Oleh JAKOB SUMARDJO
DI Indonesia orang harus hidup dalam ketidakpastian-ketidakpastian. Hitungan matematika tidak berlaku di Indonesia. Hukum tertulis adalah dunia maya bagi orang Indonesia. Harga karcis bioskop kelas atas, di suatu kota berbeda dengan kota yang lain. Ganti presiden ganti kementerian-kementerian. Ganti menteri, ganti sistem. UUD 45 boleh tetap dipakai, tetapi lembaga-lembaga kenegaraan tidak sama sejak 1945 sampai 2005.
Indonesia adalah sebuah bengkel besar, main bongkar pasang setiap sebuah rezim berkuasa. Tidak ada yang namanya tradisi modern Indonesia. Tradisi modern Indonesia adalah dekonstruksi terus-menerus. Kapan akan berakhir? Sampai orang Indonesia capai main bongkar-bongkaran. Sampai orang menyadari pentingnya suatu sistem yang agak permanen. Ibarat membangun Rumah Indonesia dari bekas Rumah Kolonial Belanda, mula-mula dibongkar atapnya, kemudian disekat kamar-kamar tidurnya, akhirnya ditempelkan bangunan baru di belakangnya; sebuah Frankenstein modern yang babak belur.
Orang Indonesia masih mabuk kebebasan. Kebebasan itu berarti, kalau saya berkuasa saya dapat melakukan apa saja. Maka kekuasaan menjadi rebutan, mulai tingkat desa sampai tingkat negara, mulai kepala subbagian sampai kepala kantor. Di situlah saya menikmati kebebasan saya.
Rata-rata orang Indonesia belum merdeka. Kalau Anda tidak memegang kekuasaan, Anda adalah objek mereka yang pegang kuasa. Anda tidak bebas, meskipun Anda berteriak tiap hari mengklaim hak-hak azasi Anda. Semuanya ini akibat dari tidak adanya tradisi sistem. Sistem di Indonesia selalu diperlakukan sebagai bagan praksis, bukan sebuah filosofi. Karena ia hanya bagan praksis, maka keberadaannya amat bergantung pada kondisi dan situasi. Dasar filosofinya campur aduk. Sebuah wajah Frankenstein.
Penyakit mental orang Indonesia itu ada dua, yakni lekas kagum dan memuja segala sesuatu yang baru, dan tidak menaruh hormat terhadap sejarahnya sendiri. Penyakit pertama membuat orang Indonesia mau cepat-cepat mempraktikkan apa yang sukses dilakukan orang di luar Indonesia untuk dilakukan di Indonesia. Padahal ukuran sukses memecahkan masalah itu bergantung pada dimensi ruang, waktu, dan pelaku. Sebuah sistem yang sukses dilakukan dalam ruang, waktu, dan pelaku yang berbeda belum tentu akan sukses di sini. Kita harus mulai berhenti menjadi monyet peniru semacam ini. Inilah sebabnya bongkar pasang sistem selalu terjadi di Indonesia.
Penyakit kedua orang Indonesia adalah amnesia sejarah. Pada zaman Orde Lama, Bung Karno menjadi panutan bangsa. Setiap pidatonya dicetak ulang dan dikumpulkan dalam sebuah buku besar. Bung Karno seperti Ketua Mao dengan buku merahnya. Begitu Orde Lama ambruk, maka setiap artefak yang berbau Bung Karno harus lekas-lekas disingkirkan. Ke mana perginya buku-buku indoktrinasi Bung Karno yang dulu menghiasi meja makan penduduk tani Indonesia itu? Gagasan Bung Karno tentang Indonesia harus dibenamkan dalam-dalam. Bahkan dalam buku-buku sejarah sekolah tidak dicantumkan lagi gagasan-gagasan besarnya. Bandul sistem berubah seratus sembilan puluh derajat. Go to hell semua apa yang telah kau kerjakan untuk Indonesia.
Orde Baru membangun sistemnya sendiri tanpa mengingat apa pun yang telah dilakukan Orde Lama. Buku-buku indoktrinasi P-4 menjadi best seller tanpa perlu dibeli. Jilidnya tebal-tebal. Setiap calon pegawai harus hafal isi buku tebal itu. Buku merah Ketua Mao. Dan ketika rezim ini ambruk pula, setelah mencapai rekor pegang kuasa paling lama di dunia, ke mana perginya "sistem Orde Baru" itu? Setiap artefak dan gagasan yang mengingatkan kita pada sistem Orde Baru kita matikan dalam pikiran kita. Go to hell!
Dan sampai kini telah silih berganti datang empat presiden. Presiden BJ Habibie belum sempat membangun sebuah sistem, telah kita lupakan. Presiden Abdurrahman Wahid yang baru mulai membangun sistem telah cepat-cepat kita turunkan. Lokomotif ini terlalu cepat buat kereta Indonesia. Dan penggantinya, Presiden Megawati, karena orang Indonesia mau cepat-cepat memperoleh obat mujarab yang cespleng buat membangun Indonesia, ditinggalkan pula.
Enam presiden telah kita miliki, dan masing-masing selalu membangun sistemnya sendiri dengan go to hell pada sistem-sistem dan hasil-hasil sebelumnya. Kesinambungan tidak ada. Selalu ingin yang baru. Setiap pemilih presiden selalu bertanya, "Ada stock yang baru Mas?" Begitu presidennya, begitu pula menteri-menterinya. Kantor yang baru diisi arsip-arsip yang gres. Arsip-arsip lama masuk gudang. Dikunci mati.
Ganti penguasa ganti logo dan ganti cap serta kop surat. Ini Indonesia baru. Orang enggan meneruskan apa yang telah dilakukan pejabat sebelumnya. Jelas gagal kok dilanjutkan? Berapa presiden yang gagal? Berapa Perdana Menteri yang gagal? Berapa menteri yang gagal? Tetapi negara, bangsa, dan pemerintahan tetap yang itu-itu juga.
Indonesia itu sebuah ketidakpastian. Semua ini gara-gara para pelakunya, aktor yang penuh improvisasi tanpa peduli teks. Asal memainkan dirinya. Kekuasaan itu milik, dan bukan mandat. Bukan amanah. Setiap kehilangan kekuasaan orang merasa malu dan tidak berguna, karena tahu segala usaha yang telah dilakukannya akan dilupakan begitu saja.
Bagaimana agar hidup ini menjadi pasti di Indonesia?
Bagi mereka yang lama hidup di luar negeri, atau orang luar negeri yang masuk Indonesia, tentu kaget melihat realitas "dunia lain" yang nonmodern ini. Indonesia itu tidak bisa ditebak, karena tidak menganut hukum kausalitas. Hukum di Indonesia itu bersifat spontanitas. Jadi, maka jadilah. Boleh, maka bolehlah. Tidak jelas sebab akibatnya. Aturannya bunyi begitu, praktiknya berbalikan. Mereka yang taat hukum dan aturan, yang percaya pada hukum kausalitas, akan menjadi korban tingkah laku spontanitas. Di negara kepastian, ketidakpastian adalah kepastian. Di negara ketidakpastian, kepastian adalah ketidakpastian. Di negara orang gila, orang waras adalah gila.
Di negara matematis, tiga tambah tiga itu tentunya enam, tiga kali tiga adalah sembilan. Tetapi di negara ketidakpastian, tidak jelas tiga dikalikan tiga atau tiga ditambah tiga. Tanda "kali" dan "tambah" mudah sekali dibalik, ditegakkan atau dimiringkan. Di negara ketidakpastian berkata jujur itu ketidakbenaran, berkata bohong itu kebenaran.
Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kita dapat membuat perencanaan, merancang masa depan. Dalam ketidakpastian, rencana tidak mungkin dijalankan, masa depan tidak mungkin digambarkan. Ketidakpastian Indonesia membuat masa depannya tidak mungkin dibayangkan.
Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kejujuran dan dusta dapat dibedakan. Agar kepercayaan dapat dibangun. Agar sistem dapat dipertahankan. Agar tradisi modern dihormati. Agar kita mampu menerima warisan, buruk maupun bagus. Agar kita tetap merupakan satu kesatuan, dalam ruang, waktu, dan sebagai pelaku. Agar kita menjadi kita, bukan kami dan mereka.
Kepastian membuat negara dan bangsa ini tetap ada. Tegak di dunia. Bagaimana bangsa ini dapat dihormati, kalau di antara kita sendiri tidak saling menghormati? Bung Karno dapat salah, Pak Harto dapat salah, Habibie dapat salah, Gus Dur dapat salah, Megawati mungkin punya kekurangan, tetapi mereka milik kita, bagian dari diri kita. Menghujat tidak ada manfaatnya, belajar dari kesalahan banyak manfaatnya.
Indonesia akan ambruk kalau pilar kepastian tidak ditegakkan.***
Penulis, Budayawan
DI Indonesia orang harus hidup dalam ketidakpastian-ketidakpastian. Hitungan matematika tidak berlaku di Indonesia. Hukum tertulis adalah dunia maya bagi orang Indonesia. Harga karcis bioskop kelas atas, di suatu kota berbeda dengan kota yang lain. Ganti presiden ganti kementerian-kementerian. Ganti menteri, ganti sistem. UUD 45 boleh tetap dipakai, tetapi lembaga-lembaga kenegaraan tidak sama sejak 1945 sampai 2005.
Indonesia adalah sebuah bengkel besar, main bongkar pasang setiap sebuah rezim berkuasa. Tidak ada yang namanya tradisi modern Indonesia. Tradisi modern Indonesia adalah dekonstruksi terus-menerus. Kapan akan berakhir? Sampai orang Indonesia capai main bongkar-bongkaran. Sampai orang menyadari pentingnya suatu sistem yang agak permanen. Ibarat membangun Rumah Indonesia dari bekas Rumah Kolonial Belanda, mula-mula dibongkar atapnya, kemudian disekat kamar-kamar tidurnya, akhirnya ditempelkan bangunan baru di belakangnya; sebuah Frankenstein modern yang babak belur.
Orang Indonesia masih mabuk kebebasan. Kebebasan itu berarti, kalau saya berkuasa saya dapat melakukan apa saja. Maka kekuasaan menjadi rebutan, mulai tingkat desa sampai tingkat negara, mulai kepala subbagian sampai kepala kantor. Di situlah saya menikmati kebebasan saya.
Rata-rata orang Indonesia belum merdeka. Kalau Anda tidak memegang kekuasaan, Anda adalah objek mereka yang pegang kuasa. Anda tidak bebas, meskipun Anda berteriak tiap hari mengklaim hak-hak azasi Anda. Semuanya ini akibat dari tidak adanya tradisi sistem. Sistem di Indonesia selalu diperlakukan sebagai bagan praksis, bukan sebuah filosofi. Karena ia hanya bagan praksis, maka keberadaannya amat bergantung pada kondisi dan situasi. Dasar filosofinya campur aduk. Sebuah wajah Frankenstein.
Penyakit mental orang Indonesia itu ada dua, yakni lekas kagum dan memuja segala sesuatu yang baru, dan tidak menaruh hormat terhadap sejarahnya sendiri. Penyakit pertama membuat orang Indonesia mau cepat-cepat mempraktikkan apa yang sukses dilakukan orang di luar Indonesia untuk dilakukan di Indonesia. Padahal ukuran sukses memecahkan masalah itu bergantung pada dimensi ruang, waktu, dan pelaku. Sebuah sistem yang sukses dilakukan dalam ruang, waktu, dan pelaku yang berbeda belum tentu akan sukses di sini. Kita harus mulai berhenti menjadi monyet peniru semacam ini. Inilah sebabnya bongkar pasang sistem selalu terjadi di Indonesia.
Penyakit kedua orang Indonesia adalah amnesia sejarah. Pada zaman Orde Lama, Bung Karno menjadi panutan bangsa. Setiap pidatonya dicetak ulang dan dikumpulkan dalam sebuah buku besar. Bung Karno seperti Ketua Mao dengan buku merahnya. Begitu Orde Lama ambruk, maka setiap artefak yang berbau Bung Karno harus lekas-lekas disingkirkan. Ke mana perginya buku-buku indoktrinasi Bung Karno yang dulu menghiasi meja makan penduduk tani Indonesia itu? Gagasan Bung Karno tentang Indonesia harus dibenamkan dalam-dalam. Bahkan dalam buku-buku sejarah sekolah tidak dicantumkan lagi gagasan-gagasan besarnya. Bandul sistem berubah seratus sembilan puluh derajat. Go to hell semua apa yang telah kau kerjakan untuk Indonesia.
Orde Baru membangun sistemnya sendiri tanpa mengingat apa pun yang telah dilakukan Orde Lama. Buku-buku indoktrinasi P-4 menjadi best seller tanpa perlu dibeli. Jilidnya tebal-tebal. Setiap calon pegawai harus hafal isi buku tebal itu. Buku merah Ketua Mao. Dan ketika rezim ini ambruk pula, setelah mencapai rekor pegang kuasa paling lama di dunia, ke mana perginya "sistem Orde Baru" itu? Setiap artefak dan gagasan yang mengingatkan kita pada sistem Orde Baru kita matikan dalam pikiran kita. Go to hell!
Dan sampai kini telah silih berganti datang empat presiden. Presiden BJ Habibie belum sempat membangun sebuah sistem, telah kita lupakan. Presiden Abdurrahman Wahid yang baru mulai membangun sistem telah cepat-cepat kita turunkan. Lokomotif ini terlalu cepat buat kereta Indonesia. Dan penggantinya, Presiden Megawati, karena orang Indonesia mau cepat-cepat memperoleh obat mujarab yang cespleng buat membangun Indonesia, ditinggalkan pula.
Enam presiden telah kita miliki, dan masing-masing selalu membangun sistemnya sendiri dengan go to hell pada sistem-sistem dan hasil-hasil sebelumnya. Kesinambungan tidak ada. Selalu ingin yang baru. Setiap pemilih presiden selalu bertanya, "Ada stock yang baru Mas?" Begitu presidennya, begitu pula menteri-menterinya. Kantor yang baru diisi arsip-arsip yang gres. Arsip-arsip lama masuk gudang. Dikunci mati.
Ganti penguasa ganti logo dan ganti cap serta kop surat. Ini Indonesia baru. Orang enggan meneruskan apa yang telah dilakukan pejabat sebelumnya. Jelas gagal kok dilanjutkan? Berapa presiden yang gagal? Berapa Perdana Menteri yang gagal? Berapa menteri yang gagal? Tetapi negara, bangsa, dan pemerintahan tetap yang itu-itu juga.
Indonesia itu sebuah ketidakpastian. Semua ini gara-gara para pelakunya, aktor yang penuh improvisasi tanpa peduli teks. Asal memainkan dirinya. Kekuasaan itu milik, dan bukan mandat. Bukan amanah. Setiap kehilangan kekuasaan orang merasa malu dan tidak berguna, karena tahu segala usaha yang telah dilakukannya akan dilupakan begitu saja.
Bagaimana agar hidup ini menjadi pasti di Indonesia?
Bagi mereka yang lama hidup di luar negeri, atau orang luar negeri yang masuk Indonesia, tentu kaget melihat realitas "dunia lain" yang nonmodern ini. Indonesia itu tidak bisa ditebak, karena tidak menganut hukum kausalitas. Hukum di Indonesia itu bersifat spontanitas. Jadi, maka jadilah. Boleh, maka bolehlah. Tidak jelas sebab akibatnya. Aturannya bunyi begitu, praktiknya berbalikan. Mereka yang taat hukum dan aturan, yang percaya pada hukum kausalitas, akan menjadi korban tingkah laku spontanitas. Di negara kepastian, ketidakpastian adalah kepastian. Di negara ketidakpastian, kepastian adalah ketidakpastian. Di negara orang gila, orang waras adalah gila.
Di negara matematis, tiga tambah tiga itu tentunya enam, tiga kali tiga adalah sembilan. Tetapi di negara ketidakpastian, tidak jelas tiga dikalikan tiga atau tiga ditambah tiga. Tanda "kali" dan "tambah" mudah sekali dibalik, ditegakkan atau dimiringkan. Di negara ketidakpastian berkata jujur itu ketidakbenaran, berkata bohong itu kebenaran.
Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kita dapat membuat perencanaan, merancang masa depan. Dalam ketidakpastian, rencana tidak mungkin dijalankan, masa depan tidak mungkin digambarkan. Ketidakpastian Indonesia membuat masa depannya tidak mungkin dibayangkan.
Kita menginginkan kepastian-kepastian, agar kejujuran dan dusta dapat dibedakan. Agar kepercayaan dapat dibangun. Agar sistem dapat dipertahankan. Agar tradisi modern dihormati. Agar kita mampu menerima warisan, buruk maupun bagus. Agar kita tetap merupakan satu kesatuan, dalam ruang, waktu, dan sebagai pelaku. Agar kita menjadi kita, bukan kami dan mereka.
Kepastian membuat negara dan bangsa ini tetap ada. Tegak di dunia. Bagaimana bangsa ini dapat dihormati, kalau di antara kita sendiri tidak saling menghormati? Bung Karno dapat salah, Pak Harto dapat salah, Habibie dapat salah, Gus Dur dapat salah, Megawati mungkin punya kekurangan, tetapi mereka milik kita, bagian dari diri kita. Menghujat tidak ada manfaatnya, belajar dari kesalahan banyak manfaatnya.
Indonesia akan ambruk kalau pilar kepastian tidak ditegakkan.***
Penulis, Budayawan
0 comments:
Posting Komentar