Ketika saya berumur 18 tahun, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Fakultas Psikologi, sebuah cabang baru dari Universitas Indonesia. Bukan saya bercita-cita menjadi seorang psikolog; waktu itu saya bahkan tak tahu jelas apa gerangan ”psikologi” itu. Saya memilih pendidikan tinggi itu karena di sana, saya dengar, diajarkan tiga hal: psikologi, filsafat dan sosiologi. Di fakultas lain tidak.
Dan itu semua gara-gara saya membaca, dengan agak terlampau tekun, sebuah buku tipis yang bernama Tifa Penyair dan Daerahnya, ditulis oleh H.B. Jassin lebih dari 30 tahun yang lalu. Koleksi tulisan itu, yang judulnya memang agak aneh, berisi pengantar hal-hal yang perlu diketahui jika anda ingin memasuki lapangan kesusasteraan. Salah satu ajaran H.B. Jassin di situ, kurang lebih, ialah: seorang sastrawan harus menguasai psikologi, filsafat dan sosiologi. Dan saya punya satu cita-cita rahasia: kepengin jadi sastrawan.
Mungkin masih merupakan perdebatan, benarkah seorang sastrawan harus sesiap itu untuk memulai kariernya. Tapi coba kita ikuti tulisan-tulisan H.B. Jassin. Dan kita saksikan bagaimana ia menjalani riwayat hidupnya. Pekan lalu, orang merayakan usia Jassin yang ke-70, dari banyak penjuru. Dikelilingi teman dan pengagum dan lawan-lawan pikirannya, berada di pusat dokumentasinya yang terkenal di Taman Ismail Marzuki itu, kita mendengar ia bicara, di kita pun jadi tahu: kesustraan adalah urusan yang serius, sangat serius.
Sejak hampir 50 tahun yang lalu sosok ini, yang pemalu dan sopan tapi sebenarnya penuh api, menulis tinjauan tentang karya-karya sastra, memperkenalkannya ke khalayak ramai, memberi tempat bagi novelis dan penyair baru, mengajar, menghimpun tiap carik tulisan atau dokumen yang dianggap penting tentang sastra dan sastrawan, mendengarkan pujian dan makian – bahkan ancaman – terhadap dirinya, semuanya untuk kesusastraan Indonesia modern. Penyair Taufik Ismail dengan tepat menyebut bahwa dalam usia ke 70 tahun itu, hidup H.B. Jassin bukan hidup yang panjang, tapi padat. Buat apa? Karena apa? Jawabnya: kesusastraan. Satu urusan yang serius.
Di dalam keseriusan itulah, seorang sastrawan menjadi sastrawan, bukan sekadar bekerja sebagai sastrawan. Awal Juni 1943, penyair Chairil Anwar berpidato di Angkatan Baru Pusat Kebudayaan di Jakarta. Ia menyebut seni cipta adalah ”soal hidup mati”. Berlebih-lebihan mungkin, tapi Chairil (sangat dikagumi Jassin) agak telah memulai suatu semangat, yang menegaskan bahwa kesusastraan – biarpun sepotong sajak – bukanlah sekadar ”wahyu” atau ”ilham”, dorongan mencipta yang datang tiba-tiba. Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis, menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita, adalah proses yang meminta pengerahan batin.
Dalam pengetahuan batin itu seorang seakan-akan menghadapi dirinya sendiri, seakan bercermin. Seorang penyair mungkin tak akan tahu apakah yang nanti ditulisnya jelek, tapi ia akan tahu apakah yang ditulisnya palsu. Ia tak bisa berbohong. Ia harus otentik.
Mungkin itu sebabnya Jassin menganggap bahwa kesusastraan adalah sebuah dunia, yang harus dipelihara dalam kemurniannya. Terkadang orang memang mencemooh, bahwa di luar bidang itu, ia tak tahu apa-apa. Mungkin. Tapi konsentrasinya di dalam urusan ini – yang serius ini – sebenarnya memberi isyarat bahwa di tengah kancah yang riuh rendah oleh banyak hal ini, harus ada sebuah tempat yang teduh, terjaga, leluasa. Kesusastraan adalah salah satu tempat itu.
Maka, ia pun menolak usaha memperpolitikkan penilaian sastra, seperti dilakukannya di tengah desakan PKI di tahun 1960-an, sehingga ia harus berhenti dari jabatan mengajar di Universitas Indonesia. Ia akan mengatakan – dengan tanpa banyak lika-liku – bahwa novel Mochtar Lubis tak bisa dinilai sebagai usaha subversif, begitu pula novel Pramoedya Ananta Toer. Ia akan mempertahankan bahwa keindahan, imajinasi, dan hasil pengarahan rohani seorang manusia (dan itu adalah sastra) tak akan bisa diberi cap secara gampangan. Itulah sebabnya, dengan penuh keberanian, ia menghadap meja hakim, dan dihukum, ketika sebuah cerita pendek di tahun 1969 dianggap ”menghina Tuhan”.
”H.B. Jassin. Di mana berakhirnya mata seorang penyair?” – kata sebaris sajak penyair Toto Sudarto Bachtiar di tahun 1955. Saya tak bagaimana jawaban Jassin. Saya duga ia akan senyum, membaca sebuah sajak atau cerita, memberi catatan, dan berjalan terus. Terus.
Goenawan Mohammad # 8 Agustus 1987