Rabu, 26 Oktober 2011

Catatan Pinggir : Aswatama

Tiga pengendara kuda bergegas menjauh dari danau besar yang muram itu, tiga laki-laki yang tak lagi ingin bicara. Mereka tak menyaksikan sesuatu yang tak akan dengan mudah ditanggung siapapun, kecuali oleh Waktu. Perang selesai, sanak saudara punah terbunuh, tentara kalah, kekuasaan hilang.

Dan pada klimaksnya, di tepi danau Dwipayana yang tak dihuni, mereka melihat raja mereka, dengan tubuh setengah hancur, tergolek, sendiri. Duryudhana. Kesatria yang sulit dikalahkan, berkalang tanah, dibalut debu, bersimbah darah. Bhima telah menghancurkan pahanya dengan bengis, melumpuhkannya – dan para pandawa telah meninggalkannya terlantar . . .

Hanya tinggal satu perasaan yang membuat ketiga pengendara kuda itu bergerak; rasa pedih. Berpacu, mereka melintasi sisi utara Kurusetra, menembus hutan, menggunakan kembali jalan bekas yang ditempuh pasukan, dan akhirnya berhenti di sebuah bukit lebat. Dari sana, mereka bisa melihat ke bawah – ke perkemahan pasukan Pandawa dan sekutunya, orang-orang Pancala.

Aswatama yang mulai bicara. “Aku akan mengumpulkan sisa-sisa pasukan inti yang bersembunyi di jalan menuju Dwaraka – dan malam ini kita akan menyerbu masuk. Membinasakan mereka waktu tidur.

Kripa dan Kartamarma hanya diam.

“Tuan-tuan setuju?” Aswatama bertanya.

“Sebaiknya kita tidur dulu”, jawab Kripa. “Kemarahan menguasai kita kini. Besok pagi aku akan menyertaimu berperang.” Suaranya suara seorang yang lebih tua: hati-hati, bijaksana, capek.

Aswatama memandangi mereka sebentar dengan matanya yang tajam dan merah – ia dari tadi seperti menahan tangis – lalu, serasa menyadari sesuatu, ia pun mengusap rambutnya yang panjang sebahu. Pandangannya kini ke kaki bukit, suaranya seperti bergumam,”Aku tahu, Tuan-tuan tak akan menyetujui rencanaku. Tapi katakanlah bila ada rencana lain.”

“Aswatama, menjelang ajalnya, Duryudhana telah meminta kendi dan air untuk menasbihkanmu menjadi panglima perang Kurawa – dan kaulah panglima kami. Tapi kesatria tak patut membunuh kesatria lain dalam keadaan tidur, tak bersenjata.”

Antara kaget, tak percaya dan kecewa, Aswatama terbeliak mendengar kata-kata Kripa. Keletihankah yang membuat ia bicara demikian? Bermimpi semuakah mereka – dan tak bangun dari pengalaman yang begitu dahsyat? Kripa, Kripa yang bijaksana. Kripa yang fasih bicara di tengah percakapan balairung. Tak tahukah apa yang dihadapinya kini, setelah kehancuran dan kematian? “Aku mengerti kau heran mendengar jawabanku, Aswatama. Tapi kau, putra Guru Durna, tentu tahu apa yang diajarkan . . .”

Tiba-tiba Aswatama meloncat. Ia berkacak pinggang, menatap kedua kesatria itu, dan mukanya yang berkeringat makin mirip tembaga, dan suaranya gemetar: “Kau . . .” Ia tak menyelesaikan kata-kata itu. Dengan cepat ia berbalik , berjalan ke celah yang menyebabkan sinar matahari senja menyusup seperti cahaya pada kelambu. Langkahnya gugup – seakan menghindarkan suatu benturan emosi dengan malam yang mendekat.

Hanya suaranya kini yang terdengar menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari benturan itu, “Tuan-tuan, para kesatria, hendak mengingatkan aku, seorang anak pendeta tentang mana yang baik mana yang keji. Tapi musuh telah menipu ayahku, mengabarkan bahwa aku, anaknya, harapanya, telah terbunuh. Ayah putus asa, melepaskan senjata – dan Drestajumena menebas batang lehernya. Siapakah yang terbunuh oleh pengecut itu, selain seorang yang tak ingin lagi berperang? Tuan katakan seorang kesatria tak boleh membinasakan kesatria lain yang tak siap. Tak berlakukah aturan itu buat Durna, hanya lantara ia seorang brahmana?”

“Bukan demikian, Aswatama. Tapi haruskah kita – haruskah kau – juga merendahkan budi dan meniru perbuatan pengecut?”

“Seandainya aku hidup besok, seandainya ada kesempatanku, aku ingin bertanya seperti itu pada Kreshna. Ia akan memberiku dalih. Ia konon bisa menyatakan suci apa semula dianggap tak suci, ia bisa membebaskan kita dari sesal justa dan pembunuhan. Hanya dia melakukan semua itu bagi para Pandawa. Kita tak punya Kreshna, Kripa, ah, kita tak punya apa-apa kini. Agama dan petuah telah mengajariku banyak hal, tapi kematian di Kurusetra mengajariku, agama bukanlah segalanya. Aku mencium bau hutan menjelang malam. Aku tak tahu apa saja yang dikandungnya . . . “

Kripa diam, sadar: Aswatama telah memutuskan. Juga Kartamarma, yang dari tadi membisu dan bersandar di dekat kudanya. Laki-laki pucat tampan dari Istana Kuru itu juga tak punya pilihan. Memang banyak hal, Kripa, telah hancur di Kurusetra, lebih murung dari kematian Bhisma. Tiga generasi mati – juga harapan tentang kemulian dan keluhuran budi, juga sekadar kejelasan tentang apa yang benar dan tak benar.

“Bayang-bayang,” Kripa berbisik.

GM - 14 Februari 1987

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons