Muhammad Ainun Nadjib atau yang
lebih dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun sebenarnya terus bergerak dengan
kampanye budaya dan optimismenya meski
tidak pernah diliput dan diekspose media. Maka tak heran bila masyarakat umum
menganggap Cak Nun tak punya “kegiatan” karena minimnya ekspose media
mainstream. Hal ini disadari oleh Cak Nun dan komunitasnya, sebagaimana sering
ia ungkapkan dalam beberapa kesempatan. Dan di dalam buku ini, Cak Nun dengan
lapang mengatakan “Tapi Kiai Kanjeng memang tidak dihargai di Indonesia. Dan
itu tidak apa-apa bagi Kiai Kanjeng. Sebab, sukses itu bagi Kiai Kanjeng bukan
terletak pada kami dapat apa, jadi apa, eksis atau tidak, bintangnya terang
atau tidak. Tapi, bagaimana menjalani hidup ini dengan benar, itu arti sukses
bagi Kiai Kanjeng” (hal 205).
Latar belakang Cak Nun sendiri
cukup menarik. Ia lahir di Jombang pada tanggal 27 Mei 1953. Latar belakang
tempat tinggal, keluarga dan pendidikan masa kecil mempunyai pengaruh yang
cukup kuat. Hal itu terlihat dari ceramah-ceramahnya yang kerap menyinggung
masa kecil dan remajanya. Dari buku dan tulisannya pun dapat dilihat pengaruh
latar belakang Cak Nun tersebut, misalnya pada “Ibu, Tamparlah Wajah Anakmu
Ini” atau “Indonesia Bagian Dari Desaku”. Dan untuk lebih menguliti latar
belakang pemikiran Cak Nun perlu diketahui juga kiranya bahwa Cak Nun telah
sejak tahun 1970 an menjadi wartawan dan sastrawan yang menelurkan berbagai
tulisan berupa cerpen, artikel, lirik-lirik lagu, naskah drama, essai maupun
puisi. Dan jangan lupa Cak Nun juga pernah berkecimpung di dunia teater. Namun,
di buku ini, hal tersebut (mungkin) sengaja untuk tidak dikupas.
Buku ini mengupas sosok Cak Nun
dari segi pemikiran dan sikap spiritualitasnya. Terutama pada peran Cak Nun di
Kiai Kanjeng. Di buku ini Cak Nun menamakan dirinya sebagai “sahabat dekat kiai
kanjeng” (hal 205). Namun, secara umum, buku ini mengupas pemikiran Cak Nun
dalam komunitas Maiyah. Maiyah sendiri lebih merujuk pada ukuran kualitatif
daripada kuantitatif. Maka, “Maiyah lebih merupakan komitmen nilai, bukan
bentuk. Sehingga, Maiyah tidak akan pernah mencapai bentuk formal semacam
organisasi masyarakat” (hal 29). Meskipun begitu, ciri-ciri kualifikasi Maiyah
setidaknya dapat dilihat dari acara-acara rutin yang ia asuh: Padhang Mbulan
(Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang
Syafaat (Semarang), Obor Illahi (Malang) dan Paparandang Ate (Sulawesi). Diluar
itu Cak Nun masih sering menerima undangan diskusi maupun pengajian di
daerah-daerah serta komunitas-komunitas intelektual dalam maupun luar negeri,
baik secara pribadi maupun dalam kapasitas Grup Kiai Kanjeng.
Salah satu karakter Maiyah adalah
daya penerimaan (akseptabilitas) yang amat terbuka kepada berbagai komunitas
dan pihak untuk ikut bergabung dalam diskusi Maiyah. Ragam pihak yang diterima
bukan sekadar dari berbagai latar belakang agama dan suku namun juga keragaman
pemikiran dan strata sosial. Sehingga dalam Maiyah tercatat pernah dihadiri
tokoh politik, anggota DPR atau calon legislatif seperti Efendi Choiri, Rizal
Ramli, Mutia Hatta, Permadi, Gus Dur (almarhum) hingga Ichsanudin Noorsy. Ada
juga kalangan artis mainstream
seperti Letto – kebetulan vokalisnya adalah putra Cak Nun dan salah satu
narasumber Maiyah juga - Sulis, Mbah Surip (almarhum) dan Dik Doang. Dari
komunitas lokal pun diapresiasi, misalnya komunitas Tana Abang, Perkumpulan
Keraton Nusantara, para habib hingga anggota SAR meledaknya Gunung Merapi. Para
individu yang menjadi langganan Maiyah pun bila kritis dan setia mengikuti
Maiyah akan diapresiasi secara proporsional oleh Cak Nun, misalnya tokoh “kafir
liberal” di Kenduri Cinta Jakarta. Dan tidak ketinggalan Ust. Wijayanto dan
ust. Nurshomad Kamba yang berbicara lebih akademis-formal dan by the book. Semua pihak tersebut memang
sengaja diberi tempat oleh Cak Nun, bukan hanya sekadar diberi kesempatan untuk
bertanya semata.
Pemikiran Cak Nun dalam buku ini
paling tidak ada 4 sisi yang paling menonjol. Pertama, teknologi peradaban
Jawa. Lalu yang kedua adalah pemikiran progresif dalam kerangka cinta
Indonesia. Sedangkan yang ketiga adalah Islam dan hikmah-hikmah kenabian. Dan
yang terakhir adalah segitiga cinta dan Allah sebagai pemiliki qolbu manusia (shohibu baytii).
Bila Cak Nun menyebut peradaban
Jawa, maka Cak Nun merujuk pada sejarah panjang Nusantara yang sudah ada sebelum
sejarah keraton dan kerajaan Nusantara. Bahkan jauh sebelum Majapahit. Dan
keberadaan peradaban Jawa pada masa ini dikuatkan oleh ilmuwan Inggris Stephen
Oppenheimer (“Out of Taiwan” dan “Out of Sundaland” hal 11-14). Menurut teori
Oppenheimer manusia Nusantara adalah manusia yang melakukan imigrasi ke utara,
yaitu wilayah Asia Utara hingga Amerika dan wilayah Pasifik. Sehingga ia
menolak anggapan bahwa manusia Nusantara adalah pendatang dari utara (teori Out
of Taiwan). Dari dasar pemikiran ini Cak Nun mencoba membangkitkan optimisme
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahwa cikal bakal bangsa Nusantara
adalah bangsa besar. Bahkan cerita-cerita mistis para kiai yang dapat pindah
tempat dalam sekejap (teleportasi) dan menggerakkan benda-benda tanpa disentuh
merupakan kemampuan alami manusia Nusantara, yang didapat dari ritual-ritual
tertentu yang dicurigai sebagai amalan-amalan Islami. Misalnya puasa dan
wirid-wirid. Intinya adalah kalau Eropa mengolah perangkat keras untuk bisa
terbang dan menaklulkan alam, maka manusia awal Nusantara mengolah hati dan
pikiran untuk menaklukan alam. Dan kedua-duanya adalah sama-sama jenis
teknologi. (Teori Fisika Peradaban Jawa hal 15,Slow Speed hal 22 dan
Kisah-kisah dari Peradaban Koneksitas hal 51).
Cak Nun pun mengguyur jamaahnya
dengan pemikiran dan kecintaan pada Indonesia secara progresif. Hal itu
terlihat dalam “Bangsa Fotokopi” (hal 61) yang mempertanyakan kemandirian
bangsa Indonesia dalam mengelola negaranya sendiri. Kemudian Cak Nun juga
menggambarkan secara jernih dan mengagetkan peristiwa tahun 1998 yang
monumental lewat “Kesaksian Reformasi 1998” (hal 165) hingga “Reformasi yang
Gagal” (hal 178). Dalam pembahasan reformasi 1998 ini diselipkan sub bab
“Bahasa Pasemon” (hal 172) untuk memberi lampu kuning bahwa bahasa yang dipakai
Cak Nun amatlah halus sekaligus menohok. Sehingga maksud Cak Nun adalah seperti
dalam permainan karambol. A menembak B, padahal sebenarnya pada saat yang sama
A mengharapkan bahwa C menyadari bahwa dirinyalah yang diincar.
Sebagai jebolan Pondok Pesantren
Gontor tentu saja Cak Nun tidak bisa dilepaskan dari analisis dan
pemikiran yang khas Islam. Ini terlihat
dari bagaimana Cak Nun memandang kafir, muslim dan mukmin. Secara tradisi ke-Islaman,
setiap kata pembahasan ibadah,muamalah dan aqidah memiliki makna bahasa
(literer), makna istilah dan makna syar’i. Dalam hal ini Cak Nun mencoba
mendudukkan istilah-isitilah tersebut secara tepat, sehingga orang tidak mudah
mengkafirkan tanpa dasar dan pada saat yang sama Cak Nun mencegah jamaahnya
agar jauh dari tindakan kufur (mengingkari atau tidak mau tahu). Baik kufur
kepada nikmat Allah, kufur kepada kebesaran Allah maupun kufur secara politik
(Kafir, Muslim dan Mukmin hal 119). Dan analisis model ini pun Cak Nun gunakan
untuk membahas masalah jihad, kepemimpinan (rois/amir),
kebaikan (hasan/thoyib), barokah,
karomah dan lain-lain. Hikmah-hikmah kenabian dibuku ini menyajikan keluasan
analisis berpikir manusia lewat kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa (hal 87). Dalam
kisah ini Cak Nun seolah-olah menyatakan bahwa ada beberapa tindak kebaikan
sosial maupun individu yang melewati masanya sehingga dilihat oleh masyarakat
umum sebagai tindakan gila dan merugikan.
Mungkin tidak ada teks lain yang
fokus mengurai spiritualitas hati Cak Nun selain syair “Allah Tuan Rumahku”,
sehingga syair tersebut menjadi halaman pamungkas buku ini. Spiritualitas Cak
Nun, sebagaimana tergambar dalam buku ini dan ceramahnya di Maiyah, tertambat
pada konsep segitiga cinta Allah, Rasulullah dan Manusia serta konsep menyatunya
hamba dengan Kholiq (Sang Pencipta). Dalam segitiga cinta, Rasulullah adalah
kekasih Allah yang menjadi konsekuensi cinta manusia pada Allah. Maka kecintaan
manusia pada kekasihNya sebenarnya adalah kecintaan manusia pada Allah itu
sendiri. Apalagi kalau mempertimbangkan jasa Rasulullah melalui panduannya
maupun melalui syafaatnya kelak. Sedangkan konsep shohibu baytii meniscayakan
bahwa isi dari qolbu dan hati manusia hanyalah Allah semata. Bahkan manusia itu
sendiri (ego) itu tidak ada sehingga, raja hati dan qolbu manusia adalah Allah
semata. Maka kreasi dari hati dan qolbu manusia, di lapangan ekonomi,politik,
hukum maupun negara dapat dipastikan telah mendapat persetujuan Raja hati dan
qolbu yaitu Allah SWT. Inilah yang dirujuk sebagai menyatunya hamba dan
Pencipta yang tentu saja berbeda dengan manunggaling
kawula lan gusti ala Siti
Jenar.
Secara umum buku ini telah mampu menggambarkan
pemikiran dan spiritulitas Emha Ainun Nadjib sebagai pengasuh Maiyah. Yang
menarik adalah penulis membuat buku ini setelah sempat berkorespondensi dengan
Cak Nun kemudian mendapat “perintah”
dari Cak Nun untuk menulis tentang Maiyah (hal XII). Hanya saja penggunaan gaya laporan pandangan
mata (sightseeing report) oleh penulis
menjadi kelebihan sekaligus kelemahan. Menjadi kelebihan karena pemikiran Cak
Nun lebih lugas diungkapkan, menjadi kelemahan karena ada ketidak-konsistenan
sehingga pada beberapa bagian tidak begitu jelas mana yang merupakan kata-kata
Cak Nun, mana yang diinterpretasikan dari kata-kata Cak Nun dan mana yang
merupakan opini penulis sendiri. Buku ini layak baca bagi pemerhati gerakan
ke-Islaman dari kalangan mahasiswa, akademisi maupun masyarakat umum. Buku ini
pun cocok bagi mereka yang ingin mendapatkan perspektif baru menurut pandangan
Islam mengenai permasalahan budaya dan kebangsaan.
Penulis : A.R. Ibnu, S.E.
Resensi Buku
Judul : Spiritual
Journey : Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Nadjib
Penulis : Prayogi R Saputra
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : 2012
0 comments:
Posting Komentar