncul sebuah dinasti: keluarga Medici.
Keluarga ini, sejak mereka memegang tampuk jabatan eksekutif, punya pandangan yang lebih luas ketimbang sekadar kepentingan sesaat. Kekuasaan medici berani mengenakan pajak yang lebih berat bagi si kaya, biarpun mereka sendiri terkena beban. Di bawah kepemimpinan Cosimo de’ Medici dan cucunya, Lorenzo, Kota Firenze mendapatkan satu hal lain: pengetahuan dan kesenian, yang dipupuk dengan dana yang dermawan.
Dari situlah pikiran bebas dan kegembiraan hidup menyeruak. Zaman Renaissance pun lahir, menggerakkan Firenze, menggerakan Italia, kemudian Eropa, ke seluruh jagat. Di Firenze kaum humanis tampil: para terpelajar yang mengagumi filsafat dan seni Yunani serta Latin sebelum Kristen – dan memandang ajaran agama dengan hati yang ringan. Sebab, bagi kaum humanis (dari kata umanisti), adanya filsafat dan sastra Yunani yang sedemikian tinggi adalah bukti: ternyata manusia bisa hidup dengan ikhtiar spiritual yang mengagumkan di luar Injil.
Toleransi tumbuh. Kitab suci bukan satu-satunya alternatif. Zaman itu adalah zaman bagi tokoh seperti Pico: seorang aristokrat tampan, juga seorang pemikir yang cerah, yang menelaah puisi dan arsitektur, menyukai pemikiran Yahudi dan Arab, yang mencoba mendekatkan Yudaisme, agama Kristen, dan Islam, dan menulis tentang Tuhan yang menciptakan Adam sebagai makhluk untuk menjalankan pilihan bebas.
Pembebasan itu, pada saat yang sama, juga pengenduran di sisi lain. Ketika doktrin agama tak lagi mencekam, ikatan akhlak yang ada juga tidak lagi mutlak. Moralitas melonggar – terutama ketika Firenze menikmati kemakmuran ekonomi di bawah kekuasaan Lorenzo de’ Medici. Negeri itu hidup dengan parade dan festival, dengan sajak yang satiris dan puisi yang erotis. Lorenzo sendiri, seorang penyair ulung, menulis nyanyian yang berseru: ”Panjang umur Dewa Anggur, hiduplah hasrat hati!”
Menghadapi semua itu hiduplah Savanarola dengan khotbahnya. Ia memang tokoh yang agak aneh buat zaman yang riang itu. Namun, zaman Renaissance, betapapun juga, sebuah masa peralihan : orang baru ”merdeka” dengan rasa bersalah dan ketidakpastian dalam hati. Savanarola memberikan kepastian. Ia juga membebaskan orang dari ketakutan berdosa. Ia menyerukan pertobatan: kembali ke kitab suci.
Orang pun mendengar. Dan ketika kekuasaan Medici suatu saat mengalami krisis, orang ramai bahkan mengangkat Savanarola ke pucuk kekuasaan. 500 tahun sebelum Iran, di Firenze, seorang rohaniawan memimpin sebuah republik yang angker: di sana bukan Cuma judi yang dilarang, tapi juga lagu-lagu tertentu. Di sana sejumlah pemuda jadi polisi susila, yang bisa merobek pakaian wanita yang mereka anggap tak sopan. Di sana seorang yang dituduh menghujat Tuhan bisa ditusuk lidahnya dan di sana Yesus Kristus dianggap sebagai Kepala Negara.
Sejarah kemudian mencatat bahwa republik yang alim itu hanya berlangsung sejak 1495 sampai 1498. Banyak faktor menyebabkan Savanarola – yang menentang Paus – akhirnya jatuh. Tapi satu hal jelas: setelah ia meninggal di api pembakaran, Firenze kembali melanjutkan eksperimennya dengan kebebasan. Hingga kini.
24 Oktober 1987
0 comments:
Posting Komentar