Sabtu, 18 Februari 2012

parlemen

Di sepetak taman di London, terpasang patung karya Rodin yang termashyur, Les Bourgeouis de Calais. Patung itu ternyata tak semegah seperti yang saya bayangkan dari gambarnya di buku seni rupa. Tapi ia karya Rodin: menggetarkan, wujud yang seperti meneruskan masa silam, tanpa rasa janggal, pada masa kini.

Sejarah memang bergaung di atasnya. Di sebelah kiri, mengalir Sungai Thames yang tua. Di belakangnya: gedung Parlemen.

Rodin mempersembahkan Les Bourgeouis de Calais ke taman Parlemen Inggris itu pada tahun 1913, untuk memperingati suatu peristiwa pada tahun 1347: ketika pasukan Inggris, di bawah Raja Edward III, mengepung kota Calais selama setahun, dan di tengah ancaman kelaparan yang terjadi, sejumlah orang kota Calais menyerahkan diri sebagai sandera, agar pengepungan segera diakhiri dan rakyat kota Calais bebas.

Les Bourgeouis : tiba-tiba kata itu tak sekadar bisa diterjemahkan menjadi ”borjouis”, dengan konotasinya yang menyebalkan. Tiba-tiba kata itu kembali ke arti semula, yang menggambarkan orang kota yang bebas, terhormat, dinamis, dang – mungkin aneh – juga heroik. Karl Marx sendiri – yang pengikutnya telah membuat kata ”borjuis” jadi kata kotor – pernah mengatakan betapapun tak heroiknya masyarakat borjuis, masyarakat itu lahir antara lain melalui ”heroisme” dan ”pengorbanan”.

Tidak Cuma di Calais. Gedung Parlemen Inggris itu juga salah satu saksi: sebuah lembaga yang berdiri sebelum kaum bourgeois ada, tapi baru mendapatkan harkatnya setelah wakil-wakil ”kalangan menengah” itu hadir di sana – dan kemudian menggerakkan, sedikit demi sedikit, apa yang disebut ”demokrasi” sampai kini.

Orang Inggris memang mujur dalam hal itu. Ada tradisi yang disebut witan dari orang Anglo-Saxon, yang menentukan agar pemegang tahta berkonsultasi dengan hambanya, untuk memutuskan satu hal yang sangat menyangkut hidup mereka. Tak mengherankan bila Sir Walter Raleigh pada abad ke-17 bisa membanggakan kelebihan sistem monarki Inggris atau “tirani bangsa Turki”.

Tapi toh Raleigh sedikit berilusi. Ia sendiri ikut dituduh berkomplot melawan Raja James I dan akhirnya dihukum pancung. Inggris pada awal abad ke-17 memang Inggris yang masih bisa sewenang-wenang.

Waktu itu, bepergian mencari kerja dianggap melanggar hukum. Seorang jaksa agung menyatakan, usaha bersama untuk menaikan gaji adalah pengkhianatan. Jual beli pun dikontrol: pemerintah memberikan monopoli kepada swasta tertentu untuk memproduksi barang, seperti sabun dan kaca jendela. Orang mati pun tak bebas: pada tahun 1622 ditentukan, jenazah harus diberi pakaian wol. Dan siapa tak ke gereja dihukum.

Juga Parlemen (kata aslinya, parliamentum, konon dipakai pertama kali November 1236) yang sudah 400 tahun itu tetap barang yang ringkih. Sidangnya tak teratur, terserah raja. Dan bila ada anggota yang omongnya tak berkenan di hati baginda, ia bisa ditahan tanpa proses pengadilan.

Maka apa yang menyebabkan kemudian Parlemen berani? Sebuah paradoks, kata majalah The Economist ketika membahas buku A History of Parliament karya Ronald Butt, yang baru terbit.
Dulu, para baron dan kesatrian yang menjadi anggota dewan itu selalu menjaga agar raja tak memajak rakyat. Namun bila tujuan ini berhasil, Parlemen justru akan kehilangan bobot. Raja Edward IV, misalnya, dapat memerintah tanpa dana dari rakyat. Maka ia pun tak membutuhkan parlemen, dan pada masanya, sidang lembaga ini semakin jarang.
Tapi ketika raja bokek dan pajak diperlukan, Parlemen pun dibutuhkan. Pada masa Charles I, misalnya. Tapi betapa malangnya raja ini. Ia mewarisi pandangan ayahnya, Raja James I, bahwa raja Inggris punya lisensi khusus dari Gusti Allah dan bisa memerintah tanpa parlemen. Tapi pada masa itu juga, ia mewarisi sisa perang dari ayahnya. Untuk itu ia butuh duit.

Ia pun memanggil parlemen bersidang. Tapi ia tak tahu zaman sudah lain. Parlemen yang dihadapinya sudah penuh dengan kekuatan sosial baru, orang-orang kelas menengah, les bourgeois yang butuh hak-hak baru.

“Jangan anggap ini ancaman,” kata Raja ketika ia mendesak parlemen agar menyetujui pajak lagi. “Saya tak sudi mengancam siapa pun yang tak sederajat dengan saya.”
Parlemen tahu penghinaan itu, dan akhirnya kita melihat: Charles I adalah raja yang dipancung 144 tahun sebelum Revolusi Prancis memancung rajanya. Demokrasi, pelbagai hak, rasanya memang tak bisa dipesan sekaligus, seperti kalau kita memesan nasi bungkus.

Goenawan Mohammad # 13 Mei 1989

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons