Rabu, 21 Juli 2010

Tren Partai Politik 2010

Tiga pemilu terakhir PKS (Partai Keadilan Sejahtra) menjadi perhatian. Pada pemilu tahun 1999 –saat itu bernama PK (Partai Keadilan), menjadi ”rookie of the year” atau pendatang baru terbaik. Menjadi partai baru yang langsung masuk ke jajaran papan atas partai-partai besar – selain PDI-P tentunya. Kemudian fenomena yang sama pun terjadi di tahun 2004 dan tahun 2009. Terutama di tahun 2009, ketika partai-partai Islam lain mengalami penurunan, hanya PKS yang naik suaranya. Meskipun masih kalah dibanding sang pemenang pemilu, Partai Demokrat.

Beberapa waktu yang lalu PKS melakukan Musyawarah Nasional. Ada beberapa kontroversi yang muncul. Salah satu yang menonjol adalah tekad partai ini menjadi partai terbuka atau partai tengah. Sikap ini ditandai dengan terbukanya PKS terhadap non-Muslim. Ada yang sepakat dan mendukung, namun tak sedikit pula yang tak setuju dan mengkritisi. Di balik dua ekstrim ini, Ada juga yang melihat ini sebagai pemanis bibir semata alias sikap pura-pura.

Fenomena yang hampir mirip pun terjadi dengan partai lain. Partai Demokrat (PD) menyatakan pula dirinya sebagai partai tengah. Dalam beberapa iklan di media masa, para petinggi PD menyatakan dirinya sebagai partai nasionalis yang religius. Andi Malarangeng menyatakan dalam suatu kesempatan, “Agama menjadi spirit dan semangat dalam membangun negara..”. Manuver yang tak kalah elegan dilakukan Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia Perjuangan (PDI-P), yaitu dengan membentuk Baitul Muslimin. Fakta bahwa pemeluk Islam adalah mayoritas di Indonesia tak disia-siakan oleh partai pimpinan Megawati Soekarno Putri ini. Perda-perda syariah di berbagai daerah juga tidak selalu dipelopori oleh partai yang bercorak Islam. Bahkan di beberapa daerah Golkar ternyata ikut mendukung Perda-perda syariah. Bisa jadi Golkar di daerah itu melihat Perda Syariah sebagai kebutuhan bisa pula merupakan manuver politik untuk Pemilu mendatang atau merupakan bagian dari deal dengan partai lain. Apapun, latar belakangnya sepertinya klasifikasi partai politik di Indonesia memerlukan parameter yang lebih detil.

Solahudin Wahid (Gus Solah) pun – dalam tulisannya di Kompas, melihat fenomena ini sebagai “kelas” baru partai politik. Dahulu partai-partai politik bisa di klasifikasikan sebagai partai kanan dan “kanan mentok”, kiri dan “kiri mentok”. Lalu di antara keduanya ada partai tengah yang konservatif nasionalis yang secara politis cenderung mempertahankan status quo. Isu revolusi – menurut khasanah ilmu politik era Perang Dingin, selalu di identikkan dengan “partai-partai kiri”. Namun, di era pasca Perang Dingin isu revolusi kian akrab dan diidentikkan dengan “partai-partai kanan”. Pengklasifikasian dahulu tidak begitu sulit dilakukan. Namun, sekarang partai-partai berlomba-lomba menjadi partai semua orang, sehingga identitas partai menjadi tidak begitu khas dan unik, akibatnya masyarakat relatif sulit mendalami “isi hati” partai-partai.

Ke depan kondisi seperti ini masih akan terjadi. Partai-partai akan terus mengklaim – dengan cara mereka masing-masing, bahwa mereka adalah partai terbuka dan untuk semua orang. Artinya, partai-partai akan cenderung kehilangan ke-khasannya. Hal ini karena dalam memasarkan partai di era sekarang mengalami perubahan. Kalau era orde baru yang menjadi pemenang adalah mereka yang dekat dan mampu mengendalikan birokrat, sekarang yang menjadi pemenang adalah mereka yang paling banyak dipilih rakyat. Inilah konsekuensi reformasi yang (ternyata dan paling mudah dipahami) diartikan sebagai partisipasi langsung memilih wakil rakyat.

Fenomena ini adalah kebalikan dari fenomena pemasaran produk-produk masa kini. Marketing kosmetik, motor, makanan cepat saji dll di tv-tv memakai metode yang terbalik dengan marketing partai-partai politik. Strategi marketing kosmetik dan barang-barang sejenis, adalah dengan menciptakan kebutuhan. Strategi ini mengikuti asumsi “products creates its own demand’. Produk atau barang-barang dibuat dahulu maka (melalui promosi, iklan dll) permintaan akan muncul. Sedangkan strategi marketing partai politik adalah mengikuti kebutuhan ‘konsumen’ (baca: masyarakat). Sehingga asumsi yang dipakai adalah “politics follows peoples demand”. Artinya, ‘produk’ partai politik akan mengikuti gerak-gerik dan kecenderungan masyarakat. Meskipun, partai politik dan perusahaan-perusahaan sama-sama memiliki akumulasi dana yang besar, namun menciptakan demand terhadap partai politik, tidak sesedarhana membujuk orang memakai shampoo jenis A atau memakai motor jenis Y. Karena operasional benda-benda amat mudah dipahami dan dilihat, sedangkan konsep politik yang dimiliki (atau yang tidak dimiliki) partai politik merupakan benda abstrak dan tak dapat disentuh kecuali oleh pemikiran dan akal sehat. Partai-partai akan membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk ‘menciptakan demand’ terhadap dirinya. Dan ini strategi yang tidak populer.

Minggu, 18 Juli 2010

Diplomasi Secangkir Kopi

Tahun 60-an Presiden Kennedy mengundang pers untuk minum kopi. Hubungan pemerintah – pers oleh banyak orang ditafsirkan berbeda-beda. Sebagian berpendapat pers adalah pilar ke-empat demokrasi sehingga harus jauh dari pemerintahan dan tak terlalu mesra dengan pejabat-pejabatnya, agar pers bisa lugas mengontrol. Sebagian lagi berpendapat hubungan pemerintah dengan pers justru harus mesra. Kemesraan pemerintah dengan pers akan menjamin informasi yang benar dan luas tentang pembangunan-pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Singkatnya, pers dan pemerintah menjadi mitra sosialisasi pembangunan kepada rakyat sehingga kepercayaan rakyat tumbuh dan stabilitas pembangunan terjaga. Dan akhirnya yang diuntungkan adalah rakyat juga. Bentuk hubungan terakhir ini di adopsi oleh Presiden Soeharto.

Demokrasi adalah ide asing sebagaimana ide-ide lain yang sekarang masuk ke alam bawah sadar rakyat Indonesia. Namun, bila ada bertanya kepada orang-orang di jalanan; apa itu demokrasi, niscaya tidak akan ada jawaban yang sama. Sama seperti tahun 1999an hingga 2000an;orang-orang tidak mampu menjawab dengan lugas bila ditanya mengenai ‘reformasi’. Ketidak-tahuan melingkupi setiap kepala tetapi perasaan yang ada pada setiap kepala adalah ‘ketidak-tahuan’. Saya jadi teringat, diskusi di Univ. Trisakti beberapa tahun lalu. Diskusi itu dimoderatori oleh Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) dengan pembicara alm. Gus Dur, Kwik Kian Gie, Rymizard Ryacudu, Permadi dan Toby Mutis (Rektor Trisakti). Waktu itu Gus Dur marah-marah, kenapa mahasiswa tidak meneruskan reformasi. “Kenapa kalian memulai reformasi tetapi tidak dilanjutkan!”, keluh Gus Dur. Menurut Gus Dur reformasi hanya dimulai, tetapi tidak ada yang menyelesaikan. Atau bisa jadi para mahasiswa pun tak memahami akan kemana arah reformasi.

Mungkin yang paling memahami bagaimana harus menyelesaikan reformasi adalah sang empu rezim berusia 32 tahun itu – yaitu HM. Soeharto sendiri. Beliau yang paling tahu akar-akar dan simpul-simpul kekuasaan di negeri ini. Atau mungkin dia tidak tahu apa-apa, kecuali simpul-simpul pembangunan yang akan menentramkan hati rakyat.

Tahun 1998 hingga sekarang, demokrasi dan akuntabilitas menjadi kata-kata populer. Seolah-olah itu lebih penting daripada laparnya anak-anak jalanan, pendidikan yang masih belum terjangkau semua lapisan, in-efesiensi pemerintahan, hukum yang menjadi permainan dan sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kamis, 08 Juli 2010

Keamanan Daerah vs Keamanan Negara

Akhir-akhir ini media banyak mengulas wacana Menteri Dalam Negeri untuk mempersenjatai Satpol PP. Menteri Dalam Negeri menyangkal wacana ini berkaitan dengan bentrok Satpol PP melawan warga di makam Mbah Priok tempo hari. Kebijakan ini lebih dikarenakan kebutuhan dan peningkatan kinerja Satpol PP, begitu imbuh Mendagri.

Membahas Satpol PP, tidak bisa sekadar membahas Satpol PP saja atau Pemda saja. Meskipun Undang-Undang mengatakan bahwa Satpol PP adalah petugas penegak Perda yang bersifat administratif. Namun, pada kenyataannya penertiban yang dilakukan Satpol tak selalu di respon dengan ketaatan. Lebih banyak direspon dengan perlawanan. Baik secara fisik (karena mampu) dan kadang melawan dengan kata-kata saja (misalnya oleh ibu-ibu). Membahas satpol PP berkaitan dengan peran pengamanan negara dan pemerintah. Atau kalau hendak lebih mendalam dan konseptual lagi perlu dibahas dahulu beda negara dan pemerintah.

Satpol PP dalam konsep Indonesia, berada di wilayah pemerintahan. Artinya, Satpol PP adalah pengawal kebijakan-kebijakan pemerintah de jure pada saat itu. Dengan kata lain, kedudukan Satpol PP adalah seperti bupati dan perangkat-perangkatnya. Dengan begitu tak perlu ada kekerasan ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap Perda. Pelanggaran Perda di hukum sesuai dengan Perda. Bila Perda tidak mengakomodasi "penghukuman terhadap pelanggar Perda", maka Perda tersebut mandul. Kalaupun ada, hukumannya tentu bersifat administratif.

Sayangnya, otonomi memberikan kesan bahwa Pemda adalah Pemerintah seperti di pusat yang memiliki perangkat Polisi dan Tentara. Dan ini bukan kesan semata, memang kenyataannya begitu. Alhasil, Satpol PP sebenarnya Polisi dan Tentara dalam kacamata Pemerintah Daerah.

Minggu, 27 Juni 2010

Andi Nurpati dan "Stockholm Syndrom"

KPU (Komisi Pemilihan Umum) kehilangan salah satu anggotanya. Andi Nurpati, seorang kader Muhammadiyah, keluar dari KPU karena menjadi pengurus Partai Demokrat. Andi Nurpati menjadi orang ke-sekian yang mengisi kepengurusan Demokrat di bawah Anas Urbaningrum. Para "pendahulu" Andi antara lain pengacara kondang Todung Mulya Lubis dan kader NU Ulil Abshar Abdala.

Saya jadi teringat sindrom stockholm. Sindrom ini berawal dari penyandraan yang dilakukan para perampok di sebuah bank di Stockholm Swedia. Singkat, cerita seorang sandera yang seharusnya ketakutan karena terancam nyawanya, justru bergabung dengan para perampok yang menyanderanya. Kemudian kejadian ini terulang juga di beberapa kota besar di dunia. Maka, lahirlah apa yang disebut "Stockholm Syndrom".

Kasus Andi Nurpati adalah kebalikan dari Stockholm Syndrom. KPU yang garang dan keras dalam mengawasi partai-partai dalam Pemilu, justru jatuh hati pada yang diawasi. Tetapi, ini tentu logika yang susah di tangkap masyarakat umum. Bagi masyrakat umum butuh penjelasan yang lebih sederhana. Karena begitulah hidup mereka dan kita sebenarnya.

Logika sederhananya, partai lebih menarik bagi Andi Nurpati daripada KPU. Itu saja. Cuma kita tak pernah tahu apa yang membuat partai (Demokrat) tampak menarik bagi Andi Nurpati. Bagi politikus ini menjadi santapan empuk, karena disinyalir kemenangan Demokrat pada Pemilu lalu masih menyisakan PR. Bagi pengamat, ini adalah era-nya partai untuk berkuasa. Bisa jadi beberapa waktu ke depan, posisi mentri tidak nampak lebih menarik daripada anggota partai atau bahkan posisi Presiden tidak lagi semenarik posisi pengurus atau Ketua Partai. Lets wait and see...

Jumat, 30 April 2010

Tentang Demokrasi : Antara Utopia dan Wacana

Kelas 3 SMA saya membaca buku karya Frans Magnis Suseno tentang Marxisme. Utipia Ideologi dan Pemikiran Marxisme ia tulis dengan bahasa akademis yang teknis dan tidak terlalu praktis untuk otak SMA saya. Jadi, tulisan ini hendak 'balas dendam' terhadap tulisan Frans Magnis dengan cara membuat tulisan tentang demokratisme. Tahun 1990an tidak pernah terpikirkan artis atau pertemuan rt menyinggung-nyinggung kata "demokrasi" atau "demokratis". Apa sebenarnya demokrasi dan demokratisme ?
Istilah demokratisme mungkin aneh. Akan banyak yang menyanggah; 'tambahan -isme kan menunjukkan bahwa dia adalah ideologi, bukankah demokrasi itu sudah merupakan sebuah ideologi ?'. Kenyataannya tidak seperti itu. Silakan tanya ke warung-warung nasi atau ke pangkalan ojek dan becak. Tanyalah orang-orang di sana 'apa itu demokrasi?'; mereka paling tidak akan menjawab 'demokrasi itu milih langsung' atau 'demokrasi ya apa ya ? ya begitulah.. ' Begitulah keadaan orang kecil. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri atau pemimpin-pemimpin mereka katakan. Mereka adalah korban-korban budaya 'demokrasi-tainment'. 'Demokrasi-tainment' adalah ketika di televisi seseorang berbicara penuh bunga, namun kata-kata yang di ucapkan bila ditelusur secara fakta maupun akademis amat memalukan akurasinya.Demokrasi menurut beberapa orang yang lebih intelek, disimpulkan dengan kalimat yang singkat dan padat 'demokrasi adalah tata-kelola negara dengan sistem perwakilan'. Sekilas keren, tetapi apa bedanya dengan komunisme dan sosialis yang -misalnya di Cina, ada juga partai-partai yang mengaku mewakili kepentingan rakyat.
Namun, pada kenyataannya demokrasi tidak pernah mewakili siapapun. Pembagian kekuasaan menjadi 3 pihak, yaitu eksekutif, yudakatif dan legislatif hanyalah kompromi di permukaan saja, sedangkan di hati mereka ada permusuhan yang tak pantas.
Demokrasi, sebagai sebuah sistem kenegaraan adalah cita-cita yang mensyaratkan beberapa hal. Pertama, orang-orang suci tanpa tendensi. Mereka ibarat malaikat. Tiga pos kekuasaan yang di perkirankan akan saling mengawasi ternyata justru menjadi pos penyimpangan yang saling acuh dan saling "tahu-sama-tahu". Saya jadi ingat ketika kecil, guru-guru saya menjelaskan bahwa Tuhan itu harus satu. Ia mutlak Esa. Bila ada Tuhan 3 atau 4 atau 5 atau lebih maka mereka akan bertengkar tentang urusan hamba-hambanya. Penguasa negara ibarat 'Tuhan', bila ada lebih dari satu maka akan ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka saling mengawasi. Ini logika dan teknis yang amat rumit. Masing-masing punya kepentingan satu sama lain, namun di suruh mengawasi satu sama lain. Presiden mengawasi DPR ? dengan apa? Lha wong yang mendukung presiden ada banyak di DPR ?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons