Sabtu, 18 Februari 2012

parlemen

Di sepetak taman di London, terpasang patung karya Rodin yang termashyur, Les Bourgeouis de Calais. Patung itu ternyata tak semegah seperti yang saya bayangkan dari gambarnya di buku seni rupa. Tapi ia karya Rodin: menggetarkan, wujud yang seperti meneruskan masa silam, tanpa rasa janggal, pada masa kini.

Sejarah memang bergaung di atasnya. Di sebelah kiri, mengalir Sungai Thames yang tua. Di belakangnya: gedung Parlemen.

Rodin mempersembahkan Les Bourgeouis de Calais ke taman Parlemen Inggris itu pada tahun 1913, untuk memperingati suatu peristiwa pada tahun 1347: ketika pasukan Inggris, di bawah Raja Edward III, mengepung kota Calais selama setahun, dan di tengah ancaman kelaparan yang terjadi, sejumlah orang kota Calais menyerahkan diri sebagai sandera, agar pengepungan segera diakhiri dan rakyat kota Calais bebas.

Les Bourgeouis : tiba-tiba kata itu tak sekadar bisa diterjemahkan menjadi ”borjouis”, dengan konotasinya yang menyebalkan. Tiba-tiba kata itu kembali ke arti semula, yang menggambarkan orang kota yang bebas, terhormat, dinamis, dang – mungkin aneh – juga heroik. Karl Marx sendiri – yang pengikutnya telah membuat kata ”borjuis” jadi kata kotor – pernah mengatakan betapapun tak heroiknya masyarakat borjuis, masyarakat itu lahir antara lain melalui ”heroisme” dan ”pengorbanan”.

Tidak Cuma di Calais. Gedung Parlemen Inggris itu juga salah satu saksi: sebuah lembaga yang berdiri sebelum kaum bourgeois ada, tapi baru mendapatkan harkatnya setelah wakil-wakil ”kalangan menengah” itu hadir di sana – dan kemudian menggerakkan, sedikit demi sedikit, apa yang disebut ”demokrasi” sampai kini.

Orang Inggris memang mujur dalam hal itu. Ada tradisi yang disebut witan dari orang Anglo-Saxon, yang menentukan agar pemegang tahta berkonsultasi dengan hambanya, untuk memutuskan satu hal yang sangat menyangkut hidup mereka. Tak mengherankan bila Sir Walter Raleigh pada abad ke-17 bisa membanggakan kelebihan sistem monarki Inggris atau “tirani bangsa Turki”.

Tapi toh Raleigh sedikit berilusi. Ia sendiri ikut dituduh berkomplot melawan Raja James I dan akhirnya dihukum pancung. Inggris pada awal abad ke-17 memang Inggris yang masih bisa sewenang-wenang.

Waktu itu, bepergian mencari kerja dianggap melanggar hukum. Seorang jaksa agung menyatakan, usaha bersama untuk menaikan gaji adalah pengkhianatan. Jual beli pun dikontrol: pemerintah memberikan monopoli kepada swasta tertentu untuk memproduksi barang, seperti sabun dan kaca jendela. Orang mati pun tak bebas: pada tahun 1622 ditentukan, jenazah harus diberi pakaian wol. Dan siapa tak ke gereja dihukum.

Juga Parlemen (kata aslinya, parliamentum, konon dipakai pertama kali November 1236) yang sudah 400 tahun itu tetap barang yang ringkih. Sidangnya tak teratur, terserah raja. Dan bila ada anggota yang omongnya tak berkenan di hati baginda, ia bisa ditahan tanpa proses pengadilan.

Maka apa yang menyebabkan kemudian Parlemen berani? Sebuah paradoks, kata majalah The Economist ketika membahas buku A History of Parliament karya Ronald Butt, yang baru terbit.
Dulu, para baron dan kesatrian yang menjadi anggota dewan itu selalu menjaga agar raja tak memajak rakyat. Namun bila tujuan ini berhasil, Parlemen justru akan kehilangan bobot. Raja Edward IV, misalnya, dapat memerintah tanpa dana dari rakyat. Maka ia pun tak membutuhkan parlemen, dan pada masanya, sidang lembaga ini semakin jarang.
Tapi ketika raja bokek dan pajak diperlukan, Parlemen pun dibutuhkan. Pada masa Charles I, misalnya. Tapi betapa malangnya raja ini. Ia mewarisi pandangan ayahnya, Raja James I, bahwa raja Inggris punya lisensi khusus dari Gusti Allah dan bisa memerintah tanpa parlemen. Tapi pada masa itu juga, ia mewarisi sisa perang dari ayahnya. Untuk itu ia butuh duit.

Ia pun memanggil parlemen bersidang. Tapi ia tak tahu zaman sudah lain. Parlemen yang dihadapinya sudah penuh dengan kekuatan sosial baru, orang-orang kelas menengah, les bourgeois yang butuh hak-hak baru.

“Jangan anggap ini ancaman,” kata Raja ketika ia mendesak parlemen agar menyetujui pajak lagi. “Saya tak sudi mengancam siapa pun yang tak sederajat dengan saya.”
Parlemen tahu penghinaan itu, dan akhirnya kita melihat: Charles I adalah raja yang dipancung 144 tahun sebelum Revolusi Prancis memancung rajanya. Demokrasi, pelbagai hak, rasanya memang tak bisa dipesan sekaligus, seperti kalau kita memesan nasi bungkus.

Goenawan Mohammad # 13 Mei 1989

Minggu, 12 Februari 2012

pemimpin

Seorang pemimpin yang baik, kata Tao, adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu sumbernya adalah air yang datang dari jauh pedalaman: sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.

Karena itu, kepemimpinan yang baik tak dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Good leadership consists of doing less and being more.

Carlos Salinas de Gortari mungkin belum mengerti ini. Atau ia tak terlampau diharapkan bisa jadi telaga Tao. Umurnya baru 40 tahun, walaupun ia tampak tua karena botak dengan kumis yang angker dan mulut yang yakin. Ia memang terpilih jadi Presiden Meksiko. Tetapi ia juga tampaknya contoh dari apa yang dicatat oleh majalah The Economist pekan lalu: kehidupan politik di negeri itu telah menegakkan tipe pemimpin yang ”tak lagi mendengar rumput yang tumbuh”.

Pemerintah Meksiko dipegang terus-menerus oleh Partai Revolusioner Institusional (PRI) semenjak tahun 1929. Masa panjang itu tak tersaingi oleh siapa pun di luar dunia komunis. Bedanya: partai komunis merasa mewakili keharusan terakhir dari sejarah manusia, yang katanya adalah kemenangan dari kapitalisme. PRI tak punya ajaran itu. Ajarannya hanya: stabilitas itu perlu.

Ajaran itu benar untuk suatu jangka waktu, dan bisa salah untuk jangka waktu yang lain. Selama hampir 60 tahun PRI menyediakan presiden dari kalangannya, juga gubernur, juga senator dan hampir semua wakil rakyat di majelis rendah. Kecuali satu, semua presiden sebelum Salinas bisa ”menang” 90 % suara. Orang menduga sebagian itu adalah palsu dan sebagian lagi suara rakyat yang telah kehilangan alternatif.

Akibatnya, menurut The Economist, adalah hal yang terjadi di mana saja bila kekuasaan berada di atas terlalu lama. Ada tendensi untuk jadi makin tegar – dan ”tegar” memang berarti kaku. Mungkin karena dasar pandangan yang selama itu dipergunakan tak hendak ditinjau kembali, berhubung tak ada saingan dan tak ada perbandingan. Sementara itu, perasaan selalu menang menyebabkan kian tipisnya sikap toleran. Siapa yang tak mau ikut dengan segera jadi pembangkang.
Tentu saja di Meksiko bukan tak ada keleluasaan. Tapi dalam keleluasaan juga ada kemandekan. Di Meksiko, menurut The Economist, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, kekuasaan telah beralih dari kaum politikus ke tangan kaum teknokrat. Barang kali juga birokrat – yang menyebabkan negeri itu, dalam kata-kata novelisnya yang termasyur, Carlos Fuentes, yang berlaku adalah ”hukum penolakan terlunak”.

Tak ada keterangan lebih jauh kenapa itu bisa terjadi. Tetapi barang kali kita tahu: politikus – profesi yang diremehkan dan dianggarp buruk itu – umumnya bertumbuh ketika orang-orang partai dan wakil rakyat berusaha keras dapat dukungan. Mereka harus menyambangi para pemilih, mendengarkan apa yang mereka katakan, menjabat tangan yang mereka sembunyikan, mencium pipi anak yang mereka gendong.

Singkatnya: mereka harus mengambil hati. Semua mungkin buat kepentingan sebuah ide. Atau semua itu buat kepentingan diri si politikus, agar dipilih. Tapi apapun tujuannya, akibat proses itu jelas: ada kontak yang langsung antara si calon anggota parlemen dan para calon pemilihnya.
Kontak semacam itu tentu tak diperlukan lagi, ketika sejumlah orang begitu yakin bahwa diri mereka toh akan menang dalam setiap pemilihan. Akibatnya, politikus tak perlu datang ke bawah. Pemerintah pun cukup punya gagasan yang pintar, dan tok-tok-tok, diputuskan untuk dilaksanakan. Tanpa ditawarkan.

Demikianlah cara Presiden Miguel de la Madrid memotong anggaran belanja pemerintah, menghapuskan subsidi, serta melakukan deregulasi. Itu tindakan yang tepas sebenarnya saat itu. Tapi ia tak merasa perlu menjelaskan alasannya kepada rakyat. Ia tentu tahu bahwa penghapusan subsidi bisa dalam waktu dekat memberati masyarakat. Tapi agaknya dia lupa bahwa ia perlu mengajak masyarakat untuk mengerti apa makna beban yang memberati itu. PRI telah semakin tak mendengar rumput yang tumbuh.

Mungkin itulah sebabnya ketidak-puasan kini menunjukkan diri. Tampaknya, dalam memimpin sebuah bangsa, pintar saja memang tak cukup, benar juga tak memadai. David Halberstam menulis The Best and the Brightest, tentang orang-orang pintar di sekeliling Presiden Kennedy yang memutuskan agar Amerika terlibat jauh ke Perang Vietnam. Tujuan perang itu mungkin mempesonakan, tapi kemudian kita tahu bagaimana ia gagal: ia adalah sebuah ikhtiar nasional yang tak cukup didukung sebagai ikhtiar nasional. Perang itu mungkin hasil rancangan the best and the brightest, tapi para piawai itu tak pernah sekalipun merasakan terik dan capeknya berjuang untuk mendengarkan suara rakyat, dipilih oleh rakyat.

Mereka tak menampung. Mereka bukan danau yang dalam. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan bapak pimpinan.

Goenawan Mohammad # 23 Juli 1988
Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon

Minggu, 29 Januari 2012

WARGA NEGARA DAN NEGARA (bag 1)

hukum keadilan,keadilan,hukum,politik indonesia,indonesian politics,negara,bangsa indonesia,pengadilan,mencari keadilan,hakim

HUKUM DAN NEGARA

Hukum Menurut JCT. Simorangkir SH. dan Woerjono Sastropranoto SH. Bahwa hkum sebagai peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib.
Ciri dan sifat hukum :
• Adanya larangan-larangan hukum di suatu lingkungan masyarakat
• Larangan tersebut harus di patuhi oleh setiap orang
Sumber-sumber hukum :
Segala sesuatunya akan menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan secara memaksa dan kalau dilanggar akan mendapat sanksi-sanksi yang tegas dan nyata.

Sumber hukum formal :
1. Undang-undang (statute), yaitu hokum yang ada di peraturan undang-undang;
2. Kebiasaan (costum), perbuatan manusia yang di ulang-ulang dalam hal yang sama dan di terima oleh masyarakat;
3. Keputusan hakim (yurisprudensi), keputusan hakim yang terdahulu yang akan di jadikan dasar keputusan mengeni masalah yang sama;
4. Traktat (treaty), perjanjian anatara dua orang atau lebih dalam suatu hal yang terikat dalam perjanjian tersebut;
5. Pendapat sarjana hukum, pendapat sarjana yang sering di kutip oleh para hakim dalam menyelesaikan suatu masalah.

Pembagian hukum

Menurut “sumbernya”
• Hukum undang-undang,
• Hukum kebiasaan
• Hukum traktat
• Hukum yurisprudensi

Menurut “bentuknya”
• Hukum tertulis: Hukum terkodifikasi dan Hukum tidak terkodifikasi.
• Hukum tidak tertulis

Menurut “tempat berlakunya”
• Hukum Nasional
• Hukum Internasional
• Hukum Asing
• Hukum Gereja

Menurut “waktu berlakunya”
• Ius Constitutum (hukum Positif)
• Ius Contituendum
• Hukum Asasi (hukum Alam)

Menurut “cara mempetahankan”
• Hukum Material
• Hukum Formal

Menurut “sifatnya”
• Hukum yang memaksa
• Hukum yang mengatur

Menurut “wujudnya”
• Hukum Obyektif
• Hukum Subyektif

Menurut “isinya”
• Hukum Privat (Hukum Sipil),
• Hukum Publik (Hukum Negara

Tugas Pokok Negara
: mengatur dan mengendalikan gejala kekuasaan asosial , Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia di dalam tujuan sosial
Sistem hukum terurai dalam tiga komponen, yaitu:
1) Substansi
2) Struktur
3) kultur
Proses interaksi dalam masyarakat mempunyai 10 aspek penganalisa, yaitu:
1. Jangan mengidentifikasi “hukum” dengan “kebenaran keadilan”.
2. Harus selalu adil dan benar dengan sendirinya.
3. Hukum tetap mengabdikan diri untuk meminjam kegiatan masa, system dan bentuk pemerintah.
4. Mengandung unsur keadilan atau kebaikan.
5. Hukum didefinisikan dengan kekuatan atau kekuasaan.
6. Bermacam-macam hukum.
7. Jangan apriori hukum adat lebih baik.
8. Jangan mencampur adukan substansi hukum.
9. Jangan mencampur adukan “law is activis” dengan “law in books”.
10. Jangan menganggap sama aspek terjang penegak hukum dengan hukum.

NEGARA

Tugas Utama Negara :
1) Mengatur dan menertibkan gejala yang ada didalam masyarakat;
2) Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongannya untuk menciptakan tujuan bersama.

Sifat-sifat Negara :


1. Sifat memaksa
2. Sifat monopoli
3. Sifat mencakup semua

Bentuk Negara :

1) Negara Kesatuan
• Sistem sentralisasi
• Sistem desentralisasi
2) Negara Serikat ( Negara Federasi)

Perbedaan Negara Didenstralisir dengan Negara Federasi


Negara Kesatuan

negara kesatuan dahulu baru dibentuk daerah otonomi
hanya ada satu pembuat UUD : pemerintah pusat
pemerintah pusat yang didistribusikan kepada daerah otonom

Negara Federasi


negara bagian terlebih dahulu, membentuk negara serikat
ada 2 pembuatan UUD : pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
pemerintah negara bagian yang dikontribusikan pada pemerintah federal

NEGARA


Bentuk Kenegaraan :

1. Negara Dominan
2. Negara Uni :
• Uni Rill
• Uni Personil

Unsur-unsur Negara

1. Mempunyai wilayah;
2. Mempunyai rakyat;
3. Mempunyai pemerintah;
4. Mempunyai tujuan dalam mendirikan negara;
5. Mempunyai kedaulatan.

Tujuan Negara

• Memperluas kekuasaan semata;
• Memperluas kekuasaan untuk mencapai tujuan;
• Menyelenggarakan ketertiban hukum;
• Menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Tujuan Negara Republik Indonesia

1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Sifat Kedaulatan

• Permanen
• Absolute.
• Tidak terbagi-bagi kekuasaannya.
• Tidak terbatas.

Sumber Kedaulatan

1) Teori Kedaulatan Tuhan
2) Teori Kedaulatan Rakyat
3) Teori Kedaulatan Negara
4) Teori Kedaulatan Hukum

bersambung - to be continue

Senin, 23 Januari 2012

SISTEM POLITIK INDONESIA

Pengertian sistem Politik

Pengertian Sistem

Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.

Pengertian Politik

Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara.
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.

Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng

Pengertian Sistem Politik di Indonesia


Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.

Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.

Sejarah Politik Di Indonesia

Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
  • Masa prakolonial
  • Masa kolonial (penjajahan)
  • Masa Demokrasi Liberal
  • Masa Demokrasi terpimpin
  • Masa Demokrasi Pancasila
  • Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
  • Penyaluran tuntutan
  • Pemeliharaan nilai
  • Kapabilitas
  • Integrasi vertikal
  • Integrasi horizontal
  • Gaya politik
  • Kepemimpinan
  • Partisipasi massa
  • Keterlibatan militer
  • Aparat negara
  • Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :

Masa prakolonial (Kerajaan)

  • Penyaluran tuntutan : rendah dan terpenuhi
  • Pemeliharaan nilai : disesuikan dengan penguasa
  • Kapabilitas : SDA melimpah
  • Integrasi vertikal : atas bawah
  • Integrasi horizontal : nampak hanya sesama penguasa kerajaan
  • Gaya politik : kerajaan
  • Kepemimpinan : raja, pangeran dan keluarga kerajaan
  • Partisipasi massa : sangat rendah
  • Keterlibatan militer : sangat kuat karena berkaitan dengan perang
  • Aparat negara : loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
  • Stabilitas : stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
Masa kolonial (penjajahan)
  • Penyaluran tuntutan : rendah dan tidak terpenuhi
  • Pemeliharaan nilai : sering terjadi pelanggaran ham
  • Kapabilitas : melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
  • Integrasi vertikal : atas bawah tidak harmonis
  • Integrasi horizontal : harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
  • Gaya politik : penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
  • Kepemimpinan : dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
  • Partisipasi massa : sangat rendah bahkan tidak ada
  • Keterlibatan militer : sangat besar
  • Aparat negara : loyal kepada penjajah
  • Stabilitas : stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
Masa Demokrasi Liberal
  • Penyaluran tuntutan : tinggi tapi sistem belum memadani
  • Pemeliharaan nilai : penghargaan HAM tinggi
  • Kapabilitas : baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
  • Integrasi vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
  • Integrasi horizontal : disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
  • Gaya politik : ideologis
  • Kepemimpinan : angkatan sumpah pemuda tahun 1928
  • Partisipasi massa : sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
  • Keterlibatan militer : militer dikuasai oleh sipil
  • Aparat negara : loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
  • Stabilitas : instabil
Masa Demokrasi terpimpin
  • Penyaluran tuntutan : tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
  • Pemeliharaan nilai : Penghormatan HAM rendah
  • Kapabilitas : abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
  • Integrasi vertikal : atas bawah
  • Integrasi horizontal : berperan solidarity makers,
  • Gaya politik : ideolog, nasakom
  • Kepemimpinan : tokoh kharismatik dan paternalistik
  • Partisipasi massa : dibatasi
  • Keterlibatan militer : militer masuk ke pemerintahan
  • Aparat negara : loyal kepada negara
  • Stabilitas : stabil
Masa Demokrasi Pancasila
  • Penyaluran tuntutan : awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
  • Pemeliharaan nilai : terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
  • Kapabilitas : sistem terbuka
  • Integrasi vertikal : atas bawah
  • Integrasi horizontal : nampak
  • Gaya politik : intelek, pragmatik, konsep pembangunan
  • Kepemimpinan : teknokrat dan ABRI
  • Partisipasi massa : awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
  • Keterlibatan militer : merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
  • Aparat negara : loyal kepada pemerintah (Golkar)
  • Stabilitas : stabil
Masa Reformasi
  • Penyaluran tuntutan : tinggi dan terpenuhi
  • Pemeliharaan nilai : Penghormatan HAM tinggi
  • Kapabilitas : disesuaikan dengan Otonomi daerah
  • Integrasi vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
  • Integrasi horizontal : nampak, muncul kebebasan (euforia)
  • Gaya politik : pragmatik
  • Kepemimpinan : sipil, purnawiranan, politisi
  • Partisipasi massa : tinggi
  • Keterlibatan militer : dibatasi
  • Aparat negara : harus loyal kepada negara bukan pemerintah
  • Stabilitas : instabil

Sabtu, 21 Januari 2012

Havel

”Saya hidup di sebuah negeri yang guncang . . . oleh sebuah naskah.”

Di Praha, sastrawan Vaclac Havel dipenjarakan. Tidak hanya sekali. Antara tahun 1979 – 1983 ia masuk bui. Sebelumnya pada tahun 1977, ia juga ditahan. Dosanya : ia menulis sepucuk surat kepada Husak, Presiden Cekoslowakia waktu itu. Dalam surat itu ia mengingatkan, bahwa pada akhirnya rakyat yang tertekan akan menuntut harga bagi ”tindakan yang secara permanen merendahkan martabat manusia”.

Ia dianggap ”subversif”. Tapi 12 tahun kemudian, yang dikatakanya terbukti. Rakyat Cekoslowakia merontokkan pemerintah yang membredel mulut + hati + pikiran manusia itu. Presiden Husak jatuh. Orang ramai berseru meminta agar yang menggantikannya adalah orang yang pernah jadi korban : Vaclac Havel.

Ajaib, lebih ajaib dari dongeng. Dalam dongeng, perlu waktu lama bagi sang korban untuk jadi pemenang. Di Cekoslowakia, proses itu begitu cepat: 41 tahun lamanya Partai Komunis berkuasa, dalam sebulan fondasinya ambruk. Dan apa kesaktian Vaclac Havel, hingga ia bisa mengalami transformasi dari si-tertindak-jadi-si-kuasa? Hanya pada kata.

Bukan karena ia seorang penulis drama yang pandai menyusun kata-kata. Tapi karena ia hidup di Cekoslowakia. Di Cekoslowakia yang dibungkam, seorang sastrawan bisa punya pengaruh yang besar, karena kata – apalagi yang dituliskan dengan jujur – bisa seperti sebuah ledakan. Pemerintah gentar dan rakyat mendengar.

Saya hidup di sebuah negeri di mana kata-kata masih bisa menyebabkan orang mendarat di penjara,” tulis Havel pada Oktober 1989, dalam pidatonya menerima Hadiah Friendenpreis des Deutchen Buchandels (”Hadiah Perdamaian dari Asosiasi Pedagang Buku”) di Jerman Barat.

Di negeri seperti itu, kata bisa menjadi suatu kekuatan tersendiri. Berlebih-lebihankah? Ya, kata Havel, berlebih-lebihan bagi orang di negeri seperti Jerman Barat, tempat orang bebas mengritik dan berpendapat, ”dan tak seorang pun wajib untuk memperhatikan, apalagi jadi cemas.”

Memang, itulah ironinya di negeri bebas omong, kata dan pendapat yang berani bukanlah sebuah mutiara, melainkan hanya barang lumrah seperti rambu lalu lintas di tepi jalan. Di negeri seperti Jerman Barat atau Amerika Serikat, Havel – seorang dramawan – tak akan jadi matahari. Paling-paling Cuma sesosok bintang.

Maka, manakah yang lebih baik? Dilihat selintas, Havel sebenarnya orang yang tak perlu meradang. Nasibnya enak, lebih enak ketimbang rata-rata orang Ceko. Ia
terkenal, jadi amat penting, dan biarpun beberapa kali masuk penjara, hidupnya tak melata.

Ia lahir tahun 1936, ketika Cekoslowakia belum jadi komunis, anak seorang kontraktor yang makmur. Ia tinggal di apartemen yang nyaman, di lantai teratas gedung bertingkat enam yang dulu dibangun ayahnya, sebuah bangunan menghadap Sungai Vitava. Dari kamarnya yang berhiaskan lukisan abstrak, kita bisa memandang kastil Bradcany, tempat dulu wangsa Hapsburg tinggal. Tak banyak tempat yang lebih menyenangkan dari sini. Hidup Havel serba cukup: ia punya mobil Mercedes-Benz. Uang ia dapat dari royalti karya-karyanya yang diterjemahkan dan dipanggungkan di Barat – dan meskipun pemerintah melarang drama Havel yang absurd dan lucu itu dimainkan di Cekoslowakia, penguasa tak menyetop uang penghasilannya dari luar negeri.

Lalu mengapa ia mau bersusah-payah masuk penjara? Mengapa ia menolak pindah ke Barat? Mengapa ia mau dipaksa bekerja kasar di pabrik minuman?

Motif seorang manusia tak pernah jelas. Tapi bila Havel, atau seorang penulis, cenderung melawan sensor, itu karena tiap hari seluruh pikiran dan hatinya bergumul dengan kata, dan ia tahu kata-kata ”bisa jadi sinar terang dalam satu wilayah gelap”, tapi kata juga bisa panah untuk membunuh. Coba lihat kata-kata Marx, ujar Havel. ”Adakah kata-katanya berperan menerangi seantero lapisan yang tersembunyi dari mekanisme masyarakat? Ataukah kata-katanya benih yang tak kentara dari semua kamp tahanan gulag yang keji kemudian terjadi?” Jawab Havel: ”Saya tak tahu, mungkin sekali kata-kata Marx adalah dua hal itu sekaligus.”

Havel, tentu saja, tak mengemukakan hal yang baru. Kita, di Indonesia, pernah mengalaminya. Kita, sekitar 25 tahun yang lalu, juga pernah hidup dengan Marx dan kata yang menggetarkan hati tapi melumpuhkan pikiran: ”Revolusi”, ”Kontrarevolusi”, ”Manipol”, ”Usdek”. Kita kemudian juga punya seorang pendahulu Havel : Rendra. Ia mencoba membebaskan kita dari kata-kata yang gaduh tapi tak jelas artinya – kata yang diindoktrinasikan, dipidatokan dan harus dipasang dimana-mana. Rendra melahirkan teater yang sunyi, teater yang hanya secara minimal menggunakan kata (karena kata telah kehilangan arti), teater yang kemudian disebut ”mini kata”.

Itu seperempat abad yang lalu. Tapi tidakkah kita kini juga, masih perlu mendengarkan pesan Havel dan rendra? Pernahkah kita sadar apa yang terjadi dengan pikiran kita, yang gampang cemas dan karenanya membeku, di hadapan kata tertentu? Apa yang terjadi dengan kata ”Pancasila” dan ”pembangunan”, setelah kian diucapkan dengan sikap sebuah mesin otomat? Rasanya kita masih harus menjalankan pembebasan: membebaskan diri dari tendensi jadi robot, membebaskan diri dari ketakutan kepada kata yang berarti, dan membebaskan diri proses kehilangan arti.

27 Januari 1990

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons