Catatan Pinggir Goenawan Mohammad
Utang adalah bagian penting dari sejarah. ”Tak ada pusat perdagangan di dunia ini dimana bisnis tak dijalankan dengan uang pinjaman. Tak ada seorang bisnis pun agaknya yang tak punya keharusan mendatangi kocek orang lain.” Itu kata Turgot, ahli ekonomi dari Prancis terkemuka di abad ke 18. Dan kita tahu, apa yang dimaksudkannya juga berlaku buat masa kini.
Tak tak semua orang nampaknya menyadari itu. Tak semua orang, khususnya di Indonesia, punya persepsi seperti Turgot, yang tumbuh dari sejarah debit-kredit yang telah berabad-abad. Wir, kenalan saya, misalnya, manajer keuangan sebuah perusahaan, menolak buat berutang. Dia takut harus bayar bunga, dia takut kena sita bila tak bisa memenuhi cicilan, dia takut berutang budi dan malu dan dia takut sakit jantung memikirkan semua itu.
Pengecut dan konyol, kata sebagian orang mendengar alasan itu. Bukankah si Wir – seraya ia tak mau ambil utang dari orang lain – sebaliknya tak bisa menghindarkan orang lain berhutang padanya? Bukankah para agen, yang mengedarkan produknya, tak hendak membayarnya kontan? Kenapa ia hendak berhutang? Betapa bodoh. Apa dia tidak tahu bahwa pembukuan juga harus dihitung dengan basis accrual ? Dalam dunia bisnis, kata orang, inilah hukum kelihaian pertama: pada saat orang bisa berutang padamu, kamu harus pula bisa berutang kepada orang lain. Bahkan modal sejati seorang pengusaha adalah ide, tekad dan kemampuan berusaha, plus sejumlah uang yang bukan punya sendiri.
Tapi Wir, teman saya itu, memang bukan pemberani. Ia seorang Indonesia biasa, yang, seperti kebanyakan orang Indonesia, menyimpan banyak ingatan suram tentang sukses yang gagal, keberhasilan yang mendadak runtuh, atau kenestapaan yang panjang. Di waktu kecil ia hidup di sebuah dusun, dan ia melihat apa artinya utang: Pak Rejo yang sawahnya sudah dihadang pengijon. Pariyem yang ikut megap-megap, dan akhirnya jadi pelacur, karena bapaknya pinjam uang dari rentenir. Atau para tetangga lain, yang gelang dan giwangnya tak kunjung tertebus di rumah gadai.
Ketakutan pada utang adalah ketakutan yang purba, rasa was-was dari sebuah zaman ”pra-bisnis”. Mungkin juga akarnya sebuah trauma yang setengah tersembunyi jauh dalam kesadaran kolektif kita: di masa lalu, di Indonesia, seperti halnya di beberapa negeri lain di Asia Tenggara, memang ada hubungan yang erat antara peminjaman uang dan hilangnya kemerdekaan. Utang pada gilirannya akan berakibat dalam ikatan, pasungan, bondage, perbudakan.
Setidaknya itulah cerita para sejarawan, yang menulis dalam sebuah buku yang amat menarik yang terbit di tahun 1983, Slavery, Bondage & Dependency in Southeast Asia. Satu kenyataan yang diungkapkan di sana adalah bahwa di zaman lampau, cari lazim bagi orang di Asia Tenggara untuk dapat memperoleh modal adalah dengan menggadaikan diri. Atau, kalau tidak, menggadaikan anggota keluarga yang ditanggungnya.
“Bila orang yang merderka empunya banyak utang di sini dan di sana”, demikian termaktub dalam aturan orang Kutai yang dikutip oleh Sejarawan A. Reid dari satu jilid Adatrecstsbundels, “maka orang dijual dan hasil penjualannya dibagi-bagi”. Seorang asing di abad ke-17 melihat Banten dan ia, yang agaknya terkejut, juga kemudian menulis, bahwa di negeri itu, “seorang pemberi utang boleh mengambil orang yang berutang, juga istrinya, anaknya, budaknya dan semua yang dimilikinya, untuk dijual guna membayar kembali pinjamannya.”
Masa lampau memang sering menakutkan – khususnya bila dilihat di masa kini. Masa lampau juga ternyata tak mudah punah dari bawah sadar kita, meskipun semua itu praktis kini tak ada lagi: utang, bagi kita, tetap saja sebuah mimpi buruk bertahun-tahun. Atau kalau tidak, bagi kita, yang terbiasa dengan hubungan pribadi-dengan-pribadi, utang masih semacam budi baik orang yang lebih mampu kepada yang kurang mampu. Kata-kata ”IOU” masih terasa berat dengan beban moral. Utang masih belum dianggap sebagai sekadar pembayaran yang ditunda - yang bisa menguntungkan, baik bagi si pemberi utang maupun si penerima. Asal ada pegangan yang bisa dipercaya.
Utang, buat sang kreditor dan debitor, memang mengandung sebuah kepercayaan, bukan cuma kepada satu sama lain, tetapi kepada masa depan: bahwa masa depan adalah waktu, yang bisa diukur dan diandalkan. Utang juga mengandung sebuah kepercayaan kepada aturan-aturan yang selalu akan ditaati, bahwa kesewenang-wenangan tak akan terjadi.
Tapi kita mungkin belum terbiasa dengan semua itu. Sejarah kita penuh dengan keretakan dan guncangan. Kita cenderung melihat perjalanan waktu sebagai sesuatu yang terpotong dan terpisah-pisah, bukan sesuatu yang satu dan kontinyu. Kita mulai merasakan manfaatnya apa yang disebut ”stabilitas” baru dalam kurun waktu dua dasawarsa – terlampau pendek untuk terbentuknya sebuah persepsi lain tentang waktu – dan sementara itu kita masih belum tahu apa arti stabilitas yang sebenarnya: kita masih memerlukan hukum yang tidak plintat ke sana dan plintut kemari dari hari ke hari, kita masih memerlukan aturan dan lembaga yang tak goyah, kita masih memerlukan semacam rasa tentram, sebuah basis untuk menghitung kemungkinan yang akan datang.
Dengan singkat, kita masih perlu dasar, agar tidak waswas berbicara tentang satu soal yang normal dalam sejarah itu: utang.
16 Januari 1988