Selasa, 11 Agustus 2009

Renungan : Amanah


TAUSIYAH

Tiba-tiba saya jadi ingat akan kisah para sahabat Rosul. Siapa sahabat rosul adalah mereka yang selalu berusaha meneladani Rosululloh. Tak heran mereka tercatat dalam sejarah sebagai generasi Islam terbaik. Namun yang patut di catat adalah bahwa mereka adalah manusia biasa seperti kita. Mereka punya nafsu dan harapan. Sama seperti kita. mereka juga punya cita-cita dan fitrah kemanusian. Sama 100 % dengan kita saat ini. Begini kisahnya : “Diceritakan khalifah mencari calon qadi (hakim pengadilan Islam). Lalu dipanggillah dua orang ulama terbaik zaman itu untuk dicalonkan mengemban amanah berat itu. Ketika dua-duanya ditawari mereka tidak menolak. Kedua-duanya saling memuji bahwa ulama yang satunyalah yang paling pantas mengemban amanah itu.”

Subhanallah menolak amanah ketika kita mampu memikulnya adalah dosa besar. Sebab amanah yang dipegang oleh yang bukan ahlinya akan menimbulkan kedzaliman dan kerusakan besar.

Hanya saja ketika pilihan itu datang kita harus bijak menjawab. Lihat contah kisah di atas. Tak ada penolakan karena amanah yang dipercayakan harus ditunaikan. Yang ada adalah saling memuji. Tak ada pembelaan diri. Tak ada sikap merendahkan diri karena lari dari amanah ibarat prajurit yang lari dari peperangan. Yang ada adalah sebuah sikap tawadu’ dan penghargaan. Di satu sisi mereka takut memegang amanah di sisi lain mereka memberi solusi. Sebuah sikap sadar diri yang dibungkus keikhlasan.

Subhanallah. Di dalam Islam besarnya amanah bukanlah tanda kemulyaan seseorang, namun orang yang mampu menunaikan amanahnya dengan baik sangat dihargai. Dan sungguh amanah tidak boleh dicari, karena amanah hakekatnya meletakan satu kaki kita di neraka dan kaki yang lainnya di surga. Sungguh situasi yang sangat kritis dan berbahaya. Tak heran mengapa Al Qur’an menyebutkan bahwa manusia sungguh bodoh karena mau menerima amanah sebagai khalifah di bumi, padahal makhlukyang lain tak berani mengemban amanah itu.

Sahabat, seorang aktifis dakwah punya jenjang karier. Setiap aktifis dakwah punya arahan seberapa besar amanah yang akan ia emban. Namun perlu diingat amanah dlam dunia dakwah bukanlah tanda kemulyaan. Bila engkau diberi amanah berarti engkau adalah orang yang siap melakukan pengorbanan. Pengorbanan seperti apa ? Pengorbanan untuk dikorbankan ? Dengan diberi amanah berarti engkaulah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Alloh. Tak ada yang berani mengambil resiko ini. Karena tak ada yang berani maka mau tidak mau harus ada yang dikorbankan. Dan bila kau yang bersedia berarti kaulah yang akan dikorbankan. Dan bila engkau yang dikorbankan berarti mulai sekarang siap-siap mempertanggungjwabkan amanahmu dihadapan Alloh-tanpa dibantu seorang pun.

Belajar pada rumput yang bergoyang

Hendaknya kita belajar pada rumput dilapangan atau di depan kost atau di depan rumah kita. Apa yang bisa kita pelajari dari situ? Rumput tak pernah protes kenapa ia di injak-injak. Ia tidak pernah mengeluh tidak punya posisi dan jabatan yang tinggi, seperti bunga dan pohon yang begitu menonjol dan memberi banyak manfaat kepada manusia. Ia tidak berhasrat menjadi bunga agar dikagumi keindahan warna dan aromanya. Ia tidak berharap jadi pohon dimana setiap orang kepanasan akan berteduh di bawahnya. Rumput bahagia ia karena ia tahu perannya adalah memberikan keserasian dan kenyamanan. Itu saja. Ia tahu posisinya dimana. Ia tahu perannya apa. Dan tak ada kebahagian yang lebih besar selain bekerja sesuai peran dan posisinya, meskipun tempatnya di bawah dan di injak-injak.

Senin, 10 Agustus 2009

Afganistan Idol: Masa Depan Afganistan ?

Tak perlu kaget ada Singapore Idol, India Idol atau Philipines Idol. Tapi kalau ada "Afganistan Idol" tentu suatu yang unik. Negara tempat bin Laden berada memang unik. Beberapa tahun lalu negeri ini penuh kekacauan. Untuk memilih presiden saja butuh campur tangan Amerika dan PBB. Negara yang konon sebagai salah penghasil penghasil opium terbesar di dunia ini ternyata tergolong negeri dengan tradisi Islam yang kuat. Hal unik lain lagi adalah negeri miskin ini ternyata amat ditakuti negara kaya raya dan kuat yang jaraknya ribuan km, seperti Amerika dan Inggris.

Baru-baru ini di Afgnistan diselenggarakan "Afganistan Stars" adapatasi dari American idol. Sebuah ajang yang amat digemari anak-anak muda di sana. Tak heran dengan jumlah pemuda sebesar 60% dari seluruh populasi program seperti ini masuk rating teratas.

Di ajang ini juga ada peserta wanita bernama Elaha Sorur. Suatu pemandangan yang tak akan ditemui di masa perang ataupun ketika Taliban berkuasa.

Masa Depan Afganistan = Modal dan Hiburan ?

Tak terlalu sulit melihat apa saja yang akan digemari penduduk miskin di sana. Dengan pendapatan per kapita kurang dari 2 $ per (1 $ = -/+ Rp 10.000) hari, hiburan-hiburan murah macam TV dan radio akan laris manis dijual. Apa yang terjadi dengan Afgnistan mungkin akan mirip dengan Indonesia pasca Orla. Pasca kekacauan rakyat perlu hiburan untuk melupakan perang.

Ibarat negara Romawi yang sibuk perang, perlu sebuah 'pengalihan' agar rakyat tak kritis atas apa yang terjadi dengan tentara dan negaranya. Maka Romawi mengadakan pertarungan Gladiator. Dalam konteks Afganistan 'Gladiator' itu adalah TV, penyanyi-penyanyi dan musik-musik. Sayangnya, dengan kondisi ekonomi yang lemah tidak akan ada hiburan yang khas Afgnistan, yang akan muncul adalah hiburan ala barat. Karena dari sanalah para pemegang keputusan dan kebijakan bisnis maupun politik baru saja pulang setelah melarikan diri dari situasi chaos di negerinya sendiri.

Minggu, 09 Agustus 2009

Benarkah Noordin Top Telah Tewas?

Sebenarnya pertanyaan yang lebih menggelitik adalah benarkah ada sosok yang bernama Noordin m. Top ?
Ya, seperti dr. Azahari tidak ada bukti jelas tentang siapa sebenarnya dia. Kematian menggulung semua misteri ke dalam alam lain yang entah bagaimana kita bisa melihatnya. Kematian Dr. Azahari, Amrozi cs dan sekarang (katanya) Noordin M Top membawa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang jaringan mereka ke alam kubur. Sampai sekarang kita tak pernah tahu bagaimana mereka semua mendapatkan uang untuk aksi mereka itu. Kalaupun mereka mendapatkan lewat jalur 'panas'-merampok misalnya- polisi terlalu pintar menangkap perampok, pencuri dan sejenisnya. Baru-baru ini saja, perampokan uang Bank BNI sebesar Rp 18 M bisa di pecahkan. Kalau Amrozi cs atau Noordin Top cs merampok pasti sudah dari dulu ketangkep. Kalau uangnya di transfer dari luar negeri, malah lebih gampang bagi polisi untuk melacaknya. Apalagi-kata seorang staf Kedutaan Arab Saudi yang kebetulan pernah jadi Uztad saya- dana-dana bantuan dari Timur Tengah pasca 9/11 sulit masuk ke secara elektronik, sehingga tren pengiriman uang pasca 9/11 adalah dibawa cash. Kalaupun Noordin cs dikirimin cash tentu mudah diendus polisi. Ga, mungkin kan bawa uang kertas Jutaan tanpa menimbulkan kejanggalan.
Yang membuat kejanggalan semakin besar adalah prosesi penyergapan Temanggung kemarin. Untuk lebih memudahkannya saya simpulkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut :

  • Ngapain Densus 88 berteriak 'Siapa di dalam?' hanya sekadar untuk tahu siapa di dalam - padahal situasi saat itu dikesankan berbahaya dan menegangkan ?
  • Kalau mereka (densus 88) bisa tahu ada teroris tinggal di situ - di sebuah desa yang notabene jauh, terpencil dan telah menangkap pemilik rumah dan keluarganya, urgensi apakah gerangan yang membuat densus menanyakan "siapa di dalam?" ?
  • Penyergapan kemarin tidak bisa dianggap terencana dan efektif karena hasilnya adalah kematian - padahal densus tak tahu siapa di dalam. Buktinya sang petugas menanyakan "siapa di dalam?'

090809

Sabtu, 08 Agustus 2009

SEPERTI IKAN DI LAUT atau HANCUR LEBUR…?

Saya sangat terkesan sekali ketika mendengar sebuah ungkapan…”Jadilah seperti Ikan di laut, walaupun air disekelilingnya asin tapi daging Ikan itu tidak ikut menjadi asin (kecuali ikan laut yang sudah dijemur dan diberi garam, yang kemudian kita kenal dengan nama “Ikan Asin” – salah satu menu favorite saya karena bisa menjadi sumber yodium). Kalau kita renungkan sejenak dengan mengkondisikan hati kita untuk menangkap sebuah makna dari ungkapan ini, kita akan menyelami sebuah lautan pesan yang di dalamnya terkandung sebuah hikmah : (bahasa gampangnya) ketika kondisi di lingkungan kita “tidak kondusif” maka kita harus berusaha untuk “tetap kondusif” minimal stabil – itu yang terbaik.

Tapi disisi lain “alam sekitar” konon bisa lebih kejam daripada ibu tiri (tapi tak sedikit juga ibu tiri yang hadir bagai “bidadari” terindah yang membawa lembar-lembar kasih sayang). Alam bisa saja membuat kita hancur lebur ketika kita memang tak sanggup untuk kokoh berdiri. Pertanyaannya : ketika panggilan “alam sekitar” telah bersahut-sahutan, menanti “kehadiran” kita untuk memenuhi undangannya, apa yang kemudian akan kita pilih – menjadi “seperti ikan di laut atau hancur lebur”……?

Memang pilihan itu bukan seperti pilihan dalam soal ujian, - yang ketika soal yang kita jawab keliru, maka nilai jelek adalah hasilnya dan mengulang adalah konsekuensinya – tidak juga seperti pilihan dalam Quiz untuk menjadi seorang Milyarder – yang ketika pilihannya keliru bisa jadi hasil yang telah didapat hilang semua. Tidak. Tidak sesederhana itu, ini memiliki konsekuensi yang sangat urgen, bukan hanya konsekuensi pribadi, tapi konsekuensi yang akan melibatkan puluhan “hati” manusia beserta prasangkanya (yang ketika prasangka itu buruk adalah ladang dosa) dan juga nasib “tunas-tunas” baru yang nanti akan tumbuh.

Sebuah pilihan yang tidak bisa diputuskan hanya dengan menghitung kancing. Tapi sebuah keputusan yang harus dipertimbangkan dengan akal sehat dan hati yang jernih plus emosi yang stabil (karena kalo emosi lagi “kena gempa” kabut-kabut hitam akan menyelimuti cahaya terang dari sebuah keputusan yang benar). Juga bukan sebuah pilihan yang harus diambil hanya dengan modal nekad, asal-asalan, mati konyol dan sejenisnya, tapi pilihan itu adalah awal dari sebuah “perjalanan”, perjalanan yang penuh rintangan Dalam “perjalanan” itu yang sangat dibutuhkan adalah bekal yang cukup dan energi yang memadai. Bekal yang nantinya akan membantu kita untuk tetap kuat bertahan. Juga dibutuhkan seseorang untuk menjadi teman (kalo ada). Tentu bukan teman “palsu” yang hanya bisa tertawa ketika datang bahagia, tapi tidak bisa menangis ketika duka melanda (bukan pula air mata buaya, kalo buaya lagi sedih). Tapi Teman Sejati yang mampu mendengar bait-bait syair lagu hati kita dan dia mampu menyanyikannya kembali ketika kita sedang lupa. Teman sejati yang mampu menjelaskan kemana arah garis yang lurus dan dia sendiri tidak mengabaikan garis itu.

Juga satu hal yang tak kalah pentingnya dalam “perjalanan” itu adalah bagaimana saluran komunikasi yang tak pernah putus. Ibarat sebuah pesawat laur angkasa, ketika hilang kontak dengan pangkalan tempat dia lepas landas, maka saat itulah waktu yang tepat untuk “nyasar’ kemana-mana (dan salah satu “nyasar” yang paling menyiksa adalah ketika tak mampu menyadari dimana posisi diri yang sebenarnya bahkan kesulitan untuk membaca ”arah angin” sekalipun – kata kakek saya ini namanya Linglung). Tanpa semua itu,….”perjalanan” tersebut hanya akan menjadi perjalanan yang melelahkan tanpa pernah menemui ujung yang dicita-citakan

Untuk yang terakhir kalinya, pertanyaan di awal tadi mungkin perlu ditulis ulang: ketika panggilan “alam sekitar” telah bersahut-sahutan, menanti “kehadiran” kita untuk memenuhi undangannya, apa yang kemudian akan kita pilih – menjadi “seperti ikan di laut atau hancur lebur”……? Padahal, sadar atau tidak sadar, “rahim ibunda” tempat kita dibesarkan telah memberi warna dalam pigmen kulit kita. Dan orang lain tak akan melihat daging atau tulang kita, tapi mereka akan melihat lapisan terluar dari kulit kita yang mampu di tangkap oleh indera penglihatan mereka. Maka ketika kulit itu telah berubah warna atau terkoyak-tergores luka, maka “ibunda”lah yang akan turut merasakan rintihan kesakitan, bahkan rasa malu sekalipun.

Sayangnya pertanyaan itu tidak layak dijawab dengan kata-kata dari mulut (karena kadang mulut terlalu banyak melahap makanan sehingga suaranya kadang terdengar sumbang) tidak pula dijawab dengan tulisan seperti tulisan ini (karena kadang kata-kata dalam tulisan hanya dibangun dari rangkaian huruf yang kadang-kadang memanipulasi ide-ide busuk menjadi sebuah karya yang indah). Pertanyaan ini juga tak layak dijawab kalo hanya sekedar ingin diperdengarkan kepada orang lain.

Pertanyaan ini harus dijawab dengan jawaban yang kita bisa mendengarnya ketika orang lain tidak mampu mendengarnya, kita mampu melihatnya ketika orang lain tak tahu keberadaannya, dan jawaban yang mampu berhembus ke dalam sumsum tulang belakang kita hingga kita mampu berdiri tegar menapaki liku-liku jalan setapak di “alam sekitar” untuk menuju ke sebuah titik yang telah kita tetapkan dan telah kita ulang ikrarkan dalam 5 kali sehari minimal.

Haruskan saya, kamu, engkau, anda, kami, bahkan kita, mencari jawaban itu sendirian?

(mengiringi sebuah malam yang semakin larut, ketika tetes-tetes karunia sedang dikucurkan dari langit…dihadapan sebuah “alat canggih dengan teknologi pas-pasan” Sabtu, 09.00 PM 25/06/’05 bukan sekedar menghabiskan detakan detik waktu yang terus berlalu) . [MED]


*Sang Penulis adalah sahabat baik saya.

Jumat, 07 Agustus 2009

Ramadhan dan Cermin

Insya Allah, Ramadhan ini akan lebih bermakna, kata Santo. Seorang kawan, yang masih berstatus mualaf. Dengan rendah hati dia selalu mengaku sebagai mualaf. “Penyerehan diri” yang ia lakukan memang baru berumur dua tahun, namun semangat segala amal aktifitasnya telah melebihi mereka yang terlahir muslim.
Aku hanya berusaha agar Ramadhan ini tidak lebih buruk dari kemarin, kata Ari, seorang sahabat yang ternyata begitu banyak menyimpan kesulitan namun selalu terpancar kegembiraan di wajahnya. Ah, ingin rasanya Ari ini aku temukan dengan Santo yang begitu bersemangat beribadah di bulan ini. Dengan bertemunya mereka semoga ada hati kecil yang berubah, ada pucuk semangat yang segera tumbuh dan semoga juga ada kehangatan ukhuwah yang muncul- yang selama ini begitu sulit aku temukan.
Tak pernah aku temukan Ramadhan seperti ini, begitu menyenangkan dan aku merasa begitu dekat dengan Alloh SWT, kata Iwan seorang mahasiswa yang untuk pertama kalinya mengecap Ramadhan bersama-sama aktifis kerohanian kampus. Aku kemudian berharap dalam hati kecil ini agar ini menjadi awal perubahan besar dalam dirinya. Karena aku yakin ini adalah bulan dimana akan turun ‘mukjizat’ karena dahulu Al Qur’an pun diturunkan pada bulan ini. Kabulkan ya Alloh . . . !
Ada tiga orang yang kutulis di sini, tapi pasti ada pribadi-pribadi lain di luar sana yang punya kisah dan cerita yang sarat makna dan pelajaran bagi kita semua. Namun, mereka hanyalah cermin yang sebetulnya pada bulan lain pun mereka hadir di depan kita. Hanya pada bulan ini cermin-cermin itu begitu jelas kita lihat, karena Insya Alloh mata-mata hati kita telah terbasuh dengan nikmatnya puasa.
Tapi jangan tertipu dengan cermin-cermin itu. Ingat ! Cermin adalah alat untuk melihat diri. Jangan sampai pandangan kita hanya tertumpu pada cermin, kembalikanlah pandangan itu pada diri kita. Sering kita melihat orang lain namun penglihatan itu tak kembali kepada diri kita sendiri. Begitu banyak cermin dan pelajaran dari orang lain yang kita ambil di bulan ini, namun apa pengaruhnya bagi kita ?
Kesalehan dan ketaatan memang bukan hanya untuk diri sendiri, namun harus ada waktu di mana kita diam, berhenti dan mencoba merasakan apa yang telah kita kerjakan selama ini.
Semoga Ramadhan kita bermakna.
05102006-oldversion

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons