Sabtu, 21 Januari 2012

Havel

”Saya hidup di sebuah negeri yang guncang . . . oleh sebuah naskah.”

Di Praha, sastrawan Vaclac Havel dipenjarakan. Tidak hanya sekali. Antara tahun 1979 – 1983 ia masuk bui. Sebelumnya pada tahun 1977, ia juga ditahan. Dosanya : ia menulis sepucuk surat kepada Husak, Presiden Cekoslowakia waktu itu. Dalam surat itu ia mengingatkan, bahwa pada akhirnya rakyat yang tertekan akan menuntut harga bagi ”tindakan yang secara permanen merendahkan martabat manusia”.

Ia dianggap ”subversif”. Tapi 12 tahun kemudian, yang dikatakanya terbukti. Rakyat Cekoslowakia merontokkan pemerintah yang membredel mulut + hati + pikiran manusia itu. Presiden Husak jatuh. Orang ramai berseru meminta agar yang menggantikannya adalah orang yang pernah jadi korban : Vaclac Havel.

Ajaib, lebih ajaib dari dongeng. Dalam dongeng, perlu waktu lama bagi sang korban untuk jadi pemenang. Di Cekoslowakia, proses itu begitu cepat: 41 tahun lamanya Partai Komunis berkuasa, dalam sebulan fondasinya ambruk. Dan apa kesaktian Vaclac Havel, hingga ia bisa mengalami transformasi dari si-tertindak-jadi-si-kuasa? Hanya pada kata.

Bukan karena ia seorang penulis drama yang pandai menyusun kata-kata. Tapi karena ia hidup di Cekoslowakia. Di Cekoslowakia yang dibungkam, seorang sastrawan bisa punya pengaruh yang besar, karena kata – apalagi yang dituliskan dengan jujur – bisa seperti sebuah ledakan. Pemerintah gentar dan rakyat mendengar.

Saya hidup di sebuah negeri di mana kata-kata masih bisa menyebabkan orang mendarat di penjara,” tulis Havel pada Oktober 1989, dalam pidatonya menerima Hadiah Friendenpreis des Deutchen Buchandels (”Hadiah Perdamaian dari Asosiasi Pedagang Buku”) di Jerman Barat.

Di negeri seperti itu, kata bisa menjadi suatu kekuatan tersendiri. Berlebih-lebihankah? Ya, kata Havel, berlebih-lebihan bagi orang di negeri seperti Jerman Barat, tempat orang bebas mengritik dan berpendapat, ”dan tak seorang pun wajib untuk memperhatikan, apalagi jadi cemas.”

Memang, itulah ironinya di negeri bebas omong, kata dan pendapat yang berani bukanlah sebuah mutiara, melainkan hanya barang lumrah seperti rambu lalu lintas di tepi jalan. Di negeri seperti Jerman Barat atau Amerika Serikat, Havel – seorang dramawan – tak akan jadi matahari. Paling-paling Cuma sesosok bintang.

Maka, manakah yang lebih baik? Dilihat selintas, Havel sebenarnya orang yang tak perlu meradang. Nasibnya enak, lebih enak ketimbang rata-rata orang Ceko. Ia
terkenal, jadi amat penting, dan biarpun beberapa kali masuk penjara, hidupnya tak melata.

Ia lahir tahun 1936, ketika Cekoslowakia belum jadi komunis, anak seorang kontraktor yang makmur. Ia tinggal di apartemen yang nyaman, di lantai teratas gedung bertingkat enam yang dulu dibangun ayahnya, sebuah bangunan menghadap Sungai Vitava. Dari kamarnya yang berhiaskan lukisan abstrak, kita bisa memandang kastil Bradcany, tempat dulu wangsa Hapsburg tinggal. Tak banyak tempat yang lebih menyenangkan dari sini. Hidup Havel serba cukup: ia punya mobil Mercedes-Benz. Uang ia dapat dari royalti karya-karyanya yang diterjemahkan dan dipanggungkan di Barat – dan meskipun pemerintah melarang drama Havel yang absurd dan lucu itu dimainkan di Cekoslowakia, penguasa tak menyetop uang penghasilannya dari luar negeri.

Lalu mengapa ia mau bersusah-payah masuk penjara? Mengapa ia menolak pindah ke Barat? Mengapa ia mau dipaksa bekerja kasar di pabrik minuman?

Motif seorang manusia tak pernah jelas. Tapi bila Havel, atau seorang penulis, cenderung melawan sensor, itu karena tiap hari seluruh pikiran dan hatinya bergumul dengan kata, dan ia tahu kata-kata ”bisa jadi sinar terang dalam satu wilayah gelap”, tapi kata juga bisa panah untuk membunuh. Coba lihat kata-kata Marx, ujar Havel. ”Adakah kata-katanya berperan menerangi seantero lapisan yang tersembunyi dari mekanisme masyarakat? Ataukah kata-katanya benih yang tak kentara dari semua kamp tahanan gulag yang keji kemudian terjadi?” Jawab Havel: ”Saya tak tahu, mungkin sekali kata-kata Marx adalah dua hal itu sekaligus.”

Havel, tentu saja, tak mengemukakan hal yang baru. Kita, di Indonesia, pernah mengalaminya. Kita, sekitar 25 tahun yang lalu, juga pernah hidup dengan Marx dan kata yang menggetarkan hati tapi melumpuhkan pikiran: ”Revolusi”, ”Kontrarevolusi”, ”Manipol”, ”Usdek”. Kita kemudian juga punya seorang pendahulu Havel : Rendra. Ia mencoba membebaskan kita dari kata-kata yang gaduh tapi tak jelas artinya – kata yang diindoktrinasikan, dipidatokan dan harus dipasang dimana-mana. Rendra melahirkan teater yang sunyi, teater yang hanya secara minimal menggunakan kata (karena kata telah kehilangan arti), teater yang kemudian disebut ”mini kata”.

Itu seperempat abad yang lalu. Tapi tidakkah kita kini juga, masih perlu mendengarkan pesan Havel dan rendra? Pernahkah kita sadar apa yang terjadi dengan pikiran kita, yang gampang cemas dan karenanya membeku, di hadapan kata tertentu? Apa yang terjadi dengan kata ”Pancasila” dan ”pembangunan”, setelah kian diucapkan dengan sikap sebuah mesin otomat? Rasanya kita masih harus menjalankan pembebasan: membebaskan diri dari tendensi jadi robot, membebaskan diri dari ketakutan kepada kata yang berarti, dan membebaskan diri proses kehilangan arti.

27 Januari 1990

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons