Minggu, 18 Juli 2010

Diplomasi Secangkir Kopi

Tahun 60-an Presiden Kennedy mengundang pers untuk minum kopi. Hubungan pemerintah – pers oleh banyak orang ditafsirkan berbeda-beda. Sebagian berpendapat pers adalah pilar ke-empat demokrasi sehingga harus jauh dari pemerintahan dan tak terlalu mesra dengan pejabat-pejabatnya, agar pers bisa lugas mengontrol. Sebagian lagi berpendapat hubungan pemerintah dengan pers justru harus mesra. Kemesraan pemerintah dengan pers akan menjamin informasi yang benar dan luas tentang pembangunan-pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Singkatnya, pers dan pemerintah menjadi mitra sosialisasi pembangunan kepada rakyat sehingga kepercayaan rakyat tumbuh dan stabilitas pembangunan terjaga. Dan akhirnya yang diuntungkan adalah rakyat juga. Bentuk hubungan terakhir ini di adopsi oleh Presiden Soeharto.

Demokrasi adalah ide asing sebagaimana ide-ide lain yang sekarang masuk ke alam bawah sadar rakyat Indonesia. Namun, bila ada bertanya kepada orang-orang di jalanan; apa itu demokrasi, niscaya tidak akan ada jawaban yang sama. Sama seperti tahun 1999an hingga 2000an;orang-orang tidak mampu menjawab dengan lugas bila ditanya mengenai ‘reformasi’. Ketidak-tahuan melingkupi setiap kepala tetapi perasaan yang ada pada setiap kepala adalah ‘ketidak-tahuan’. Saya jadi teringat, diskusi di Univ. Trisakti beberapa tahun lalu. Diskusi itu dimoderatori oleh Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) dengan pembicara alm. Gus Dur, Kwik Kian Gie, Rymizard Ryacudu, Permadi dan Toby Mutis (Rektor Trisakti). Waktu itu Gus Dur marah-marah, kenapa mahasiswa tidak meneruskan reformasi. “Kenapa kalian memulai reformasi tetapi tidak dilanjutkan!”, keluh Gus Dur. Menurut Gus Dur reformasi hanya dimulai, tetapi tidak ada yang menyelesaikan. Atau bisa jadi para mahasiswa pun tak memahami akan kemana arah reformasi.

Mungkin yang paling memahami bagaimana harus menyelesaikan reformasi adalah sang empu rezim berusia 32 tahun itu – yaitu HM. Soeharto sendiri. Beliau yang paling tahu akar-akar dan simpul-simpul kekuasaan di negeri ini. Atau mungkin dia tidak tahu apa-apa, kecuali simpul-simpul pembangunan yang akan menentramkan hati rakyat.

Tahun 1998 hingga sekarang, demokrasi dan akuntabilitas menjadi kata-kata populer. Seolah-olah itu lebih penting daripada laparnya anak-anak jalanan, pendidikan yang masih belum terjangkau semua lapisan, in-efesiensi pemerintahan, hukum yang menjadi permainan dan sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons