Konon konflik adalah sesuatu yang sehat. Dengan
konflik kita bisa melihat siapa yang loyal dan siapa yang tidak loyal. Dengan
konflik kita bisa melihat siapa yang memutuskan untuk setia dan siapa yang
pergi. Konflik juga membuat kita bisa kita melihat karakter asli setiap
individu di sekitar kita.
Yang menarik, ada konflik yang sengaja diadakan
untuk memenuhi kebutuhan emosional. Konflik bisa secara sadar (atau tidak
sadar) sengaja diadakan demi perasaan ditemani dan dibela. Yaitu ditemani dan
dibela oleh orang-orang yang merasa kasihan pada kita. Sementara akar
konfliknya hanyalah asumsi-asumsi yang dasarnya tidak terlalu jelas. Kalau ada
konflik semacam itu, coba anda beri mereka solusi yang konkrit. Saya yakin
tidak akan ada yang mau melaksanakan solusi itu. Misalnya : di sebuah
perusahaan ada dua karyawan yang berkonflik. Inti masalahnya tidak terlalu
jelas. Mereka berkonflik hanya karena ingin ber-drama-ria. Usulkan pada salah
satu untuk secara terus terang mengusir dan menolak kehadiran sang musuh. Ini
solusi konkrit dan “jantan”. Ibarat dua banteng bermusuhan, jangan sang pawang
disuruh saling ejek atau bertarung suara banteng mana yang paling keras. Tapi
suruhlah kedua banteng disuruh berkelahi. Kalau perlu sampai mati. Dan setelah
itu lupakanlah permusuhan.
Sayangnya, solusi seperti itu tidak populer.
Yang populer adalah masalah tetap disimpan brankas suci yang tidak boleh
disentuh siapa pun, sementara pernak-pernik masalah asyik digunjingkan
dibelakang bersama para sekutu setia dan juga sekutu-ganda (mereka yang bingung
menentukan posisi). Alih-alih menyuruh kedua banteng bertarung di gelanggang
sampai selesai masalah atau sampai salah satu mati, kita lebih suka membiarkan
masalah mengendap. Dengan begitu, besok pagi dan pagi-pagi berikutnya akan
terus ada bahan gosip. Asyik kan…?
Akhir
Maret
0 comments:
Posting Komentar