Selasa, 24 Agustus 2010

Ki Bagus Hadikusumo (1890 – 1954) : Kontroversi Piagam Jakarta


Di Indonesia, ketika masa penjajahan Kekaisaran Majusi Jepang (1942-1945) penduduk yang mayoritas Muslim dipaksa untuk seikerei yakni membungkuk (mirip ruku’) ke arah Tokyo sambil memusatkan hati kepada Hirohito (1901-1989). Hirohito adalah kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan Dewata yang katanya turun dari kahyangan untuk kemakmuran manusia dalam lingkungan Asia Raya yang diberi gelar Tenno Heika (yang maha mulia Kaisar).

Doktrin fasisme Jepang ditanamkan pula pada seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Setiap jam tujuh pagi semua murid wajib seikerei. Tentu hal itu membuat berang setiap Muslim yang imannya tertancap kokoh dalam jiwa.

Maka bangkitlah para ulama menentang arus kemusyrikan, termasuk Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah saat itu. Ia berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari “Seikerei terlarang bagi umat Islam karena bertentangan dengan tauhid”, tegasnya.

Pemimpin Umat


Ki Bagus dilahirkan di Kauman Yogyakarta dengan nama Raden Hidayat pada 11 Rabiul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kyai di Kauman.

Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di Pesantren tradisional Wonokromo. Tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab fiqih dan tasawuf akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh, dan pemimpin umat.

Secara formal, disamping kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, Anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah.

Ki Bagus adalah seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk mencontoh Nabi Muhammad saw yakni menginstitusionalkan Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alsan ideologis, politis dan juga intelektual.

KI Bagus juga sangat produktif menuliskan buah pikirannya. Salah satu buku yang ia tulis adalah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlak Pemimpin. Maka dalam rangka menegakkan hukum Islam di Indonesia, di masa penjajahan Kerajaan Protestan Belanda, ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitian yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam.

Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931.

Kekecewaanya ia ungkapkan kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu.

Namun ia tidak patah arang. Meskipun BPUPKI dibuat oleh penjajah Jepang yang menunjuk pentolan nasionalis sekuler Soekarno sebagai ketuanya. Ki Bagus berusaha merealisasikan cita-citanya melalui badan itu. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang syariah dengan kelompok nasionalis sekuler dan Kristen.

Pada 22 Juni 1945, panitia sembilan yang dibentuk BPUPKI menandatangani Rancangan Undang-Undang Dasar negara RI yang belakangan disebut Piagam Jakarta. Meski telah disahkan namun tetap menimbulkan kontroversi. Pihak Islam belum puas. Begitu juga, Kristen diwakili Latuharhary sempat menyoal rumusan tersebut.

Meski demikian, perdebatan a lot terus terjadi antara pejuang syariah dan kelompok lainnya terutama terkait dengan dasar negara dan formalisasi penerapan syariah Islam. Ki Bagus tentu saja di kubu Islam yang menginginkan negara berdasarkan Islam dan memberikan kebebasan kepada agama lain untuk menjalankan agamanya.

Sedangkan Soekarno berusaha menengahi dengan gaya kompromi (baca: mencapurkan yang haq dan batil). Dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan.

Saya ulangi lagi bahwa ini suatu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan didasarkan kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima panitia ini.”

Pada rapat 14 Juli 1945, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dicoret. Jadi bunyinya hanya Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.

Karena Ki Bagoes menyadari Islam bukan hanya mahdhah yang hanya mengatur ritual kaum Muslim tetapi juga ajaran yang sempurna yang mengatur negeri dan masyarakat seperti yang telah di contohkan Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw memipin Madinah dengan syariat Islam padahal penduduknya plural, disamping bermacam suku dari berbagai bangsa tetapi bermacam agama seperti Yahudi, Islam, Kristen dan penyembah berhala.

Pendapatnya pun ditolak kelompok nasionalis sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI; “Sudahlah hasil kompromis antara dua pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen.”

Namun sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, dihapuslah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (tujuh kata) itu alih-alih hanya menghapus tiga kata terakhirnya saja seperti yang diusulkan Ki Bagoes.

Tujuh kata tersebut dihapus dengan dalih golongan Protestan dan Kristen lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota panitia sembilan, pun melobi kelompok Islam termasuk Ki Bagoes agar setuju tujuh kata tersebut diganti dengan Yang Maha Esa.

Almarhum Hussein Umar (terakhir sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapan Kasman dalam sebuah perbicangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu.

Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang Tuan-tuan dari golongan Islam silakan perjuangkan disitu,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti 6 bulan lagi. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagoes. Karena dalam pandangan Ki Bagoes hanya Islam-lah agama Tauhid.

Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahu sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada tahun 1957 – 1959 (hingga dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagoes yang diminta menunggu oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.–Joko Prasetyo;Media Umat ed.40-

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons