Tadi malam jalan-jalan ke halaman sosial media
beberapa kawan. Saya terkaget-kaget melihat “tembok” seorang kawan terpampang
gambar wajahnya secara demonstratif, clear dan fokus. Sebelum itu, “tembok”nya
hanya berisi gambar-gambar karakter kartun idolanya.
Ada apa ini?
Hal biasa? Mungkin saya saja yang berpikir terlalu jauh.
Facebook dan twitter adalah keniscayaan zaman. Roda
zaman yang tak ada rem-nya. Siapa pun mungkin telah teramat sulit untuk
membendungnya. Kecuali anda presiden, maka anda bisa mem-blok media-media
sosial itu dari negeri ini, sebagaimana yang terjadi di Cina.
Dua dekade yang lalu tak terbayangkan ada media
semacam ini. Ngobrol lewat telepon saja – waktu itu – sudah merupakan gaya
hidup yang wah. Keasyikan dan kenikmatan berkumpul dan bersenda-gurau dengan
kawan berada di lapangan, surau, permainan-permainan tradisional selepas
maghrib dan kenakalan-kenakalan kecil – mencuri jambu atau kelapa di kebun.
Semua itu menjanjikan pengalaman mental yang lebih kaya. Keintiman dengan lingkungan
yang tak lekang oleh waktu. Kekayaan petualangan yang lebih kaya daripada buku
cerita seorang penyihir cilik sekalipun. Koneksi persahabatan yang luas, yang
akan sulit terjadi pada anak-anak sekarang untuk bersosialisasi sedemikian
luas. Karena untuk pergi ke luar rumah saja mereka butuh motor. Kalau tidak ada
motor atau mobil yang bisa dipakai mereka tidak mau pergi.
Tapi itu masa lalu, saudara-saudara. Sekarang,
kalau anda tidak punya akun FB, twitter, smartphone, tidak pernah punya
pengalaman makan di tempat keren di kota anda, maka anda bukan siapa-siapa.
Anda adalah orang pinggiran. Anda adalah penonton diantara para pemain. Anda
kehilangan akses informasi yang terhangat. Anda terlibas oleh gosip terkini
yang dibicarakan semua orang. Anda akan tidak nyambung dengan obrolan teman
sebelah anda. Lambat laun anda akan merasa di negeri antah berantah meskipun
ada tidak bepergian ke luar negeri. Teknologi, media sosial, gaya hidup dan
keterbukaan informasi adalah “bola salju” yang mau tak mau kita harus ikut
masuk ke dalam gulungannya, meski kita tak tahu akan menuju kemana ia.
Media sosial adalah “ibu kandung” dari berbagai
fenomena masa kini. Dari bahasa gaul hingga gerakan solidaritas sosial dan
politik. Maka, berbondong-bondonglah semua orang ingin punya akun FB atau
twitter. Kalau anda tidak punya maka anda ga gaoool. Presiden pun
akhirnya punya akun. Biarpun presiden,
dia juga harus gaul juga, saudara-saudara.
Kembali ke masalah “display”. Kalau wajah
adalah “display” identitas kita. Maka halaman sosial media adalah display
identitas baru kita. Asyiknya, kita bisa menghiasi dan memanipulasi display
yang ingin kita suguhkan. Dan – dengan gembira saya umumkan – display kita
sekarang adalah foto-foto di akun FB atau twitter dan status-status yang kita
bikin. Identitas dan ke-diri-an kita adalah sebuah file JPG atau kumpulan huruf-huruf
yang sengaja dibikin inspiratif, lucu atau galau.
Positif atau negatifnya dari “arus zaman” ini,
bagi saya tidak relevan. Toh ia sudah duduk di ruang tamu. Ia benar-benar telah
berada di dalam rumah, jadi bukan sekadar baru mengetuk pintu. Saya pun tidak
punya kemampuan membendung arus ini. Meskipun ia menggulung kenangan-kenangan
masa lalu yang adiluhung, syahdu dan juga kuno toh ia harus kita sambut dengan
tangan terbuka. Dan saya yakin anda adalah pengendali arus baru itu. Anda akan
menemukan nilai-nilai baru yang lebih adiluhung, modern, keren dan progresif di
dalam arus baru ini. Tidak akan ada value yang childish, sekadar lips-service
atau pencitraan semata. Kalau pun tidak, saya yakin “arus baru” ini
memperkaya apa yang sudah anda miliki.
Bukan begitu, saudara-saudara?
Jadi, bila ada gambar-gambar demonstratif di
media-media sosial jangan anda kaget. Itu biasa. Gambar-gambar itu diperlukan
sebagai identitas. Memang betul di situ sudah ada nama. Namun, nama saja tidak
cukup. Sama seperti jaringan ayam goreng cepat saji. Nama dan papan iklan tidak
cukup. Kaca gerai harus tembus pandang, agar menjadi “display” yang menarik,
“ditonton orang” dan yang ditonton juga merasa nyaman ditonton.
Jadi, ketika paha ayam goreng itu kita kunyah
bunyinya bukan “kriuk kriuk kriuk..!” tapi “status status status..!”
May 17,
2013
0 comments:
Posting Komentar