Senin, 04 November 2013

PILAR-PILAR SPIRITUALITAS EMHA AINUN NADJIB



Muhammad Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun sebenarnya terus bergerak dengan kampanye  budaya dan optimismenya meski tidak pernah diliput dan diekspose media. Maka tak heran bila masyarakat umum menganggap Cak Nun tak punya “kegiatan” karena minimnya ekspose media mainstream. Hal ini disadari oleh Cak Nun dan komunitasnya, sebagaimana sering ia ungkapkan dalam beberapa kesempatan. Dan di dalam buku ini, Cak Nun dengan lapang mengatakan “Tapi Kiai Kanjeng memang tidak dihargai di Indonesia. Dan itu tidak apa-apa bagi Kiai Kanjeng. Sebab, sukses itu bagi Kiai Kanjeng bukan terletak pada kami dapat apa, jadi apa, eksis atau tidak, bintangnya terang atau tidak. Tapi, bagaimana menjalani hidup ini dengan benar, itu arti sukses bagi Kiai Kanjeng” (hal 205).
Latar belakang Cak Nun sendiri cukup menarik. Ia lahir di Jombang pada tanggal 27 Mei 1953. Latar belakang tempat tinggal, keluarga dan pendidikan masa kecil mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Hal itu terlihat dari ceramah-ceramahnya yang kerap menyinggung masa kecil dan remajanya. Dari buku dan tulisannya pun dapat dilihat pengaruh latar belakang Cak Nun tersebut, misalnya pada “Ibu, Tamparlah Wajah Anakmu Ini” atau “Indonesia Bagian Dari Desaku”. Dan untuk lebih menguliti latar belakang pemikiran Cak Nun perlu diketahui juga kiranya bahwa Cak Nun telah sejak tahun 1970 an menjadi wartawan dan sastrawan yang menelurkan berbagai tulisan berupa cerpen, artikel, lirik-lirik lagu, naskah drama, essai maupun puisi. Dan jangan lupa Cak Nun juga pernah berkecimpung di dunia teater. Namun, di buku ini, hal tersebut (mungkin) sengaja untuk tidak dikupas.
cak nun,politik indonesia,EAN,emha ainun najib,emha ainun nadjib,gambang syafaat,kenduri cinta,budaya indonesia,kiai kanjeng,jaman wis akhir
Buku ini mengupas sosok Cak Nun dari segi pemikiran dan sikap spiritualitasnya. Terutama pada peran Cak Nun di Kiai Kanjeng. Di buku ini Cak Nun menamakan dirinya sebagai “sahabat dekat kiai kanjeng” (hal 205). Namun, secara umum, buku ini mengupas pemikiran Cak Nun dalam komunitas Maiyah. Maiyah sendiri lebih merujuk pada ukuran kualitatif daripada kuantitatif. Maka, “Maiyah lebih merupakan komitmen nilai, bukan bentuk. Sehingga, Maiyah tidak akan pernah mencapai bentuk formal semacam organisasi masyarakat” (hal 29). Meskipun begitu, ciri-ciri kualifikasi Maiyah setidaknya dapat dilihat dari acara-acara rutin yang ia asuh: Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Obor Illahi (Malang) dan Paparandang Ate (Sulawesi). Diluar itu Cak Nun masih sering menerima undangan diskusi maupun pengajian di daerah-daerah serta komunitas-komunitas intelektual dalam maupun luar negeri, baik secara pribadi maupun dalam kapasitas Grup Kiai Kanjeng.
Salah satu karakter Maiyah adalah daya penerimaan (akseptabilitas) yang amat terbuka kepada berbagai komunitas dan pihak untuk ikut bergabung dalam diskusi Maiyah. Ragam pihak yang diterima bukan sekadar dari berbagai latar belakang agama dan suku namun juga keragaman pemikiran dan strata sosial. Sehingga dalam Maiyah tercatat pernah dihadiri tokoh politik, anggota DPR atau calon legislatif seperti Efendi Choiri, Rizal Ramli, Mutia Hatta, Permadi, Gus Dur (almarhum) hingga Ichsanudin Noorsy. Ada juga kalangan artis mainstream seperti Letto – kebetulan vokalisnya adalah putra Cak Nun dan salah satu narasumber Maiyah juga - Sulis, Mbah Surip (almarhum) dan Dik Doang. Dari komunitas lokal pun diapresiasi, misalnya komunitas Tana Abang, Perkumpulan Keraton Nusantara, para habib hingga anggota SAR meledaknya Gunung Merapi. Para individu yang menjadi langganan Maiyah pun bila kritis dan setia mengikuti Maiyah akan diapresiasi secara proporsional oleh Cak Nun, misalnya tokoh “kafir liberal” di Kenduri Cinta Jakarta. Dan tidak ketinggalan Ust. Wijayanto dan ust. Nurshomad Kamba yang berbicara lebih akademis-formal dan by the book. Semua pihak tersebut memang sengaja diberi tempat oleh Cak Nun, bukan hanya sekadar diberi kesempatan untuk bertanya semata.
Pemikiran Cak Nun dalam buku ini paling tidak ada 4 sisi yang paling menonjol. Pertama, teknologi peradaban Jawa. Lalu yang kedua adalah pemikiran progresif dalam kerangka cinta Indonesia. Sedangkan yang ketiga adalah Islam dan hikmah-hikmah kenabian. Dan yang terakhir adalah segitiga cinta dan Allah sebagai pemiliki qolbu manusia (shohibu baytii).
Bila Cak Nun menyebut peradaban Jawa, maka Cak Nun merujuk pada sejarah panjang Nusantara yang sudah ada sebelum sejarah keraton dan kerajaan Nusantara. Bahkan jauh sebelum Majapahit. Dan keberadaan peradaban Jawa pada masa ini dikuatkan oleh ilmuwan Inggris Stephen Oppenheimer (“Out of Taiwan” dan “Out of Sundaland” hal 11-14). Menurut teori Oppenheimer manusia Nusantara adalah manusia yang melakukan imigrasi ke utara, yaitu wilayah Asia Utara hingga Amerika dan wilayah Pasifik. Sehingga ia menolak anggapan bahwa manusia Nusantara adalah pendatang dari utara (teori Out of Taiwan). Dari dasar pemikiran ini Cak Nun mencoba membangkitkan optimisme masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahwa cikal bakal bangsa Nusantara adalah bangsa besar. Bahkan cerita-cerita mistis para kiai yang dapat pindah tempat dalam sekejap (teleportasi) dan menggerakkan benda-benda tanpa disentuh merupakan kemampuan alami manusia Nusantara, yang didapat dari ritual-ritual tertentu yang dicurigai sebagai amalan-amalan Islami. Misalnya puasa dan wirid-wirid. Intinya adalah kalau Eropa mengolah perangkat keras untuk bisa terbang dan menaklulkan alam, maka manusia awal Nusantara mengolah hati dan pikiran untuk menaklukan alam. Dan kedua-duanya adalah sama-sama jenis teknologi. (Teori Fisika Peradaban Jawa hal 15,Slow Speed hal 22 dan Kisah-kisah dari Peradaban Koneksitas hal 51).
Cak Nun pun mengguyur jamaahnya dengan pemikiran dan kecintaan pada Indonesia secara progresif. Hal itu terlihat dalam “Bangsa Fotokopi” (hal 61) yang mempertanyakan kemandirian bangsa Indonesia dalam mengelola negaranya sendiri. Kemudian Cak Nun juga menggambarkan secara jernih dan mengagetkan peristiwa tahun 1998 yang monumental lewat “Kesaksian Reformasi 1998” (hal 165) hingga “Reformasi yang Gagal” (hal 178). Dalam pembahasan reformasi 1998 ini diselipkan sub bab “Bahasa Pasemon” (hal 172) untuk memberi lampu kuning bahwa bahasa yang dipakai Cak Nun amatlah halus sekaligus menohok. Sehingga maksud Cak Nun adalah seperti dalam permainan karambol. A menembak B, padahal sebenarnya pada saat yang sama A mengharapkan bahwa C menyadari bahwa dirinyalah yang diincar.
Sebagai jebolan Pondok Pesantren Gontor tentu saja Cak Nun tidak bisa dilepaskan dari analisis dan pemikiran  yang khas Islam. Ini terlihat dari bagaimana Cak Nun memandang kafir, muslim dan mukmin. Secara tradisi ke-Islaman, setiap kata pembahasan ibadah,muamalah dan aqidah memiliki makna bahasa (literer), makna istilah dan makna syar’i. Dalam hal ini Cak Nun mencoba mendudukkan istilah-isitilah tersebut secara tepat, sehingga orang tidak mudah mengkafirkan tanpa dasar dan pada saat yang sama Cak Nun mencegah jamaahnya agar jauh dari tindakan kufur (mengingkari atau tidak mau tahu). Baik kufur kepada nikmat Allah, kufur kepada kebesaran Allah maupun kufur secara politik (Kafir, Muslim dan Mukmin hal 119). Dan analisis model ini pun Cak Nun gunakan untuk membahas masalah jihad, kepemimpinan (rois/amir), kebaikan (hasan/thoyib), barokah, karomah dan lain-lain. Hikmah-hikmah kenabian dibuku ini menyajikan keluasan analisis berpikir manusia lewat kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa (hal 87). Dalam kisah ini Cak Nun seolah-olah menyatakan bahwa ada beberapa tindak kebaikan sosial maupun individu yang melewati masanya sehingga dilihat oleh masyarakat umum sebagai tindakan gila dan merugikan.
Mungkin tidak ada teks lain yang fokus mengurai spiritualitas hati Cak Nun selain syair “Allah Tuan Rumahku”, sehingga syair tersebut menjadi halaman pamungkas buku ini. Spiritualitas Cak Nun, sebagaimana tergambar dalam buku ini dan ceramahnya di Maiyah, tertambat pada konsep segitiga cinta Allah, Rasulullah dan Manusia serta konsep menyatunya hamba dengan Kholiq (Sang Pencipta). Dalam segitiga cinta, Rasulullah adalah kekasih Allah yang menjadi konsekuensi cinta manusia pada Allah. Maka kecintaan manusia pada kekasihNya sebenarnya adalah kecintaan manusia pada Allah itu sendiri. Apalagi kalau mempertimbangkan jasa Rasulullah melalui panduannya maupun melalui syafaatnya kelak. Sedangkan konsep shohibu baytii  meniscayakan bahwa isi dari qolbu dan hati manusia hanyalah Allah semata. Bahkan manusia itu sendiri (ego) itu tidak ada sehingga, raja hati dan qolbu manusia adalah Allah semata. Maka kreasi dari hati dan qolbu manusia, di lapangan ekonomi,politik, hukum maupun negara dapat dipastikan telah mendapat persetujuan Raja hati dan qolbu yaitu Allah SWT. Inilah yang dirujuk sebagai menyatunya hamba dan Pencipta yang tentu saja berbeda dengan manunggaling kawula lan gusti  ala Siti Jenar.   
Secara umum buku ini telah mampu menggambarkan pemikiran dan spiritulitas Emha Ainun Nadjib sebagai pengasuh Maiyah. Yang menarik adalah penulis membuat buku ini setelah sempat berkorespondensi dengan Cak Nun kemudian  mendapat “perintah” dari Cak Nun untuk menulis tentang Maiyah (hal XII).  Hanya saja penggunaan gaya laporan pandangan mata (sightseeing report) oleh penulis menjadi kelebihan sekaligus kelemahan. Menjadi kelebihan karena pemikiran Cak Nun lebih lugas diungkapkan, menjadi kelemahan karena ada ketidak-konsistenan sehingga pada beberapa bagian tidak begitu jelas mana yang merupakan kata-kata Cak Nun, mana yang diinterpretasikan dari kata-kata Cak Nun dan mana yang merupakan opini penulis sendiri. Buku ini layak baca bagi pemerhati gerakan ke-Islaman dari kalangan mahasiswa, akademisi maupun masyarakat umum. Buku ini pun cocok bagi mereka yang ingin mendapatkan perspektif baru menurut pandangan Islam mengenai permasalahan budaya dan kebangsaan.
Penulis : A.R. Ibnu, S.E.

Resensi Buku
Judul                     : Spiritual Journey : Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Nadjib
Penulis                  : Prayogi R Saputra
Penerbit               : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit       : 2012

Jumat, 01 November 2013

Yours Forever

Hak yang paling asasi konon hak asasi manusia. Amerika sejak 1700an telah menjamin hak itu lewat The Declaration of Independence. Salah satu perumusnya adalah Thomas Jefferson. Kalau di Indonesia, Thomas Jefferson itu Soekarno. Dalam deklarasi itu negara menjamin hak untuk hidup, hak berpendapat dan hak memperjuangkan hidupnya (bebas bekerja dan memiliki sesuatu). Kalau ada yang salah dari hak-hak itu tolong dikoreksi. Maklum, terakhir baca sejarah Amerika waktu SMA.
thomas jefferson,politik indonesia,pks,golkar,hanura,amerika indonesia,politik internasional,pahlawan amerika,usa,hero,national hero
Mungkin inilah perbedaan paling mendasar antara manusia dan binatang. Manusia memiliki free-will (kebebasan memilih) karena punya konsep ego (ke-akuan). Sedangkan binatang hanya memiliki naluri. Dia tidak sadar ke-akuan-nya. Bagi binatang; lapar ya makan, ada lawan ditantang, diserang ya bertahan, kalah bertarung ya minggir. Dia tidak punya ego yang membuat ia merasa malu bila kalah. Dia tidak punya ego yang membuat ia punya cita-cita. Ia tidak punya konsep dendam atau manipulasi terhadap keadaan. Bagi binatang kalah ya kalah. Lihatlah capung yang nabrak-nabrak kaca. Sampai kiamat ia akan terus berusaha melewati kaca itu seolah-olah kaca itu tidak ada. Sedangkan manusia, setiap hambatan bisa ia akali. Bahkan aturan pun bisa ia manipulasi untuk kepentingannya sendiri.
Misteri paling gelap dalam kehidupan manusia adalah free-will. Anugrah terbesar manusia dari Tuhan adalah free-will. Dalam bahasa Al Qur’an –mungkin– free-will adalah amanah. Semua makhluk Tuhan ditawari free-will (amanah) tapi mereka semua menolak. Hanya manusia –yang dengan congkaknya- menerima amanah itu.
Mata, hati, kaki, inspirasi dan ilham. Semuanya dari Tuhan. Lalu darimanakah free-will itu? Mungkin itu adalah sedikit dari sifat Allah yang dipinjamkan kepada manusia. Allah bebas berkehendak (dalam asmaul husna ada. Cek aja sendiri). Suatu saat free-will itu akan diambil dan dimintai pertanggung-jawaban.
Yang aneh adalah ada beberapa orang yang memilih untuk tidak memakai free-will-nya. Mereka punya keinginan, namun menyerahkan semuanya pada entah apa. Ada yang menyerahkannya kepada teman, orang tua, proses sosial atau apa pun itu asal bukan dirinya sendiri (baca:ego). Siapakah kalian yang tidak membutuhkan kebebasan? Siapakah kalian yang nyaman dalam penjara? Siapakah kalian yang merasakan kebebasan dalam keterikatan? Siapakah kalian yang merasakan keterikatan dalam kebebasan? Apa sebenarnya yang mengikat kalian? Apa sebenarnya yang membebaskan kalian?
Apa pun itu. Kebebasan adalah milik manusia. Selamanya.
Here some wings,
There yours forever,
And heres some dreams,
That will come true,
Take these tears, to wash away your sorrows,
Tomorrow still holds out its hands to you,
Yes tomorrow still holds out its hands to you
Yes tomorrow still holds out its hands to you

“John Mellencamp – Yours Forever” OST Perfect Storm
Monday, April 08, 2013

Sabtu, 26 Oktober 2013

Display

Tadi malam jalan-jalan ke halaman sosial media beberapa kawan. Saya terkaget-kaget melihat “tembok” seorang kawan terpampang gambar wajahnya secara demonstratif, clear dan fokus. Sebelum itu, “tembok”nya hanya berisi gambar-gambar karakter kartun idolanya.
Ada apa ini?  Hal biasa? Mungkin saya saja yang berpikir terlalu jauh.
Facebook dan twitter adalah keniscayaan zaman. Roda zaman yang tak ada rem-nya. Siapa pun mungkin telah teramat sulit untuk membendungnya. Kecuali anda presiden, maka anda bisa mem-blok media-media sosial itu dari negeri ini, sebagaimana yang terjadi di Cina.
Dua dekade yang lalu tak terbayangkan ada media semacam ini. Ngobrol lewat telepon saja – waktu itu – sudah merupakan gaya hidup yang wah. Keasyikan dan kenikmatan berkumpul dan bersenda-gurau dengan kawan berada di lapangan, surau, permainan-permainan tradisional selepas maghrib dan kenakalan-kenakalan kecil – mencuri jambu atau kelapa di kebun. Semua itu menjanjikan pengalaman mental yang lebih kaya. Keintiman dengan lingkungan yang tak lekang oleh waktu. Kekayaan petualangan yang lebih kaya daripada buku cerita seorang penyihir cilik sekalipun. Koneksi persahabatan yang luas, yang akan sulit terjadi pada anak-anak sekarang untuk bersosialisasi sedemikian luas. Karena untuk pergi ke luar rumah saja mereka butuh motor. Kalau tidak ada motor atau mobil yang bisa dipakai mereka tidak mau pergi.
Tapi itu masa lalu, saudara-saudara. Sekarang, kalau anda tidak punya akun FB, twitter, smartphone, tidak pernah punya pengalaman makan di tempat keren di kota anda, maka anda bukan siapa-siapa. Anda adalah orang pinggiran. Anda adalah penonton diantara para pemain. Anda kehilangan akses informasi yang terhangat. Anda terlibas oleh gosip terkini yang dibicarakan semua orang. Anda akan tidak nyambung dengan obrolan teman sebelah anda. Lambat laun anda akan merasa di negeri antah berantah meskipun ada tidak bepergian ke luar negeri. Teknologi, media sosial, gaya hidup dan keterbukaan informasi adalah “bola salju” yang mau tak mau kita harus ikut masuk ke dalam gulungannya, meski kita tak tahu akan menuju kemana ia.
Media sosial adalah “ibu kandung” dari berbagai fenomena masa kini. Dari bahasa gaul hingga gerakan solidaritas sosial dan politik. Maka, berbondong-bondonglah semua orang ingin punya akun FB atau twitter. Kalau anda tidak punya maka anda ga gaoool. Presiden pun akhirnya punya akun.  Biarpun presiden, dia juga harus gaul juga, saudara-saudara.
Kembali ke masalah “display”. Kalau wajah adalah “display” identitas kita. Maka halaman sosial media adalah display identitas baru kita. Asyiknya, kita bisa menghiasi dan memanipulasi display yang ingin kita suguhkan. Dan – dengan gembira saya umumkan – display kita sekarang adalah foto-foto di akun FB atau twitter dan status-status yang kita bikin. Identitas dan ke-diri-an kita adalah sebuah file JPG atau kumpulan huruf-huruf yang sengaja dibikin inspiratif, lucu atau galau.
Positif atau negatifnya dari “arus zaman” ini, bagi saya tidak relevan. Toh ia sudah duduk di ruang tamu. Ia benar-benar telah berada di dalam rumah, jadi bukan sekadar baru mengetuk pintu. Saya pun tidak punya kemampuan membendung arus ini. Meskipun ia menggulung kenangan-kenangan masa lalu yang adiluhung, syahdu dan juga kuno toh ia harus kita sambut dengan tangan terbuka. Dan saya yakin anda adalah pengendali arus baru itu. Anda akan menemukan nilai-nilai baru yang lebih adiluhung, modern, keren dan progresif di dalam arus baru ini. Tidak akan ada value yang childish, sekadar lips-service atau pencitraan semata. Kalau pun tidak, saya yakin “arus baru” ini memperkaya apa yang sudah anda miliki.
Bukan begitu, saudara-saudara?
Jadi, bila ada gambar-gambar demonstratif di media-media sosial jangan anda kaget. Itu biasa. Gambar-gambar itu diperlukan sebagai identitas. Memang betul di situ sudah ada nama. Namun, nama saja tidak cukup. Sama seperti jaringan ayam goreng cepat saji. Nama dan papan iklan tidak cukup. Kaca gerai harus tembus pandang, agar menjadi “display” yang menarik, “ditonton orang” dan yang ditonton juga merasa nyaman ditonton.
Jadi, ketika paha ayam goreng itu kita kunyah bunyinya bukan “kriuk kriuk kriuk..!” tapi “status status status..!”
May 17, 2013

Rabu, 12 Desember 2012

kanvas

Sembilan puluh sembilan tahun yang lalu, di kota Arles yang sunyi, ia memotong kupingnya untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dua tahun kemudian, ia menombak perutnya sendiri, di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di kota Auvers. Tiga puluh enam jam setelah itu Vincent van Gogh mati.

Ia mati tak punya apa-apa dalam usia 37, tapi di tahun 1987 ini, hampir seabad kemudian, sebuah lukisannya dilelang dan dibeli oleh perusahaan asuransi Yasuda di Tokyo dengan Rp 65 milyar. Itu kurang lebih sama seperti harga 500 buah mobil Mercedez Benz. Majalah Eksekutif pun menyebut lelang lukisan Bunga Matahari karya Van Gogh di London sebagai ”lelang terbesar abad ini”. Riwayat Van Gogh memang penuh kejadian yang layak untuk sebuah biografi hebat, dan tak aneh bila 30 tahun yang lalu Kirk Douglas memainkannya (dengan sejumlah bumbu Holywood) dalam Lust for Life. Tapi apa yang luar biasa? Orang telah terbiasa dengan cerita anekdotis tentang seniman yang hidup gila-gilaan dan aneh dan berantakan: kita sudah menonton Amadeus atau mendengar tentang Chairil Anwar yang makan sate mentah dan mati muda.

Seniman, agaknya, telah menjadi semacam keistimewaan – punya semacam privilese untuk tak dinilai dengan ukuran orang biasa. Saya tak tahu persis darimana dan sejak kapan semua itu berasal. Kakek nenek kita di kampung dulu rasanya tak pernah mengenal seniman sebagai kategori tersendiri. Buku Umar Khayam yang menarik, Semangat Indonesia, satu rekaman selintas tentang kehidupan kesenian rakyta di Indonesia, menunjukan bagaimana orang membuat seni (di Nias, di Bali, di pedalaman Irian) bukan hanya untuk ”keindahan” melainkan bagian dari alat kerja dan upacara – tanpa tepuk tangan.

Tapi mengapa Bunga Matahari Van Gogh ternyata dibeli orang dengan Rp 65 milyar? Kenapa orang tak datang saja ke museum Van Gogh di Amsterdam, yang necis dan penuh cahaya di musim panas, atau membeli reproduksinya – cukup bagus – dengan harga tak sampai Rp 10 ribu?

Jawabnya, mungkin: ada manusia yang memang tak cuma kepengin benda-benda yang akhirnya bisa diraih oleh banyak orang, betapapun mahalnya. Ia juga menginginkan sesuatu yang oleh seorang ahli ekonomi disebut sebagai ”kekayaan olirgakis”, yakni hal-hal yang, saking langkanya akhirnya hanya bisa dimiliki oleh satu dua pribadi, walaupun orang lain mampu membelinya. Ironi Van Gogh ialah bahwa ia, yang bermula denga melukis petani miskin di Borinage, kemudian menjadi unsur dalam kekayaan olirgakis itu.

Tapi untunglah: keindahan tak cuma hadir dalam sebuah lukisan seharga sekian puluh milyar. Kita toh bisa melihat ada yang indah pada etalase toko Esprit di Singapura, stempel karet di kaki lima Malioboro, sampul kaset musik jazz Chandra Darusman – pada segala sesuatu yang sehari-hari, yang sementara, yang sepele. Bukankah di Bali juga keindahan didapat pada patung keramik yang besok mungkin pecah?

Memang – dan sejumlah seniman, dengan semangat besar, mengukuhkan itu, ketika mereka mengumumkan diri sebagai Gerakan Seni Rupa Baru, dan dalam sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki yang menarik, memaparkan iklan dan stiker dan kalender dan kaus oblong dari sembarang pojok. Tak berarti ada sesuatu yang baru dalam pendirian mereka. Penulis kritik seni Bambang Budjono, misalnya, bisa menyebutkan bahwa di tahun 1938 sebuah pameran para ”ahli gambar” Indonesia, diikuti juga oleh pelukis poster bioskop – suatu bukti, agaknya bahwa, di Indonesia, sejak dulu, orang memang bisa berkesenian tanpa merasakannya sebagai suatu privilese. Orang bisa berkesenian dengan cara yang sangat ringan: sebagian dari hidup yang biasa dan tidak menakjubkan.

Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli elite –terutama elite sosial, yang di Indonesia kini nampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi ”orang sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkisnya sendiri, apapun kriterianya: lukisan ”Gerilya” S. Soedjojono bagi saya lebih menggetarkan ketimbang lukisan ”Jaka Tarub” Basuki Abdullah. Iklan dalam majalah Interview Andy Warhol lebih memukau ketimbang iklan ribut pabrik kaset ”JK Records” dalam Tempo. Singkat kata, yang satu punya tingkat yang berbeda dibanding yang lain. Di sini, tak ada perlakuan yang sama. Di sini, apa yang disebut ahli sosiologi Daniel Bell sepuluh tahun yang lalu sebagai ”The democratization of genius” – lahir dari semangat ”kerakyatan” dalam kesenian barat yang meledak di tahun 1960-an – menjadi hal yang mustahil.

Sebab ”demokratisasi kejeniusan” berarti peniadaan kejeniusan itu sendiri. Sementara itu, kejeniusan adalah bagian yang tak bisa ditolak dalam proses ketika manusia menciptakan kebudayaan. Kejeniusan mendorong kita ke pintu yang lebih luas. Kejeniusan itu bernama Van Gogh, yang ingin melukis terus, intens, sampai gila, seraya bertanya, ”Buat apa?”

Mungkin ia tak tahu apa jawabnya. Tapi kita tahu apa yang diberikannya kepada kita, lewat kepedihannya. Dan itu bukan sebuah kanvas seharga Rp 65 milyar.

Goenawan Mohammad # 27 Juni 1987

Senin, 12 November 2012

bhargawa

Resi Bhargawa meletekkan tubuhnya yang kukuh di bawah pohon-pohon hutan yang memberat. Tidur.

Di dekatnya, dengan setia, Radheya menyediakan diri jadi bantal bagi gurunya. Ia memangku kepala yang besar dan perkasa dengan rambut panjang yang terjalin keras itu. Ia merasakan kebahagian yang dalam – bahagia seorang yang ingin mengabdi, ingin menghormati – karena tahu; yang ia jaga adalah ketentraman seorang yang selama ini membagikan kepadanya ilmu dan kepiawaian.

Dan Resi Bhargawa pun tertidur berjam-jam, dan Radheya duduk menyangganya berjam-jam, tak bergerak, membisu. Hanya hatinya tidak membisu. Hari itu menjelang hari terakhirnya berlatih dengan bagawan yang termasyhur itu.

”Terima kasih, guru, kau telah terima penghormatanku – telah kau terima diriku. Aku tak pernah melupakan hari itu, tujuh tahun yang lalu, ketika aku berbuat pertama kalinya mengetuk pintu asramamu dan kau bertanya, ”Siapakah engkau, anak muda?”

”Aku tahu, guru, tuan tak hanya menginginkan sebuah nama. Tuan menanyakan sebuah niat, dan sebuah riwayat – jalan panjang yang menyebabkan aku, seorang dari keluarga tak ternama, datang dan menyatakan akan belajar kepadamu. Aku bergetar, guru, engkau begitu dahsyat. Dan aku tahu aku tak akan pernah bisa menjawab.

”Sebab, aku hanya tahu cerita ini: Seorang remaja telah datang dari pedalaman. Ia dibesarkan oleh seorang sais kereta yang konon bukan ayahnya sendiri – sebab anak itu tumbuh dengan keingan lain yang tak pernah dikhayalkan orang tuanya. ”Engkau memang cuma anak pungut kami, buyung”, kata wanita yang selam ini menjadi ibunya dengan terisak-isak, ”mimpimu bukan mimpi kami.”

”Jadi, siapakah dia, guru? Yang ia tahu pasti ia diberi nama Radheya, dengan hasrat yang ganjil dan tinggi: menjadi seorang pemanah ulung, seperti yang didengarnya dari cerita Ibu, tentang perang dan para bangsawan. Lalu pada suatu hari ia datang ke guru termasyhur itu, Resi Durna. Tapi ditolak. Ia cuma anak seorang suta – bukan kelas yang berhak dengan ilmu peperangan.
”Maka, ia pun berdiri, Resi, di depan gerbang asramamu, dengan lutut menggeletar. Dan ia harus memberikan keterangan. Hari itu kurasakan, dalam pertanyaan pertamamu, ujung pisau yang meraba sarafku. Tapi akhirnya engkau menerimaku. Tak ada riwayat yang lebih bersinar-sinar dalam diriku, selain menjadi muridmu, menerima ilmumu, menerima kepercayaanmu . . . .

”Meskipun aku telah menjustaimu. Hari itu kukatakan kepadamu, ”Hamba anak seorang brahmana jauh di pedalaman Hastina’, dan kau percaya. Kau berikan ilmu kepadaku dengan kepercayaan itu. Kau jadikan aku murid utamamu sampai tuntas, tanpa kau tahu kebohonganku.

”Maafkan, aku, guru. Aku bukan anak Brahamana. Aku tak tahu aku anak siapa – jika benar aku hanya anak pungut seorang suta. Toh aku tak bisa mengaku berasal dari kalangan ksatria yang kau benci itu – orang-orang yang kau anggap sesat, orang-orang yang membakari hutan pertapaan lalu membangun kerajaan di atas mayat dan ketakutan. Aku bukan anak musuhmu, guru, meskipun aku tak datang dari kaummu. Aku adalah aku, Radheya, muridmu. . . . ”
Dan berjam-jam sang guru tertidur, dan berjam-jam sang murid mengabdi. Sampai menjelang senja, sesuatu terjadi. Seekor serangga ganas memagut paha anak muda itu. Darah menetes. Rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya. Ia tak ingin menyebabkan gurunya – yang dikasihinya itu – terbangun. Kesakitan itu, baginya, adalah bagian dari tugasnya, dari baktinya.

Tapi darah menetes ke muka Bhargawa. Sang resi terbangun. Dilihatnya apa yang terjadi: muridnya, dengan wajah pucat menahan sakit, dan tubuhnya demam, tetap duduk seperti berjam-jam yang lalu, tak bergeming. Bhargawa pun meloncat bangun dan memegang bahu Radheya yang menggigil. ”Kau sakit, kau terkena racun. Apa yang terjadi?”

Radheya menceritakan apa yang terjadi. Dan Bhargawa mendengarnya dengan takjub – dan sesuatu tba-tiba tersirat dalam wajah anak ini, yang teguh, yang angkuh menahan kepedihan, yang seakan-akan mencemooh penderitaan yang bagi orang lain tak akan tertahankan. ”Wajah itu”, Bhargawa tiba-tiba menyimpulkan, seakan-akan sebuah mimpi buruk baru saja mengilhaminya. ”Sikap itu – keangkuhan itu – ”. Ia kenal. Anak muda yang dihadapinya ini mengingatkannya kepada wajah para ksatria, musuhnya, yang pernah roboh ia kalahkan, tapi tak menyerah.

Tanpa berkata-kata, ia pun meninggalkan Radheya di bawah pohon itu. Murid itu pun pelan-pelan berjalan ke arah asrama, tanpa ia merasa sesuatu telah hilang dari gurunya. Malam itu Bhargawa memang yakin: kecurigaannya selama ini tentang Radheya memang terbukti. Anak itu, yang telah diberinya pelbagai ilmu oerang yang tinggi, berasal dari kalangan musuh. Mungkin ia mata-mata . . . .

Ketika pagi datang, sang guru mengusir sang murid. Ia kecewa dan ia mengutuk ketika anak itu mengaku selama ini ia menjustainya. Baginya justa adalah justa. Juga dari seorang yang belum bisa menjawab siapa dirinya.

Goenawan Mohammad # 11 April 1987

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons