Kelas 3 SMA saya membaca buku karya Frans Magnis Suseno tentang Marxisme. Utipia Ideologi dan Pemikiran Marxisme ia tulis dengan bahasa akademis yang teknis dan tidak terlalu praktis untuk otak SMA saya. Jadi, tulisan ini hendak 'balas dendam' terhadap tulisan Frans Magnis dengan cara membuat tulisan tentang demokratisme. Tahun 1990an tidak pernah terpikirkan artis atau pertemuan rt menyinggung-nyinggung kata "demokrasi" atau "demokratis". Apa sebenarnya demokrasi dan demokratisme ?
Istilah demokratisme mungkin aneh. Akan banyak yang menyanggah; 'tambahan -isme kan menunjukkan bahwa dia adalah ideologi, bukankah demokrasi itu sudah merupakan sebuah ideologi ?'. Kenyataannya tidak seperti itu. Silakan tanya ke warung-warung nasi atau ke pangkalan ojek dan becak. Tanyalah orang-orang di sana 'apa itu demokrasi?'; mereka paling tidak akan menjawab 'demokrasi itu milih langsung' atau 'demokrasi ya apa ya ? ya begitulah.. ' Begitulah keadaan orang kecil. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri atau pemimpin-pemimpin mereka katakan. Mereka adalah korban-korban budaya 'demokrasi-tainment'. 'Demokrasi-tainment' adalah ketika di televisi seseorang berbicara penuh bunga, namun kata-kata yang di ucapkan bila ditelusur secara fakta maupun akademis amat memalukan akurasinya.Demokrasi menurut beberapa orang yang lebih intelek, disimpulkan dengan kalimat yang singkat dan padat 'demokrasi adalah tata-kelola negara dengan sistem perwakilan'. Sekilas keren, tetapi apa bedanya dengan komunisme dan sosialis yang -misalnya di Cina, ada juga partai-partai yang mengaku mewakili kepentingan rakyat.
Namun, pada kenyataannya demokrasi tidak pernah mewakili siapapun. Pembagian kekuasaan menjadi 3 pihak, yaitu eksekutif, yudakatif dan legislatif hanyalah kompromi di permukaan saja, sedangkan di hati mereka ada permusuhan yang tak pantas.
Demokrasi, sebagai sebuah sistem kenegaraan adalah cita-cita yang mensyaratkan beberapa hal. Pertama, orang-orang suci tanpa tendensi. Mereka ibarat malaikat. Tiga pos kekuasaan yang di perkirankan akan saling mengawasi ternyata justru menjadi pos penyimpangan yang saling acuh dan saling "tahu-sama-tahu". Saya jadi ingat ketika kecil, guru-guru saya menjelaskan bahwa Tuhan itu harus satu. Ia mutlak Esa. Bila ada Tuhan 3 atau 4 atau 5 atau lebih maka mereka akan bertengkar tentang urusan hamba-hambanya. Penguasa negara ibarat 'Tuhan', bila ada lebih dari satu maka akan ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka saling mengawasi. Ini logika dan teknis yang amat rumit. Masing-masing punya kepentingan satu sama lain, namun di suruh mengawasi satu sama lain. Presiden mengawasi DPR ? dengan apa? Lha wong yang mendukung presiden ada banyak di DPR ?
Istilah demokratisme mungkin aneh. Akan banyak yang menyanggah; 'tambahan -isme kan menunjukkan bahwa dia adalah ideologi, bukankah demokrasi itu sudah merupakan sebuah ideologi ?'. Kenyataannya tidak seperti itu. Silakan tanya ke warung-warung nasi atau ke pangkalan ojek dan becak. Tanyalah orang-orang di sana 'apa itu demokrasi?'; mereka paling tidak akan menjawab 'demokrasi itu milih langsung' atau 'demokrasi ya apa ya ? ya begitulah.. ' Begitulah keadaan orang kecil. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri atau pemimpin-pemimpin mereka katakan. Mereka adalah korban-korban budaya 'demokrasi-tainment'. 'Demokrasi-tainment' adalah ketika di televisi seseorang berbicara penuh bunga, namun kata-kata yang di ucapkan bila ditelusur secara fakta maupun akademis amat memalukan akurasinya.Demokrasi menurut beberapa orang yang lebih intelek, disimpulkan dengan kalimat yang singkat dan padat 'demokrasi adalah tata-kelola negara dengan sistem perwakilan'. Sekilas keren, tetapi apa bedanya dengan komunisme dan sosialis yang -misalnya di Cina, ada juga partai-partai yang mengaku mewakili kepentingan rakyat.
Namun, pada kenyataannya demokrasi tidak pernah mewakili siapapun. Pembagian kekuasaan menjadi 3 pihak, yaitu eksekutif, yudakatif dan legislatif hanyalah kompromi di permukaan saja, sedangkan di hati mereka ada permusuhan yang tak pantas.
Demokrasi, sebagai sebuah sistem kenegaraan adalah cita-cita yang mensyaratkan beberapa hal. Pertama, orang-orang suci tanpa tendensi. Mereka ibarat malaikat. Tiga pos kekuasaan yang di perkirankan akan saling mengawasi ternyata justru menjadi pos penyimpangan yang saling acuh dan saling "tahu-sama-tahu". Saya jadi ingat ketika kecil, guru-guru saya menjelaskan bahwa Tuhan itu harus satu. Ia mutlak Esa. Bila ada Tuhan 3 atau 4 atau 5 atau lebih maka mereka akan bertengkar tentang urusan hamba-hambanya. Penguasa negara ibarat 'Tuhan', bila ada lebih dari satu maka akan ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka saling mengawasi. Ini logika dan teknis yang amat rumit. Masing-masing punya kepentingan satu sama lain, namun di suruh mengawasi satu sama lain. Presiden mengawasi DPR ? dengan apa? Lha wong yang mendukung presiden ada banyak di DPR ?
0 comments:
Posting Komentar