Kamis, 12 April 2012

babilon

Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon


Ada sebuah nujum kuno, terekam dalam sebuah tulisan berbentuk baji. Para arkeolog menemukannya di sebidang sabak tanah liat, konon berasal dari Babilon. Isinya meramal dengan nada yang amat muram, ”Hari kiamat tengah mendekat.”

Kita tak tahu kapan hari akhir itu akan terjadi, tapi tanda-tandanya sudah tampak waktu itu juga, ”Anak-anak tak lagi mematuhi orang tua mereka, dan tiap-tiap orang ingin menulis buku . . .”

Mengapa begitu muram tampaknya prospek kehidupan bila anak-anak memberontak dan bila tiap orang ingin menyatakan pikirannya ke dalam tulisan? Kita tak tahu. Kita Cuma bisa menduga: si pembuat nubuat kuno itu mungkin seorang pendeta agung yang bertugas menjaga ketertiban iman dan kehidupan. Dalam posisi itu, ia menduga dewa akan murka bila manusia resah. Pada saat manusia ingin mengembangkan ide sendiri-sendiri, pada saat jiwanya bangkit, dunia pun akan ambruk, dan seluruh tata akan tergulung.

Kini kita tahu bahwa nujum Babilon itu tak terbukti. Kiamat tak terjadi meskipun anak-anak mengembangkan pikiran-pikiran yang tak dapat restu orang-tur mereka. Kehidupan tak berakhir dalam ledakan besar meskipun orang-orang ramai menulis buku. Ketidakpatuhan memang menjengkelkan. Tapi seandainya hanya kepatuhan yang berjalan di dalam sejarah manusia, kita tahu: tak akan ada negeri yang merdeka dan tak akan ada pemikiran baru yang menghasilkan hal-hal besar.

Namun, itulah mungkin yang tak bisa dimengerti oleh sang pendeta agung penjaga ketertiban dari Babilon. Baginya kebenaran telah diperoleh dan direkamnya di tangannya yang padu. Baginya garis sudah diletakkan dan itu jangan diungkit-ungkit.
Tapi ”manusia berpikir, Tuhan ketawa”, kata sebuah pepatah Yahudi. Novelis Milan Kundera, dalam sebuah pidato yang dibacakannya di musim semi di tahun 1985, yakin bahwa pepatah itu mengandung makna yang penting, karena baginya novel – buah kreativitas manusia – adalah sesuatu yang ditulis sebagai ”gema dari suara tawa Tuhan”.

Sebab, Tuhan yang Mahabijaksana tahu bahwa, betapapun pesat dan hebatnya manusia berpikir, pada akhirnya kebenaran yang ditangkapnya akan selalu luput. Pretensi besar untuk menganggap bahwa sang kebenaran telah ada di tangan, bahwa dari sini semua keputusan tak boleh diganggu gugat dan ditandingi, di dalam pandangan Tuhan mungkin sama dengan pretensi katak yang hendak jadi lembu. Ada yang menyedihkan dan sekaligus menggelikan di situ.
Tapi ada orang-orang kreatif (bagi Milan Kundera khususnya para penulis novel) yang bisa melihat situasi yang menyebabkan Tuhan ketawa seperti itu. Sebaliknya, ada para agelastes, mereka yang tak bisa geli, yang tak bisa ketawa.

Bagi Kundera, tak mungkin perdamaian terjadi antara kedua sisi itu: para pencipta dan para agelastes berada di front dan keduanya mencoba saling mengalahkan.
Sebab, para agelastes adalah mereka yang mengira – seperti sang penujum muram dari Babilon – bahwa dunia akan hancur bila orang menulis buku. ”Karena tak pernah mendengar suara tawa Tuhan,” kata Kundera, ”para agelastes yakin bahwa kebenaran itu jelas, bahwa semua orang niscaya berpikir sama, dan bahwa diri mereka sendiri adalah persis seperti yang mereka pikirkan.” Seorang novelie sebaliknya menciptakan ”sebuah wilayah dimana tak seorang pun memiliki kebenaran . . . tapi dimana setiap orang punya hak untuk dimengerti”.

Jika begitu besar perbedaan antara mereka yang pernah mendengar ”suara tawa Tuhan” dan yang tak pernah bisa ketawa, kata Kundera dengan nada sedih, dunia toleransi adalah dunia yang rapuh dan mudah lenyap. ”Di kaki langit sana berdiri bala tentara agelastes mengawasi setiap tindak kita,” kata Kundera, dan ia pun bercerita tentang sebuah perang yang tak dimaklumkan dan berlangsung tak habis-habisnya.

Kundera pastilah tahu apa yang dikatakanya: ia mengungkapkan itu semua dari dari lubuk pengalamannya sendiri. Ia terpaksa meninggalkan tanah airnya ketika pemerintahnya mengharuskan para penulis, atas nama sosialisme, patuh kepada petunjuk dari atas. Ia kini tinggal di Paris.

Yang menarik ialah bahwa tak seluruh nasibnya bisa dikatakan sebagai tragedi. Di dalam pembuangannya, Kundera mendapatkan mimbar yang lebih leluasa, tempat yang lebih tinggi. Dan mungkin itu adalah contoh bahwa apa pun yang dilakukan oleh para agelastes kepada seorang pengarang yang tak bisa patuh, tampaknya yang akan terdengar akhirnya adalah suara tertawa dari atas: kita seperti diingatkan akan kearifan Tuhan ketika ia melihat kekuasaan hambanya.

Kekuasaan itu – seperti hal pikiran manusia – terkadang tidak menyadari keterbatasannya untuk mengalahkan segala hal. Kekuasaan itu juga ibarat katak hendak jadi lembu: mau mengatur segalanya, menaklukan segalanya – juga menaklukkan keyakinan – tapi apa yang terjadi selalu? Para dewa yang murka dari nujum Babilon itu juga akhirnya tercatat di tanah liat.
Goenawan Mohammad # 18 Juni 1988

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons