Seorang pemimpin yang baik, kata Tao, adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu sumbernya adalah air yang datang dari jauh pedalaman: sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.
Karena itu, kepemimpinan yang baik tak dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Good leadership consists of doing less and being more.
Carlos Salinas de Gortari mungkin belum mengerti ini. Atau ia tak terlampau diharapkan bisa jadi telaga Tao. Umurnya baru 40 tahun, walaupun ia tampak tua karena botak dengan kumis yang angker dan mulut yang yakin. Ia memang terpilih jadi Presiden Meksiko. Tetapi ia juga tampaknya contoh dari apa yang dicatat oleh majalah The Economist pekan lalu: kehidupan politik di negeri itu telah menegakkan tipe pemimpin yang ”tak lagi mendengar rumput yang tumbuh”.
Pemerintah Meksiko dipegang terus-menerus oleh Partai Revolusioner Institusional (PRI) semenjak tahun 1929. Masa panjang itu tak tersaingi oleh siapa pun di luar dunia komunis. Bedanya: partai komunis merasa mewakili keharusan terakhir dari sejarah manusia, yang katanya adalah kemenangan dari kapitalisme. PRI tak punya ajaran itu. Ajarannya hanya: stabilitas itu perlu.
Ajaran itu benar untuk suatu jangka waktu, dan bisa salah untuk jangka waktu yang lain. Selama hampir 60 tahun PRI menyediakan presiden dari kalangannya, juga gubernur, juga senator dan hampir semua wakil rakyat di majelis rendah. Kecuali satu, semua presiden sebelum Salinas bisa ”menang” 90 % suara. Orang menduga sebagian itu adalah palsu dan sebagian lagi suara rakyat yang telah kehilangan alternatif.
Akibatnya, menurut The Economist, adalah hal yang terjadi di mana saja bila kekuasaan berada di atas terlalu lama. Ada tendensi untuk jadi makin tegar – dan ”tegar” memang berarti kaku. Mungkin karena dasar pandangan yang selama itu dipergunakan tak hendak ditinjau kembali, berhubung tak ada saingan dan tak ada perbandingan. Sementara itu, perasaan selalu menang menyebabkan kian tipisnya sikap toleran. Siapa yang tak mau ikut dengan segera jadi pembangkang.
Tentu saja di Meksiko bukan tak ada keleluasaan. Tapi dalam keleluasaan juga ada kemandekan. Di Meksiko, menurut The Economist, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, kekuasaan telah beralih dari kaum politikus ke tangan kaum teknokrat. Barang kali juga birokrat – yang menyebabkan negeri itu, dalam kata-kata novelisnya yang termasyur, Carlos Fuentes, yang berlaku adalah ”hukum penolakan terlunak”.
Tak ada keterangan lebih jauh kenapa itu bisa terjadi. Tetapi barang kali kita tahu: politikus – profesi yang diremehkan dan dianggarp buruk itu – umumnya bertumbuh ketika orang-orang partai dan wakil rakyat berusaha keras dapat dukungan. Mereka harus menyambangi para pemilih, mendengarkan apa yang mereka katakan, menjabat tangan yang mereka sembunyikan, mencium pipi anak yang mereka gendong.
Singkatnya: mereka harus mengambil hati. Semua mungkin buat kepentingan sebuah ide. Atau semua itu buat kepentingan diri si politikus, agar dipilih. Tapi apapun tujuannya, akibat proses itu jelas: ada kontak yang langsung antara si calon anggota parlemen dan para calon pemilihnya.
Kontak semacam itu tentu tak diperlukan lagi, ketika sejumlah orang begitu yakin bahwa diri mereka toh akan menang dalam setiap pemilihan. Akibatnya, politikus tak perlu datang ke bawah. Pemerintah pun cukup punya gagasan yang pintar, dan tok-tok-tok, diputuskan untuk dilaksanakan. Tanpa ditawarkan.
Demikianlah cara Presiden Miguel de la Madrid memotong anggaran belanja pemerintah, menghapuskan subsidi, serta melakukan deregulasi. Itu tindakan yang tepas sebenarnya saat itu. Tapi ia tak merasa perlu menjelaskan alasannya kepada rakyat. Ia tentu tahu bahwa penghapusan subsidi bisa dalam waktu dekat memberati masyarakat. Tapi agaknya dia lupa bahwa ia perlu mengajak masyarakat untuk mengerti apa makna beban yang memberati itu. PRI telah semakin tak mendengar rumput yang tumbuh.
Mungkin itulah sebabnya ketidak-puasan kini menunjukkan diri. Tampaknya, dalam memimpin sebuah bangsa, pintar saja memang tak cukup, benar juga tak memadai. David Halberstam menulis The Best and the Brightest, tentang orang-orang pintar di sekeliling Presiden Kennedy yang memutuskan agar Amerika terlibat jauh ke Perang Vietnam. Tujuan perang itu mungkin mempesonakan, tapi kemudian kita tahu bagaimana ia gagal: ia adalah sebuah ikhtiar nasional yang tak cukup didukung sebagai ikhtiar nasional. Perang itu mungkin hasil rancangan the best and the brightest, tapi para piawai itu tak pernah sekalipun merasakan terik dan capeknya berjuang untuk mendengarkan suara rakyat, dipilih oleh rakyat.
Mereka tak menampung. Mereka bukan danau yang dalam. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan bapak pimpinan.
Goenawan Mohammad # 23 Juli 1988
Beli Koes Plus Golden Hits, Vol. 4 di Amazon
Karena itu, kepemimpinan yang baik tak dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Good leadership consists of doing less and being more.
Carlos Salinas de Gortari mungkin belum mengerti ini. Atau ia tak terlampau diharapkan bisa jadi telaga Tao. Umurnya baru 40 tahun, walaupun ia tampak tua karena botak dengan kumis yang angker dan mulut yang yakin. Ia memang terpilih jadi Presiden Meksiko. Tetapi ia juga tampaknya contoh dari apa yang dicatat oleh majalah The Economist pekan lalu: kehidupan politik di negeri itu telah menegakkan tipe pemimpin yang ”tak lagi mendengar rumput yang tumbuh”.
Pemerintah Meksiko dipegang terus-menerus oleh Partai Revolusioner Institusional (PRI) semenjak tahun 1929. Masa panjang itu tak tersaingi oleh siapa pun di luar dunia komunis. Bedanya: partai komunis merasa mewakili keharusan terakhir dari sejarah manusia, yang katanya adalah kemenangan dari kapitalisme. PRI tak punya ajaran itu. Ajarannya hanya: stabilitas itu perlu.
Ajaran itu benar untuk suatu jangka waktu, dan bisa salah untuk jangka waktu yang lain. Selama hampir 60 tahun PRI menyediakan presiden dari kalangannya, juga gubernur, juga senator dan hampir semua wakil rakyat di majelis rendah. Kecuali satu, semua presiden sebelum Salinas bisa ”menang” 90 % suara. Orang menduga sebagian itu adalah palsu dan sebagian lagi suara rakyat yang telah kehilangan alternatif.
Akibatnya, menurut The Economist, adalah hal yang terjadi di mana saja bila kekuasaan berada di atas terlalu lama. Ada tendensi untuk jadi makin tegar – dan ”tegar” memang berarti kaku. Mungkin karena dasar pandangan yang selama itu dipergunakan tak hendak ditinjau kembali, berhubung tak ada saingan dan tak ada perbandingan. Sementara itu, perasaan selalu menang menyebabkan kian tipisnya sikap toleran. Siapa yang tak mau ikut dengan segera jadi pembangkang.
Tentu saja di Meksiko bukan tak ada keleluasaan. Tapi dalam keleluasaan juga ada kemandekan. Di Meksiko, menurut The Economist, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, kekuasaan telah beralih dari kaum politikus ke tangan kaum teknokrat. Barang kali juga birokrat – yang menyebabkan negeri itu, dalam kata-kata novelisnya yang termasyur, Carlos Fuentes, yang berlaku adalah ”hukum penolakan terlunak”.
Tak ada keterangan lebih jauh kenapa itu bisa terjadi. Tetapi barang kali kita tahu: politikus – profesi yang diremehkan dan dianggarp buruk itu – umumnya bertumbuh ketika orang-orang partai dan wakil rakyat berusaha keras dapat dukungan. Mereka harus menyambangi para pemilih, mendengarkan apa yang mereka katakan, menjabat tangan yang mereka sembunyikan, mencium pipi anak yang mereka gendong.
Singkatnya: mereka harus mengambil hati. Semua mungkin buat kepentingan sebuah ide. Atau semua itu buat kepentingan diri si politikus, agar dipilih. Tapi apapun tujuannya, akibat proses itu jelas: ada kontak yang langsung antara si calon anggota parlemen dan para calon pemilihnya.
Kontak semacam itu tentu tak diperlukan lagi, ketika sejumlah orang begitu yakin bahwa diri mereka toh akan menang dalam setiap pemilihan. Akibatnya, politikus tak perlu datang ke bawah. Pemerintah pun cukup punya gagasan yang pintar, dan tok-tok-tok, diputuskan untuk dilaksanakan. Tanpa ditawarkan.
Demikianlah cara Presiden Miguel de la Madrid memotong anggaran belanja pemerintah, menghapuskan subsidi, serta melakukan deregulasi. Itu tindakan yang tepas sebenarnya saat itu. Tapi ia tak merasa perlu menjelaskan alasannya kepada rakyat. Ia tentu tahu bahwa penghapusan subsidi bisa dalam waktu dekat memberati masyarakat. Tapi agaknya dia lupa bahwa ia perlu mengajak masyarakat untuk mengerti apa makna beban yang memberati itu. PRI telah semakin tak mendengar rumput yang tumbuh.
Mungkin itulah sebabnya ketidak-puasan kini menunjukkan diri. Tampaknya, dalam memimpin sebuah bangsa, pintar saja memang tak cukup, benar juga tak memadai. David Halberstam menulis The Best and the Brightest, tentang orang-orang pintar di sekeliling Presiden Kennedy yang memutuskan agar Amerika terlibat jauh ke Perang Vietnam. Tujuan perang itu mungkin mempesonakan, tapi kemudian kita tahu bagaimana ia gagal: ia adalah sebuah ikhtiar nasional yang tak cukup didukung sebagai ikhtiar nasional. Perang itu mungkin hasil rancangan the best and the brightest, tapi para piawai itu tak pernah sekalipun merasakan terik dan capeknya berjuang untuk mendengarkan suara rakyat, dipilih oleh rakyat.
Mereka tak menampung. Mereka bukan danau yang dalam. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan bapak pimpinan.
Goenawan Mohammad # 23 Juli 1988
1 comments:
banner tambah jumbo gan
Posting Komentar